Anda di halaman 1dari 6

Nama : Dwiky Adriansyah

NPM : 5118500160
Kelas : 7 Pidana pagi

Sistem Hukum Indonesia

Sistem hukum Indonesia telah mengalami sejumlah perubahan besar, meskipun negeri ini
masih bekerja keras untuk menyelesaikan perubahan perundang-undangan kolonialnya dan
membangun sebuah sistem hukum nasional yang terpadu, yang berdasarkan Pancasila dan
UUD 1945.’

Sebelum Proklamasi Kemerdekaan Agustus 1945, ada dua jenis pengadilan sipil, yaitu
Pengadilan Eropa (Raad van Justitie ) dan Pengadilan Negeri bagi bangsa pribumi
(Landraad). Selain pengadilan-pengadilan tersebut, ada pengadilan Hukum Islam untuk
perkawinan dan perceraian (dan juga warisan) dan perkara-perkara di antara uinat Islam.
Bagi bangsa pribumi, perkara terlebih dahulu dibawa ke kepala desa untuk diputuskan
menurut adat-istiadat setempat. Jika keputusan kepala desa ditentang, maka perkara diajukan
ke Pengadilan Negeri {Landraad) dengan hakim Belanda atau hakim Indonesia yang
berpendidikan Belanda. Perkara diputuskan menurut apa yang dipandang oleh para hakim
sebagai hukum adat. Untuk perkara- perkara ini, Raad van Justitie merupakan Pengadilan
Banding dan pengadilan terakhir. Hukum acara yang diberlakukan di Raad van Justitie
berbeda dengan hukum acara yang berlaku di Landraad.

Perkara di antara orang-orang Eropa (termasuk orang Amerika dan Jepang) di-selesaikan
oleh para hakim Belanda dari Pengadilan Eropa, dengan banding dan kasasi ke Pengadilan
Tinggi {Hooggerechtshof). Bagi pengadilan ”bangsa Eropa”, Peraturan Hukum Acara
Perdata (Reglement op de Rechtsvordering ) 1847 yang diganti 1849 di-berlakukan, yang
hampir sama dengan hukum acara yang berlaku di Belanda saat itu.

Sengketa hukum yang melibatkan orang-orang Eropa atau warga negara keturunan asing
(seperti Cina dan India) sebagai satu pihak dan bangsa pribumi sebagai pihak lain masuk ke
dalam jurisdiksi Pengadilan Negeri dan disidangkan atas dasar aturan-aturan hukum
interpersonal. Perbedaan utama antara hukum acara di kedua pengadilan adalah di Pengadilan
Negeri : (1) tuntutan lisan boleh diajukan; (2) kehadiran pengacara atau pembela tidak
diwajibkan; (3) hakim bekerja secara aktif untuk mencari kebenaran; (4) wanita yang sudah
inenikah diperbolehkan untuk mengajukan tuntutan ke pengadilan atau membela diri atas
suatu tuntutan (berbeda dengan prosedur di Pengadilan Eropa, di mana wanita tidak memiliki
hak seperti itu); serta (5) aturan dan prosedumya lebih sederhana.

Sistem ini didasarkan pada dua pasal utama, yaitu Pasal 131 dan Pasal 163 Peraturan Dasar
Hindia Belanda (Indische Staatsregeling/IS) 1855. Pasal 31 menyatakan: Bagi bangsa Eropa,
hukum perdata dan pidana Belanda diberlakukan, kecuali jika ada keadaan khusus, maka
penyimpangan dari hukum Belanda di-perbolehkan. Hukum yang berlaku bagi bangsa Eropa,
dan hukum lain yang berlaku bagi semua kelompok penduduk tidak berlaku bagi warga
pribumi dan warga timur asing. Selain itu, warga pribumi diatur oleh hukum agama dan adat
mereka, kecuali jika kepentingan umum menuntut penyimpangan dari hukum tersebut. Warga
pribumi dan warga timur asing diperkenankan untuk memilih hukum yang berlaku bagi
bangsa Eropa untuk diberlakukan pada mereka, dan syarat-syarat pemberlakukan itu diatur
oleh UU khusus. Pasal 163 membagi penduduk Indonesia ke dalam tiga kelompok: Bangsa
Eropa, yang meliputi bangsa Belanda, semua orang lainnya yang berasal dari Eropa, Jepang,
dan semua penduduk lain yang hukum keluarganya

didasarkan pada prinsip-prinsip yang sama dengan hukum keluarga Belanda. Yang juga
dianggap sebagai bangsa Eropa adalah keturunan Erasia Eropa yang dilahirkan di Hindia
Belanda. Bangsa pribumi (Indonesia asli), termasuk orang asing yang telah berbaur dengan
masyarakat Indonesia. Bangsa timur asing yang terdiri atas bangsa Cina dan non-Cina, seperti
India dan Arab.

Pada 1917, sebuah peraturan khusus untuk warga Cina diberlakukan, yang menetapkan UU
Perdata dan UU Perniagaan untuk bangsa Eropa berlaku juga bagi warga Cina, kecuali
dalam kaitannya dengan kongsi, yang hanya dikenal di antara para pengusaha Cina. Pada
1924, aturan-aturan UU Perdata yang berkaitan erat dengan harta benda dan hukum
kontrak, serta UU Perniagaan, diberlakukan kepada orang-orang non-Cina (Arab, India, dan
lain-lain).

Salah satu bentuk peraturan yang dikeluarkan setelah Proklamasi Kemerdekaan adalah UU
Penyatuan Jurisdiksi/Kekuasaan Pengadilan, yang nienghapuskan Pengadilan Eropa dan
jurisdiksi atau kekuasaan kepala desa untuk menyelesaikan perkara hukum adat. Menurut
peraturan ini, semua perkara hukum harus diajukan ke Pengadilan Negeri sebagai
pengadilan tingkat pertama. Banding harus diajukan ke Pengadilan Tinggi dan kasasi ke
MA.'0

Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana untuk Pengadilan Negeri, sebagaimana
ditetapkan dalam Peraturan Hindia Belanda yang Diperbaharui 1926 masih berlaku. Hukum
substantif yang diberlakukan oleh pengadilan ini sama dengan hukum yang ditetapkan dalam
Pasal 131 dan Pasal 163 IS 1855, kecuali ada perundang-undangan baru yang dikeluarkan.
Pada beberapa tahun setelah Proklamasi Kemerdekaan, banyak UU nasional baru yang tidak
sesuai dengan perundang-undangan Belanda disahkan, termasuk UU Agraria No. 5/1960, UU
Penanaman Modal Asing (PMA) No. 1/1967, UU Penanaman Modal Dalam Negeri No.
6/1968, UU Perkawinan No. 1/1974, Hukum Acara Pidana No. 8/1981, dan UU Perpajakan
No. 9/1994. Oleh karena alasan itu, maka banyak hukum prosedural dan substantif Indonesia
telah berubah. Hukum Indonesia saat ini tidak sama dengan hukum Belanda.

Sebuah UU PMA yang baru diberlakukan 1967 dan bagian-bagian dari aturan yang
terkandung dalam UU Perdata dan UU Perniagaan 1848 (yang sebelum kemerdekaan hanya
mengatur bangsa Eropa dan warga timur asing) mengenai kontrak, perusahaan, perdagangan,
asuransi, dan perbankan menjadi berlaku bagi warga Indonesia asli yang terlibat dalam
kegiatan bisnis, perbankan, dan asuransi. Pemerintah Indonesia mengusahakan penyatuan
hukum bagi seluruh warga negara Indonesia melalui modernisasi dan kodifikasi hukum.
Pemerintah memberikan prioritas kepada bagian- bagian hukum yang ”kurang sensitif’
(seperti hukum kontrak, perusahaan dan perekonomian pada umumnya). Bidang-bidang
hukum yang ”lebih sensitif’ seperti hukum keluarga dan warisan diberikan lebih banyak
waktu dan kesempatan untuk berkembang l '

Mensitir pendapat Lawrence M. Friedman, Bagir Manan memaparkan hukum tidak hanya
diartikan sebagai rangkaian asas dan kaidah. Hukum dalam menuju Indonesia baru harus
mencakup pula pelaksanaan dan penegakan hukum serta sikap masyarakat terhadap hukum.
Sebagai sebuah sistem, apalagi dalam konteks Indonesia baru hukum akan meliputi isi hukum
(asas dan kaidah hukum), struktur liukuin (pembentuk dan pelaksana hukum), dan budaya
hukum (perspesi masyarakat terhdap hukum). Dari berbagai indikasi di atas, aspirasi
masyarakat terhadap hukum tidak hanya semata-mata dilakukan dengan membangun
kesadaran hukum. Tidak kalah penting sikap aparatur dalam menjalankan fungsi di bidang
pemerintahan atau hukum. Dalam suatu represif, rakyat dapat didorong taat pada hukum.
Dalam hal semacam itu tidak akan efektif, rakyat akan melakukan perlawanan, baik secara
diam-diam (seperti pembangkangan) maupun perlawanan terbuka. Budaya taat pada hukum
bukan sesuatu yang diciptakan, tetapi yang tumbuh atau ditumbuhkan antara lain karena
rakyat merasa memperoleh manfaat dari ketaatan atas hukum. Termasuk taat pada hukum
adalah kemampuan rakyat melakukan perlawanan secara tertib dan teratur atas aturan atau
tindakan hukum yang tidak adil dan sewenang-wenang 2

Bagir Manan mengatakan ditinjau dari sumber sistemnya, hukum- hukum yang ada sekarang
masih beragam corak, yaitu substansi hukum yang bersumber pada hukum yang dimasukkan
oleh Belanda sebagai panjajah (dalam literatur lazim disebut Hukum Barat), substansi hukum
yang bersumber dari agama (seperti hukum Islam), substansi hukum asli rakyat Indonesia
(hukum adat), dan berbagai substansi hukum baru yang lahir setelah merdeka berupa
peraturan perundang-undangan, putusan-putusan hakim, kebiasaan-kebiasaan baru, dan
hukum yang terbentuk akibat hubungan internasional (perjanjian atau persetujuan
internasional). Baik karena perkembangan maupun kebutuhan substansi hukum perundang-
undangan menjadi sumber dan tumpuan utama sistem substansi hukum nasional kini ataupun
di masa datang. Baik perkembangan maupun kebutuhan, substansi hukum perundang-
undangan menjadi sumbu dan tumpuan utama sistem hukum nasional kini ataupun di masa
datang.'"

Berkaitan dengan masalah stuktur hukum di Indonesia belakangan ini, Bagir Manan
mengatakan masalah ini bertalian dengan unsur-unsur pembentuk hukum, pelaksana hukum,
dan penegak hukum. Pelaksana hukum mencakup pemberian pelayanan hukum mulai dari
tingkat pusat sampai daerah. Pemberian pelayanan hukum merupakan bagian dari sistem
birokrasi. Kecuali ketentuan yang melarang pegawai negeri menjadi anggota partai atau
menjadi aktifis partai, praktis belum ada perubahan tatanan birokrasi. UU Pemerintahan
Daerah (UU No. 22/1999 diganti UU No. 32/2004) dan UU Perimbangan Keuangan Pusat
dan Daerah (UU No. 25/1999 diganti UU No. 33/2004) belum menunjukkan suatu
perubahan birokrasi di daerah, kecuali keinginan sebagian DPRD untuk menolak
pertanggungjawaban Bupati, Walikota, Gubernur menuju penggantian yang baru.
Pembubaraii Departeman atau perubahan menjadi ”kementerian negara”, tanpa suatu
perencanaan yang matang merupakan political arbitrary daripada satu administrative reform
menuju administrasi negara yang efisien dan bersih. Suatu pembaharuan birokrasi
(bureaucratic reform, administrative reform) harus menjadi perhatian utama di samping
pembaharu-an politik. Birokrasi yang tidak sehat, bukan saja bertalian dengan efisiensi dan
efektivitas, melainkan menjadi dan tempat korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).

Selama reformasi, baik secara politik maupun pemerintahan belum nampak suatu strategi
atau perencanaan integral mengenai upaya pembaharuan birokrasi. Di bidang penegakan
hukum kita dihadapkan dengan persoalan peradilan, kejaksaan, kepolisian, lembaga-lembaga
penegak hukum dalam lingkungan birokrasi (keimigrasian, pemasyarakatan, bea cukai, dan
perpajakan), dan peran penasihat hukum. Lembaga peradilan mendapat sorotan luar biasa.
Hampir tiada hari tanpa berita keluhan mengenai peradilan. Praktik kelabu dan tidak terpuji
itu terjadi juga pada penegak hukum lainnya. Mulai dari praktik di pinggir jalan sampai
keruang-ruang pemeriksaan atau penahanan.

Harus diakui peradilan merupakan peneiitu akhir penegakan hukum. Peradilan merupakan
instansi terakhir tempat orang menemukan atau tidak menemukan keadilan. Karena itu
pembaharuan peradilan harus diletakkan pada lint terdepan memperbaiki sistem penegakan
hukum. Selama ini, salah satu sorotan umum adalah mengenai independensi peradilan.
Peradilan harus dipisah secara absolut dari Pemerintah (UU No. 35/1999). Peradilan yang
independen merupakan keharusaii dalam setiap negara berdasarkan atas hukum.

Perlu dipahami tanpa mekanisme check and balances, independensi peradilan dapat
melahirkan judicial orbitrary. Hakim menjadi serba bebas tanpa pengawasan. Tidak pula
dapat diterima untuk membuat badan peradilan bertanggung jawab pada suatu badan politik
tertentu. Kalaupun ada, bukan hubungan pertanggungjawaban, tetapi sebagai mekanisme
penindakan secara hukum. Untuk itu dalam suatu lembaga politik dapat dibentuk suatu
judicial commission yang bertugas mengawasi dan mengendalikan secara hukum tingkah
laku hakim. Dapat juga dibentuk suatu independent judical commission yang bertugas
mengawasi dan mengendalikan secara hukum para hakim. Langkah-langkah pembaharuan
harus pula dilakukakan pada penegak hukum yang lain. Perlu ada penataan integral mengenai
fungsi penyelidikan, penyidikan sehingga tidak terjadi tumpang tindih yang akan merugikan
atau mempersulit pencari keadilan.

Menyangkut masalah persepsi masyarakat terhadap hukum (budaya hukum) di Indonesia,


Bagir Manan mengemukakan :
Sikap masyarakat yang kurang hormat atau kurang menjunjung tinggi hukum, dapat terjadi
karena beberapa hal.
a) Adanya kesenjangan antara pengertian hukum yang formal dengan hukum yang hidup
dalam masyarakat. . ..
b) Tersedianya berbagai jalan pintas yang dapat dipakai untuk mencapai tujuan tertentu, ...
c) Susunan masyarakat feodalistik yang membuka kemungkinan ”prevelege” bagi golongan
atau kelompok tertentu untuk mendapatkan berbagai pengecualian di depan hukum.
d) Rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum atau birokrasi
akibat berbagai tingkah laku tidak terpuji. .. .
e) Dalam suasana ”ultra bebas” sekarang, rendahnya apresiasi masyarakat terhadap hukum
juga terjadi karena aparat dihinggapi rasa was-was bahkan takut dari berbagai ancaman
seperti pelanggaran HAM dan sebagainya.' 5

B. Perbandingan unsur-unsur tindak pidana pembunuhan barencana menurut hukum pidana lndonesia
dan Singapura dan malaysia

1. Perbandingan Unsur-unsur Tindak Pidana Pembunuhan Direncanakan Menurut Hukum Pidana


lndonesia.

Pembunuhan barencana adaIah kejahatan mengambil nyawa orang Iain, atau mambunuh, seteIah
merencanakan waktu atau teknik, sepenuhnya bertujuan untuk menjamin tercapainya kematian atau
menjauhi penangkapan. Pembunuhan terencana dalam hukum pada umumnya adalah jenis
pembunuhan yang paling asli, dan pelakunya pantas dihukum mati.

Adapun unsur pembunuhan berencana menurut Pasal 340 KUHP adalah:


1. Barang siapa, adalah subjek hukum di mana subjek yang sah yang dapat dianggap bertanggung
jawab menurut hukum pidana adalah orang pribadi, khususnya orang.
2. Dengan sengaja, Apakah pelakunya mempunyai kemauan dan keyakinan untuk menimbulkan
akibat-akibat tertentu yang telah dikendalikan orang tua dalam hukum dan pedoman yang didorong
oleh pemuasan keinginan (theme).
3. Dengan adanya rencana sebelumnya, mengandung pengertian bahwa ada penundaan antara
penataan dan kegiatan yang memungkinkan penataan tertib terlebih dahulu dan kemudian diikuti oleh
kegiatan.

2. Perbandingan Unsur Tindak Pidana Pambunuhan Marencanakan Menurut Hukum Pidana Singapur.
Tindak pidana pambunuhan barencana harus memanuhi unsur sebagai berkut:
1. Ada niatan atau kemauan
2. Sudah muIai meIakukan tindak pidana (sebagai awaI peIaksanaan)
3. Tindakan yang dimaksud teIah seIesai
4. Hasil atau tujuan yang dapat menyebabkan kematian.

Hukum pidana Singapura adaIah kerangka pidana Early EngIish Sexon, yang merupakan sistem
hukum pidana yang dimulai di negara-negara Saxon Inggris Awal, terutama AS dan Unified Realm.
Mengingat sistem ini merupakan bangsa alternatif, baik itu Asia, Australia, Afrika, dan Amerika yang
rangkaian pertemuannya mengalami ekspansionisme dari negara-negara Saxon Inggris Awal yang
hingga saat ini masih berpegang teguh dan menerapkan struktur hukum pidana Saxon Inggris.

B. Perbandingan Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Direncanakan oleh Negara
Indonesia dan Singapura.

1. Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pembunuhan Berencana di Indonesia.

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang sah berdasarkan Pancasila dan UUD 1945
yang benar-benar menjaga kebebasan bersama dan menjamin penduduk dan situasi mereka dalam
hukum dan pemerintahan apa pun yang terjadi. Untuk menjamin ketaatan dan konsistensi terhadap
hukum, itu adalah milik setiap penduduk Indonesia. Pelanggaran demonstrasi kriminal adalah salah
satu jenis "perilaku kemerosotan" yang secara konsisten bawaan di arena publik, tidak ada masyarakat
umum yang dibebaskan dari perbuatan salah. Sejauh kesalahan dan disiplin. Hakim adalah polisi yang
memutuskan jenis dan ukuran disiplin. Penjahat dipaksa pada pelaku demonstrasi kriminal sesuai
dengan apa yang ada dalam undang-undang. cara berpikir melalui dan melalui kebebasan. Cesare
Baccria, seorang tokoh gaya lama yang dibawa ke dunia di Italia, Walk 15, 1738 dengan karyanya
yang sangat terkenal, khususnya Dei Deliti e delle pene (1764), pertama kali didistribusikan di Inggris
pada tahun 1967 dengan judul Tentang Pelanggaran dan Disiplin telah membuat komitmen yang
signifikan terhadap gagasan utama dalam perubahan keadilan pidana dengan prinsip "penjahat harus
sesuai dengan kesalahan".

2. Sanksi Pidana Terhadap Pelanggaran Pembunuhan Berencana di Singapur.


Yang dimaksud dengan hukum pidana menurut KUHP Singapura adalah "sumber daya yang memuat
pedoman tentang permintaan dan komitmen dalam kegiatan publik, dan juga dapat ditolak bagi orang-
orang yang menentangnya". Makna: “Sekumpulan pedoman yang berisi pedoman tentang komitmen
dan larangan dalam aktivitas publik, dan dapat ditolak bagi individu yang melanggarnya. Jenis
pelanggaran yang esensial ditandai sebagai pelanggaran yang berbeda dan memberikan hukuman
yang berat. Pelanggarnya biasanya tergantung pada dukungan pidana yang paling asli yang dapat
dipaksakan, mengingat realitas kasus saat ini. Pada Dengan pernyataan yang dibuat oleh pengacara
pelaku kesalahan kepada otoritas dakwaan, penyelidik dapat menyetujui untuk menuduh pelaku
kesalahan dari pelanggaran yang lebih ringan. dia setuju untuk mengakui tuduhan itu, hukuman yang
dipaksakan dapat dikurangi. Sanksi pidana pmaunuhan barencana manurut KUHP Singapur adaIah:
Sebaegai aturan, pangaturan sahubungan dengan pambunuhan barencana depat ditamukan daIam
pangaturan KUHP Singapur, khususnya di Bagian XVl Ragion 3OO(c), khusunya PeIanggaran yang
Mampengaruhi badan Manusia.

C. Aturan mengenai pembunuhan berencana di Malaysia Di Malaysia, ada 3 jenis hukuman atas
pelanggaran pembunuhan berdasarkan jenis pembunuhan yang dilakukan. The Penal Code (Kanun
Keseksaan) --Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Malaysia telah mengatur tiga jenis
pelanggaran pembunuhan atau tindakan yang menyebabkan kematian orang lain, meliputi:
1. Pembunuhan berencana
2. Bersalah melakukan pembunuhan, tapi tak seberat pembunuhan berencana
3. Menyebabkan kematian orang lain karena kelalaian Pasal 302 Penal Code Malaysia menyebutkan
bahwa siapapun yang melakukan tindakan pembunuhan berencana akan dikenai hukuman mati.
Hukuman mati di Malaysia adalah berupa hukuman gantung. Berdasarkan Pasal 300 Penal Code,
seseorang dinyatakan melakukan pembunuhan berencana dengan salah satu kondisi berikut:
(a) Apabila tindakan yang menyebabkan kematian itu dilakukan dengan tujuan menyebabkan
kematian;
(b) Apabila dilakukan dengan tujuan menimbulkan cedera yang ia tahu dapat menyebabkan kematian;
(C) Apabila dilakukan dengan tujuan menimbulkan cedera, dan cedera yang ditimbulkan itu secara
alami cukup untuk menyebabkan kematian; atau
(D) Apabila orang yang melakukan perbuatan tersebut tahu bahwa tindakannya sangat berbahaya
sehingga memiliki kemungkinan untuk menyebabkan kematian atau cedera yang mungkin
menyebabkan kematian, dan melakukan tindakan tersebut tanpa alasan apa pun untuk menimbulkan
risiko yang menyebabkan kematian atau cedera seperti yang disebutkan di atas.

Anda mungkin juga menyukai