Anda di halaman 1dari 4

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (MKE) merespons Putaran ke-15

Perundingan I-EU CEPA di Yogyakarta

“Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ekonomi (MKE) bersama Koalisi Masyarakat
Sipil di Yogyakarta Menolak I-EU CEPA”

Saat ini (10-14 Juli 2023), Pemerintah Indonesia dan Komisi Uni Eropa sedang merundingkan
Perjanjian Kemitraan Komprehensif Indonesia-Uni Eropa (Indonesia-EU CEPA) putaran ke-15
di Yogyakarta. Berkaitan dengan hal tersebut, kami, masyarakat sipil Indonesia mendesak
Komisi Eropa dan Pemerintah Indonesia untuk menghentikan perundingan Indonesia-EU CEPA
karena dalam bentuknya yang sekarang ini mengancam perlindungan hak asasi manusia,
keadilan sosial, dan lingkungan hidup yang berkelanjutan, khususnya bagi masyarakat Indonesia.

Kami menyuarakan keprihatinan kami bahwa perjanjian yang diusulkan dapat menyebabkan
perubahan peraturan dalam negeri untuk semata-mata melindungi investor, yang mengakibatkan
pembangunan sosial-ekonomi yang tidak merata di dalam dan antar negara, dan karenanya bukan
merupakan jalan atau langkah menuju pembangunan berkelanjutan.

Di bawah ini adalah tiga alasan utama mengapa CEPA Indonesia-UE harus dihentikan sampai
masalah mendasar ini diatasi:

1. Tidak Ada Jaminan bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) akan Dilindungi.

● Pengabaian Hak Demokrasi:

Koalisi menyayangkan perundingan yang dilangsungkan secara tertutup dan tidak transparan.
Sejak dirundingkan tahun 2016, tidak ada keterlibatan kelompok masyarakat sipil dalam
perundingan. Hanya sangat sedikit informasi yang tersedia, dari rangkuman diskusi selama
perundingan. Padahal ini akan berdampak luas, mengikat negara, dan seluruh masyarakat
Indonesia. Bagaimana masyarakat dan (DPR) akan menganalisa, meneliti dampak jika proses
perundingan tidak terbuka?

Komisi Eropa mentoleransi kemerosotan HAM dan perlindungan tenaga kerja di Indonesia jika
memungkinkan Indonesia untuk mengunci Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Cipta Kerja dan pengaturan dan tindakan fasilitasi perdagangan dan investasi ke dalam CEPA.
Pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Cipta Kerja merupakan
pelanggaran hak demokrasi seluruh penduduk Indonesia dan pelanggaran konstitusi oleh
Pemerintah Indonesia, sebagaimana dinyatakan oleh Putusan Pengadilan No.
91/PUU-XVIII/2020. Peraturan ini juga memfasilitasi akses investor dan ekstraksi sumber daya
alam dan eksploitasi tenaga kerja dan pasar dalam skala yang lebih besar, tanpa menjamin
perlindungan HAM, lingkungan, atau komitmen terhadap keadilan ekonomi.

● Memprioritaskan Perlindun ini gan Hak Perusahaan dan investor di atas Hak
Rakyat:
Tujuan penting CEPA Indonesia-UE adalah liberalisasi dan perlindungan kepentingan investasi.
Hal ini terlihat pada beberapa pengaturan dalam perjanjian ini.

Bab perdagangan digital dalam CEPA Indonesia-UE, perusahaan teknologi besar


dimungkinkan untuk memonopoli data dan mensyaratkan penghapusan semua hambatan
pergerakan data lintas batas negara melalui ketentuan aliran bebas data lintas batas dan
minimnya transparansi kode sumber (source code) bagi pengguna aplikasi digital. Ketiadaan
regulasi tentang pengumpulan, pemanfaatan, dan penyimpanan data yang dijajaki oleh korporasi
menggerus pemanfaatan data yang seharusnya menjadi kedaulatan rakyat saat ini. Masyarakat
sekarang tidak hanya menjadi sumber ekstraksi data (penambangan data), tetapi juga target pasar
untuk perusahaan teknologi besar. Perlindungan monopoli data dalam CEPA Indonesia-UE
kepada aktor-aktor teknologi besar (Big Tech) UE hanya akan mengakibatkan penjajahan data di
Indonesia.

Bab Hak Kekayaan Intelektual (HKI): proposal Uni Eropa mencerminkan kepentingan UE
dalam memberikan perlindungan bagi monopoli perusahaan di sektor kesehatan dan pertanian.
CEPA Indonesia-UE akan mencakup ketentuan TRIPS (Aspek-Aspek Dagang yang Terkait
dengan Hak atas Kekayaan Intelektual) Plus seperti larangan impor paralel, perpanjangan masa
perlindungan paten, serta eksklusivitas data dan pasar bahkan untuk penggunaan baru bagi obat-
obatan lama atau obat yang sama untuk anak, yang selanjutnya akan membatasi akses
masyarakat Indonesia terhadap obat-obatan dan teknologi kesehatan yang terjangkau. Selain itu,
desakan UE untuk mengadopsi ketentuan Konvensi UPOV 91 (konvensi tentang perlindungan
varietas tanaman yang disusun oleh beberapa negara Eropa) dalam perjanjian ini akan
menghilangkan hak dan kedaulatan petani atas benih. Sementara, masuknya benih impor akan
mengancam keanekaragaman hayati ekosistem Indonesia.

Dalam Bab Investasi, UE mengusulkan untuk membentuk mekanisme penyelesaian sengketa


investasi yang dikenal sebagai Sistem Pengadilan Investasi (ICS). Mekanisme ini masih
menganut konsep yang sama dengan mekanisme penyelesaian sengketa antara negara dan
investor (investor state dispute settlement). Mekanisme ini hanya akan memberikan hak kepada
investor untuk menggugat negara, dalam hal ini Indonesia, ketika kebijakan nasional dianggap
merugikan kepentingan investor. Penghargaan kompensasi yang dihasilkan di bawah mekanisme
ini dapat menimbulkan beban keuangan yang sangat besar pada pemerintah negara tuan rumah
investor asing dan dapat menciptakan apa yang disebut sebagai efek menakuti dan menyandera
kepentingan publik.

2. Tidak Adanya Keadilan Sosial.

CEPA Indonesia-UE akan mengatur tidak hanya ekspor dan impor, tetapi juga semua aspek
kehidupan sosial, termasuk perempuan, pekerja, petani, nelayan, dan masyarakat adat.
Liberalisasi sektor publik dan vital CEPA Indonesia-UE akan mempengaruhi akses masyarakat
terhadap layanan publik yang terjangkau. Privatisasi sektor perawatan kesehatan, pendidikan, air,
dan listrik akan menyebabkan diskriminasi dalam masyarakat dan meningkatkan biaya yang
hanya dapat diakses oleh orang kaya.

Ketiadaan mekanisme analisis dampak (ekonomi, sosial, dan budaya) yang komprehensif yang
melibatkan partisipasi publik yang berarti memperburuk hilangnya hak atas keadilan sosial di
Indonesia. Selama ini, pemerintah Indonesia hanya melakukan analisis biaya-manfaat ekonomi
dari perspektif bisnis. Di sisi lain, pembahasan tentang dampak sosial dan HAM yang dihadapi
masyarakat Indonesia, termasuk dampak perjanjian perdagangan internasional terhadap
lingkungan luput dari perhatian para pembuat kebijakan.

DPR RI gagal melakukan analisis dampak dalam menyetujui pengesahan perjanjian perdagangan
internasional di Indonesia, sebagaimana disyaratkan oleh Undang-Undang Dasar. DPR RI
diamanatkan oleh Pasal 11 (2) UUD 1945 dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 13/PUU-
XVI/2018 untuk melakukan kajian dampak pendahuluan terhadap setiap perjanjian internasional
yang berpotensi untuk berdampak luas dan merugikan. Selain itu, DPR RI seringkali hanya
terlibat setelah perjanjian ditandatangani dan peran mereka dikurangi untuk ‘stempel’ ratifikasi
suatu perjanjian.

3. Pengabaian Hak atas Kelestarian Lingkungan Hidup.

UE dan Indonesia mengklaim CEPA akan mempercepat agenda transisi ekonomi hijau,
khususnya transisi energi. Namun, komitmen untuk melindungi hak atas kelestarian lingkungan
tidak tercermin dalam CEPA Indonesia-UE. Hal ini disebabkan pengaturan liberalisasi
perdagangan dan investasi untuk memastikan akses dan rantai pasok bahan mentah kritis di
bawah CEPA Indonesia-UE hanya akan mendorong perluasan ekonomi ekstraktif, khususnya di
Indonesia, dan memperburuk krisis iklim global.

CEPA Indonesia-UE akan mencakup ketentuan yang memfasilitasi kepentingan strategis UE


untuk mengakses bahan baku penting di Indonesia. UE akan memerangi peraturan perdagangan
yang dianggap “tidak adil” menurut versinya terutama berkaitan dengan mineral penting, seperti
pelarangan pembatasan ekspor. Selain itu, bab energi dan bahan baku akan mengatur non
diskriminasi dalam perdagangan dan investasi, termasuk penghapusan bea masuk, bea keluar,
dan ekspor bahan baku penting. Bab ini berpotensi menghambat upaya Indonesia memperkuat
ruang kebijakan untuk mendukung hilirisasi industrialisasi.

Realisasi hilirisasi industri berbasis sumber daya alam Indonesia memerlukan perluasan industri
pertambangan dan pengolahan, serta pembangunan infrastruktur skala besar yang berpotensi
merusak lingkungan ataupun konflik agraria. Mengenai potensi dampaknya, bab Trade and
Sustainable Development (TSD) CEPA Indonesia-UE tidak memadai dan tidak efektif dalam
mengatasi isu krisis iklim dan degradasi lingkungan. Sebaliknya, hal tersebut berpotensi untuk
menjadi alat pencucian hijau (green washing) bagi perusahaan dan investor untuk memajukan
proyek iklim yang menghilangkan ruang hidup dan memperburuk lingkungan bagi masyarakat
yang terkena dampak. Perempuan, masyarakat adat dan masyarakat pedesaan, pekerja, petani,
dan nelayan akan kehilangan mata pencaharian karena arus investasi dan monopoli korporasi.

Mempertimbangkan poin-poin kritis di atas, kami mendesak Indonesia-EU CEPA untuk


ditangguhkan sampai masalah mendasar ini diatasi, kami:

1. Mendesak Komisi Uni Eropa untuk tidak mengadopsi Undang-Undang Cipta Kerja ke
dalam negosiasi CEPA Indonesia-UE;
2. Menekankan bahwa CEPA Indonesia-UE bukanlah instrumen yang cocok untuk
mengatur tata kelola data;
3. Hentikan ekstraksi pada kegiatan perdagangan dan investasi yang berkontribusi pada
kerusakan lingkungan dan terlanggarnya hak-hak perempuan, masyarakat adat, pekerja,
petani, dan nelayan skala kecil;
4. Memastikan rantai nilai bahan baku yang berkelanjutan yang tidak hanya memungkinkan
lapangan kerja berkualitas, industrialisasi dalam negeri, dan mobilisasi pendapatan, tetapi
juga melindungi masyarakat dan lingkungan dari dampak buruk pertambangan dan
industri pengolahannya;
5. Melakukan analisis dampak HAM yang responsif gender dari CEPA Indonesia-UE.

Narahubung:
Rahmat Maulana Sidik, Indonesia for Global Justice (IGJ) – rahmat.maulana@igj.or.id
Olisias Gultom, Sahita Institute (HINTS) – olisias.gultom@hints.id
Lutfiyah Hanim – lutfiyah.hanim@gmail.com
Rachmi Hertanti – rachmi.hertanti@gmail.com
Restu Baskara – restusaktya@gmail.com
Ferry Norila – fnorila@iac.or.id

Anda mungkin juga menyukai