Anda di halaman 1dari 20

ARTIKEL PENGELOLAAN LINGKUNGAN DAN OMNIBUS LAW

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kelembagaan Pengelolaan Lingkungan

Dosen Pengampu:

Dr. Tobirin, M.Si

Disusun Oleh :

Nama : Andree Satrio

Program Studi : Magister Ilmu Lingkungan

NIM : P2A019001

MAGISTER ILMU LINGKUNGAN


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN 2020
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia telah melewati rezim pemerintahan dari pemerintahan Orde Lama
hingga Orde Reformasi. Pergantian Presiden dan kabinet pemerintahan yang
mengakibatkan lahirnya banyak peraturan perundang-undangan sesuai keinginan
masing-masing pemerintahan yang berkuasa saat itu. Hal ini kemudian menimbulkan
persoalan regulasi dimana ada beberapa peraturan perundang-undangan yang tumpah
tindih sehingga menimbulkan konflik kebijakan antara satu kementerian dengan
kementerian lainnya. Untuk menyelesaikan persoalan regulasi tersebut dibutuhkan
suatu terobosan hukum yang tepat dan salah satu jalan keluarnya melalui konsep
Omnibus Law. Bagi sebagian kalangan masyarakat masih terasa asing mendengar
istilah Omnibus Law. Bahkan beberapa kalangan akademisi hukum masih
memperdebatkan konsep Omnibus Law tersebut bila diterapkan dikhawatirkan akan
mengganggu sistem perundang-undangan Indonesia karena disinyalir penyebabnya
sistem hukum yang dianut di Indonesia yang dominan adalah Civil Law, sedangkan
Omnibus Law ini berasal dari sistem hukum Common Law. Inilah kemudian gagasan
tersebut menjadi menarik untuk dikaji dari sistem hukum yang berlaku di Indonesia.
Pemerintah era kepemimpinan Presiden Ir. H. Joko Widodo sejak awal selalu
mengumandangkan untuk mempermudah berinvestasi, semangat ini bisa jadi bukan
karena unsur pihak lain melainkan pengalaman sebelum menjadi seorang presiden
adalah seorang pengusaha Meubel, yang dalam menjalankan usahanya mengalami
kendala dalam prosedur perijinan dan peraturan-peraturan lain yang menghambat
dirinya dalam berusaha. Beberapa kali Presiden Joko Widodo menegaskan, investasi
dan ekspor adalah dua hal penting untuk ditingkatkan. Dua hal itu adalah penopang
pertumbuhan ekonomi nasional dan membuka lapangan pekerjaan di Indonesia.
Demikian diungkapkan Presiden Jokowi saat membuka Sidang Kabinet Paripurna di
Istana Negara pada hari Rabu 16 Mei 2018, di hadapan para menteri Kabinet Kerja.

Wacana RUU Omnibus Law secara resmi disampaikan Presiden Joko Widodo
pada 20 Oktober 2019 dalam pidato pelantikannya sebagai presiden terpilih untuk
periode kedua. Jokowi dalam pidatonya menegaskan ada dua omnibus law yang
disiapkan, yaitu UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan UMKM. Kedua
omnibus law ini masuk dalam agenda ketiga prioritasnya selama lima tahun ke depan.
Beliau menyebutkan segala bentuk kendala regulasi harus disederhanakan, harus
dipotong, harus dipangkas. Wacana omnibus law ini semakin menguat dengan
beredarnya Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian No.
HM.4.6/154/SET.M.EKON.2.3/12/2019 pada 12 Desember 2019. Siaran Pers tersebut
menyebutkan Menteri Hukum dan HAM bersama Badan Legislasi DPR RI pada 5
Desember 2019 lalu telah menetapkan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja dan
RUU Omnibus Law Perpajakan masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
Super Prioritas Tahun 2020. Kedua RUU Omnibus Law tersebut menurut Menteri
Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merupakan arahan Presiden
Jokowi guna meningkatkan iklim investasi dan daya saing dalam berbagai kesempatan.

Pada penghujung Januari 2020, Draft RUU Omnibus Law Cipta Lapangan
Kerja beredar ke publik. Publik meresponnya secara negatif, sedangkan kelompok
bisnis tetap konsisten mendorong penerbitan RUU ini. Pemerintah melalui beberapa
kementerian memberikan argumentasi bahwa draft yang beredar bukan draft final dan
bahkan ada yang menyebutnya sebagai hoax. Tetap saja, perlawanan terhadap RUU
Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja yang sering disingkat sebagai RUU Cilaka terus
menguat. Kelompok masyarakat sipil, khususnya buruh merespon dengan beberapa
demonstrasi. Penolakan ini tidak diakomodasi dengan positif oleh Pemerintah. Pada 12
Februari 2020, Presiden secara resmi mengirim draf dan surat presiden (surpres) (1)
RUU Cipta Kerja melalui Menko Perekonomian (Airlangga Hartarto), Menkeu (Sri
Mulyani), Menaker (Ida Fauziyah), Menteri ATR/BPN (Sofyan Djalil), Menkumham
(Yasonna Laoly) dan Menteri LHK (Siti Nurbaya) ke DPR. Pemerintah dalam draft
tersebut melanjutkan gimmick. Draf RUU yang diserahkan dan beredar kepada publik
jauh lebih buruk dari draf yang beredar sebelumnya. Pemerintah hanya merubah nama
RUU menjadi Cipta Kerja guna menghindari singkatan ‘cilaka.’ Selebihnya, watak dan
muatan RUU masih sama kapitalistik dan sama sekali tidak berpihak pada kepentingan
rakyat. Abai terhadap aspek kemanusiaan dan perlindungan lingkungan hidup.

Guna merespon dan mempertegas posisi terhadap pengesahan RUU Cipta


Kerja, maka kajian tinjauan kritis ini akan mengurai beberapa hal krusial terkait
muatannya. Hanya saja, tinjauan kritis ini hanya mencakup beberapa pengaturan terkait
isu lingkungan hidup. Walaupun tidak komprehensif, artikel ini diharap mampu
menjadi bacaan singkat dan tetap melekat dengan isu kerakyatan lainnya guna
membentuk sudut pandang terhadap UU Cipta Kerja.
B. Batasan Penulisan
Batasan penulisan artikel ini meliputi catatan dan kritik prosedural, catatan dan kritik
materi muatan isu lingkungan hidup dan posisi penulis terhadap keseluruhan catatan
prosedur dan muatan UU Cipta Kerja. Bacaan ini hanya menjadi pelengkap terhadap
beberapa catatan kritis lain yang sudah beredar, baik untuk isu lingkungan maupun
untuk isu lainnya.
C. Permasalahan
1. Apakah yang dimaksud Omnibus Law ?
2. Bagaimana dampak Omnibus law terhadap sektor ekonomi di Indonesia ?
3. Bagaimana dampak Omnibus Law terhadap pengelolaan lingkungan di Indonesia?

II. HASIL DAN PEMBAHASAN


A. Pengertian Omnibus Law
Definisi daripada Omnibus Law dimulai dari kata Omnibus. Kata Omnibus
berasal dari bahasa Latin dan berarti untuk semuanya. Di dalam Black Law Dictionary
Ninth Edition Bryan A.Garner disebutkan omnibus : relating to or dealing with
numerous object or item at once ; inculding many thing or having varius purposes,
artinya keterkaitan dengan atau berurusan dengan berbagai objek atau item sekaligus;
termasuk banyak hal atau memiliki berbagai tujuan. Bila digandeng dengan kata Law
yang maka dapat didefinisikan sebagai suatu hukum yang memiliki keterkaitan
berbagai objek / item atau semua yang terkait.
Ciri-ciri utama Omnibus Law adalah (1) terdiri multi sektor atau terdiri dari
banyak muatan sektor dengan tema yang sama; (2) tediri dari banyak pasal, akibat
banyak sektor yang dicakup; (3) mandiri atau berdiri sendiri, tanpa terikat atau minim
terikat dengan peraturan yang lain; dan (4) menegasikan / mencabut sebagian dan / atau
keseluruhan peraturan lain.
Tujuan dimunculkan ide atau gagasan Omnibus Law adalah (1) untuk mengatasi
konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif dan efisien; (2)
menyeragamkan kebijakan pemerintah baik ditinkat pusat maupun daerah untuk
menunjang iklim investasi; (3) agar pengurusan perizinan lebih terpadu, efisien dan
efektif; (4) untuk memutus mata rantai birokrasi administrasi yang berlama-lama; (5)
untuk meningkatkan hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur
dalam kebijakan omnibus regulation yang terpadu; dan (6) sebagai jaminan adanya
kepastian hukum dan perlindungan bagi pengambil kebijakan.
B. Substansi Onmibuslaw
Substansi Omnibus Law yang diusulkan presiden Joko Widodo adalah sebagai berikut.
(Hasil Seminar yang dilakukan oleh kementerian Koordinator bidang perekonomian
tanggal 30 Oktober 2019 di Jakarta)
1. Penyederhanaan Perizinan
a. Mengubah konsepsi kegiatan usaha dari berbasis izin (license approach)
menjadi penerapan standar dan berbasis risiko (Risk-Based Approach/RBA)
b. Kegiatan usaha yang tidak menimbulkan risiko bagi kesehatan, keselamatan, dan
lingkungan (termasuk SDA) tidak memerlukan izin dan hanya melalui pendaftaran dan
penggunaan standar.
c. Perubahan pada izin dasar:
1) Izin Lokasi untuk kegiatan usaha tidak diperlukan dengan Penggunaan Peta Digital
RDTR (Rencana Detil Tata Ruang)
2) Penerapan standar untuk Izin Linkungandan AMDAL hanya untuk kegiatan usaha
yang risiko tinggi (norma waktu dan prosedur yang lebih pendek dan ringkas)
3) Penerapan standar untuk mendirikan bangunan dan penilaian kelayakan bagunan
(IMB & SLF) dan penialaian (comply) dilakukan oleh profesi bersertifikat
4) Menghapus Izin Usaha dengan penerapan Izin Operasional / Komersial yang
berbasis RBA
d. Perubahan pada perizinan sektor (izin usaha dan izin operasional / komersial)
1) Kegiatan sektor di tentukan dalam tingkatan risiko: rendah, sedang, dan tinggi
berdasarkan parameter kesehatan (health), keselamatan(safety), dan lingkungan
(environment)
2) Semakin tinggi potensi risiko yang ditimbulkan oleh aktivitas bisnis tertentu,
semakin ketat kontrol dari Pemerintah dan semakin banyak perizinan yang
dibutuhkan atau inspeksi yang dilakukan
3) Kelompok risiko sektor:
a) sektor risiko rendah hany adidaftarkan
b) sektor risiko menengah menggunakan standar
c) sektor risiko tnggi wajib mendapatkan izin.
2. Kemudahan Persyaratan Investasi
a. Mengubah konsepsi persyaratan investasi dari negative list (DNI) menjadi postif
list, yaitu dengan menetapkan daftar kegiatan usaha yang prioritas (priority list) dan
daftar kegiatan usaha lainnya yang didorong untuk dikembangkan (white list),
dengan demikian akan fokus terhadap beberapa kegiatan usaha yang perlu
mengundang modal asing
b. Daftar bidang usaha yang tertutup hanya untuk kegiatan usaha yang didasarkan
untuk kepentingan nasional (national interest), konvensi internasional, dan
kepatutan
c. Menghapus ketentuan persyaratan investasi dalam UU sektor dan cukup diatur
dalam UU Penanaman Modal (perlu mengubah 13 UU sektor yang mengatur
persyaratan investasi
d. Mengubah konsepsi pembedaan PMA dan PMDAN dan hanya mengatur ketentuan
dan batasan kepemilikan saham oleh asing (share holding) yang ditetapkan oleh
Presiden
3. Administrasi Pemerintah
a. Dalam rangka penerapan perizinan yang berbasis standar dan RBA memerlukan
adanya perubahan dan penataan kewenangan perizinan yang saat ini tersebar
diantara K/L dan daerah.
b. Presiden berwenang untuk melaksanakan seluruh kewenangan pemerintahan (c.q.
peizinan) termasuk yang telah didelegasikan oleh UU kepada Menteri / Kepala dan
/ atau Gubernur dan Bupati/Walikota.
c. Pelaksanaan UU oleh Menteri / Kepala dan Pemda merupakan pelaksanaan dari
kewenangan Presiden (delegasi kewenangan Presiden) dan dengan demikian
Peraturan Menteri/ Kepala dan Perda/ Perkada merupakan pelaksanaan dari
pendelegasian dari PP atau Perpres dan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan
Kriteria)
d. Penetapan NSPK (Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria) oleh Presiden
e. Presiden berwenang membatalkan Perda dengan Peraturan Presiden.
f. Sanksiyang berkaitan dengan administrasi perizinan berbentuk sanksi administratif
dan sanksi perdata dan menghapus sanksi yang bersifat pidana (mengikuti
ketentuan KUHP)
g. Penegakan hukum (sanksi pidana)

4. Kemudahan dan insentif

a. Memberikan kemudahan dalam proses:


1) Keimigrasian: investasi dapat sebagai jaminan untuk Izin Tinggal Sementara
(ITAS) / Izin Tinggal Tetap (ITAP) dan kemudahan untuk mendapatkan visa
untuk kegiatan maintenance dan kunjungan minat investasi

2) Paten: Fleksibilitas kewajiban membuat produk atau menggunakan proses paten


di Indonesia

b. Perubahan persyaratan modal untuk mendirikan PT (menghapus modal minimal


Rp50 juta)

c. Penyederhanaan jenis Badan Usaha: menghapus CV, Persekutuan Perdata, UD


(Perlu mempertimbangkan kedudukan Firma)

C. Implementasi Omnibus Law Dalam Sistem Perundang-Undangan


Berdasarkan pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang memperbaiki
Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 disebutkan bahwa jenis dan hierarki Peraturan
Perundang-undangan terdiri dari : (Bambang Sadono, 2019, Penataan Sistem
Ketatanegaraan, Jakarta: Badan Pengkajian MPR RI, hal. 223-224)
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
- Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;
- Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
- Peraturan Pemerintah
- Peraturan Presiden;
- Peraturan Daerah Provinsi; dan
- Peraturan Daerah Kabupaten / Kota
Terhadap hierarki tersebut, Jimly Ashidqie berpendapat bahwa Peraturan daerah
(Perda) itu laksana Undang-Undang ditingkat Nasional, atau dikenal sebagai local
statute atau locale wet. Karena itu Perda bisa disebut sebagai Undang-Undang bersifat
lokal, jika dilihat dari organ yang membentuknya, yaitu eksekutif dan legislatif
ditingkat Pemerintah Daerah.
Di dalam hierarki / tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia
sebagaimana diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, belum memasukkan konsep Omnibus
Law sebagai salah satu asas dalam sumber hukum. Tetapi harmonisasi peraturan
perundang-undangan di Indonesia terus menerus dilakukan untuk meminimalkan
konflik peraturan perundang-undangan. Sistem hukum Indonesia yang menganut
sistem Civil Law menjadi salah satu penyebab belum dikenalnya konsep Omnibus Law.
Negara lain yang menganut sistem Civil Law adalah Negara Vietnam dengan
ibukota Hanoi. Bentuk negara Vietnam adalah kesatuan, bentuk pemerintahan adalah
republik sosialis dan sistem pemerintahannya adalah parlementer. Vietnam dipimpin
oleh seorang kepala negara yaitu Presiden dan kepala pemerintahan yaitu Perdana
Menteri. Kekuasaan legislatif berada ditangan National Assembly (Unikameral),
sebagai representasi tertinggi rakyat Vietnam. National Assembly ini dijalankan oleh
Standing Committee.
Omnibus Law pertama kali dipraktekkan ketika Vietnam hendak mengadopsi
hasil aksesi dengan WTO pada tahun 2006. Untuk mengimplementasikan hal tersebut
Perdana Menteri memerintahkan Kementerian Hukum untuk melakukan penelitian
terkait kemungkinan penerapan pendekatan Omnibus di Vietnam. Hasil penelitian
menunjukan bahwa dimungkinkan untuk menerapkan pendekatan omnibus mengingat
tidak ada peraturan yang melarang. Selain itu, adanya tumpang tindih peraturan dan
panjangnya prosedur legislasi untuk mengubah sebuah pasal, menjadi pertimbangan
diadopsinya omnibus law di Vietnam.
Menimbang dari penerapan Omnibus Law di negara lain tersebut, maka
permasalahan harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia, pemerintah
perlu mengambil suatu upaya terobosan hukum untuk membenahi konflik regulasi.
Tuntutan perbaikan dan pembenahan tumpang tindih peraturan perundang-undangan di
Indonesia sudah sangat mendesak untuk dilakukan. Salah satu gagasan Omnibus Law
berkemungkinan untuk diterapkan di Indonesia asalkan diberikan ruang dan fondasi
hukum.
Omnibus Law bukanlah hal baru di dunia ilmu hukum secara global, hanya saja
untuk di Indonesia sudah sangat diperlukan untuk membenahi tumpang tindih peraturan
perundang-undangan. Proses harmonisasi peraturan perundang-undangan selain
hambatan diatas juga memakan waktu yang lama. Dengan konsep Omnibus Law maka
peraturan yang dianggap tidak relevan atau bermasalah dapat diselesaikan secara cepat
Tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia sudah harus direvisi
dan memberikan ruang untuk menerapkan konsep Omnibus Law. Apalagi kondisi saat
ini pengambil kebijakan dapat dengan mudah dikriminalisasikan oleh aparat penegak
hukum. Pemahaman ilmu hukum aparat penegak hukum mayoritas memakai kacamata
positivisme hukum, sehingga sulit memberikan ruang pengambil kebijakan dalam hal
ini pejabat untuk melakukan diskresi. Seringkali diskresi yang dilakukan oleh pejabat
pengambil kebijakan berujung pidana karena didakwa melakukan tindak pidana
korupsi.
Hal tersebut merupakan sebuah ironi dimana Indonesia sebagai negara hukum
dengan segala perangkatnya bertujuan untuk melindungi hak asasi manusia dan
memberikan keadilan bagi sebagian besar warganya yang sangat mendesak sekarang
“membawa keadilan kepada rakyat” (to bring justice to the people) dengan
menyelesaikan secara baik persoalan-persoalan yang oleh rakyat dianggap harus
diselesaikan secara hukum. Persoalan lain bilamana perbuatan itu tidak disukai atau
dibenci oleh masyarakat karena merugikan atau menimbulkan korban. Dengan kata
lain, sejauh mana persoalan atau perbuatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat dan masyarakat menganggap patut atau tidak patut
dihukum dalam rangka menyelenggarakan kesejahteraan dan keamanan masyarakat.
Mencermati sistem perundang-undangan di Indonesia, Undang-Undang yang
nantinya dihasilkan dari konsep Omnibus Law bisa mengarah sebagai Undang-Undang
Payung karena mengatur secara menyeluruh dan kemudian mempunyai kekuatan
terhadap aturan yang lain. Akan tetapi di Indonesia justru tidak menganut Undang-
Undang Payung karena posisi seluruh Undang-Undang adalah sama. Persoalan yang
muncul bila dikaji dari perspektif teori peraturan perundang-undangan mengenai
kedudukannya, sehingga kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam Undang-
undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
harus diamandemen
Konsep omnibus law pernah dilaksanakan di Negara kita yaitu : (Hasil
Seminar yang dilakukan oleh kementerian Koordinator bidang perekonomian tanggal
30 Oktober 2019 di Jakarta)
1. Perpu Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk
Kepentingan Perpajakan jo UU Nomor 9 Tahun 2017, yang mencabut:
 Pasal 35 ayat (2) & Pasal 35A UU Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan
 Pasal 40 & Pasal 41 UU Perbankan
 Pasal 47 UU Pasar Modal
 Pasal 17, Pasal 27, & Pasal 55 UU Perdagangan Berjangka Komoditi
 Pasal 41 dan Pasal 42 UU Perbankan Syariah
2. UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang mencabut
 UU Nomor 5 Tahun 1962 tentang Perusahaan Daerah
 Pasal157, Pasal158 ayat (2) s.d. ayat (9), dan Pasal 159 UU Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
 Pasal 1 angka 4, Pasal 314 s.d. Pasal 412, Pasal 418 s.d. Pasal 421
UU Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD, dan DPD

D. Dampak Omnibus Law Bagi Sektor Ekonomi


Omnibuslaw secara umum didesain untuk meningkat pertumbuhan ekonomi di
Indonesia. Beberapa dampak yang dihasilkan dari omnibus law adalah sebagai berikut :
1. Sektor Ketenagakerjaan
1) Pertama, penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 - 3 juta per tahun (meningkat
dari saat ini 2 juta per tahun), untuk menampung 9,29 juta orang yang tidak/belum
bekerja (7,05 juta pengangguran dan 2,24 juta angkatan kerja baru)
2) Kedua, peningkatan kompetensi pencari kerja dan kesejahteraan pekerja
3) Ketiga, peningkatan produktivitas pekerja, yang berpengaruh pada peningkatan
investasi dan pertumbuhan ekonomi. Produktivitas Indonesia (74,4 persen) masih
berada di bawah rata-rata negara ASEAN (78,2 persen)
4) Keempat, peningkatan investasi sebesar 6,6 persen s.d. 7,0 persen, untuk
membangun usaha baru atau mengembangkan usaha existing yang akan
menciptakan lapangan kerja baru dan meningkatkan kesejahteraan pekerja
sehingga akan mendorong peningkatan Konsumsi (5,4 persen - 5,6 persen)
5) Kelima, pemberdayaan UMKM dan Koperasi, yang mendukung peningkatan
kontribusi UMKM terhadap PDB menjadi 65 persen dan peningkatan kontribusi
Koperasi terhadap PDB menjadi 5,5 persen
2. Perpajakan
Sekadar informasi, pada bagian ketujuh tentang Perpajakan Pasal 111 RUU Omnibus
Law Cipta Kerja menyebutkan pengecualian Pajak Penghasilan (PPh) atas dividen
berlaku bagi wajib pajak orang pribadi (WP OP) dan WP Badan dalam negeri
sepanjang dividen tersebut diinvestasikan di wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dalam jangka waktu tertentu, dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Wajib pajak perorangan dari final 10 persen menjadi 0 persen
2) Wajib pajak badan dalam negeri dari final 15 persen menjadi 0 persen
3) Wajib pajak luar negeri tetap final 20 persen
Insentif tersebut merupakan sentimen positif yang berdampak positif terhadap
industri pasar modal dan dapat dinikmati langsung. Di sisi lain, Bank Dunia juga
telah memberikan pandangan positif terhadap Omnibus Law
D. Dampak Negative Omnibuslaw
1. Keliru Prosedural dan Abai Terhadap Semangat Perlindungan Lingkungan Hidup
1) Catatan dan Kritik Prosedural RUU Cipta Kerja
Kritik terhadap prosedur RUU Cipta kerja akan dirujuk pada dasar hukum
yang dimuat pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU 12/
2011). Terkait dengan hal ini ada dua catatan kritis terkait dengan RUU ini.
a. Judul RUU Tidak Mencerminkan Muatan
Lampiran II angka 3 UU 12/ 2011 menyebutkan nama Peraturan
Perundang–undangan dibuat secara singkat dengan hanya
menggunakan 1 (satu) kata atau frasa tetapi secara esensial maknanya
telah dan mencerminkan isi Peraturan Perundang– undangan. Secara
teknis penamaan omnibus law ini sebagai RUU Cipta Kerja dengan
satu frasa yang singkat tepat, namun sebagai gambaran isi suatu
peraturan perundang-undangan, ia sama sekali tidak menggambarkan
muatan peraturan perundangan-undangan yang hendak dibentuk.
Apabila dikaitkan dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya
disebut UU PPLH), RUU ini sama sekali tidak mencerminkan
semangat perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang dimuat
UU PPLH.
Pasal 1 angka 2 UU PPLH secara tegas menyebutkan yang
dimaksud dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk
melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya
pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi
perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan,
pengawasan, dan penegakan hukum. Pengertian ini didasarkan pada
semangat perlindungan terlebih dahulu dan selanjutnya diikuti oleh
pengelolaan yang baik dan tepat. Memperhatikan pengaturan
perlindungan lingkungan hidup dalam RUU Cipta Kerjaa bertentangan
dengan apa yang disebut dengan perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup yang dimuat oleh UU PPLH.
b. Kritik Program Legislasi Nasional (Prolegnas) SuperPrioritas
UU 12/ 2011 menentukan tahapan pembentukan peraturan perundang-
undangan meliputi (1) perencanaan, (2) penyusunan, (3) pembahasan,
(4) pengesahan atau penetapan, dan (5) pengundangan. Selanjutnya,
Pasal 16 UU 12/ 2011 menyebutkan perencanaan penyusunan Undang-
Undang dilakukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas).
Merujuk Siaran Pers Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
No. HM.4.6/154/SET.M.EKON.2.3/12/2019 pada 12 Desember 2019
yang menyebutkan RUU Omnibus Law yang jadi inisiatif Pemerintah
ini sebagai Prolegnas Super Prioritas Tahun 2020 merupakan suatu hal
yang mengada-ada. UU 12/ 2011 sama sekali tidak mengenal frasa
“Prolegnas Super Prioritas.”
c. Penyusunan RUU Tidak Partisipatif
Pada kesempatan ini saya mengharapkan dukungan berbagai pihak
untuk bersama-sama dengan pemerintah berada dalam satu visi besar
untuk menciptakan hukum yang fleksibel, sederhana, kompetitif dan
responsif demi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia sebagaimana amanat konstitusi kita," kata Presiden Joko
Widodo di gedung Mahkamah Konstitusi (MK) pada 28 Januari
2020. Pernyataan Joko Widodo seolah menggambarkan ada urgensi
yang dibutuhkan rakyat pada RUU Omnibus Law yang digagasnya.
Apabila benar untuk kepentingan rakyat, mari kita cek tim perumus
Naskah Akademik dan Draf RUU. Berdasarkan Siaran Pers
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian secara tegas dan jelas
disebutkan tim perumus Naskah Akademik dan RUU dilakukan oleh
Satuan Tugas Bersama (Task Force) yang dipimpin oleh Ketua Umum
KADIN, dengan anggota berasal dari unsur K/L, Pemda, Akademisi,
serta dari KADIN sendiri.
Apabila benar RUU ini ditujukan untuk kepentingan rakyat dan
tidak abai terhadap aspek lingkungan hidup, maka Task Force yang
dimaksud tentunya mengakomodir perwakilan organisasi buruh,
organisasi lingkungan hidup dan organisasi kerakyatan lainnya serta
kelompok pemuda dan mahasiswa dalam penyusunannya. Bukti nyata
kepemimpinan Kadin dalam perumusan Naskah Akademik dan RUU
menguntungkan kelompok bisnis dapat dilihat dari muatan RUU yang
menghapus beberapa ketentuan UU PPLH terkait pertanggungjawaban
hukum karhutla yang pernah diuji oleh APHI dan GAPKI di
Mahkamah Konstitusi pada 2017. Uji materiil yang diajukan dua
asosiasi bisnis ini dicabut karena desakan publik. Upaya melibatkan
organisasi masyarakat sipil dalam pembentukan RUU ini baru
dilakukan pasca Naskah Akademik dan RUU Cipta Kerja diserahkan
ke DPR.
d. Bertentangan Dengan Asas Keterbukaan
Asas keterbukaan merupakasan salah satu asas dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan. Penjelasan Pasal 5 huruf g UU
12/2011 menyebutkan yang dimaksud dengan “asas keterbukaan”
adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau
penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan
demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang
seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan
Peraturan Perundang- undangan. Sebelum RUU Cipta Kerja
diserahkan kepada DPR, sempat beredar dokumen RUU Cipta
Lapangan Kerja. Masing-masing Kementerian tidak memberi
konfirmasi secara tegas dan jelas apakah draft yang bereda merupakan
RUU yang akan diserahkan Pemerintah kepada DPR. Bahkan
Kemenkopolhukam merespon permintaan informasi terkait draft yang
beradar melalui surat tanggal 6 Februari 2020 yang ditandatangani oleh
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi Kemenko Polhukam
Sidiq Mustofa menyebutkan RUU Cipta Lapangan Kerja sebagai
informasi yang termasuk rahasia.
Tertutupnya Pemerintah membuka Draft RUU ini kepada publik
tentunya bertentangan dengan asas pembentukan peraturan perundang-
undangan. Selain itu, Pemerintah juga jelas melanggar ketentuan
Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 Keterbukaan Informasi Publik
(selanjutnya disebut UU KIP). Pada prinsipnya, Naskah Akademik dan
RUU bukan merupakan salah satu jenis informasi yang dikecualikan
sebagaimana di atur Pasal 17 UU KIP.
2. Catatan dan Kritik Materi Muatan Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja
a. Penghapusan Izin Lingkungan dan Meminimalkan Partisipasi Publik
Kabar tentang rencana penghapusan izin lingkungan akhirnya terbukti setelah
RUU Cipta Kerja dibuka ke publik. Merujuk pada UU PPLH, izin lingkungan
merupakan prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Izin
lingkungan dalam RUU Cipta Kerja diganti dengan persetujuan lingkungan. Dalam
RUU ini disebutkan yang dimaksud dengan persetujuan lingkungan adalah
Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan
Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam prosesnya baik kegiatan wajib amdal atau
UKL-UPL disederhanakan.
Dalam Pasal 36 UU 32 Tahun 2009, Amdal menjadi syarat bagi pengusaha
untuk melakukan kegiatan usahanya:
Pasal 36
(1) Setiap usaha dan/atau kegiatan yang wajib memiliki amdal atau UKL-UPL wajib
memiliki izin lingkungan.
(2) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan berdasarkan
keputusan kelayakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 atau
rekomendasi UKL-UPL.
(3) Izin lingkungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan
persyaratan yang dimuat dalam keputusan kelayakan lingkungan hidup atau
rekomendasi UKL-UPL.
(4) Izin lingkungan diterbitkan oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai
dengan kewenangannya
Selanjutnya, dalam UU Ciptaker, Pasal 36 yang mengatur soal kewajiban terkait
Amdal telah dihapus. Namun, di Pasal 37 ada penjelasan sanksi bagi pelaku usaha
yang melanggar Amdal dan UKL-UPL.
Ketentuan Pasal 36 dihapus.
Ketentuan Pasal 37 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 37
Perizinan Berusaha dapat dibatalkan apabila:
a. persyaratan yang diajukan dalam permohonan Perizinan Berusaha mengandung
cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, serta ketidakbenaran dan/atau
pemalsuan data, dokumen, dan/atau informasi;
b. penerbitannya tanpa memenuhi syarat sebagaimana tercantum dalam keputusan
kelayakan lingkungan hidup atau pernyataan kesanggupan pengelolaan
lingkungan hidup; atau
c. kewajiban yang ditetapkan dalam dokumen Amdal atau UKL-UPL tidak
dilaksanakan oleh penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
Apabila pada UU PPLH kriteria kegiatan wajib amdal ditentukan kriterianya
dengan cukup jelas, RUU Cipta Kerja mengaturnya secara abstrak tanpa kriteria.
Pengaturan lanjutannya diserahkan pengaturannya melalui Peraturan Pemerintah.
Selanjutnya, terhadap kegiatan yang wajib amdal untuk proses penerbitan izin
berusahanya akan diberikan keputusan kelayakan lingkungan. Dalam proses
penyusunan AMDAL, pelibatan masyarakat juga direduksi, tidak detil dan rinci
seperti pengaturan UU PPLH. Tidak ada ketentuan pemberian informasi sebelum
kegiatan,kriteria pelibatan masyarakat dan proses keberatan. Kembali detil
pelibatanmasyarakat diserahkan kepada pengaturan peraturan pemerintah.
Kewenangan AMDAL dan keputusan kelayakan lingkungan ditarik sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Sedangkan untuk kegiatan yang tidak wajib
AMDAL dilakukan melalui pernyataan kesanggupan pengelolaan lingkungan.
b. Mengaburkan Norma Strict Liability/ Pertanggungjawaban Mutlak
Pada prinsipnya pengaturan pertanggungjawaban mutlak di RUU Cipta Kerja tetap
diatur. Hanya saja ketentuan Pasal 88 UU PPLH direduksi dan dikaburkan tafsirnya
dengan menghilangkan unsur tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Pasal 88 UU PPLH berbunyi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Dalam draf RUU Cipta Kerja, Pasal itu diubah menjadi:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas
kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya.
Penghilangan unsur ini dikhawatirkan dalam praktik peradilannya mempersulit
pengoperasian sistem pertanggungjawaban ini, dimana pembuktiannya kembali
konvensional dengan mewajibkan kepada si Penggugat untuk membuktikan unsur
kesalahan, baik sengaja ataupun lalai terhadap pelaku usaha yang tindakannya,
usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau
mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap
lingkungan hidup. Khusus untuk karhutla, skema tanggungjawab mutlak dalam
UU 41/ 1999 tentang Kehutanan dilonggarkan. Pasal 49 UU Kehutanan yang
berbunyi Pemegang hak atau izin bertanggungjawab atas terjadinya kebakaran hutan
di areal kerjanya diubah rumusannya menjadi pemegang hak atau Perizinan
Berusaha wajib melakukan upaya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan di
areal kerjanya. Perubahan ini berimplikasi pemegang izin hanya bertanggungjawab
melakukan pencegahan dan pengendalian kebakaran tidak lagi bertanggungjawab
atas kebakaran di areal kerja/konsesinya.
c. Pengawasan Sentralistik
Atribusi pengawasan lingkungan hidup sebagaiamana pengaturan UU PPLH yang
memisahkan kewenangan Pemerintah Pusat, Provinsi, Kabupaten/Kota dihapus.
Ketentuan Pasal 71 UU PPLH memberikan kewenangan pengawasan sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat dan dapat didelegasikan kepada pemerintah
daerah melalui pengaturan Peraturan Pemerintah. Pengawasan sentralistik ini tentu
diragukan efektifitasnya.
d. Meminimalkan Pengoperasian Sanksi Administrasi
Varian sanksi administrasi dalam Pasal 76 ayat (2) UU PPLH dihapus. RUU Cipta
Kerja menentukan bahwa jenis sanksinya akan diatur oleh peraturan pemerintah.
Semangat pengenaan sanksi administrasi hanya mempergunakan skema denda
administrasi yang mengganti jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan kepada 6
korporasi.
d. Menghapus Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
Pereduksian pertanggungjawaban pidana dilakukan dengan mengubah semua
ketentuan pidana di RUU Cipta Kerja. Perubahannya dilakukan dengan cara tidak
ada satu kejahatan atau tindak pidana yang dapat dimintakan
pertanggungjawabannya secara pidana tanpa terlebih dahulu dijatuhkan sanksi
denda administrasi. Hal ini tentu bertentangan dengan ketentuan Pasal 78 UU PPLH
yang tidak dihapus RUU Cipta Kerja. Pasal 78 UU PPLH menentukan penjatuhan
sanksi administratif tidak membebaskan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan
dari tanggung jawab pemulihan dan pidana. Sehingga seharusnya tidak ada
kewajiban untuk mengoperasikan sanksi administratif sebelum melakukan proses
penegakan hukum pidana.
Penegakan hukum pidana hanya dapat dilakukan apabila si pelaku tidak
membayar denda administrasinya. Dalam posisi inilah lahir kontroversi, dimana
hanya pidana penjara yang dijadikan ancaman sanksi pidana kepada pelaku. Kondisi
ini melahirkan konsekuensi, pertanggungjawaban pidana korporasi dihapus,
korporasi jahat yang merusak lingkungan tidak bisa dikenakan pidana. Kadin dan
Pemerintah sengaja hanya memberikan ancaman pidana pokok penjara kepada
pelaku tindak pidana, sehingga korporasi tidak dapat dihukum. Hukum pidana kita
mengatur, penjatuhan pidana tambahan (Pasal 10 ayat (2) KUHP dan Pasal 119 UU
PPLH) hanya dapat dijatuhkan apabila diawali pidana pokok. Satu-satunya pidana
pokok yang bisa dijatuhkan kepada korporasi adalah denda, bukan denda
administrasi. Konsekuensi lainnya, kejahatan yang dilakukan korporasi akan
mengorbankan para staf dibawah dan pimpinan level menengah
e. Menghapus Skema Gugatan Administrasi Lingkungan
RUU Cipta Kerja juga meminimalkan ruang partisipasi publik melalui jalur
peradilan. Pasal 93 UU PPLH yang memberikan hak hukum kepada publik untuk
mengoreksi atau menguji izin lingkungan dan/ atau izin usaha melalui Peradilan
Administrasi (PTUN) yang diterbitkan oleh Pemerintah/ Pemerintah Daerah dihapus
f. Watak Otoriter dan Melanggengkan Krisis

“Indonesia berada pada titik kritis bahaya kemanusiaan yang disebabkan oleh
kerusakan lingkungan hidup,” sebut Jokowi dalam dokumen Nawa Cita I, ketika
masa kampaye Pilpres 2014. Bagi WALHI, Presiden Jokowi saat itu melakukan
identifikasi masalah secara tepat, tapi keliru dalam menentukan solusi. Salah satu
kekeliruan terbesarnya adalah perumusan RUU Cipta Kerja, RUU yang
memperlihatkan watak kapitalistiknya dan abai terhadap aspek kemanusiaan dan
lingkungan hidup. Kondisi krisis di berbagai sektor akan semakin diperparah bahkan
diperluas apabila RUU ini disahkan. Praktik penegakan hukum lingkungan hidup
setengah hati akan semakin dipeparah dengan substansi RUU ini. Apabila saat ini
komponen penegak hukum menjadi persoalan utama efektifnya penegakan hukum
lingkungan hidup di Indonesia, maka pasca RUU Cipta Kerja diundangkan, maka ia
menjadi faktor utama pendorong meningkatnya laju kerusakan lingkungan hidup di
Indonesia.

Perubahan nama RUU Cipta Lapangan Kerja menjadi Cipta Kerja, sama sekali
tidak mengubah watak cilaka RUU ini. Muatannya hanya memperhatikan dan
mengakomodir kepentingan bisnis. Sama sekali tidak menaruh ruang perlindungan
pada hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Janji Jokowi
untuk berpihak pada rakyat dan lingkungan hidup hanya bualan. Karhutla dan
kerusakan lingkungan hidup akan memperparah kondisi krisis apabila RUU ini
dipaksa untuk disahkan. Dibahas saja sudah sangat tidak pantas.
g. Mudahnya perizinan pemanfaatan kawasan hutan
Perubahan signifikan dalam UU Cipta Kerja ini adalah mengenai mekanisme
perizinan pemanfaatan kawasan hutan yang hanya diberlakukan pada pemanfaatan
hutan kayu, sedangkan untuk pemanfaatan bukan kayu serta jasa lingkungan hanya
berupa formalitas untuk memenuhi standar umum. Didalam UU No. 41/1999 tentang
Kehutanan, seluruh jenis perizinan permanfaatan kawasan hutan tercantum secara
lengkap dimana terdiri dari 8 poin jenis perizinan terbagi menurut fungsi dan
peruntukan hutan. Sedangkan, di dalam UU Cipta Kerja, mekanisme perizinan
disederhanakan menjadi hanya ada satu jenis yaitu berupa perizinan berusaha.[1]
Imbas dengan adanya UU ini adalah pencabutan pasal 27-29 pada UU No. 41/1999,
sehingga intervensi terhadap kawasan hutan melalui skema perizinan berusaha ini
akan semakin masif dan efek dominonya akan semakin mempermudah pihak mana
saja terutama yang bermodal dan berkuasa untuk mengajukan perizinan berusaha di
kawasan hutan. Kemudahan pemberian perizinan tanpa pertimbangan aspek
ekologis sangat riskan terhadap dampak lingkungan yang akan ditimbulkan
kedepannya.
III. KESIMPULAN

Omnibus law adalah hal baru dalam bidang peraturan perundang-undangan


negara Republik Indonesia, selain karena sistem hukum negara kita menganut Civil Law
sistem juga karena produk-produk peraturan pemerintahan saat ini adalah warisan dari
sistem yang lama. Sehingga dari uraian dan pembahasan diatas dapat ditarik
kesimpulannya sebagai berikut.

1. Omnibus law adalah sebuah produk Undang-Undang yang bisa mencabut atau mengubah
beberapa undang-undang yang ada yang berlaku yang bisa tersebar dalam beberapa
peraturan, kemudian dirampingkan dalam satu Undang-undang agar lebih tepat sasaran
yang menjadi sebuah solusi atas konflik antara penyelenggara pemerintah dengan
peraturan perundang-undangan dengan tujuan tertentu untuk meningkatkan iklim
investasi dan sebagai jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil
kebijakan.
2. Di dalam hierarki / tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia belum
memasukkan konsep Omnibus Law sebagai salah satu asas dalam sumber hukum, tetapi
harmonisasi peraturan perundang-undangan di Indonesia terus menerus dilakukan untuk
meminimalkan konflik peraturan perundang-undangan.
3. Undang-Undang yang nantinya dihasilkan dari konsep Omnibus Law bisa mengarah
sebagai Undang-Undang Payung karena mengatur secara menyeluruh dan kemudian
mempunyai kekuatan terhadap aturan yang lain. Akan tetapi di Indonesia justru tidak
menganut Undang-Undang Payung karena posisi seluruh Undang-Undang adalah sama,
sehingga kedudukannya harus diberikan legitimasi dalam Undang-undang Nomor 12
Tahun 2011 perlu diamandemen.
4. Konsep omnibus law pernah dilaksanakan di Negara kita yaitu Perpu Nomor 1 Tahun
2017 tentang Akses Informasi Keuangan Untuk Kepentingan Perpajakan jo UU Nomor
9 Tahun 2017 dan UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang dengan
adanya hal tersebut bisa dijadikan contoh untuk pemerintah dalam mengambil langkah
konsep ini.
5. Konsep omnibuslaw mungkin berdampak pada pertumbuhan ekonomi, namun juga
berdampak pada melemahnya sistem pengelolaan lingkungan hidup diIndonesia
DAFTAR PUSTAKA

Busroh, Firman Freaddy, 2017. Konseptualisasi Omnibus Law Dalam


Menyelesaikan Permasalahan Regulasi Pertanahan, Jurnal ARENA HUKUM
Volume 10, Nomor 2, Agustus 2017. Universitas Brawijaya, Malang.

Sadono, Bambang, 2019. Penataan Sistem Ketatanegaraan, Jakarta : Badan


Pengkajian MPR RI.

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58a6fc84b8ec3/menimbang-konsep-
omnibus-law-bila-diterapkan-di-indonesia/

Anda mungkin juga menyukai