Anda di halaman 1dari 17

Sampul

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1. Latar Belakang......................................................................................................................1
2. Rumusan Masalah...............................................................................................................3
3. Tujuan Penelitian................................................................................................................3
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................................4
1. Dampak Omnibus Law Dalam Penyerdehanaan Perizinan..................................................4
2. Implikasi Keputusan MK Dalam Studi Kasus Omnibus Law Di Bidang Perizinan............5
3. Substansi Omnibus Law.......................................................................................................8
4. Pandangan Empirik, Praktik Omnibus Law Dalam Perizinan............................................10
BAB III PENUTUP.......................................................................................................................14
1. Kesimpulan.........................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA

i
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Omnibus law adalah suatu metode atau konsep pembuatan regulasi yang menggabungkan
beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda, menjadi satu peraturan dalam satu
payung hukum. Regulasi yang dibuat senantiasa dilakukan untuk membuat undang-undang yang
baru dengan membatalkan atau mencabut juga mengamandemen beberapa peraturan perundang-
undangan sekaligus.
Alasan pemerintah membuat Omnibus Law lantaran sudah terlalu banyak regulasi yang
dibuat, yang kemudian menimbulkan persoalan tersendiri, seperti tumpah tindih regulasi.
Akibatnya, tak sedikit menimbulkan konflik kebijakan atau kewenangan antara satu
kementerian/lembaga dengan kementerian/lembaga lainnya, dan juga antara Pemerintah Pusat
dengan Pemerintah Daerah. Regulasi yang tumpang tindih ini akhirnya berdampak pada
terhambatnya implementasi program pembangunan dan memburuknya iklim investasi di
Indonesia. Sehingga membuat program percepatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat sulit tercapai.
Omnibus law yang akan dibuat Pemerintah Indonesia, akan menyasar 3 Undang-Undang
(UU) besar, yakni UU Cipta Kerja, UU Pemberdayaan UMKM, dan UU Perpajakan.  ini dapat
menjadi alat untuk memperkuat perekonomian nasional melalui perbaikan ekosistem investasi
dan daya saing Indonesia.
Beberapa tujuan lain dari dibuatnya Omnibus Law ini adalah
1. Meningkatkan iklim usaha yang kondusif dan atraktif bagi investor
2. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia
3. Meningkatkan kepastian hukum dan mendorong minat Warga Negara Asing (WNA)
untuk bekerja di Indonesia yang dapat mendorong alih keahlian dan pengetahuan bagi
kualitas SDM Indonesia
4. Mendorong kepatuhan sukarela Wajib Pajak (WP) dan menciptakan keadilan berusaha
antara pelaku usaha dalam negeri dan pelaku usaha luar negeri.

1
Keberadaan Omnibus Law diyakini dapat memberikan sejumlah keuntungan,
diantaranya adalah:
1. Menghilangkan tumpang tindih antar peraturan perundang-undangan, adanya
penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi
2. Efisiensi proses perubahan/pencabutan peraturan perundang-undangan, diyakini
akan menghemat energi pemerintah baik dari sisi administrasi dan juga politik
dalam pembahasan dengan Parlemen

3. Menghilangkan ego sektoral yang terkandung dalam berbagai peraturan


perundang-undangan.

UU Omnibus Law atau UU NO 11 TAHUN 2021 Tentang Cipta Kerja Undang-


Undang (UU) ini mulai berlaku pada 2 November 2020. Bertujuan untuk mengatur
mengenai upaya cipta kerja yang diharapkan mampu menyerap tenaga kerja Indonesia
yang seluas-luasnya di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan
globalisasi ekonomi.
Pemerintah melalui UU Cipta Kerja menghapus aturan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB) yang sebelumnya diatur dalam Undang-undang No.28 Tahun 2002 tentang
Bangunan Gedung. Persetujuan Bangunan Gedung yang selanjutnya disingkat PBG
adalah perizinan yang diberikan kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun
baru, mengubah, memperluas, mengurangi, dan/atau merawat Bangunan Gedung sesuai
dengan standar teknis Bangunan Gedung yang tercantum dalam PP No 16 Tahun 2021
Tentang pelaksanaan UU No 28 Tahun 2002 Tentang bangunan gedung sebagai turunan
dari UU Cipta Kerja.
Izin ini (PBG) wajib dimiliki siapa pun yang ingin membangun bangunan baru,
mengubah, sampai merawat bangunan. Dimana penggantian nama izin membangun ini
terdapat di dalam UU Cipta Kerja yang mencabut ketentuan yang lama dan menjadi tidak
berlaku Undang-undang No.28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Kehadiran PBG
ini akan menerapkan konsep norma, standar, pedoman, dan kriteria (NSPK) dari
pemerintah pusat, yang berbeda dengan IMB yang dulu pernah diberlakukan. Jika dahulu
IMB harus diperoleh terlebih dulu sebelum mendirikan bangunan, maka PBG dapat

2
dilakukan pembangunan sepanjang pelaksanaannya memenuhi standar yang ditetapkan
pemerintah. Dengan demikian proses PBG yang lebih cepat akan semakin mempercepat
investasi bagi pelaku usaha.

2. Rumusan Masalah
A. Bagaimana dampak Omnibus Law dalam penyerderhanaan perizinan?
B. Bagaimana implikasi keputusan MK dalam studi kasus dan realita omnibus law di
bidang perizinan?

3. Tujuan Penelitian
A. Untuk mengetahui dampak Omnibus Law dalam penyerderhanaan perizinan
B. Untuk implikasi keputusan MK dalam studi kasus omnibus law di bidang perizinan

3
BAB II
PEMBAHASAN

1. Dampak Omnibus Law Dalam Penyerdehanaan Perizinan


Definisi daripada Omnibus Law dimulai dari kata Omnibus. Kata Omnibus berasal dari
bahasa Latin dan berarti untuk semuanya. Di dalam Black Law Dictionary Ninth Edition Bryan
A.Garner disebutkan omnibus : relating to or dealing with numerous object or item at once ;
inculding many thing or having varius purposes, artinya keterkaitan dengan atau berurusan
dengan berbagai objek atau item sekaligus; termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan.
Bila digandeng dengan kata Law yang maka dapat didefinisikan sebagai suatu hukum yang
memiliki keterkaitan berbagai objek / item atau semua yang terkait.
Menurut Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Savitri, Omnibus law adalah satu Undang-
Undang yang dibuat untuk menyasar isu besar dan mungkin mencabut atau mengubah beberapa
Undang-Undang, dengan undang-undang ini dimaksudkan untuk merampingkan regulasi dari
segi jumlah, selain itu juga untuk menyederhanakan peraturan agar lebih tepat sasaran. Idealnya
bukan cuma penyederhanaan dari segi jumlah, tapi juga dari segi konsistensi dan kerapihan
pengaturan. Jadi bisa disebut sebagai prosedur juga agar lebih sederhana dan tepat sasaran. Jadi
menurut pakar tersebut bisa disimpulkan bahwa Omnibus law adalah sebuah produk Undang-
Undang yang bisa mencabut atau mengubah beberapa undang-undang yang ada yang berlaku
yang bisa tersebar dalam beberapa peraturan, kemudian dirampingkan dalam satu Undang-
undang agar lebih tepat sasaran.
Omnibus law juga bisa disebut sebagai metode pembuatan regulasi yang menghimpun
sejumlah aturan di mana esensi setiap aturan berbeda-beda, namun tergabung dalam satu paket
hukum. Sementara itu, Omnibus Law Ciptaker merupakan salah satu regulasi yang dibukukan
dalam Omnibus Law. Terdapat tiga aturan yang tercantum dalam metode hukum ini, selain
Ciptaker, ada juga regulasi terkait Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan
Perekonomian, serta Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Namun, dari ketiganya,
UU Ciptaker paling banyak menuai sorotan publik lantaran dinilai banyak memuat pasal-pasal
kontroversial yang merugikan para buruh dan hanya mementingkan kepentingan investor.

4
Dalam peraturan Omnibus Law, semua perizinan hanya melalui satu portal yaitu melalui
Online Single Submission (OSS) dan di peraturan tersebut juga terdapat penyederhanaan
perizinan berusaha dari yang awalnya berbasis izin menjadi berbasis risiko dan skala usaha.
Seperti bisnis berisiko rendah, perizinan usaha cukup dengan Nomor Induk Berusaha (NIB).
Bisnis berisiko menengah izinnya ditambah dengan pemenuhan sertifikat standar. Sedangkan
bisnis yang berisiko tinggi membutuhkan persetujuan dari pemerintah pusat untuk memulai
usaha.
Dalam pasal berikutnya yang terdapat dalam Omnibus Law menyebutkan penghapusan
Izin Lokasi dengan kesesuaian tata ruang, kemudian integrasi persetujuan lingkungan dalam Izin
Berusaha, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) hanya untuk kegiatan usaha
berisiko tinggi terhadap lingkungan.
Lahirnya Omnibus Law untuk kemudahan perizinan juga menghadirkan Klasifikasi Baku
Lapangan Usaha Indonesia Tahun 2020 yang dituangkan dalam Peraturan Kepala (Perka) Badan
Pusat Statistik Nomor 2 Tahun 2020, dimana dalam aturan tersebut dijelaskan dalam Pasal 4,
bahwa Perka BPS Nomor 2 Tahun 2020 mulai berlaku dan Perka BPS Nomor 19 Tahun 2017
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Namun pada kenyataannya untuk saat ini pihak Badan
Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) masih memakai KBLI 2017 dan perlu waktu untuk
menyelaraskan KBLI Tahun 2020 seperti KBLI Tahun 2017.
Dengan demikian, keluhan para pelaku usaha dalam berbisnis sudah diberikan
kemudahan berusaha oleh pemerintah, namun banyak pelaku usaha belum mengetahui
kemudahan-kemudahan tersebut, sehingga banyak pelaku usaha yang masih menjalankan
usahanya tanpa ada izin.

2. Implikasi Keputusan MK Dalam Studi Kasus Omnibus Law Di Bidang Perizinan


Pemerintah melalui Undang-undang Cipta Kerja menghapus aturan mengenai Izin
Mendirikan Bangunan (IMB) yang sebelumnya diatur dalam UU No. 28 Tahun 2002. Sebagai
gantinya Presiden menerbitkan PP No. 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung. Peraturan tersebut merupakan tindak
lanjut dari ketentuan Pasal 24 dan Pasal 185 huruf b Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja. Dalam aturan ini, disebutkan bahwa Pemerintah menghapus status Izin

5
Mendirikan Bangunan (IMB) dan menggantinya dengan istilah baru yaitu Persetujuan Bangunan
Gedung (PBG). Alasan diubahnya IMB menjadi PBG sebagai bentuk penyederhanaan
standarisasi pembangunan. Jika dahulu IMB harus diperoleh terlebih dulu sebelum mendirikan
bangunan, maka PBG dapat dilakukan pembangunan sepanjang pelaksanaannya memenuhi
standar yang ditetapkan pemerintah. Dengan demikian proses PBG yang lebih cepat akan
semakin mempercepat investasi bagi pelaku usaha.
Pada Pasal 1 pada poin 17 disebutkan bahwa PBG merupakan perizinan yang diberikan
kepada pemilik Bangunan Gedung untuk membangun baru, mengubah, memperluas,
mengurangi, dan merawat Bangunan Gedung sesuai dengan standar teknis Bangunan Gedung.
Selanjutnya, dalam aturan ini juga disebutkan bahwa setiap orang yang ingin membangun sebuah
bangunan, maka harus mencantumkan fungsi dari bangunan dalam PBG yang diajukannya.
Adapun fungsi bangunan itu meliputi fungsi hunian, fungsi keagamaan, fungsi usaha, fungsi
sosial dan budaya dan fungsi khusus. Pasal 4 Ayat 1 menyebutkan fungsi bangunan gedung
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a merupakan ketetapan pemenuhan standar teknis,
yang ditinjau dari segi tata bangunan dan lingkungannya maupun keandalan bangunan gedung.
Syarat mendapatkan PBG berikutnya adalah dengan menyiapkan beragam dokumen
spesifikasi teknis bangunan. Dokumen tersebut terdiri dari jenis, tipe, dan karakteristik material
atau bahan yang digunakan secara detail dan menyeluruh untuk komponen arsitektural,
struktural, mekanikal, elektrikal, dan perpipaan. Berikut adalah cara mengurus persetujuan
bangunan gedung:
A. Mengajukan PBG sebelum mulainya konstruksi
B. Melakukan konsultasi, perencanaan, dan penerbitan
C. Melakukan pendaftaran, pemeriksaan standar teknis, dan pernyataan pemenuhan standar
teknis
D. Pendaftaran PBG melalui SIMBG
E. Pemberitahuan jadwal konstruksi oleh SIMBG
Namun, bagi bangunan gedung yang telah memperoleh IMB dari pemerintah daerah
kabupaten atau kota sebelum berlakunya PBG, Izin pembangunan masih tetap berlaku sampai
berakhirnya izin tersebut meskipun IMB belum diubah menjadi PBG.

6
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja merupakan suatu wujud
penyederhanaan peraturan yang dilakukan oleh pemerintah. Kehadiran UU Cipta Kerja menuai
pro dan kontra dari masyarakat. Sebagai wujud masyarakat yang baik kita mendukung
pemerintah dalam penerapan UU Cipta Kerja dengan mempelajari dan mengikuti sosialisasi.
Dalam pelaksanaan PBG, beberapa kasus ketidaksesuaian penerapan masih terjadi
kepada pemohon PBG. Misalnya, Pelapor merupakan Pemohon Persetujuan Bangunan Gedung
(PBG), yang sebelumnya izin tersebut bernama Izin Mendirikan Bangunan (IMB), kepada salah
satu dinas teknis pada suatu Pemerintah Daerah. Pelapor sebelumnya telah mempelajari
peraturan-peraturan turunan dari UU Ciptaker dan mengikuti sosialisasi yang diselenggarakan
oleh Instansi Pusat terkait.
Kenyataan di lapangan, Pelapor tersebut mendapati mekanisme perizinan oleh
Pemerintah Daerah tersebut tidak sesuai dengan pemahaman Pelapor berdasarkan hasil
penelaahan mandiri Pelapor terhadap peraturan perundang-undangan dan materi sosialisasi yang
diikuti olehnya. Pelapor mengeluhkan masih adanya persyaratan perizinan yang belum sesuai
dengan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung sebagai turunan dari UU Ciptaker,
dalam pengurusan PBG tersebut. Padahal persyaratan perizinan tersebut telah disederhanakan
berdasarkan PP Nomor 16 Tahun 2021 tersebut. Penambahan perizinan ini berimplikasi pada
berlarutnya jangka waktu penanganan permohonan PBG yang dimohonkan Pelapor, sebab
pihaknya masih harus mengurus persyaratan perizinan yang tidak sesuai dengan PP Nomor 16
Tahun 2021.
Setelah dilakukan klarifikasi lebih lanjut kepada dinas teknis pada Pemerintah Daerah
didapatkan keterangan terkait masih adanya beberapa persyaratan yang tidak diatur dalam PP
Nomor 16 Tahun 2021 yang merupakan peraturan turunan dari UU Ciptaker tersebut. Hal ini
dikarenakan masih berlakunya beberapa Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur kewajiban
pemenuhan persyaratan pada pengurusan PBG/IMB. Selain itu, PP Nomor 16 Tahun 2021 juga
belum memiliki aturan turunan yang sangat mendetail untuk menjadi petunjuk teknis dalam
penerbitan PBG. Adapun PBG sendiri baru diatur pada PP Nomor 16 Tahun 2021 dan belum
terdapat aturan turunan lain yang lebih khusus. Sejalan dengan hal ini, Pemerintah Daerah belum
dapat menerbitkan Perda yang telah disesuaikan dengan Peraturan Pemerintah tersebut

7
dikarenakan pada salah satu Amar Putusan MK RI Nomor 91/PUU-XVIII/2020, bahwa MK RI
menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan
berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang
berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2020 Nomor 245, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 6573).

3. Substansi Omnibus Law


Persoalan pelik regulasi muncul dan menyebabkan iklim investasi di Indonesia bergerak
lambat dibandingkan negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Di Rezim Presiden Jokowi
menghendaki semua regulasi yang menghambat masuknya dan berjalannya investasi harus
dihapus. Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN RI Sofyan Jalil melontarkan gagasan konsep
Omnibus Law untuk menyelesaikan sengketa tumpang tindih peraturan perundang-undangan
yang menghambat pertumbuhan investasi di Indonesia.
Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021 tentang
Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung
sebagai turunan dari UU Ciptaker yang ditangguhkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) masih
memiliki perdebatan dalam penerapannya di masyarakat. Salah satu kasus yang menjadi
perdebatan adalah peralihan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ke Persetujuan Bangunan Gedung
(PBG) yang dirasa terlalu terburu-buru, mengakibatkan beberapa pihak kesusahan dalam
mengurus perizinan. Seperti contoh kasus yang kami bahas dalam studi kasus. Pelapor
mengalami kesulitan dalam mengurus perizinan PBG yang sebelumnya dikenal sebagai IMB.
Dengan adanya perubahan tersebut, fakta yang terjadi di lapangan nya adalah beberapa
Pemerintahan Daerah (Pemda) terkait belum siap melaksanakan perubahan aturan IMB menjadi
PBG. Hal ini mengakibatkan terlihat perbedaan dalam penerapan mekanisme PBG antara
Pemerintahan Daerah (Pemda) yang mengeluarkan kebijakan Peraturan Daerah (Perda) dengan
Pemerintahan Pusat yang mengeluarkan kebijakan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2021
tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan
Gedung.

8
Mencermati sistem perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang hasil konsep
Omnibus Law bisa mengarah sebagai Undang-Undang Payung karena mengatur secara
menyeluruh dan kemudian mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain. Akan tetapidi
Indonesia justru tidak menganut Undang-Undang Payung karena posisi seluruh Undang-Undang
adalah sama. Persoalan yang muncul bila dikaji dari perspektif teori peraturan perundang-
undangan mengenai kedudukannya, sehingga kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam
Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus diamandemen.
Undang-Undang Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang
berdasarkan UUD 1945 dan UU No. 12 Tahun 2011 atau dikatakan cacat formil / cacat
procedural. Ada beberapa alasan untuk menguatkan serta membuktikan bahwa pembentukan UU
Cipta Kerja tidak memenuhi ketentuan pembentukan Undang-Undang berdasarkan UUD 1945
dan UU No. 12 Tahun 2011 sehingga didalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tanggal
25 November Tahun 2021 dinyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
UU Cipta Kerja dinilai melanggar format susunan Peraturan dalam UU No. 12 Tahun
2011. Sebagaimana dikatakan dalam Pasal 64 UU No. 12 Tahun 2011, bahwa adanya
pelanggaran terhadap format susunan peraturan dari UU Cipta Kerja dapat dilihat dari Teknik
Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan yang menggunakan Teknik Omnibus Law yang
bertentangan dengan Teknik Penyusunan Peraturan Perundang-Undangan. dikatakan dengan
tegas dan jelas pula dalam Pasal 64 ayat (1) dan (2) merujuk lampiran UU No. 12 Tahun 2011
sebagai Teknik baku penyusunan peraturan perundang-undangan.
Diatur dalam Lampiran I dan II UU No. 12 Tahun 2011 bahwa teknik Omnibus Law
yang diadopsi oleh UU Cipta Kerja memiliki ciri mereformulasi, menegasikan, mencabut
sebagian atau keseluruhan peraturan lain yang pada apek teknik memiliki implikasi
terhadap teknik penyusunan, sehingga dapat bertentangan dengan teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan. Dikatakan pula dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020
tanggal 25 November Tahun 2021 bahwa dalam UU Cipta Kerja atau Omnibus Law muncul
sistematika baru pada Teknik pembentukan Peraturan perundang-undangan yang dimana
terdapat ketidakjelasan sistematika/kerangka pada batang tubuh UU Cipta Kerja yang di isi

9
dengan berbagai undang-undang yang akan mengubah, menghapus, dan/atau menetapkan
pengaturan baru. Pada posisi ini pun tidak ada ketentuan yang pasti bagaimana sejumlah
undangundang tersebut di tempatkan posisinya.
Dalam putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 tanggal 25 November Tahun 2021
dikatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja dengan teknik Omnibus Law menyebabkan
ketidak jelasan jenis undang-undang yang baru dibentuk, dicabut dan diubah karena
digabungkannya ketiga metode tersebut dalam sebuah undang-undang. Sehingga hal tersebut
bertentangan dengan teknik pembentukan judul undang-undang baru, pencabutan dan/atau
perubahan undang-undang sebagaimana diatur dalam Lampiran II Poin A UU 12/2011. Terdapat
pula beberapa konsekuensi dari judul yaitu, pada nama Peraturan Perundang–undangan
pencabutan ditambahkan kata pencabutan di depan judul
Peraturan Perundang–undangan yang dicabut. Serta adanya ketidakjelasan dan kekaburan
teknik akan terjadi pada upaya perubahan pada beberapa materi dalam UU Cipta Kerja yang
diambil dari salah satu undang-undang yang diubah.
UU Cipta Kerja bertentangan dengan asas pembentukan Peraturan perundang-undangan
Pasal 5 UU No. 12 Tahun 2011. Dinyatakan bahwa sejumlah asas yang diatur dalam Pasal 5 UU
No. 12 Tahun 2011 telah mengelaborasi dan menggabungkan asas formil dan materil
sebagaimana dijelaskan pada teori perundang-undangan dan ilmu perundang-undangan. dalam
UUP3 yang mengelobarasi dan penggunaan asas formil dan materiil tersebut menunjukan bahwa
penggunaan asas formil dan materil dalam pembentukan peraturan perundang-undangan adalah
hal yang bersifat komulatif (bukan alternatif), yang artinya keduanya adalah hal yang tidak dapat
dipisah-pisah atau di kesampingkan pelaksanaanya satu sama lain.
Pemerintah Daerah sebagai pihak yang berinteraksi langsung dengan para pemohon
pengajuan perizinan telah menjadi salah satu korban dari perubahan IMB menjadi PBG ini.
Penangguhan yang dilakukan oleh Putusan MK menghambat Pemerintah Daerah untuk
mengubah Peraturan Daerah yang disesuaikan dengan peraturan perizinan yang terbaru.

4. Pandangan Empirik, Praktik Omnibus Law Dalam Perizinan


Berdasarkan studi kasus yang telah dibahas mengenai permasalahan perizinan
pembangunan dalam tata ruang Omnibus law, ternyata penerapannya belum sesuai dengan

10
praktik yang ada di lapangan. Sangat disayangkan pada kenyataan yang ada masih banyak
ditemukan adanya miss coordinating dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Selain itu,
beberapa pasal yang termuat di dalam Omnibus law dianggap sebagai pasal bayangan yang
hanya menguntungkan bagi beberapa pihak saja. Salah satu yang bermasalah adalah peraturan
yang membahas mengenai perizinan pembangunan berdasarkan Peraturan Pemeritah No 16
tahun 2021. Aturan yang seharusnya dapat mempermudah perijinan pembangunan di Indonesia
justru masih dianggap sebagai suatu hal yang merugikan banyak orang. Hal ini yang kemudian
tercipta adanya ketetapan MK yang membahas mengenai penanggungan pasal-pasal yang ada di
dalam Omnibus law.
Pada prinsipnya pemerintah pada masa Presiden Joko Widodo didorong untuk
menumbuh kembangkan iklim investasi dengan program kabinet Kerjanya, sehingga semua
kebijakannya diarahkan untuk mempermudah dan penyederhanaan perizinan dan persyaratan
investasi. Atas konsep inilah maka konsep Omnibus Law inilah yang diharapkan menjadi solusi
atas kondisi sistem perundang-undangan negara. Sehingga substansi Omnibus Law yang
diusulkan presiden Joko Widodo adalah sebagai berikut:
A. Penyederhanaan Perizinan
a. Mengubah konsepsi kegiatan usaha dari berbasis izin (license approach) menjadi
penerapan standar dan berbasis risiko (Risk-Based Approach/RBA)
b. Kegiatan usaha yang tidak menimbulkan risiko bagi kesehatan, keselamatan, dan
lingkungan (termasuk SDA) tidak memerlukan izin dan hanya melalui pendaftaran dan
penggunaan standar.
c. Perubahan pada izin dasar:
1) Izin Lokasi untuk kegiatan usaha tidak diperlukan dengan Penggunaan Peta Digital
RDTR (Rencana Detil Tata Ruang)
2) Penerapan standar untuk Izin Linkungandan AMDAL hanya untuk kegiatan usaha
yang risiko tinggi (norma waktu dan prosedur yang lebih pendek dan ringkas)
3) Penerapan standar untuk mendirikan bangunan dan penilaian kelayakan bagunan
(IMB & SLF) dan penialaian (comply) dilakukan oleh profesi bersertifikat
4) Menghapus Izin Usaha dengan penerapan Izin Operasional / Komersial yang berbasis
RBA

11
d. Perubahan pada perizinan sektor (izin usaha dan izin operasional / komersial)
1) Kegiatan sektor di tentukan dalam tingkatan risiko: rendah, sedang, dan tinggi
berdasarkan parameter kesehatan (health), keselamatan(safety), dan lingkungan
(environment)
2) Semakin tinggi potensi risiko yang ditimbulkan oleh aktivitas bisnis tertentu, semakin
ketat kontrol dari Pemerintah dan semakin banyak perizinan yang dibutuhkan atau
inspeksi yang dilakukan
3) Kelompok risiko sektor:
a) sektor risiko rendah hanya didaftarkan
b) sektor risiko menengah menggunakan standar
c) sektor risiko tinggi wajib mendapatkan izin.
B. Kemudahan Persyaratan Investasi
a. Mengubah konsepsi persyaratan investasi dari negative list (DNI) menjadi postif list,
yaitu dengan menetapkan daftar kegiatan usaha yang prioritas (priority list) dan daftar
kegiatan usaha lainnya yang didorong untuk dikembangkan (white list), dengan
demikian akan fokus terhadap beberapa kegiatan usaha yang perlu mengundang
modal asing
b. Daftar bidang usaha yang tertutup hanya untuk kegiatan usaha yang didasarkan untuk
kepentingan nasional (national interest), konvensi internasional, dan kepatutan
c. Menghapus ketentuan persyaratan investasi dalam UU sektor dan cukup diatur dalam
UU Penanaman Modal (perlu mengubah 13 UU sektor yang mengatur persyaratan
investasi
d. Mengubah konsepsi pembedaan PMA dan PMDAN dan hanya mengatur ketentuan
dan batasan kepemilikan saham oleh asing (share holding) yang ditetapkan oleh
Presiden
C. Administrasi Pemerintah
a. Dalam rangka penerapan perizinan yang berbasis standar dan RBA memerlukan
adanya perubahan dan penataan kewenangan perizinan yang saat ini tersebar diantara
K/L dan daerah.

12
b. Presiden berwenang untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan (c.q.
peizinan) termasuk yang telah didelegasikan oleh UU kepada Menteri / Kepala dan /
atau Gubernur dan Bupati/Walikota.
c. Pelaksanaan UU oleh Menteri / Kepala dan Pemda merupakan pelaksanaan dari
kewenangan Presiden (delegasi kewenangan Presiden) dan dengan demikian
Peraturan Menteri/ Kepala dan Perda/ Perkada merupakan pelaksanaan dari
pendelegasian dari PP atau Perpres dan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria)
d. Penetapan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria) oleh Presiden
e. Presiden berwenang membatalkan Perda dengan Peraturan Presiden.
f. Sanksiyang berkaitan dengan administrasi perizinan berbentuk sanksi administratif
dan sanksi perdata dan menghapus sanksi yang bersifat pidana (mengikuti ketentuan
KUHP)
g. Penegakan hukum (sanksi pidana)
D. Kemudahan dan insentif
a. Memberikan kemudahan dalam proses:
1) Keimigrasian: investasi dapat sebagai jaminan untuk Izin Tinggal Sementara
(ITAS) / Izin Tinggal Tetap (ITAP) dan kemudahan untuk mendapatkan visa
untuk kegiatan maintenance dan kunjungan minat investasi
2) Paten: Fleksibilitas kewajiban membuat produk atau menggunakan proses paten
di Indonesia
b. Perubahan persyaratan modal untuk mendirikan PT (menghapus modal minimal Rp50
juta)
c. Penyederhanaan jenis Badan Usaha: menghapus CV, Persekutuan Perdata, UD (Perlu
mempertimbangkan kedudukan Firma)

13
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan
Omnibus law adalah hal baru dalam bidang peraturan perundang-undangan negara
Republik Indonesia, selain karena sistem hukum negara kita menganut Civil Law sistem juga
karena produk-produk peraturan pemerintahan saat ini adalah warisan dari sistem yang lama.
Sehingga dari uraian dan pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulannya sebagai berikut.
1. Omnibus law adalah sebuah produk Undang-Undang yang bisa mencabut atau mengubah
beberapa undang-undang yang ada yang berlaku yang bisa tersebar dalam beberapa
peraturan, kemudian dirampingkan dalam satu Undang-undang agar lebih tepat sasaran yang
menjadi sebuah solusi atas konflik antara penyelenggara pemerintah dengan peraturan
perundang-undangan dengan tujuan tertentu untuk meningkatkan iklim investasi dan sebagai
jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.
2. Di dalam hierarki / tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia belum
memasukkan konsep Omnibus Law sebagai salah satu asas dalam sumber hukum, tetapi
harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia terus menerus dilakukan untuk
meminimalkan konflik peraturan perundang-undangan.
3. Undang-Undang yang nantinya dihasilkan dari konsep Omnibus Law bisa mengarah sebagai
Undang-Undang Payung karena mengatur secara menyeluruh dan kemudian mempunyai
kekuatan terhadap aturan yang lain. Akan tetapi di Indonesia justru tidak menganut Undang-
Undang Payung karena posisi seluruh Undang-Undang adalah sama, sehingga kedudukannya
harus diberikan legitimasi dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 perlu
diamandemen.
4. Konsep omnibus law pernah dilaksanakan di Negara kita yaitu Perpu Nomor 1 Tahun 2017
tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan jo UU Nomor 9 Tahun
2017 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang dengan adanya hal
tersebut bisa dijadikan contoh untuk pemerintah dalam mengambil langkah konsep ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Busroh, Firman Freaddy, 2017. Konseptualisasi Omnibus Law Dalam Menyelesaikan


Permasalahan Regulasi Pertanahan, Jurnal Arena Hukum Volume 10, Nomor 2,
Agustus 2017. Universitas Brawijaya, Malang.
F. (N.D.). Persetujuan Bangunan Gedung (Pbg) Ketentuan Baru Pengganti Imb. Frelance.
Retrieved September 2, 2022, From
Http://Ukpbj.Iain-Jember.Ac.Id/Berita/Detail/Persetujuan-Bangunan-Gedung-Pbg-
Ketentuan-Baru-Pengganti-Imb
F. (2017, February 17). Menimbang Konsep Omnibus Law Bila Diterapkan Di Indonesia.
Hukumonline.Com. Retrieved September 2, 2022, From
Https://Www.Hukumonline.Com/Berita/A/Menimbang-Konsep-Omnibus-Law-Bila-
Diterapkan-Di-Indonesia-Lt58a6fc84b8ec3
Indonesia, M. K. R. (N.D.). Satya Arinanto: Metode Omnibus Law Merupakan Suatu
Keberhasilan | Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia. Retrieved September 2, 2022, From
Https://Www.Mkri.Id/Index.Php?Page=Web.Berita&Id=17531&Menu=2
Sadono, Bambang, 2019. Penataan Sistem Ketatanegaraan, Jakarta : Badan Pengkajian Mpr Ri.
Wiston, K. (2021, June 11). Penggantian Izin Mendirikan Bangunan (Imb) Menjadi Persetujuan
Bangunan Gedung (Pbg). Kenny Wiston Law Offices. Retrieved September 2, 2022,
From Https://Www.Kennywiston.Com/Penggantian-Izin-Mendirikan-Bangunan-Imb-
Menjadi-Persetujuan-Bangunan-Gedung-Pbg/

Anda mungkin juga menyukai