Kelompok 6
Indonesia sebagai anggota resmi WTO (World Trade Organization) berhak mengadakan
kerjasama dan perjanjian Perdagangan Internasional dengan negara-negara anggota lainnya
yakni Amerika Serikat, Jepang, dan China.
Berdasarkan UU No.7/1994 tersebut Indonesia berhak mengambil manfaat sebesar –
besarnya perekonomian global untuk berbagai tujuan meningkatkan kualitas hidup bangsa
dan kekuatan negara.
Sebagai penandatangan Persetujuan WTO, Indonesia memiliki hak internasional untuk
memanfaatkan sumberdaya luar negeri atas keterbukaan ekonomi pasar multilateral. Hak
internasional terkait keterbukaan akses pasar multilateral tersebut mencakup tiga jenis.
Pertama adalah hak untuk mengisi pasar negara penanda tangan WTO atas produk barang
dan jasa buatan Indonesia. Kedua adalah hak untuk memanfaatkan sumberdaya negara
penandatangan WTO sebagai sumber kebutuhan impor. Ketiga adalah hak untuk
memanfaatkan akses pasar untuk keperluan investasi baik investasi di dalam negeri maupun
di luar negeri.
Persetujuan WTO menjamin hak internasional Indonesia untuk membuat kebijakan dan
perundangan demi melindungi bangsa dari ekses negatif kerjasama perdagangan dunia. Hak
untuk membuat kebijakan perlindungan perdagangan ini merupakan substansi dari UU No.
7/1994. Kebijakan perdagangan dengan tujuan untuk melindungi bangsa terdiri dari
kebijakan tarif dan non-tarif.
Subjek Hukum :
Objek Hukum
Terbitnya kebijakan pemerintah Indonesia melarang ekspor nikel dalam bentuk bahan mentah
(Raw Material) sejak tahun 2020.
Keputusan pelarangan ekspor tertuang lewat Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 11
Tahun 2019 Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral
Nomor 25 Tahun 2018 Tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Hal ini dilakukan karena menipisnya jumlah nikel di alam, membuat pemerintah mengambil
langkah hilirisasi dan industrialisasi bahan-bahan mentah Sumber Daya Alam yang dimiliki.
Untuk itu, pemerintah memutuskan untuk menghentikan ekspor biji nikel per 2020.
Kronologi Sengketa
Kronologi gugatan Uni Eropa bermula dari keberatan negara-negara Eropa atas larangan
ekspor nikel mentah atau bijih nikel yang berlaku per 1 Januari 2020, meski kemudian
pemerintah melakukan relaksasi. Ini tertuang dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM
nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25
Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batubara. Uni Eropa menolak
dengan kebijakan larangan ekspor biji nikel. Kebijakan pembatasan impor biji mentah nikel
ini dinilai tidak adil dan berimbas negatif pada industri baja Eropa karena terbatasnya akses
terhadap bijih nikel dan juga bijih mineral lainnya seperti bijih besi dan kromium.
Sebagai informasi, Indonesia saat ini tercatat sebagai eksportir nikel terbesar kedua untuk
industri baja negara-negara Uni Eropa. Itu sebabnya, banyak industri logam di Eropa sangat
bergantung pada bahan mentah dari Indonesia.
Gugatan Uni Eropa ini berawal dari terbitnya kebijakan pemerintah melarang ekspor nikel
dalam bentuk bahan mentah (raw material) sejak 2020. Kebijakan itu dianggap melanggar
Artikel XI GATT tentang komitmen untuk tidak menghambat perdagangan.
Pemerintah pun memutuskan untuk melawan gugatan Uni Eropa atas sengketa DS 592-
Measures Relating to Raw Materials tersebut. Namun, dalam upaya melawan Uni Eropa,
pemerintah perlu memperkuat dan melengkapi argumen yang akan dibawa ke WTO.
LPEM UI berpendapat, ada 4 alasan sebagai argumen yang setidaknya dapat disiapkan
pemerintah yaitu :
Alasan pertama
Salah satunya yakni masih cukup besarnya pasokan bijih nikel dari negara-negara di
dunia, selain Indonesia. Data Nickel Institute di 2021 menunjukkan ada 10 negara
yang menguasai 77 persen sumber daya nikel di dunia. Indonesia sendiri porsinya
memiliki sumber daya nikel mencapai 11 persen. Tetapi negara lain juga cukup
memiliki sumber daya nikel yang besar, seperti Australia mencapai 15 persen, Afrika
Selatan 11 persen, Rusia 8 persen, Kanada 7 persen, Filipina 6 persen, Brazil 6
persen, Kuba 5 persen, Kaledonia Baru 5 persen, dan China 2 persen. "Indonesia
dapat menunjukkan bahwa larangan ekspor bijih nikelnya tidak sepenuhnya
mengguncang pasokan bijih nikel dunia, karena masih cukupnya pasokan dari negara-
negara lain," tulis riset tersebut.
Alasan kedua
Indonesia tidak melarang ekspor nikel yang telah diolah dan dimurnikan, sehingga
produsen barang berbasis nikel dunia tidak akan kehilangan bahan baku, melainkan
hanya mengurangi satu rantai produksinya saja. "Pabrik pengolahan nikel di Uni
Eropa maupun di negara-negara industri lain tidak akan sepenuhnya terhenti akan
tetapi hanya mengurangi satu tahapan produksinya saja.
Alasan ketiga
Alasan keempat
Pemerintah Indonesia perlu memikirkan lebih lanjut agar rantai nilai domestik tidak
hanya berhenti pada produk dari smelting, tetapi produk turunan lanjutan lainnya.
Untuk itu perlu dipelajari insentif apa saja yang diperlukan untuk menarik investasi
pada industri pengolahan nikel yeng lebih hilir.
Larangan ekspor nikel mentah atau bijih nikel yang berlaku per 1 Januari 2020, tertuang
dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM nomor 11 tahun 2019 tentang Perubahan Kedua
Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan
Mineral dan Batubara.
Pertahanan bahwa kebijakan pengelolaan sumber daya mineral yang ditetapkan dalam
legislasi dan peraturan perundang-undangan yang ada bertujuan untuk menjaga
keberlanjutan sumber daya alam mineral (sustainability). Selain itu,juga dapat mendorong
partisipasi Indonesia dalam rantai nilai global yang akan mendukung perekonomian
nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada prinsipnya, Pemerintah
berkeyakinan kebijakan yang dilakukan tersebut telah sesuai dengan komitmen ataupun
prinsip-prinsip di tingkat internasional. Bahwa perusahaan tambang wajib mengolahnya di
dalam negeri dengan mendirikan pabrik pengolahan dan pemurnian atau smelter. Kewajiban
pembangunan smelter itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 atau UU
Minerba pasal 102 ayat 1.
Terhadap produk bersubsidi dalam kegiatan ekspor dan impor, negara yang dirugikan
dapat menempuh setidaknya dua tindakan, sebutkan dan jelaskan
Penyelesaian sengketa dengan litigasi diawali dengan pengajuan gugatan kepada pengadilan
negeri dan diakhiri dengan putusan hakim.
Adapun penyelesaian non litigasi ada dua macam, yakni Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa sesuai dengan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa (UU AAPS). Arbitrase menurut Undang-Undang nomor 30
tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, pada pasal 1, Arbitrase
adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dari sepi waktu permilihan penyelesalannya, arbitrase dibagi menjadi 2 (dua), yaitu:
arbitration clause dan submission agreement. Yang disebut pertama adalah arbitrase yang
sudah disertakan di dalam kontrak para pihak, sedangkan yang disebut belakangan
merupakan tindakan yang ditempuh para pihak untuk menyerahkan penyelesaian sengketa
pada arbitrase. Sebelum klausula arbitrase bisa dipakai, terdapat beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi terlebih dahulu, yaitu:
Pemerintah terus berupaya membela kebijakan larangan ekspor bijih nikel yang digugat Uni
Eropa ke Dispute Settlement Body (DSB) World Trade Organization (WTO).
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengatakan, pemerintah
memiliki 5 langkah utama terkait penanganan gugatan tersebut.
Kedua, Pemerintah Indonesia menunjuk Lawfirm Baker McKenzie di Jenewa dan Joseph
Wira Koesnaidi (JWK) di Jakarta untuk mewakili Pemerintah Indonesia dalam menghadiri
sidang DSB WTO dan menyusun tanggapan atas gugatan Uni Eropa.
Kelima, pemerintah juga sedang menyiapkan tim tenaga ahli untuk mendukung dan
menyampaikan pembelaan di sidang.
Atas hal diatas yang ditempuh oleh Indonesia maka Pemerintah Indonesia harus menerima
sanksi dari WTO terkait Artikel XI GATT tentang komitmen untuk tidak menghambat
perdagangan.
Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi
aturanaturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah
ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar
negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan
perdagangannya. Dengan liberalisasi perdagangan yang digulikan melalui aturan WTO mau
tidak mau mendorong anggotanya termasuk Indonesia untuk mengikuti aturan WTO. Hal ini
sesuai dengan prinsip facta sunt servanda yang mensyaratkan bahwa kesepakatan atau
kontrak yang telah ditandatangani harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya (dengan itikad
baik). Konsekuensi lainnya adalah bahwa Indonesia harus melakukan harmonisasi peraturan
perundang-undangan nasional dengan ketentuan hasil kesepakatan WTO. Artinya, dalam
melakukan harmonisasi, Indonesia harus tetap memikirkan kepentingan nasional namun tidak
melanggar rambu-rambu ketentuan WTO.