Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

2.1      AL-URF / ADAT KEBIASAAN

A.    Pengertian ‘Urf

Kata ‘urf secara etimologi yaitu, sesuatu yang di pandang baik dan diterima oleh akal sehat.

Sedangkan kata ‘urf dalam pengertian terminologi sama dengan istilah al ‘adah

(kebiasaan), yaitu: “sesuatu yang telah mantap di dalam jiwa dari segi dapat diterimanya oleh

akal yang sehat dan watak yang benar”1

Sedangkan menurut Abdul Karim Zaidah, istilah ‘urf berarti ialah sesuatu yang telah

dikenali oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan dikalangan mereka baik berupa

perkayaan, perbuatan atau pantangan-pantangan dan juga bisa disebut dengan adat. Menurut

istilah ahli syara’, tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat (adat kebiasaan). Namun dalam

pemahaman biasa diartikan bahwa pengertian ‘urf lebih umum dibanding dengan pengertian

adat karena adat disamping telah dikenal oleh masyarakat, juga telah biasa dikerjakan

dikalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukun tertulis, sehingga ada sangsi-sangsi

terhadap orang yang melanggarnya.

Contohnya adat perbuatan, seperti kebiasaan umat manusia berjual beli dengan tukar

menukar secara langsung, tanpa bentuk ucapan akad. Adat ucapan seperti kebiasaan manusia

menyebut al walad secara mutlak berarti anak laki-laki, bukan anak perempuan dan kebiasaan

mereka, juga kebiasaan mereka untuk tidak mengucapkan kata daging sebagai ikan. Adat

terbentuk dari kebiasaan manusia menurut derajat mereka, secara umum maupun tertentu.

Berbeda dengan ijma’, yang terbentuk dari kesepakatan para mujtahid saja, tidak termasuk

manusia secara umum.

1 Abdul wahab kholaf. Ilmu Ushul Fiqih. (Gema risalah press: Bandung).1996. Hal 148
B.    Kedudukan ‘Urf sebagai dalil Syara’

Para ulama’ sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama tidak

bertentangan dengan Syara’. Ulama’ Malikiyyah terkenal dengan pernyataan mereka bahwa

amal ulama’ Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama’ Hanafiyah menyatakan

bahwa pendapat ulama’ Kufah dapat dijadikan dasar hujjah. Imam Syafi’i terkenal dengan

qaul qadim dan qaul jadidnya.  Ada suatu kejadian tetapi beliau menetapkan hukum yang

berbeda pada waktu beliau masih berada di Makkah (qaul qadim) dengan setelah beliau

berada di Mesir (qaul jadid). Hal ini menunjukkan bahwa ketiga madzhab itu berhujjah

dengan ‘urf. Tentu saja ‘urf fasid tidak mereka jadikan sebagai dasar hujjah.

Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’ didasarkan atas argumen-argumen berikut

ini:

Firman Allah pada surah al-A’raf ayat 199

ِ ْ‫ُخ ِذ ْال َع ْف َو َوْأ ُمرْ بِ ْالعُر‬


َ‫ف َوَأ ْع ِرضْ ع َِن ْال َجا ِهلِين‬

Artinya:  “Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta

berpalinglah dari pada orang-orang bodoh”.

Melalui ayat di atas Allah memerintahkan kaum muslimin untuk mengerjakan yang

ma’ruf. Sedangkan yang disebut sebagai ma’ruf itu sendiri ialah, yang dinilai oleh kaum

muslimin sebagai kebaikan, dikerjakan berulang-ulang, dan tidak bertentangan dengan watak

manusia yang benar, yang dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ajaran Islam.

Ucapan sahabat Rasulullah SAW; Abdullah bin Mas’ud:

‫فَ َما َراَهُ ال ُم ْسلِ ُموْ نَ َح َسنًا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َح َس ٌن َو َما َراَهُ ال ُم ْسلِ ُموْ نَ َس ْيًئا فَهُ َو ِع ْن َد هللاِ َسيٌْئ‬

Artinya: “Sesuatu yang dinilai baik oleh kaum muslimin adalah baik di sisi Allah, dan

sesuatu yang mereka nilai buruk maka ia buruk di sisi Allah”.


Ungkapan Abdullah bin Mas’ud di atas, baik dari segi redaksi maupun maksudnya,

menunjukkan bahwa kebiasaan-kebiasaan baik yang berlaku di dalam masyarakat muslim

yang sejalan dengan tuntunan umum syari’at Islam adalah juga merupakan sesuatu yang baik

di sisi Allah. Sebaliknya, hal-hal yang bertentangan dengan kebiasaan-kebiasaan yang dinilai

baik oleh masyarakat, akan melahirkan kesulitan dan kesempitan dalam kehidupan sehari-

hari. Padahal dalam pada itu, Allah berfirman pada surat al-Maidah ayat 6:

‫ج َو ٰلَ ِك ْن ي ُِري ُد لِيُطَه َِّر ُك ْم َولِيُتِ َّم نِ ْع َمتَهُ َعلَ ْي ُك ْم‬


ٍ ‫َما ي ُِري ُد هَّللا ُ لِيَجْ َع َل َعلَ ْي ُك ْم ِم ْن َح َر‬

َ ‫لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْش ُكر‬


‫ُون‬
Artinya:“Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan

menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur”.

Adat yang benar, wajib diperhatikan dalam pembentukan hukum Syara’ dan putusan

perkara. Seorang mujtahid harus memperhatikan hal ini dalam pembentukan hukumnya dan

bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam setiap putusannya. Karena apa yang

sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati

dan ada kemaslahatannya.

Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena memperhatikan adat

yang rusak berarti menentang dalil Syara’ atau membatalkan hukum Syara’.

Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan waktu dan tempat,

karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal. Oleh karena itu, dalam hal

perbedaan pendapat ini para ‘ulama fikih berkata: “Perbedaan itu adalah pada waktu dan

masa, bukan pada dalil dan alasan.2

B.     Macam-macam ‘Urf

2 Abd rohman dahlan. Ushul fiqih. (Amzah: Jakarta). 2010. Hal. 213
‘Urf atau adat itu ada dua macam, yaitu adat yang benar dan adat yang rusak. Adat yang

benar adalah kebiasaan yang dilakukan manusia, tidak bertentangan dengan dalil syara’, tidak

menghalalkan yang haram dan tidak membatalkan kewajiban. Sedangkan adat yang rusak

adalah kebiasaan yang dilakukan oleh manusia tetapi bertentangan dengan syara’,

menghalalkan yang haram atau membatalkan kewajiban.

Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu juga dapat dilihat dari beberapa segi:

1.      Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan. Dari segi ini ‘urf ada dua macam:

a. ‘Urf qauli, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-kata atau ucapan.

Contohnya, kata Waladun secara etimologi artinya “anak” yang digunakan untuk

anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata tersebut untuk perempuan karena

tidak ditemukannya kata ini khusus untuk perempuan dengan tanda perempuan

(Mu’annats). Penggunaan kata Walad itu untuk anak laki-laki dan perempuan,

(mengenahi waris atau harta pusaka) berlaku juga dalam al-Qur’an, seperti dalam

surat an-Nisa’ (4): 11-12. Seluruh kata walad dalam kedua ayat tersebut yang

disebutkan secara berulang kali, berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan.3

b. ‘Urf fi’li, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan. Umpamanya; (1) jual beli

barang-barang yang enteng (murah dan tidak begitu bernilai) transaksi antara penjual

dan pembeli cukup hanya menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang

tanpa ucapan transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam

jual beli. (2) kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa

adanya ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.4

2.      Dari segi ruang lingkup penggunaannya

3 Rahmat syafei.ilmu ushul fiqih. (CV. Pustaa Setia: Bandung). 1998. Hal. 128
4 Ahmad sanusi, sohari. Ushul fiqih. (PT. Raja Grafindo Persada: Kota Depok). 2015. Hal 82
a. Adat atau ‘urf umum, yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku di mana-mana,

hampir di seluruh penjuru dunia, tanpa memandang negara, bangsa dan agama.

Umpamanya: menganggukkan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala

tanda menolak atau meniadakan. Kalau ada orang berbuat kebalikan dari itu, maka

dianggap aneh atau ganjil.5

b. Adat atau ‘urf khusus, yaitu kebiasaan yang dilakukan oleh sekelompok orang

tertentu atau pada waktu tertentu; tidak berlaku di semua tempat dan sembarang

waktu. Contohnya, orang Sunda menggunakan kata “paman” hanya untuk adik dari

ayah; sedangkan orang Jawa menggunakan kata “paman” itu untuk adik dan kakak

dari ayah.6

3.      Dari segi penilaian baik dan buruk:

a. Adat yang shahih, yaitu adat yang berulang ulang dilakukan, diterima oleh orang

banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur.

Contohnya, memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-waktu

tertentu, mengadakan acara halal bihalal (silaturrahmi) saat hari raya; memberi

hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.

b. Adat yang fasid, yaitu adat yang berlaku di suatu tempat meskipun merata

pelaksanaannya, namun bertentangan dengan agama, undang-undang negara daan

sopan santun. Contohnya, berjudi untuk merayakan suatu peristiwa; pesta dengan

menghidangkan minuman haram; membunuh anak perempuan yang baru

lahir; kumpul kebo (hidup bersama tanpa nikah). 7

2.2      SYAR’U MAN QOBLANA


A.    Pengertian Syar’u Man Qablana
Syar’u Man Qablana adalah syari’at atau ajaran-ajaran yang di bawa nabi-nabi yang
terdahulu, sebelum diutusnya nabi muhammd SAW. Yang menjadi petunjuk bagi kaum
5 Masduki. Dasar-dasar ushul fiqih. (lembaga peneliti IAIN SMHB: serang). 2012. Hal. 141
6 Ahmad sanusi, sohari. Ushul fiqih. (PT. Raja Grafindo Persada: Kota Depok). 2015. Hal 83
7 Abd rohman dahlan. Ushul fiqih. (Amzah: Jakarta). 2010. Hal. 210.
yang mereka utus kepadanya, seperti syari’at Nabi Ibrahim, nabi daud, Nabi Musa, Nabi
Isa as. [9]
Pada asas syariat yang diperuntukan Allah SWT bagi umat-umat dahulu mempunyai asas
yang sama dengan asas yang diperuntukan bagi umat nabi Muhammad SAW., sebagai
mana dinyatakan dalam Al-quran:
‫ْس َأ ْن‬َ ‫وس َو ِعي‬ َ ‫ص ْينَا بِ ِه ِإب َْرا ِه ْي َما َو ُم‬ َّ ‫صى„ بِ ِه نُوحًا َوالَّ ِذي َأو َح ْينَا„ ِإلَ ْيكَ َو َما َو‬ َّ ‫َش َر َع لَ ُك ْم ِمنَ ال ِّدي ِْن َما َو‬
‫أقِي ُموا ال ِّدينَ َواَل تَتَفَ َّرقُوا فِي ِه َكبُ َر َعلَى ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َما تَ ْدعُوهُ ْم ِإلَ ْي ِه هللاُ يَجْ تَبِ ْي ِإلَ ْي ِه َم ْن يَ َشا ُء َويَ ْه ِدى ِإلَ ْي ِه‬
ُ‫َم ْن يُنِيْب‬
  “Dia telah mensyari’atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya
kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami
wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah
kamu berpecah belah tentangnya.  Amat berat bagi orang-orang musyrik agama yang
kamu seru mereka kepadanya. Allah menarik kepada agama itu orang yang dikehendaki-
Nya dan member petunjuk kepada (agama)-Nya orang yang kembali (kepada-
Nya).” (QS. As-Syura/42:13)[10]
Contoh dari Syar’u Man Qablana sendiri sebagaimana dalam surat Al-Baqoroh ayat 183:
َ‫ب َعلَى الَّ ِذ ْينَ ِم ْن قَ ْبلِ ُك ْ„م لَ َعلَ ُك ْم تَتَّقُون‬ َ ِ‫ياَاَيُّهَا الَّ ِذينَ َأ َمنُوا ُكت‬
َ ِ‫ب َعلَ ْي ُك ُم الصِّ يَا ُم َكما َ ُكت‬
“ Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamuberpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelumkamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah:183).

B. Kedudukan Syar’u Man Qablana

Pada prinsipnya, syariat yang diperuntukkan Allah bagi umat terdahulu mempunyai asas
yang sama dengan syariat yang dibawa Nabi Muhammad. Hal ini terlihat dalam firman Allah
surat Al-Syura : 13
“Dia (Allah) telah mensyari’atkan kepadamu agama yang telah diwasiatkannya
kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah
kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan
ketakwaan) dan jannganlah kamu berpecah-pecah belah didalamnya. Sangat berat bagi
orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan kepada mereka. Allah
memilih orang yang dikehendaki kepada agama Tauhid dan memberikan petunjuk kepada
(agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya).”
Diantara asas yang sama itu adalah yang berhubungan dengan konsepsi ketuhanan,
tentang akhirat, tentang janji, dan ancaman Allah. Sedangkan rinciannya ada yang sama dan
ada juga yang berbeda sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman masing-masing.8
Oleh karena itu terdapat penghapusan terhadap sebagian hukum umat-umat yang sebelum
kita (umat Islam) dengan datangnya syari‟at Islamiyah dan sebagian lagi hukum-hukum umat
yang terdahulu tetap berlaku, seperti qishash.9

C. Contoh Syar’u Man Qablana

Berikut beberapa contoh dari Syar’u Man Qablana:

8 Prof. Dr. H. Alaiddin Koto, Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009, revisi. 3)
hal. 112
9 http://www.scribd.com/doc/51198324/modul-ushul-fiqih
1. Diharamkannya semua binatang berkuku
Allah menetapkan bahwa Bani Israil dilarang untuk memakan daging semua binatang
yang berkuku.
2. Disunnahkannya hidup membujang
Allah Swt. menetapkan syariat bagi Nabi Zakariya dan Yahya. Bahwa membujang itu
lebih utama daripada menikah.
3. Diwajibkannya hukuman qishash
Allah Swt menetapkan bagi syariat Nabi Musa. Bahwa hukuman qishash itu wajib
diterapkan.
4. Diharamkannya membalas perbuatan buruk
Allah Swt. menetapkan bagi syariat Nabi Adam alaihis salam. Bahwa umat beliau
dilarang keras untuk melakukan pembalasan atas perbuatan buruk. Itulah mengapa
Habil tidak melakukana pembalasan sama sekali, ketika Qabil hendak membunuhnya.

2.3 MAZHAB SAHABI


A. Pengertian Madzhab Shahabi
Pengertian Madzhab Sahabat sendiri secara etimologi yaitu kata madzhab
merupakan sighat isim makan dari fi’il madli zahaba yang artinya pergi. Oleh karena
itu,mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Kata-kata yang semakna ialah :maslak,
thariiqah dan sabiil yang kesemuanya berarti jalan atau cara.
Sesuatu dikatakan madzhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut
menjadi ciri khasnya. Menurut para ulama dan ahli agama Islam, yang dinamakan
madzhab adalah metode yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian,
kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas
batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-
kaidah. Dengan demikian, madzhab sahabat adalah jalan yang ditempuh para sahabat.
Madzhab Sahabat yang lazimnya juga disebut Qaul Sahabat maksudnya
adalah pendapat-pendapat Shahabat dalam masalah-masalah Ijtihad. Dengan kata lain
Qaul Sahabat adalah pendapat para Sahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh
para Ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam
ayat atau hadits.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa pengertian dari madzhab sahabat adalah
jalan yang ditempuh oleh para shahabat dalam menetapkan hukum Islam, yaitu
berdasarkan Al-Qur’an, As-Sunnah dan ijtihad. Jadi Madzhab Sahabat adalah jalan
yang ditempuh oleh para shahabat dalam menetapkan hukum Islam berdasarkan Al-
Qur’an, sunnah dan hadits. Sedangkan Qaul Sahabat ialah fatwa-fatwa yang
dikeluarkan oleh sahabat Rasulullah saw., menyangkut hukum masalah-masalah yang
tidak diatur dalam nash

Anda mungkin juga menyukai