PEMBAHASAN
A. Pengertian ‘Urf
Kata ‘urf secara etimologi yaitu, sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat.
(kebiasaan), yaitu: “sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapat diterimanya oleh
Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah, istilah ‘urf berarti ialah sesuatu yang telah
dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa
perkayaan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan adat. Menurut
istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat (adat kebiasaan). Namun dalam
pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘urf lebih umum dibanding dengan pengertian
adat karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan
dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukun tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi
Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar
menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan manusia
menyebut al walad secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan dan kebiasaan
mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan kata daging sebagai ikan. Adat
terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu.
Berbeda dengan ijma’, yang terbentuk dari kesepakatan para mujtahid saja, tidak termasuk
1 Abdul wahab kholaf. Ilmu Ushul Fiqih. (Gema risalah press: Bandung).1996. Hal 148
B. Kedudukan ‘Urf sebagai dalil Syara’
Para ulama’ sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak
bertentangan dengan Syara’. Ulama’ Malikiyyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa
amal ulama’ Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama’ Hanafiyah menyatakan
bahwa pendapat ulama’ Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi’i terkenal dengan
qaul qadim dan qaul jadidnya. Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang
berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau
berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah
dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.
Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’ didasarkan atas argumen-argumen berikut
ini:
Artinya: “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta
Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang
ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum
muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak
manusia yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.
فَ َما َراَهُ ال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن َو َما َراَهُ ال ُم ْسلِ ُموْ نَ َس ْيًئا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َسيٌْئ
Artinya: “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan
yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam adalah juga merupakan sesuatu yang baik
di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dinilai
baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-
hari. Padahal dalam pada itu, Allah berfirman pada surat al-Maidah ayat 6:
Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum Syara’ dan putusan
perkara. Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan
bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa yang
sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati
Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat
yang rusak berarti menentang dalil Syara’ atau membatalkan hukum Syara’.
Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat,
karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam hal
perbedaan pendapat ini para ‘ulama fikih berkata: “Perbedaan itu adalah pada waktu dan
B. Macam-macam ‘Urf
2 Abd rohman dahlan. Ushul fiqih. (Amzah: Jakarta). 2010. Hal. 213
‘Urf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang
benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak
menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Sedangkan adat yang rusak
adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’,
Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu juga dapat dilihat dari beberapa segi:
1. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf ada dua macam:
a. ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.
anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena
tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan
(mengenahi waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur’an, seperti dalam
surat an-Nisa’ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang
disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.3
b. ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya; (1) jual beli
barang-barang yang enteng (murah dan tidak begitu bernilai) transaksi antara penjual
dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang
tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam
jual beli. (2) kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa
3 Rahmat syafei.ilmu ushul fiqih. (CV. Pustaa Setia: Bandung). 1998. Hal. 128
4 Ahmad sanusi, sohari. Ushul fiqih. (PT. Raja Grafindo Persada: Kota Depok). 2015. Hal 82
a. Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana,
hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama.
tanda menolak atau meniadakan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka
b. Adat atau ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang
tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan sembarang
waktu. Contohnya, orang Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dari
ayah; sedangkan orang Jawa menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan kakak
dari ayah.6
a. Adat yang shahih, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang
banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur.
Contohnya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu
b. Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata
sopan santun. Contohnya, berjudi untuk merayakan suatu peristiwa; pesta dengan
Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas
yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam firman Allah
surat Al-Syura : 13
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya
kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah
kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan
ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi
orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah
memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada
(agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan,
tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan
ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.8
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum
kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat
yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.9
8 Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, revisi. 3)
hal. 112
9 http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
1. Diharamkannya semua binatang berkuku
Allah menetapkan bahwa Bani Israil dilarang untuk memakan daging semua binatang
yang berkuku.
2. Disunnahkannya hidup membujang
Allah Swt. menetapkan syariat bagi Nabi Zakariya dan Yahya. Bahwa membujang itu
lebih utama daripada menikah.
3. Diwajibkannya hukuman qishash
Allah Swt menetapkan bagi syariat Nabi Musa. Bahwa hukuman qishash itu wajib
diterapkan.
4. Diharamkannya membalas perbuatan buruk
Allah Swt. menetapkan bagi syariat Nabi Adam alaihis salam. Bahwa umat beliau
dilarang keras untuk melakukan pembalasan atas perbuatan buruk. Itulah mengapa
Habil tidak melakukana pembalasan sama sekali, ketika Qabil hendak membunuhnya.