Hubungan Venezuela – Kolombia sejak menjadi Negara berdaulat pasca runtuhnya GranColombia di tahun 1831
dibayangi oleh ketegangan hubungan hingga kemungkinan perang terbuka diantara keduanya. Tidak jarang juga
kedua negara ini bekerjasama baik secara bilateral maupun secara multilateral didalam organisasi internasional.
Sumber konflik itu sendiri ada yang berasal dari sisa persoalan politik masa lalu seperti masalah perbatasan
sampai kepada campur tangan pihak luar yang memperkeruh hubungan kedua Negara seperti kerjasama militer
AS – Kolombia yang tidak disukai oleh Venezuela pada masa rezim Chavez.
Pada masa awal pasca Perang Kemerdekaan melawan Imperium Spanyol di abad 19, Venezuela dan Kolombia
merupakan satu negara bersama Ekuador dan Panama. Keempat negara ini tergabung didalam Gran Colombia
bentukan Simon Bolivar. Namun, akibat pecah perang saudara selama bertahun-tahun Gran Colombia kemudian
hanya mampu bertahan selama 12 tahun saja (1819 – 1831) dan terpecah menjadi empat negara yang sekarang
dikenal dengan Kolombia, Venezuela dan Ekuador serta Panama. (Arauz, Celestino A; Carlos Manuel Gasteazoro
and Armando Muñoz Pinzón : 2000). Pecahnya Gran Colombia tetap menyisakan persoalan – persoalan politik
yang dikemudian hari menjadi bom waktu bagi pecahnya konflik diantara mereka, khususnya Kolombia –
Venezuela.
Ada beberapa sumber konflik antara Venezuela – Kolombia dan salah satunya adalah dukungan Venezuela
terhadap kelompok pemberontak bersenjata Kolombia Fuerzas Armadas Revolucionaries de Colombia (FARC).
FARC merupakan kelompok pemberontak (Insurgent Group) bersenjata yang teroganisasi secara rapih dan baik.
FARC sendiri di bentuk pada tahun 1964 sebagai sayap militer dari Partai Komunis Kolombia. Sebagai organisasi
berbasis ideologi Marxis – Leninisme, FARC merupakan yang tertua, terbesar dan paling mapan di daratan
Amerika Latin.
Dampak Konflik Venezuela-Kolombia
Presiden Venezuela Hugo Chavez dan Presiden Kolombia Juan Manuel Santos telah menyepakati untuk memperbaiki hubungan
diplomatik kedua negara. Chavez memutuskan hubungan diplomatik tahun lalu setelah Kolombia menuding negara
tetangganya tersebut menampung pemberontak sayap kiri Kolombia.
Dalam pertemuan di sebuah kota Santa Maria, Kolombia, kedua pemimpin sepakat mengakhiri segala perbedaan dan membuka
kembali hubungan bilateral demi koeksistensi dua negara. Keduanya bertemu di rumah tempat Simon Bolivar, pahlawan
kemerdekaan Amerika Selatan sekaligus idola Hugo Chavez, wafat pada 1830. “Kami melakukan sebuah dialog jujur, secara
langsung dan tulus, dan saya kira kami telah melakukan sebuah langkah besar dalam membangun kembali kepercayaan,” kata
Presiden Santos.Sementara itu di lain pihak, Chavez juga mengungkapkan pernyataan senada dengan rekannya tersebut.
“Kami harus belajar untuk hidup bersama,” katanyanya. “Revolusi damai yang terjadi di Venezuela tidak menghadirkan
ancaman bagi Kolombia.” Chavez juga menolak tudingan pendahulu Santos, Alvaro Uribe, yang mengatakan ada sekitar 1500
pemberontak ELN dan FARC Colombia yang berlindung di bawah naungan Chavez. “Pemerintah Venezula tidak mendukung,
atau memperbolehkan, kehadiran gerilyawan ataupun teroris di Venezuela,” tambahnya lagi. Kedua negara juga menyepakati
pembentukan lima komisi untuk mengatasi sejumlah isu bersama seperti investasi di bidang sosial, infrastuktur, perdagangan
dan keamanan.
Kesepakatan untuk memperbaiki hubungan ini muncul setelah selama kurang lebih dua tahun hubungan bilateral di antara dua
negara di kawasan Andean ini terus memburuk. Hubungan memburuk setelah Kolombia menyetujui untuk memperbolehkan AS
mendirikan markas militer di negaranya. Dan, ketika Uribe menyebut Venezuela menampung pemberontak, Chavez langsung
menutup hubungan diplomatik dan mengirim pasukan ke perbatasan sebagai antisipasi meletusnya perang. (Al-Jazeera)
Kesimpulan
• Analisa penelitian ini ditujukan untuk menjawab pertanyaan penelitian dan membuktikan jawaban awal yang
telah dirumuskan. Penelitian ini menjelaskan alasan Venezeula menggunakan strategi militer ofensif dalam
merespon kehadiran militer Amerika Serikat di Kolombia. Penulis menyimpulkan bahwa strategi militer ofensif
yang digunakan oleh Venezuela karena Amerika Serikat berpotensi menimbulkan ancaman terhadap Revolusi
Bolivarian, dengan menggulingkan pemerintahan Hugo Chavez. Strategi militer ofensif ditunjukkan dengan adanya
perubahan doktrin keamanan nasional yang menjelaskan bahwa Amerika Serikat merupakan ancaman eksternal
utama terhadap Revolusi Bolivarian. Guna mendukung perubahan doktin keamanan nasional, Pemerintahan Chavez
mengembangkan (modernisasi) kemampuan persenjataan dan militernya.Dinamika hubungan Venezuela dengan
Amerika Serikat dan Kolombia selalu diwarnai oleh konflik. Hubungan antara Venezuela dan Amerika Serikat mulai
memburuk ketika terpilihnya Hugo Chavez sebagai Presiden Venezuela. Chavez dan ide Revolusi Bolivarian
membawa perubahan besar terhadap Venezuela dan negara-negara di kawasan Amerika Selatan. Hal ini ditandai
dengan semakin meningkatnya tokok-tokoh kiri di kawasan Amerika Selatan yang menjadi presiden. Gerakan
Revolusi Bolivarian yang dilakukan oleh Chavez tidak disenangi oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat berupaya
untuk menghambat Revolusi Bolivarian dengan cara menggulingkan pemerintahan Chavez. Strategi ini dilakukan
dengan melibatkan kelompok yang anti Chavitas, yaitu Fedecamaras (kelompok pengusaha), partai oposisi, dan
CTV (serikat buruh). Kelompok oposisi dan Amerika Serikat melakukan kudeta dan referendum untuk
menggulingkan pemerintahan Chavez. Namun, kedua usaha tersebut gagal karena rakyat Venezuela mendukung
pemerintahan Chavez.