Anda di halaman 1dari 5

INDONESIA MENGGUGAT AUSTRALIA MELALUI WTO MENGENAI

KEBIJAKAN ROKOK BERKEMASAN POLOS


Charisya
1901155653
Hukum Perdata Internasional C
UAS

Manusia merupakan makhluk sosial yang selalu hidup bermasyarakat dan pada
dasarnya juga menimbulkan benturan-benturan kepentingan, baik dalam ranah pidana
maupun perdata. Sehingga muncul “Ubi Societas, ibi ius” yang artinya ialah, “dimana
ada masyarakat, disitu ada hukum”. Ungkapan ini menunjukkan bahwa hukum pada
dasarnya selalu muncul sejak pertama kali masyarakat itu ada, yang ditandai oleh
pembenturan kepentingan-kepentingan. Itu baru pernyataan yang sederhana yaitu bahwa
manusia adalah makhluk yang tidak bisa hidup diluar tatanan. Tetapi, ia tidak
membicarakan kerumitan antara “societas” dan “ius” tersebut. Tidak tergambarkan
bagaimana insentif dan rumit kaitan antara keduanya. Sehingga, tidak bisa dipungkiri
hukum selalu tertinggal dari fakta dalam pergaulan keperdataan. Ketertinggalan hukum
itu juga terjadi dalam ranah hukum acara perdata yang bahkan memunculkan anggapan
bahwa proses beracara di pengadilan dalam menyelesaikan sengketa keperdataan terlalu
panjang.
Hukum Perdata Internasional ialah bidang hukum yang berdiri sendiri, bukan
bagian dari Hukum Keperdataan, Hukum Perdata Internasional tidak sama dengan
Hukum Perselisihan, dan lebih baik dipahami sebagai bagian dari Hukum Perselisihan.
Menurut Dr. Bayu Seto Hardjowahono dalam bukunya, “Dasar-Dasar Hukum Perdata
Internasional” Hukum Perdata Internasional pada dasarnya merupakan bagian dari
hukum nasional suatu negara dan bukan merupakan bagian dari hukum internasional
publik.1 Artinya, Hukum Perdata Internasional merupakan salah satu sub-bidang hukum
dalam sebuah sistem hukum nasional yang bersama-sama dengan sub-sidang hukum
lain, seperti hukum keperdataan, hukum dagang, hukum pidana, dan sebagainya
membentuk suatu sistem hukum nasional yang utuh dan sistem hukum dari sebuah
negara seharusnya dilengkapi dengan suatu sistem HPI nasional yang bersumber pada
sumber-sumber hukum nasional.
Sedangkan menurut Prof. DR. Mr. Sudargo Gautama, Hukum Perdata
Internasional merupakan hukum nasional yang mengatur hubungan-hubungan perdata
yang mempunyai unsur-unsur asing. Artinya, unsur-unsur luar negeri. Jadi Hukum
Perdata Internasional merupakan hukum perdata untuk hubungan-hubungan
internasional, “international relation”. Tetapi sumbernya adalah nasional dan bukan
supra nasional. Berdasarkan pengertian dari kedua ahli tersebut dapat disimpulkan
bahwa Hukum Perdata Internasional merupakan hukum perdata bagian dari hukum
nasional untuk hubungan-hubungan internasional.
Peranan Hukum Perdata Internasional di dasarkan pada kenyataan adanya
koeksistensi dari berbagai sistem hukum di dunia yang sederajat. Setiap pembuat hukum
di suatu negara pada dasarnya membentuk hukum sesuai dengan kebutuhan atau situasi
yang ada di negaranya. Namun, ada kalanya terjadi peristiwa-peritiwa hukum yang
menunjukkan adanya kaitan atau relevansi dengan lebih dari satu sistem hukum negara-
negara. Fungsi Hukum Perdata Internasional hanya sebagai petunjuk dalam menentukan
hukum mana yang harus diperlakukan, Hukum Perdata Internasional tidak memberikan
1
Hardjowohono 2013
pemecahan pada persoalan hukum sampai pada materinya, Hukum Perdata Internasional
hanya menunjukkan pada hakim, hukum mana yang seharusnya dipakai, hukum
manakah yang harus dipergunakan. Persoalan yang dihadapi hakim tidak diselesaikan
dengan kaidah-kaidah Hukum Perdata Internasional tapi diselesaikan menurut kaidah-
kaidah hukum material yang telah ditunjuk oleh kaidah Hukum Perdata Internasional.
Maka, tugas Hukum Perdata Internasional hanya mengenai pertanyaan tentang
hukum mana yang harus diperlakukan. Setelah dipertemukan, maka tugas Hukum
Perdata Internasional telah selesai dan kemudian tugas hakim adalah dengan
menggunakan alat bukti yang ada menyelesaikan persoalan menurut ketentuan-
ketentuan hukum bersangkutan.
Dibandingkan dengan umumnya peristiwa hukum yang dihadapi orang dalam
kehidupan sehari-hari, baik di bidang-bidang hukum perdata, hukum pidana, hukum
administrasi negara, hukum bisnis, maupun bidang-bidang hukum lain, semakin banyak
dijumpai peristiwa-peristiwa hukum. Bahkan jika berbeda dengan contoh-contoh yang
sudah ada, orang dapat pula menghadapi peristiwa-peristiwa hukum yang walaupun
menunjukan ciri yang sama, tetapi menunjukkan sifat-sifat yang khusus.
Latar belakang gugatan indonesia terhadap Australia ialah Indonesia dan empat
negara lain Honduras, Republik Dominika, Ukraina, dan Kuba mengadukan Australia
ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO). Australia
dianggap melanggar kesepakatan umum tentang tarif dan perdagangan (General
Agreement on Tariffs and Trade/GATT), yang mewajibkan semua produk tembakau
yang masuk ke negara itu berkemasan polos. Indonesia sebelumnya telah melakukan
upaya bilateral terhadap Australia terkait kasus ini, namun nyatanya usaha tersebut tidak
berhasil. Direktur Jenderal Kerja Sama Perdagangan Internasional Kementerian
Perdagangan mengatakan bahwa sebagai langkah terakhir yang diambil, Pemerintah
memutuskan untuk mengajukan pengaduan ke WTO.
Indonesia menilai kebijakan Australia itu bertentangan dengan Pasal XXIII
GATT 1994 dan dengan tiga perjanjian WTO lainnya tentang prosedur penyelesaian
sengketa antarnegara, hak paten dalam perdagangan, serta hambatan teknis dalam
perdagangan. Kebijakan kemasan rokok polos bertentangan dengan sejumlah pasal
dalam Kesepakatan Aspek Kekayaan Intelektual yang Terkait Perdagangan (Trade
Related Aspect of Intelectual Property/TRIPs) yang dianut negara anggota WTO. Salah
satunya, pasal 20 Kesepakatan TRIPS yang menyatakan bahwa anggota WTO tidak
diperbolehkan untuk menerapkan persyaratan khusus guna mempersulit penggunaan
merek dagang. Selain itu, kemasan rokok polos juga diduga melanggar Pasal 2.2 dari
Kesepatan Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barrier to Trade/ TBT) yang
berisi, negara anggota WTO berkewajiban untuk memastikan bahwa peraturan teknis
yang diterapkan tidak menghambat perdagangan lebih dari pada yang diperlukan.
Tujuan Indonesia mengadukan masalah ini ke WTO karena dianggap akan
menjadi preseden buruk bagi negara yang lainnya dimana akan mengganggu ekspor
Indonesia. Selandia Baru dan Irlandia sudah mengindikasikan rencananya untuk
mengikuti langkah Australia. Tapi negara-negara penggugat mengimbau agar kebijakan
seperti itu ditunda dulu sampai ada putusan Badan Penyelesaian Sengketa WTO atas
kasus Australia. Pembatasan ekspor produk rokok Indonesia ini akan menyulitkan
industri pengolahan tembakau di dalam negeri. Sebab, pasar sigaret kretek tangan
(SKT) dalam negeri sendiri sedang lesu, sehingga membuat sejumlah pabrik
mengurangi produksi dan memangkas jumlah karyawan. Kondisi ini membuat
Kementerian Perindustrian mendorong produsen rokok untuk mengekspor produksinya.
Pemerintah lndonesia pernah menggugat Amerika Serikat ke Panel Sengketa
WTO karena melarang produksi dan perdagangan rokok kretek di negaranya, tapi
membebaskan rokok mentol yang diproduksi secara domestik. Kebijakan itu dianggap
tidak adil dan membuat ekspor rokok ke AS anjlok. Pada putusan yang diterbitkan 24
Juli 2013, Indonesia dinyatakan memenangi gugatan.
Pengalaman tersebut membuat Indonesia merasa optimis untuk memenangkan
gugatan yang dilayangkan kepada Australia. Bahkan jika gugatan terhadap kebijakan
kemasan rokok polos (plain packaging) yang diterapkan Australia dikalahkan oleh
WTO, Indonesia akan tetap mengajukan banding. Kebijakan rokok polos Australia
diatur berdasarkan Tobacco Plain Packaging (TPP) Act 2011 No. 148 Tahun 2011 dan
mulai berlaku sejak 1 Desember 2012 lalu. Dalam beleid tersebut tercantum persyaratan
tampilan fisik, warna, merek, dan bungkus kemasan eceran produk tembakau. Dalam
hal ini, pabrikan hanya diizinkan mencetak nama merek dengan ukuran, huruf, dan
posisi yang telah ditentukan. Sejak awal 2014, WTO membentuk panel untuk
membahas gugatan negara pelapor terhadap kebijakan kemasan rokok polos Australia
kepada WTO. Alasan dan analisis hukum putusan panel akan menentukan apakah
aturan TPP melanggar atau tidak melanggar aturan WTO.
Sekalipun nantinya Indonesia tidak dapat membuktikan pelanggaran tersebut.
TPP belum tentu konsisten dengan aturan WTO. Dengan demikian, Indonesia bisa
mengajukan banding. Sejumlah media asing sempat memberitakan kekalahan Indonesia
berdasarkan hasil laporan interim panel yang diduga bocor. Kendati demikian, laporan
tersebut bukan merupakan hasil keputusan resmi dan bersifat rahasia. Atas kebocoran
tersebut, dari pihak Indonesia mengaku telah memprotes Sekretariat WTO dan meminta
adanya investigasi. Ketua Gabungan Pengusaha Rokok Putih Indonesia Muhaimin
Moeftie mendukung upaya gugatan Indonesia atas kebijakan rokok polos yang
diterapkan Australia. Menurutnya, kebijakan kemasan rokok polos hanya akan
mencederai hak kekayaan intelektual, melenyapkan fungsi utama dari merek dagang
dan membuat produk tembakau tidak bisa dibedakan satu sama lain. Ketua Asosisasi
Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang Kebijakan Publik Danang Girindrawardana juga
menambahkan, jika kebijakan kemasan polos dibiarkan, kebijakan serupa bisa
diterapkan pada produk lain yang dinilai berisiko terhadap kesehatan seperti alkohol,
makanan cepat saji, dan minuman berpemanis.
Gugatan yang dilakukan oleh Indonesia dan sejumlah negara lainnya seperti
Kuba, Honduras, dan Republik Dominika, terhadap negeri jiran lantaran menerapkan
aturan kemasan netral pada produk tembakau ditolak oleh WTO dan dimenangkan oleh
Australia. Dalam panel World Trade Organization (WTO) tersebut dikatakan bahwa
hukum Australia ditujukan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dengan
mengurangi penggunaan produk tembakau Selain itu, panel tersebut juga menolak
argument yang menyatakan bahwa Australia telah secara tidak sah melanggar merek
dagang tembakau dan melanggar hak kekayaan intelektual.
Pemerintah kini mengkaji opsi pengajuan banding. Direktur perdagangan
internasional di asosiasi produsen rokok Jepang, mengatakan bahwa keputusan tersebut
merupakan langkah mundur dalam melindungi hak atas kekayaan intelektual. Ia
beranggapan jika keputusan ini menciptakan preseden yang berbahaya dan bisa
mendorong negara lain melarang sebuah merek tanpa perlu membuktikan dampaknya
bagi kesehatan publik. Sementara itu pemerintah Honduras menyatakan bakal
mengajukan banding terhadap putusan tersebut. Menurut pemerintah setempat putusan
WTO mengandung kesalahan faktual dan cacat hukum, serta bias. Appellate Body yang
terdiri atas tujuh hakim dan berkedudukan di Swiss bertugas mengkaji ulang putusan
panel WTO. Hal serupa dilakukan seorang pejabat Kementerian Perdagangan Indonesia
yang ingin mengkaji dulu putusan panel WTO. Sebaliknya Australia mengaku siap jika
Indonesia atau Honduras mengajukan banding.
Koalisi Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK) mengkhawatirkan kemenangan
Australia dalam sengketa sengketa perdagangan besar atas undang-undang pengemasan
tembakau polos dapat memicu kampanye serupa di Indonesia. Namun, secara hukum,
kemasan rokok dan kretek di Indonesia sudah memiliki peraturan tersendiri, dan
peraturan tersebut juga selalu mendapat revisi setiap tahunnya. Peraturan yang
dimaksud adalah Peraturan Pemerintah No 109 Tahun 2014 tentang Pengamanan Bahan
Yang Mengandung Zat Adiktif Produk Tembakau Bagi Kesehatan. Menurutnya,
peraturan yang berlaku di Australia tidak mempunyai kekuatan hukum di Indonesia.
Selain itu, kemenangan Australia dalam sengketa tersebut juga tidak akan berdampak
pada penurunan ekspor maupun penurunan produksi rokok domestik, karena Indonesia
tidak banyak mengimpor atau mengekspor rokok ke Autralia.
Konklusinya ialah, pada Juni 2018, Indonesia kembali menelan kekalahan di
WTO dalam kasus kemasan rokok berdesain polos. Indonesia beserta negara produsen
rokok lainnya, Kuba, Honduras, dan Republik Dominika, menggugat kebijakan
kemasan rokok yang diterapkan di Australia tersebut. Australia memang menerapkan
kebijakan itu untuk pengendalian konsumsi rokok di negara mereka. Tapi Indonesia dan
tiga negara penggugat lainnya menilai kebijakan ini melanggar hak atas kekayaan
intelektual dari produsen. Gugatan ditolak oleh WTO dan Australia menang.
Sengketa perdata internasional dapat disebabkan oleh adanya sengketa
kontraktual, yaitu sengketa yang muncul antara para pihak yang terkait dalam perjanjian
atau perikatan, dimana sengketa tersebut terkait dengan hubungan kotraktual, kemudian
sengketa non-kontraktual, yaitu sengketa antar para pihak yang tidak terikat dalam suatu
hubungan kontraktual atau sengketa yang tidak mengenai atau tidak terikat dengan
hubungan kontaktual yang ada; dan conflict of law, yaitu adanya perbedaan yurisdiksi
dan/atau sistem hukum dalam suatu sengketa perdata yang terdapat elemen asing
(foreign element). Selain iu, banyak hal yang harus diperhatikan dalam sengketa perdata
internasional, antara lain yurisdiksi pengadilan ang tepat (pilihan forum penyelesaian
sengketa/choice of forum), hukum yang berlaku mengenai substansi sengketa (pilihan
hukum/choice of law) dan enforcement (pelaksanaan putusan).
DAFTAR PUSTAKA

Hardjowohono, Bayu Seto. 2013. Dasar-Dasar Hukum Perdata Internasional .


n.d. http://www.kemenperin.go.id/artikel/10234/Indonesia-Gugat-Australia-ke-WTO.
n.d. http://industri.bisnis.com/read/20180701/12/811497/sengketa-kemasan-rokok-
kemenangan- australia-di-wto-berdampak-ke-ri.
n.d. https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20171003202650-92-245916/ri-siap-
banding-jika- dikalahkan-wto-soal-rokok-australia.
n.d. https://news.detik.com/dw/d-4091371/australia-menangkan-gugatan-indonesia-di-
wto.

Anda mungkin juga menyukai