Anda di halaman 1dari 14

MANFAAT PEMBERLAKUAN UU OMNIBUSLAW

TERHADAP INVESTASI dan PENGELOLAAN ASET DAERAH


Max M. Visla Tonga / 452363

I. Latar Belakang
Presiden Joko Widodo dalam pidatonya tanggal 20 Oktober 2019
menyampaikan bahwa Indonesia saat ini mengalami bonus demografi, dimana
jumlah penduduk usia produktif jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah
penduduk usia tidak produktif. Hal ini menjadi kesempatan besar sekaligus
masalah besar. Kesempatan besar itu akan tercipta manakala Indonesia mampu
membangun sumber daya manusia (SDM) yang unggul. Hal tersebut harus
didukung dengan ekosistem politik dan ekosistem ekonomi yang kondusif. Salah
satu caranya yakni dengan menyederhanakan dan memangkas segala bentuk
kendala regulasi.

Presiden Joko Widodo mengatakan bahwa pemerintah akan mengajak


DPR untuk menerbitkan dua undang-undang (UU) besar yakni UU Cipta
Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Makro, Kecil dan Menengah
(UMKM). Masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law yaitu satu UU
yang merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Penerapan omnibus law di
Indonesia seharusnya dimulai dengan mengubah UU bidang investasi terkait
dengan kemudahan perizinan usaha supaya saling menyesuaikan dan tidak
tumpang tindih. Dengan demikian harmonisasi UU bidang investasi akan
menguntungkan para investor, masyarakat dan negara. Omnibus law dianggap
sebagai jalan keluar bagi banyaknya peraturan yang dimiliki Indonesia,
keseluruhan peraturan tersebut memiliki potensi bertentangan. Banyaknya jumlah
peraturan perundang-undangan di Indonesia menyebabkan terhambatnya jalur
birokrasi dan investasi. Omnibus law dianggap sebagai jalan keluar untuk
permasalahan tersebut.

Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dalam tulisannya tentang “UU Omnibus


(Omnibus Law), Penyederhanaan Legislasi, Dan Kodifikasi Administratif”
mengatakan bahwa untuk menjamin adanya keterpaduan dalam setiap agenda
pembentukan undang-undang, praktik ‘omnibus law’ sebagai kebiasaan yang

1
terbentuk dalam sistem ‘common law’ sejak tahun 1937 dapat diterapkan di
Indonesia, meskipun Indonesia menganut tradisi sistem ‘civil law’. UU Omnibus
itu tidak lain merupakan format pembentukan UU yang bersifat menyeluruh
dengan turut mengatur materi UU lain yang saling berkaitan dengan substansi
yang diatur oleh UU yang diubah atau dibentuk. Dengan format UU Omnibus ini,
pembentukan 1 UU dilakukan dengan mempertimbangkan semua materi
ketentuan yang saling berkaitan langsung ataupun tidak langsung yang diatur
dalam pelbagai undang-undang lain secara sekaligus. Dengan demikian, materi
suatu UU tidak perlu hanya terpaku dan terbatas hanya hal-hal yang berkaitan
langsung dengan judul UU yang bersangkutan sebagaimana dipraktikkan di
Indonesia selama ini, melainkan dapat pula menjangkau materi-materi yang
terdapat dalam pelbagai undang-undang lain yang dalam implementasinya di
lapangan saling terkait langsung ataupun tidak langsung satu dengan yang lain.

Undang-Undang Cipta Kerja atau Undang-Undang Nomor 11 Tahun


2020 tentang Cipta Kerja (disingkat UU Ciptaker atau UU CK) adalah undang-
undang di Indonesia yang telah disahkan pada tanggal 5 Oktober 2020 oleh DPR
RI dan diundangkan pada 2 November 2020. Menurut Pasal 1 UU No. 11 tahun
2020 ini, Cipta Kerja adalah upaya penciptaan kerja melalui usaha kemudahan,
perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan usaha mikro, kecil, dan menengah,
peningkatan ekosistem investasi dan kemudahan berusaha, dan investasi
Pemerintah Pusat dan percepatan proyek strategis nasional.

II. Implementasi & Manfaat UU Cipta Kerja (Omnibuslaw)


1) Peningkatan Investasi
Permasalahan yang dihadapi dalam peningkatan investasi yakni iklim
investasi yang memburuk karena faktor prosedur perijinan investasi yang panjang
dan mahal, rendahnya kepastian hukum, lemahnya insentif investasi, kualitas
SDM rendah dan terbatasnya infrastruktur, serta tidak adanya kebijakan yang jelas
untuk mendorong pengalihan teknologi dari Penanaman Modal Asing (PMA). Hal
ini terus menjadi concern dan perhatian hingga saat ini. Menyikapi fakta
disharmoni UU bidang investasi dan tingkat kemudahan berusaha di Indonesia
yang sulit, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengatasinya.
Salah satunya dengan menerbitkan PP No. 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan

2
Perizinan Berusaha Terintegrasi Secara Elektronik atau lebih populer disebut PP
OSS (Online Single Submission).
Di Indonesia, perizinan justru menjadi penghambat utama masuknya
investasi. Birokrasi yang terlalu panjang, waktu yang tidak sedikit, biaya dan
ditambah banyaknya pungutan tak resmi, membuat investor pikir-pikir untuk
menanamkan modal di Indonesia. Masalah-masalah ini membuat iklim investasi
menjadi tidak sehat dan terus berulang dari tahun ke tahun.Pemerintah menyadari
akan hal itu. Apalagi pemerintahan era Presiden Joko Widodo yang fokus
terhadap infrastruktur, jelas membutuhkan banyak investasi masuk ke dalam
negeri. perbaikan demi perbaikan perizinan pun dilakukan. Misalnya saja
pelayanan perizinan tiga jam yang pernah dilakukan oleh Badan Koordinasi
Penanaman Modal (BKPM) beberapa tahun lalu.

Regulasi yang lamban kerap membuat investor berpikir dua kali masuk ke
Indonesia. Presiden Joko Widodo kecewa dengan kinerja investasi Indonesia.
Pasalnya, dari 33 perusahaan Tiongkok yang merelokasi pabrik, tidak ada satu
pun yang masuk ke Indonesia. Sebanyak 23 perusahaan memilih untuk
membangun pabrik di Vietnam, sedangkan sisanya memindahkan pabriknya ke
Malaysia, Thailand, dan Kamboja.

Kondisi serupa juga terjadi sebelumnya ketika 73 perusahaan Jepang


hijrah. Sebanyak 43 perusahaan Jepang berbondong-bondong memilih Vietnam
sebagai destinasi baru pabriknya. Sedangkan 11 perusahaan lain mengalihkan
pabriknya ke Thailand. Beruntung sisanya, 10 perusahaan, berminat untuk
merelokasi pabrik ke Indonesia.

Kejadian terakhir seperti menampar wajah Indonesia, yang sejatinya


tengah habis-habisan melakukan deregulasi peraturan penghambat investasi.
Tidak hanya itu, belasan paket kebijakan ekonomi telah digelontorkan selama
lima tahun terakhir, yang sebagian besar menawarkan beragam bentuk insentif
perpajakan.

Untuk membuktikan slogan “kerja, kerja, kerja!”, Pemerintahan Joko


Widodo berhasil membawa investasi tumbuh 17,8 persen pada tahun 2015.
Perlahan tapi pasti, pertumbuhan investasi berbalik melambat hingga mentok di

3
angka 4,1 persen pada tahun 2018. Sebuah tingkat pertumbuhan investasi yang
jauh dari ekspektasi sekaligus anomali jika dibandingkan dengan belanja pajak
pemerintah dari tahun ke tahun.

Tidak hanya itu. Stagnannya investasi asing tak sekadar regulasi.


Misalnya, soal izin rekomendasi yang bisa memakan waktu hingga berbulan-
bulan, padahal hal seperti itu harus selesai maksimal 3 (tiga) hari berdasarkan
Global Value Chain.

Saat ini, ada dua UU yang mengatur masalah penanaman modal, yaitu UU
No 1/1967 tentang PMA, dan UU No.6/1968 tentang Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN). Dengan adanya dua ketentuan itu, ada kesan bahwa pemerintah
bersikap diskriminatif karena membedakan PMA dan PMDN. Karena itu, BKPM
pernah mengusulkan agar UU mengenai penanaman modal diatur oleh satu UU
yang sama, yaitu UU mengenai Penanaman Modal.

Selain itu, sejak tahun 1967 sampai sekarang ada kebijakan di bidang
PMA yang tidak secara eksplisit dicantumkan dalam UU No 1/1967, tetapi diatur
dalam berbagai peraturan perundangundangan, seperti peraturan pemerintah (PP)
atau keputusan presiden (keppres). Misalnya PP No.20 Tahun 1994 tentang
Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan dalam Rangka PMA. Dengan
adanya satu UU yang baru dan yang mengatur masalah penanaman modal itu,
diharapkan ketentuan-ketentuan dalam PP maupun dalam Keppres dapat diadopsi
dalam UU yang baru (omnibus law).

Dalam hal pelayanan yang terpadu atau pelayanan satu atap (one stop
service), BKPM tidak dapat berperan sebagai institusi yang memberikan
pelayanan itu. Fungsi BKPM sebagaimana diatur dalam Keppres No 33/1981
tentang BKPM, sudah banyak yang diambil alih oleh departemen teknis. Hal itu
membuat investor tidak dapat dilayani secara terpadu, dan menjadi hambatan juga
bagi iklim usaha.
Kehadiran omnibus law tersebut diharapkan dapat memudahkan investor
untuk berinvestasi. Beberapa tujuan dibentuknya Omnibus Law ini antara lain:
(1) Mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat,
efektif dan efisien;

4
(2) Menyeragamkan kebijakan pemerintah baik di tingkat pusat maupun
didaerah untuk menunjang iklim investasi;
(3) Pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan efektif;
(4) Mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama;
(5) Meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena
telah diatur dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu;
(6) Adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi
pengambil kebijakan.
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian menilai Omnibus Law
Ciptaker dapat meningkatkan investasi sebesar 6,6% hingga 7% dan menciptakan
2,7 juta sampai 3 juta lapangan kerja per tahun. Adapun, Kepala Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lalada menilai omnibus dapat
menarik investor asing.

Jika kita melihat kondisi investasi Indonesia saat ini bisa dikatakan baik.
Pada kuartal II 2020, sumbangannya 30,61% terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB). Menempati posisi kedua setelah konsumsi rumah tangga yang sebesar
57,85%. Realisasi investasi tahun ini menurun karena terpukul pandemi Covid-
19, tapi selama lima tahun ke belakang trennya terus tumbuh. Paling tinggi pada
2019 sebesar Rp 809,6 triliun dari target Rp 792 triliun.

Berdasarkan draf tertanggal 5 Oktober 2020, Omnibus Law UU Cipta


Kerja berisi 10 klaster dengan 15 bab dan 186 pasal. Misalnya klaster peningkatan

5
ekosistem investasi dan kegiatan berusaha, ketenagakerjaan, kemudahan
berusaha, dan investasi pemerintah pusat dan percepatan proyek strategis
nasional.

Dalam klaster peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha,


Pasal 12 ayat (2) mengurangi jumlah usaha yang tertutup untuk penanaman modal
asing menjadi enam dari 20 bidang. Konsekuensinya adalah ruang investasi asing
semakin beragam.

Selanjutnya, di Pasal 111 dalam klaster kemudahan berusaha, pemerintah


merelaksasi Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen bagi investor di wilayah
Indonesia. Begitupun perubahan terkait aturan ketenagakerjaan seperti terkait
pengupahan dan kontrak kerja yang menjadi sorotan masyarakat luas sampai
berujung demonstrasi pada 8 Oktober 2020.

Beberapa hal tersebut memang menyelesaikan hambatan investasi ke


Indonesia dimana dalam Executive Opinion Survey yang dilakukan World
Economic Forum pada 2017, antara lain seperti aturan pajak, ketimpangan
peraturan, dan peraturan ketenaga kerjaan yang ketat. Namun, belum mencakup
seluruhnya dan bahkan tak menyentuh hambatan utamanya, yakni korupsi.

Pertumbuhan investasi di sektor riil juga merupakan fokus pemerintah


untuk menggerakan ekonomi melalui Omnibus Law ini. Sebelum adanya
Omnibus Law, memang terlihat bahwa realisasi Penanaman Modal Asing (PMA)
dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) cenderung terus bertumbuh setiap
tahunnya. Akan tetapi, jika dibandingkan terhadap Produk Domestik Bruto
(PDB), kontribusi PMA sebagai persentase dari PDB masih telihat kecil.

Terakhir pada 2019, PMA hanya sebesar 2.2% dari PDB, dan sejak 1975
belum mampu menembus 3%. Angka ini bagi Indonesia, jika dibandingkan
dengan negara tetangga, Vietnam, masih tertinggal jauh. Maka itu, dengan adanya
kemudahan investasi di Indonesia, pemerintah berharap terjadi peningkatan porsi
PMA terhadap PDB Indonesia sehingga dapat mempercepat pertumbuhan
ekonomi Indonesia.

6
Harapannya, bila penanaman modal di Indonesia bertambah, akan terbuka
kesempatan untuk membentuk lapangan kerja baru bagi masyarakat. Banyaknya
pembangunan pabrik manufaktur akibat adanya investasi yang masuk ke
Indonesia diharapkan dapat mereformasi industri di Indonesia juga. Jika
Indonesia memproduksi lebih banyak produk dan banyak melakukan ekspor
barang selain komoditas mentah, tentunya juga akan memperkuat nilai ekspor
Indonesia untuk jangka panjang dan pada akhirnya membantu memperkuat nilai
rupiah.

2) Pengelolaan Aset Daerah


Salah satu faktor penyebab terjadinya konflik pertanahan di Indonesia
antara lain disebabkan adanya permasalahan regulasi dibidang pertanahan.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang terkait bidang pertanahan sering
kali berbenturan satu sama lain.
Setelah dilakukan penelaahan hampir sebanyak 208 peraturan sudah tidak
berlaku lagi, sehingga jumlah peraturan pertanahan yang masih berlaku di
Indonesia sekitar 424 peraturan. Peraturan perundang-undangan dimaksud terdiri
dari berbagai tingkatan tata urutan peraturan perundang-undangan dari tingkat
Undang-undang sampai dengan surat edaran yang dikeluarkan oleh kementerian.
Kebijakan hukum pertanahan di Indonesia sudah lama diatur dalam
berbagai peraturan perundang-undangan yang berasal dari Belanda berdasarkan
asas konkordansi. Produk hukum dari Negara Belanda tersebut antara lain
Agrarische Wet, Agrariche Besluit, Burgerlijk Wetboek, Koninklijk Besluit,
Regering Reglement, Indische Staatsregeling. Peraturan-peraturan tersebut sangat
merugikan bangsa Indonesia dan menguntungkan bangsa penjajah.
Salah satu hak atas tanah yang diatur pada masa penjajahan Belanda antara
lain hak eigendom yaitu hak milik yang mutlak pada umumnya diberikan kepada
kaum penjajah serta diberikan kepastian hukum dengan didaftarkan kedalam
register buku tanah. Sedangkan masyarakat pribumi asli Indonesia tidak memiliki
bukti kepemilikan hak tanah karena masih menganut paham hukum adat sehingga
apabila ada bukti kepemilikan adat berupa girik, ketitir, pipir dan sejenisnya. Alas
hak tersebut masih sering dipergunakan pada saat proses pendaftaran tanah.

7
Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah pada saat itu menyusun
peraturan perundang-undangan mengenai agraria melalui Panitia Agraria yang
dibentuk pada saat itu sehingga lahirlah Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA
yang diberlakukan sejak tanggal 24 September 1960 sampai dengan sekarang.
Indonesia telah melewati rezim pemerintahan dari pemerintahan Orde
Lama hingga Orde Reformasi. Pergantian Presiden dan kabinet pemerintahan
yang mengakibatkan lahirnya banyak peraturan perundang-undangan sesuai
keinginan masing-masing pemerintahan yang berkuasa saat itu. Hal ini kemudian
menimbulkan persoalan regulasi dimana ada beberapa peraturan
perundangundangan yang tumpah tindih sehingga menimbulkan konflik
kebijakan.
Persoalan regulasi dibidang pertanahan dapat disimpulkan antara lain:
1. Timbulnya sengketa kewenangan dalam pengelolaan sumber daya alam
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah pasca terbitnya peraturan
perundang-undangan yang mengatur masalah otonomi daerah dan hubungan
koordinasi antara departemen/instansi, akibat terbitnya peraturan
perundangundangan yang sifatnya sektoral dimana keberadaannya saling
bertentangan dan lebih condong mengutamakan kepentingan masing-masing
departemen/ instansinya. Sehingga hal tersebut berpotensi menimbulkan
konflik ego-sektoral dalam hal pengelolaan sumber daya alam;
2. Masih kurang mengakui kedudukan masyarakat adat atau penduduk asli yang
telah hidup di wilayah setempat sebagai pemilik tanah adat pada era
pembangunan saat ini. Banyak masyarakat adat yang menjadi korban
pembebasan tanah untuk mewujudkan pembangunan;
3. Munculnya berbagai peraturan perundang-undangan yang sifatnya sektoral
dimana secara norma tidak tunduk atau sesuai dengan asas-asas yang termuat
dalam UUPA;
4. Sebagian besar tanah di Indonesia belum bersertifikat bahkan masih banyak
kasus timbulnya sertifikat ganda pada bidang tanah yang diterbitkan oleh
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/ Badan Pertanahan Nasional Republik
Indonesia.

8
Reformasi regulasi pertanahan perlu dilakukan pemerintah dengan
mengacu sistem hukum di Indonesia. Sistem Hukum Indonesia sangat
menentukan arah kebijakan pemerintah. Bila sistem hukumnya baik maka arah
kebijakan pemerintah akan tersistematis dan efektif.
Inilah saatnya pemerintah untuk merekonstruksi regulasi salah satunya
regulasi pertanahan agar dapat meningkatkan iklim investasi di Indonesia. Akan
tetapi reformasi regulasi tersebut jangan sampai mengorbankan kepentingan dan
kesejahteraan rakyat Indonesia.
Gagasan konsep Omnibus Law diharapkan dapat menyelesaikan konflik
regulasi di bidang pertanahan dan diharapkan efektif menyelesaikan konflik
regulasi yang sudah lama mendera dan akibatnya bisa berujung kepada
kriminalisasi pejabat. Untuk itu dalam menerapkan konsep ini, maka harus
diberikan landasan hukum yang kuat sehingga tidak bertentangan dengan asas dan
norma pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya, Pasal 117 UU Ciptaker secara eksplisit menyatakan bahwa
badan usaha milik desa (Bumdes) adalah badan hukum yang didirikan oleh desa
dan/atau bersama desa-desa guna mengelola usaha, memanfaatkan aset,
mengembangkan investasi dan produktivitas, menyediakan jasa pelayanan,
dan/atau jenis usaha lainnya untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat
desa.
Ditegaskan juga, desa dapat mendirikan Bumdes, yang harus dikelola
dengan semangat kekeluargaan dan kegotongroyongan. Bumdes dapat
menjalankan usaha di bidang ekonomi dan atau pelayanan umum, serta dapat
membentuk unit usaha berbadan hukum. Karena, UU Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa menyebut Bumdes sebagai badan usaha, namun belum tegas tertulis
sebagai badan hukum. Itu bagian yang membebani Bumdes selama ini hingga sulit
menjalin kerja sama bisnis dengan pihak lain, serta sulit menjangkau modal
perbankan.
Akibatnya, berbagai kesempatan kerja sama, permodalan, hingga
perluasan usaha Bumdes terkendala. Bumdes merupakan aset desa-desa di
Indonesia yang akan berperan penting bagi pembangunan dan kemajuan desa.
Bumdes sebagai media bagi desa untuk lebih produktif dalam memberdayakan

9
potensinya, sehingga kebijakan pemerintah harus sejalan dan mendukung agar
ruang berusaha semakin terbuka luas. Best Practice Bumdes, kita bisa belajar pada
Bumdes Ponggok Klaten, Bumdes Pujon Kidul Malang.
Di luar itu, dikutip dari laman kemendesa.go.id (12/10/2020) UU Ciptaker
juga memberikan kemudahan, proteksi dan pemberdayaan kepada Bumdes.
Koperasi, maupun UMKM dalam melakukan usaha dan mendatangkan
kemudahan arus investasi ke pedesaan. Dengan demikian, tentu akan berimbas
pada banyak terserapnya tenaga kerja di desa dan peningkatan pertumbuhan
ekonomi desa, sekurangnya bagi penaikan pendapatan asli desa (PAD). Dengan
terbukanya lapangan kerja dan usaha di desa, maka kemudian akan meredam
gelombang urbanisasi yang secara regular menjadi persoalan baru bagi area kota-
kota besar.
Terobosan lain dalam undang-undang omnibus law Cipta Kerja, dari
klaster pengadaan tanah ialah pembentukan Bank Tanah. Ini menjadi hal yang
baru di Indonesia, yang berfungsi menjadi salah satu solusi persoalan tanah di
Indonesia.
Presiden Jokowi menyampaikan keberadaan Bank Tanah sangat penting,
dalam menjamin masyarakat terhadap kepemilikan tanah dan lahan. Di samping
itu, Bank Tanah juga diperlukan untuk menjamin kepentingan umum, kepentingan
sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, dan konsolidasi
lahan, serta reforma agraria.
Adapun tujuan pembentukan Bank Tanah tersebut ialah untuk menjamin
terwujudnya ketentuan yang dirumuskan pada Pasal 33 ayat (3) UUD 1945,
beserta amendemennya serta mendukung pembangunan nasional yang
berkelanjutan, adil, dan merata bagi kepentingan rakyat.
Di samping itu, tujuan pembentukan Bank Tanah juga diharapkan dapat
mengendalikan perkembangan wilayah secara efisien dan efektif, serta
mengendalikan penguasaan dan pemanfaatan tanah secara adil dan wa jar dalam
melaksanakan pem bangunan.
Dari sisi fungsi, pembentukan Bank Tanah tersebut, diharapkan :
 Dapat menjadi inventarisasi dan pengembangan database tanah, administrasi
tanah, dan sistem informasi pertanahan (land keeper).

10
 Dapat mengamankan penyediaan tanah untuk pembangunan, dan menjamin
nilai tanah, serta efisiensi pasar tanah yang berkeadilan, mengamankan
peruntukan, dan pemanfaatan tanah secara optimal (land warrantee).
 Untuk penguasaan tanah dan penetapan harga tanah yang terkait dengan
persepsi kesamaan nilai tanah yang satu (land purchaser).
 Dapat melakukan penilaian tanah yang objektif dalam menciptakan satu sisi
nilai, dalam penurunan nilai tanah yang berlaku berbagai keperluan, serta
menentukan acuan nilai tanah yang baku.
 Dapat menjamin distribusi tanah yang wajar dan adil, berdasarkan kesatuan
nilai tanah, juga mengamankan perencanaan, penyediaan, dan distribusi tanah,
serta dapat melakukan manajemen pertanahan yang merupakan bagian dari
manajemen aset secara keseluruhan, dan melakukan analisis, penetapan
strategi, dan pengelolaan implementasi berkaitan dengan pertanahan.

3) Pengaruh terhadap lingkungan


 Pasal Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Salah satu pasal yang direvisi di UU Ciptaker adalah Pasal 88 UU
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dikenal dengan Pasal
Pertanggungjawaban Mutlak.

Pasal 88 UU PPLH berbunyi:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya


menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur
kesalahan.

Dalam UU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi:

Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya


menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau

11
yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung
jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.

Sebagaimana diketahui, Pasal 88 UU PPLH itu digunakan pemerintah untuk


menjerat para perusak dan pembakar hutan. Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) saat ini sedikitnya mengantongi putusan dengan nilai
ganti rugi hingga Rp 18 triliun dari pembakar/perusak hutan. Meski belum
seluruhnya dieksekusi, namun putusan pengadilan ini memberikan harapan
bagi penegakan hukum lingkungan.

Pasal di atas pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh Asosiasi


Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit
Indonesia (GAPKI) pada 2017. Mereka meminta pasal itu dihapus karena
merugikan mereka. Di tengah jalan, gugatan itu dicabut.

 Pasal Terkait Kewajiban Memiliki Amdal


UU Ciptaker juga merevisi kewajiban pengusaha terkait analisis
mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) dalam UU 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Amdal adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau
kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi
proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan.
Selain Amdal, ada pula upaya pengelolaan lingkungan hidup dan
upaya pemantauan lingkungan hidup, yang disebut UKL-UPL, yang
merupakan pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan
yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan
bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau
kegiatan.
Dalam Pasal 36 UU 32 Tahun 2009, Amdal menjadi syarat bagi
pengusaha untuk melakukan kegiatan usahanya:

Pasal 36

12
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-
UPL wajib memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan
berdasarkan keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 atau rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib
mencantumkan persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan
lingkungan hidup atau rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota
sesuai dengan kewenangannya.

Selanjutnya, dalam UU Ciptaker, Pasal 36 yang mengatur soal kewajiban


terkait Amdal telah dihapus. Namun, di Pasal 37 ada penjelasan sanksi bagi
pelaku usaha yang melanggar Amdal dan UKL-UPL.

14. Ketentuan Pasal 36 dihapus.

15. Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:

Pasal 37

Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila :


a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha
mengandung cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta
ketidakbenaran dan/ atau pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam
keputusan kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan
pengelolaan lingkungan hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan.

13
DAFTAR PUSTAKA

UU RI No. 11 Tahun 2010 tentang Cipta Kerja

https://news.detik.com/berita/d-5201842/ini-dampak-omnibus-law-cipta-kerja-bagi-
lingkungan-dan-pekerja

https://id.wikipedia.org/wiki/Undang-Undang_Cipta_Kerja

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20201102230532-32-565122/jokowi-teken-uu-
ciptaker-1187-halaman-nomor-11-tahun-2020

https://www.dslalawfirm.com/omnibus-law/

https://finance.detik.com/infografis/d-5200698/9-manfaat-omnibus-law-cipta-kerja

https://money.kompas.com/read/2020/10/11/090645726/3-manfaat-uu-cipta-kerja-untuk-
rakyat-seperti-yang-diklaim-jokowi?page=all

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5dd514c3403b5/jimly--omnibus-law-mestinya-
untuk-penataan-regulasi-menyeluruh/

https://bisnis.tempo.co/read/1393221/10-ketentuan-pokok-di-omnibus-law-cipta-kerja-yang-
baru-disahkan/full&view=ok

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5dc8ee10284ae/mengenal-iomnibus-
law-i-dan-manfaatnya-dalam-hukum-indonesia/

https://nasional.okezone.com/read/2020/10/05/337/2288787/ruu-cipta-kerja-lahirkan-15-
kesepakatan-pokok

https://majalahpajak.net/pengaruh-pajak-terhadap-investasi/

https://ekonomi.bisnis.com/read/20201007/9/1301685/berkat-omnibus-law-aset-negara-dan-
bumn-bisa-dialihkan-ke-swf

https://katadata.co.id/0/analisisdata/5f8518a601e2a/efektifkah-omnibus-law-cipta-kerja-jadi-
obat-kuat-investasi

https://mediaindonesia.com/opini/354727/omnibus-law-dalam-perspektif-desa

https://nasional.kontan.co.id/news/omnibus-law-uu-cipta-kerja-ciptakan-masalah-baru-
bidang-pertanahan-bernama-bank-tanah

https://mediaindonesia.com/opini/360213/eksistensi-bank-tanah-dalam-omnibus-law

14

Anda mungkin juga menyukai