Anda di halaman 1dari 4

HUKUM PERDAGANGAN INTERNASIONAL

DISUSUN OLEH:

NURAINI LUSIANA MANALU

B1A121420

KELAS I

DOSEN PENGAMPU:

DONY YUSRA PEBRIANTO, S.H., M.H.

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JAMBI

2023
Uraian kasus

Salah satu kasus yang terjadi antar anggota WTO yaitu kasus antara Korea Selatan dan
Indonesia, dimana Korsel menuduh Indonesia melakukan dumping Woodfree Copy Paper ke
Korsel sehingga Indonesia mengalami kerugian yang cukup besar.

Pada mulanya harga produk kertas Korsel tinggi dan juga produsen kertas Korsel tidak dapat
memenuhi beberapa permintaan pasar. Pada saat itulah masuk produk kertas Indonesia
dengan harga yang lebih murah (termasuk jika dibandingkan dengan harga di pasar
Indonesia) dan juga dengan produk yang memiliki fungsi/nilai substitusi atas produk kertas
yang tidak dapat dipenuhi produsen kertas Korsel, hal ini disebut juga dengan "Like
Product". Karena hal inilah maka produk kertas Indonesia lebih banyak diminati oleh pasar di
Korsel, sedangkan kertas produk Korsel sendiri menurun penjualannya. Itulah mengapa
Korsel menetapkan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) terhadap produk kertas yang masuk
dari Indonesia, untuk melindungi produk dalam negeri nya.

Produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong
dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing, printing, or other graphic
purpose serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper.

Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti- dumping
terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30
September 2002. Dan pada 9 Mei 2003, KTC mengenai Bea Masuk Anti Dumping
Sementara (BMADS) dengan besaran untuk PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk sebesar
51,61%, PT Pindo Deli 11,65%, PT Indah Kiat 0,52%, April Pine dan lainnya sebesar 2,80%.
Namun, pada 7 November 2003 KTC menurunkan BMAD terhadap produk kertas Indonesia
ke Korsel dengan ketentuan PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, PT Pindo Deli dan PT Indah
Kiat diturunkan sebesar 8,22% dan untuk April Pine dan lainnya 2,80%,

Dan akibat adanya tuduhan dumping itu ekspor produk itu mengalami kerugian. Ekspor
Woodfree Copy Paper Indonesia ke Korsel yang pada tahun 2002 mencapai 102 juta dolar
AS, turun menjadi 67 juta dolar pada tahun 2003. Dan Indonesia mengadukan masalah ini ke
WTO tanggal 4 Juni 2004 dan meminta diadakan konsultasi bilateral, namun konsultasi yang
dilakukan pada 7 Juli 2004 gagal mencapai kesepakatan.

Aspek hukum yang di langgar (prinsip – prinsip GATT)

Kasus ini termaksud kedalam pelanggaran terhadap Prinsip most-favoured-nation. Yang


dilakukan korea selatan karena produk kertas dari indonesia lebih laris yang membuat
produk korea menjadi tidak terlalu dilirik oleh warga negaranya sendiri.

Prinsip ‘most-favoured-nation (MFN) ini termuat dalam pasal I GATT.


Prinsip ini menisyaratkan agar kebijakan perdagangan dilaksanakan secara tidak
diskriminatif. Dalam artian setiap negara anggota harus dan wajib untuk memperlakukan
semua produk dari negara lain sama dengan cara ia memperlakukan produk dari negaranya
sendiri, serta dengan ekspor serta biaya yang terkait dengan biaya lainnya sama tanpa
menbeda-bedakan.

Dalam kasus ini korea selatan telah melakukan pelanggaran dumping kepada indonesia yang
dimana korea selatan telah melanggar ketentuan dalam pasal III GATT yang berisi larangan
pengenaan pajak dan upaya-upaya lainnya yang diskriminatif terhadap produk-produk impor
dengan tujuan untuk melindungi produksi dalam negeri. Pengertian upaya- upaya lainnya
disini adalah segala upaya, apa itu pungutan di dalam negeri atau penerbitan Undang-undang,
peraturan atau persyaratan-persyaratan mempengaruhi penjualan, penawaran pembelian,
pengangkutan, distribusi atau penggunaan produk. Dengan kesimpulan bahwa produk
indonesia mendapatkan diskriminatif harga yang dilakukan oleh korea selatan. “Ekspor
Woodfree Copy Paper Indonesia ke Korsel yang pada tahun 2002 mencapai 102 juta dolar
AS, turun menjadi 67 juta dolar pada tahun 2003.”

Proses penyelesaian

Indonesia meminta bantuan dari Dispute Settlement Body (DPA) WTO dan melalui badan
tersebut meminta peninjauan kebijakan antidumping Korea yang tidak sesuai dengan
beberapa klausul dalam pasal-pasal perjanjian, seperti Pasal 6.8, yang paling besar diabaikan,
dan lain-lain, dan Indonesia juga meminta Panel Rules on Dispute Settlement and Procedures
(DSU) Article 19.1 untuk meminta Korea mematuhi General Agreement on Tariffs and Trade
(GATT) dan mencabut keberatannya. Pada tanggal 7 November 2003, Menteri Keuangan dan
Perekonomian mengeluarkan kebijakan anti dumping terhadap impor kertas. Aspek hukum
disini adalah pelanggaran terhadap pasal-pasal perjanjian WTO, khususnya dalam hal
perjanjian perdagangan dan penetapan kepabeanan, sebagaimana tertuang dalam perjanjian
GATT. Sifat hukum dari hal ini juga tercermin dalam penanggulangan pemerintah Indonesia,
karena Korea dikatakan telah bertindak "curang" dengan tidak melaksanakan keputusan panel
tersebut. Padahal sebelumnya DSB memenangkan kasus dumping kertas Indonesia, dimana
pembalasan diperbolehkan di WTO. Sekretaris Direktur Jenderal Kerjasama Perdagangan
Internasional

Kementerian Perdagangan menyatakan dalam keputusan panel DSB November 2005 bahwa
Korea Selatan harus menghitung ulang atau menghitung kembali margin dumping untuk
produk kertas yang berasal dari Indonesia. Oleh karena itu, Korea Selatan akan tersedia
maksimal delapan bulan setelah keputusan tersebut dikeluarkan. atau berakhir pada Juli 2006.
Panel DSB menemukan bahwa Korea Selatan melakukan kesalahan dalam mencoba
membuktikan adanya dumping kertas yang berasal dari Indonesia. Tuduhan dumping kertas
melanggar aturan anti-dumping WTO. Korea harus menghitung kembali margin dumping
berdasarkan temuan panel agar ekspor kertas Indonesia ke Korea Selatan di bawah 2 persen
atau bea masuk anti dumping tidak dikenakan. Panel Permanen merupakan organ tertinggi
WTO, bahkan jika Korea Selatan tidak mematuhi keputusan Panel Permanen, Indonesia
dapat membalas, yaitu upaya untuk membalas kerugian yang diderita. Sebagai balasannya,
Indonesia dapat memungut bea masuk atas produk tertentu yang berasal dari Korea Selatan
dengan nilai kerugian yang sama selama pengenaan bea masuk anti dumping (BMAD).
Korea Trade Commission, lembaga antidumping Korea Selatan, mengenakan BMAD sebesar
2,8% hingga 8,22% pada dan untuk empat perusahaan kertas tersebut di atas, yaitu PT Tjiwi
Kimia Paper Factory, PT Pindo Deli Pulp & Paper Mills, PT Indah Kiat Pulp Paper . dan PT
April Fine sejak 7 November 2003. Dalam tuduhan dumping, KTC menemukan margin
dumping kertas asal Indonesia sebesar 47,7 persen. Produk kertas di bawah BMAD termasuk
mesin fotokopi standar dan kertas cetak bebas kayu siap pakai.

Dalam hal ini, Indonesia memulai proses dengan Korea Selatan, dan pada tanggal 26 Oktober
2006, Indonesia juga mengirimkan surat permintaan negosiasi. Selain itu, sidang digelar pada
15 November 2006, namun gagal. Korea belum menghitung dan sedang rapat. Korea
berhenti. Tindakan Korea Selatan tersebut sangat merugikan industri kertas Indonesia. Ekspor
kertas ke Korea Selatan turun 50 persen dari $120 juta. Kerugian ini berkepanjangan karena
panel juga bertahan cukup lama, paling cepat tiga bulan dan paling lama enam bulan.

Keputusan

Kasus dumping antara Korea dan Indonesia akhirnya dimenangkan oleh Indonesia.
Menghadapi kasus dumping yang tertunda, Indonesia kini harus bersiap dengan
memperkenalkan Undang-Undang Anti Dumping (DLA) untuk melindungi industri dalam
negeri dari kerugian akibat kenaikan barang impor. Selain itu, perlu diberikan bea masuk anti
dumping sementara (BMADS) terkait dengan prosedur penyelidikan praktik dumping (ekspor
dengan harga lebih rendah dari harga domestik) yang diajukan oleh industri dalam negeri.

Pemerintah harus membentuk Komite Anti Dumping Indonesia (KADI), lembaga yang
bertugas melakukan penyelidikan, pengumpulan bukti, pemeriksaan dan pengolahan bukti
dan informasi barang impor, impor bersubsidi, dan lonjakan impor.

Anda mungkin juga menyukai