Anda di halaman 1dari 12

GAMBARAN UMUM OMNIBUS LAW UU CIPTA KERJA

Pada saat pelantikan Presiden dan Wakil Presiden periode 2019 – 2024 yang dilangsungkan tanggal 20
Oktober 2019, Presiden Joko Widodo dalam pidatonya menyampaikan bahwa Indonesia saat ini
mengalami bonus demografi, dimana jumlah penduduk usia produktif jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan jumlah penduduk usia tidak produktif.

Presiden Joko Widodo juga mengatakan bahwa pemerintah akan mengajak DPR untuk menerbitkan dua
undang-undang besar yakni UU Cipta Lapangan Kerja dan UU Pemberdayaan Usaha Makro, Kecil
dan Menengah (UMKM).Masing - masing UU tersebut akan menjadi omnibus law yaitu satu UU yang
merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Penerapan omnibus law di Indonesia seharusnya dimulai
dengan mengubah UU bidang investasi terkait dengan kemudahan perizinan usaha supaya saling
menyesuaikan dan tidak tumpang tindih. Dengan demikian harmonisasi UU bidang investasi akan
menguntungkan para investor, masyarakat dan negara. Hal demikian dilakukan dengan dalih untuk
menunjang peningkatan sumber daya manusia, yang didukung dengan ekosistem politik dan ekonomi
yang kondusif.

Melihat disharmonisasi undang-undang dibidang investasi dan tingkat kemudahan berusaha di Indonesai
yang sulit, menyebabkan pemerintah memilih untuk menerapkan konsep Omnibus Law dalam
pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Penerapan konsep Omnibus Law ini, dapat diakatakan
sebagai langkah progresif pemerintah dalam bidang hukum. Mengingat, konsep tersebut merupakan
sebuah konsep yang baru di terapkan oleh beberapa negara dalam menghadapi tumpang tindihnya
undang-undang yang ada.

Konsep Omnibus Law

Bryan A. Garner dalam Black Law Dictionary Ninth Edition menyebutkan bahwa omnibus merupakan
“relating to or dealing with numerous object or item at once; including many thing or having various
purposes”. Dimana jika dipadankan dengan kata law maka dapat dikatakan bahwa omnibus law
merupakan hukum yang mengatur berbagai macam objek, item dan tujuan dalam satu instrumen hukum.

Fachri Bachmid menyatakan bahwa omnibus law merupakan suatu konsep produk hukum yang berfungsi
untuk mengkonsolidir berbagai tema, materi, subjek, dan peraturan perundang-undangan pada setiap
sektor yang berbeda untuk menjadi satu produk hukum besar dan holistik.

Louis Massicotte menyatakan ada beberapa alasan mengapa para legislator menggunakan teknik omnibus
law dalam membentuk suatu undang-undang. Pertama, dikarenakan terjadi negosiasi yang kompleks dari
masing-masing orientasi legislator, selain itu teknik omnibus membuat pemerintah dapat memangkas
waktu dan prosedur legislatif dalam membentuk suatu undang-undang. Kedua, praktik ini ditujukan untuk
menggalang dukungan publik pada suatu undang-undang, sehingga menekan golongan oposisi untuk
tunduk pada agenda pemerintah.

Menurut Firman Freaddy Busroh, ada beberapa tujuan terkait pembentukan omnibus law, antara lain (1)
mengatasi konflik peraturan perundang-undangan secara cepat, efektif, dan efisien; (2) menyeragamkan
kebijakan pemerintah baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah; (3) pengurusan
perizinan lebih terpadu, efisien, dan efektif; (4) mampu memutus rantai birokrasi yang berlama-lama; (5)
meningkatnya hubungan koordinasi antar instansi terkait karena telah diatur dlaam kebijakan omnibus
yang terpadu; (6) adanya jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi pengambil kebijakan.

Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

bilamana berbicara mengenai peraturan perundang-undangan maka pembentuk Undang-Undang tidak


hanya berbicara mengenai pengaturannya, tetapi juga sampai ke pembentukannya yang harus sesuai
dengan asas-asas yang berkaitan dengan materi muatannya. Menurut Maria Farida Indrati bahwa asas-
asas pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan suatu pedoman atau rambu-rambu dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.

Menurut A. Hamid S. Attamimi, asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik


meliputi asas formal yang mencakup tujuan yang jelas, perlunya pengaturan, organ atau lembaga yang
tepat, materi muatan yang tepat, dapat dilaksanakan, dan dapat dikenali. Selain itu, pembentukan
peraturan Perundang-Undangan juga harus meliputi asas material seperti sesuai dengan cita hukum
Indonesia dan norma fundamental negara, sesuai dengan hukum dasar negara, sesuai dengan prinsip
negara berdasarkan hukum, sesuai dengan prinsip pemerintah berdasarkan konstitusi.

Merujukuk pada konsep kenegaraan di Indonesia, maka pembentukan peraturan perundang-Undangan di


Indonesia harus sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang memiliki materi muatan berupa (1) pengaturan lebih lanjut mengenai
ketentuan UUD 1945; (2) perintah suatu undang-undang untuk diatur dengan undang-undang; (3)
pengesahan perjanjian internasional; (4) tindak lanjut putusan MK dan; (5) pemenuhan kebutuhan hukum
dalam masyarakat.

Jika pembentukan Undang-Undang Cipta kerja mengacu pada perintah Undang-Undang, maka perintah
Undang-Undang yang mana yang dijadikan rujukan ? Kemudian bilamana argumen yang dipakai
menggunakan dasar atas pemenuhan kebutuhan hukum masyarakat, maka hal yang wajib dipenuhi adalah
adanya Partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan, terutama untuk
individu atau kelompok yang mempunyai kepentingan atas substansi dari peraturan perundang-undangan.
Akan tetapi, hal demikian berbading terbalik karena Ombudsman menyoroti bahwa pembentukan
omnibus law Cipta Kerja minim partisipasi publik.

Poin-Poin Kontroversi Dalam Undang-Undang Cipta Kerja

a. Sektor Lingkungan
Salah satu undang-undang yang terdampak oleh UU Cipta Kerja “Omnibus Law” ini adalah Undang -
Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU
32/2009). Menurut UU No. 32 Tahun 2009, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah
upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan
mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan,
pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.
Seperti yang disebutkan secara jelas dalam Pasal 33 UUD NKRI 1945, perekonomian nasional yang
merupakan cita-cita dari UU Cipta Kerja-diselenggarakan atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta
dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Semua hal tersebut adalah
amanat UUD 1945 dan harus didukung oleh Undang-Undang di bawahnya. Beberapa hal yang
menjadi catatan kritis dalam sector lingkungan ini yakni
1. Izin Lingkungan
Terminologi “Izin Lingkungan” dalam UU Cipta Kerja diubah menjadi “Persetujuan Lingkungan”.
Hal ini dilakukan untuk menegaskan penghapusan license approach pada pembahasan sebelumnya.
Perubahan terminologi ini bukan tanpa masalah. Pasalnya makna “izin lingkungan” yang berlaku saat
ini memiliki fungsi yang sangat strategis. Dalam UU No. 32 Tahun 2009 izin lingkungan memiliki
fungsi strategis yaitu: (i) bungkus “yuridis” AMDAL, (ii) instrumen pencegah pencemaran/perusakan
lingkungan (iii) gate point dalam menjamin pengawasan dan penegakan hukum di bidang lingkungan
dan (iv) mengintegrasikan dan mensimplifikasi-kan izin-izin di bidang lingkungan hidup. Karena
memiliki fungsi strategis tersebut, maka sangat wajar jika izin lingkungan menjadi prasyarat dalam
mendapatkan izin usaha. Jika ditinjau dari masing-masing fungsi, terhapusnya fungsi (i), (ii), dan (iii)
-seiring dihapusnya terminologi izin lingkungan- tentu merugikan aspek lingkungan hidup.
Sedangkan, hilangnya fungsi (iv) justru merugikan pemerintah dan pelaku usaha, karena
menghilangkan fungsi pengintegrasian dan penyederhanaan perizinan. Padahal, dalam UU No. 32
Tahun 2009 telah diatur tentang nomenklatur izin lingkungan, yang meskipun penyebutannya izin
lingkungan, sebenarnya izin ini merupakan integrasi atau peleburan berbagai izin terkait dengan
lingkungan hidup yang sudah dikenal selama ini. Dengan kata lain, pengintegrasian secara horizontal
dilakukan melalui simplifikasi atau penyederhanaan berbagai izin terkait lingkungan hidup yang telah
ada ke dalam satu izin, yaitu izin lingkungan. Sedangkan pengintegrasian secara vertikal dilakukan
dengan memperkuat keterkaitan bussines process antara Amdal atau UKL-UPL, izin lingkungan, dan
izin usaha.8 Hal ini tentu justru berpotensi merugikan pemerintah maupun pelaku usaha karena akan
semakin banyak izin-izin terkait lingkungan yang harus dipenuhi akibattidak terpadunya perizinan
lingkungan. Selain itu, tidak terintegrasinya perizinan lingkungan hidup ini juga merupakan
kemunduran. Salah satu semangat penyusunan UU No. 32 Tahun 2009 adalah pengintegrasian
perizinan lingkungan hidup yang sebelumnya masih belum terintegrasi di UU No. 23 Tahun 1997.
Begitupun juga jika berkaca dari perizinan lingkungan di negara-negara maju di Eropa (sepertiBelgia,
Jerman, Belanda, Inggris), sebagian besar telah mengadopsi perizinan lingkungan melalui izin
terintegrasi.
2. Analisis Dampak Lingkungan
Ketentuan mengenai AMDAL memang tidak dihapus. Namun kabar buruknya, terdapat perubahan
krusial yang mengurangi makna AMDAL tersebut. Perubahan tersebut adalah dihapuskannya seluruh
ketentuan mengenai Komisi Penilai AMDAL (KPA) pada UU PPLH dan menetapkan Lembaga Uji
Kelayakan Pemerintah Pusat menggantikan peran KPA. Penghapusan KPA menghilangkan
kesempatan masyarakat dari semua kategori untuk dapat berpartisipasi dan turut dalam mengambil
keputusan. Dalam UU CK, uji kelayakan AMDAL dapat diserahkan kepada tim uji kelayakan yang
dibentuk oleh Lembaga Uji Kelayakan Pemerintah Pusat yang terdiri atas unsur Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, dan ahli bersertifikat. Sebagai perbandingan, uji kelayakan (atau penilaian) dalam
UU No. 32 Tahun 2009 dilakukan oleh Komisi Penilai AMDAL yang terdiri atas unsur (1) instansi
lingkungan hidup, (2) instansi teknis terkait, (3) pakar di bidang pengetahuan yang terkait dengan
jenis usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji, (4) pakar di bidang pengetahuan yang terkait
dengan dampak yang timbul dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang sedang dikaji (5) wakil dari
masyarakat yang berpotensi terkena dampak, dan (5) organisasi lingkungan hidup. Hal ini tentunya
akan berimplikasi kepada rendahnya nilai partisipatif dalam proses perumusan AMDAL yang
notabene seharusnya dilakukan melalui pendekatan yang demokratis dengan melibatkan banyak
pihak, bukan hanya melalui pendekatan teknokratis (melalui para ahli) semata.
3. Terbatasnya Akses Informasi Masyarakat
“If the identification of alternatives is the heart of the EIA (Environmental Impact Assessment)
process, then public participation is its soul. Almost every EIA system includes some form of public
participation and consultation.”
Craik melalui bukunya yang berjudul The International Law of Environmental Impact Assessment:
Process, Substance and Integration (2008) menyebutkan bahwa jika proses identifikasi alternatif
adalah “hati”nya AMDAL, maka partisipasi publik adalah “jiwa”nya. Hati dan jiwa tersebut adalah
suatu kesatuan dan tidak akan dapat hidup jika salah satu tidak ada. Hal ini menunjukkan bahwa
aspek partisipasi publik sangatlah penting dalam proses perumusan AMDAL hingga implementasinya
dan tidak dapat diganggu gugat. Begitupun juga dengan Prinsip ke-10 Deklarasi Rio 1992 yang
berbunyi “Environmental issues are best handled with the participation of all concerned citizens, at
the relevant level..” Prinsip ke-10 tersebut menyebutkan bahwa cara terbaik mengatasi permasalahan
lingkungan adalah dengan melibatkan partisipasi seluruh warga masyarakat yang berkepentingan
pada tingkat yang relevan. Sayangnya, dalam UU Cipta Kerja, peran serta masyarakat dalam
perumusan AMDAL sangat dibatasi. Berdasarkan UU Cipta Kerja, masyarakat yang perlu menjadi
objek konsultasi publik hanyalah masyarakat yang terkena dampak langsung terhadap rencana usaha
dan/atau kegiatan.

UU No. 32 Tahun 2009 dalam pasal 26 :


- Dokumen amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa dengan melibatkan
masyarakat.
- Pelibatan masyarakat harus dilakukan berdasarkan prinsip pemberian informasi yang transparan dan
lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan.
- Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. yang terkena dampak; b. pemerhati
lingkungan hidup; dan/atau c. yang terpengaruh atas segala bentuk keputusan dalam proses amdal.
- Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen
amdal.

UU Cipta Kerja dalam Pasal 21 angka 5 mengenai perubahan terhadap Pasal 26 UU No. 32 Tahun
2009 :

- Dokumen Amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 disusun oleh pemrakarsa.


- Penyusunan dokumen Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak
langsung terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai proses pelibatan masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Jika mengacu pada sejarah historis UU No. 32 Tahun 2009, pelibatan ketiga unsur tersebut bertujuan
untuk meningkatkan kualitas penyusunan AMDAL. Dalam Naskah Akademik UU 32/2009
dinyatakan bahwa masyarakat terdampak belum tentu mengetahui informasi terkait dengan rencana
pembangunan, maupun memiliki pengetahuan yang memadai tentang dampak pembangunan tersebut
terhadap mereka. Oleh karena itu, pelibatan kedua unsur lainnya tersebut akan menjadi jawaban
adanya gap pengetahuan tersebut. Sayangnya, justru kedua unsur ini perannya dihapus secara
menyeluruh dalam UU Cipta Kerja. Pada kenyataannya memang kedua unsur yang dihapus
tersebutlah yang menjadi hambatan bagi pelaku usaha untuk memenuhi proses perizinan lingkungan.
Namun, hal tersebut seharusnya tidak menjadi alasan untuk dihapuskannya ketentuan tersebut
melainkan harus membenahi implementasi yang ada. Hal ini berpotensi untuk membuka praktik-
praktik yang tidak berpihak kepada upaya perlindungan lingkungan.

Ketentuan pada Pasal 26 angka 4 mengenai masyarakat yang dapat mengajukan keberatan terhadap
dokumen AMDAL juga dihapus. Penghapusan ketentuan inipun tidak dibarengi dengan alasan yang
jelas. Alasan yang tertera hanyalah “Perubahan ini diharapkan dapat mempercepat penyelesaian
perizinan berusaha pada sektor lingkungan”. Jelas bahwa UU Cipta Kerja tidak bertendensi kepada
upaya pengelolaan lingkungan dan asas partisipatif, melainkan demi kelancaran bisnis dan investasi.

Dari penjelasan tersebut, jelas bahwa partisipasi publik sangat dibatasi yang mulanya dilibatkan dari
proses penyusunan, penilaian, hingga pengajuan keberatan, menjadi hanya dilibatkan dalam
penyusunan saja. Itupun juga dengan dikuranginya elemen masyarakat yang terlibat.

Belum habis sampai di situ, UU Cipta Kerja juga semakin membatasi akses masyarakat terhadap
informasi. Hal ini terlihat dari dibatasinya cara untuk mengakses keputusan kelayakan lingkungan
hidup serta mempersempit ruang untuk mendapatkan informasi terkait keputusan tersebut. Berikut
adalah perbandingan perubahan redaksional pasal tersebut:

UU No. 32 Tahun dalam Pasal 39 ayat 4. Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan
kewenangannya wajib mengumumkan setiap permohonan dan keputusan izin lingkungan dan ayat 5,
Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan cara yang mudah diketahui oleh
masyarakat.

Sementara dalam Undang-Undang Cipta Kerja, pada Pasal 21 angka 17 mengenai perubahan terhadap
pasal 39 UU No 32 Tahun 2009 berbuny, (4) Keputusan kelayakan lingkungan hidup diumumkan
kepada masyarakat. (5) Pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui sistem
elektronik dan atau cara lain yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat

Dalam perubahan pasal tersebut terlihat bahwa UU Cipta Kerja berpotensi mempersempit ruang
masyarakat untuk dapat mengakses informasi keputusan kelayakan lingkungan hidup. Sebelumnya
masyarakat berhak untuk mendapatkan informasi keputusan tersebut mulai dari tahap adanya
permohonan, namun dalam UU Cipta Kerja akses informasi tersebut baru dapat diakses setelah
keputusan tersebut terbit. Selain itu, UU Cipta Kerja juga mempersempit cara untuk memberikan
pengumuman terkait keputusan tersebut dengan hanya memberikan pengumuman melalui sistem
elektronik dan/atau cara lain yang ditetapkan Pemerintah Pusat.

Secara historis, pengumuman dalam Pasal 39 ini merupakan pengejawantahan dari keterbukaan
informasi. Adanya pengumuman tersebut seharusnya digunakan untuk membuka peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, khususnya bagi mereka yang belum menggunakan
kesempatan dalam prosedur keberatan, dengar pendapat, dan lain-lain18. Dengan ditutupnya
kewajiban melakukan pengumuman sejak adanya permohonan, maka hal ini juga akan menutup pintu
partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. Ditambah lagi, cara untuk dapat mengakses
pengumuman yang kini dibatasi, mengingat tidak semua lapisan masyarakat di Indonesia dapat
mengakses internet. Hal ini akan semakin mempersempit ruang masyarakat untuk mendapatkan akses
informasi yang layak.

4. Penghilangan Kriteria Minimal Kawasan Hutan

Pasal 17 ayat (5) UU No. 26 Tahun 2007 sebagaimana diubah dalam UU Cipta Kerja menghapuskan
ketentuan minimal 30% kawasan hutan. Sebelum perubahan oleh UU Cipta Kerja, pasal tersebut
menyebutkan bahwa “[d]alam rangka pelestarian lingkungan…dalam rencana tata ruang wilayah
ditetapkan kawasan hutan paling sedikit 30% (tiga puluh) persen dari luas daerah aliran sungai.”
Ketentuan ini kemudian diubah menjadi,

Dalam rangka pelestarian lingkungan…pada rencana tata ruang wilayah ditetapkan luas kawasan
hutan dan penutupan hutan untuk setiap pulau, daerah aliran sungai, provinsi, kabupaten/kota,
berdasarkan kondisi biogefisik, iklim, penduduk, dan keadaan sosial ekonomi masyarakat setempat.

Artinya, suatu daerah provinsi atau kabupaten/kota dapat memiliki kawasan hutan kurang dari 30%
dari luas daerah aliran sungai dengan beberapa alasan di atas. Hal ini dapat menjadi apologi bagi
pemerintah untuk melakukan melepaskan kawasan hutannya dengan alasan keadaan sosial ekonomi
masyarakat, misalnya, yang pada gilirannya berkonsekuensi pada penurunan luasan hutan di suatu
daerah tersebut. Angka 30% semestinya dilihat sebagai upaya mengunci kemungkinan penyusutan
luasan hutan yang berpotensi menurunkan fungsi hutan sebagai penyedia jasa lingkungan antara lain
menjaga iklim lokal, daur hidrologi, keanekaragaman hayati, dan lain sebagainya yang justru sangat
dibutuhkan bagi keberlanjutan ekonomi, sosial dan ekologis di daerah tersebut.

b. Bidang KetenagaKerjaan
Salah satu bidang yang paling kontroversial dalam diskursus Undang-Undang Cipta Kerja (“UU
Cipta Kerja”) adalah Bidang Ketenagakerjaan. Perubahan yang dilakukan Bab Ketenagakerjaan UU
Cipta Kerja, terutama terhadap beberapa ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), menjadi sorotan karena dianggap akan membawa
kerugian bagi pekerja.
Secara umum, jika dibandingkan dengan draft Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja versi awal
(versi Februari-red), terdapat beberapa perbaikan dalam draft final UU Cipta Kerja yang akhirnya
disahkan (draft final versi Setneg, 1187 halaman-red). Sebagai contoh, ketentuan yang sebelumnya
banyak dikritisi soal Upah Minimum Padat Karya dan perubahan hak cuti yang merugikan pekerja
sudah tidak lagi ditemukan dalam draft final.
1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Salah satu hal krusial yang diubah dalam UU Cipta Kerja Bab Ketenagakerjaan adalah ketentuan
terkait jangka waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). UU Cipta Kerja menghapuskan
ketentuan batas waktu PKWT yang sebelumnya diatur dalam Pasal 59 Undang-Undang
Ketenagakerjaan.
Dalam pasal 59 ayat (1) UU Ketenagakerjaanmenyatakan bahwa Perjanjian kerja untuk waktu
tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan
pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:
- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya,
- pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling
lama 3 (tiga) tahun,
- pekerjaan yang bersifat musiman,
- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan.

Sementara dalam UU Cipta Kerja diubah menjadi, bahwa Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya
dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan
selesai dalam waktu tertentu, yaitu :

- pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya,


- pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama,
- pekerjaan yang bersifat musiman,
- pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan,
- pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

Perubahan pada huruf b yang menghilangkan pembatasan kategori “paling lama 3 (tiga) tahun”
berkorelasi dengan hilangnya ayat (4) dalam Pasal 59 yang mengatur bahwa: “Perjanjian kerja waktu
tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun
dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.”

Lebih lanjut, UU Cipta Kerja juga menghapuskan ketentuan bahwa PKWT yang sudah melewati
jangka waktu maksimal 2 tahun ditambah 1 tahun, secara hukum berubah menjadi perjanjian kerja
waktu tidak tertentu (perjanjian kerja tetap).

Implikasi dari hilangnya ayat-ayat ini sangatlah serius. Selain menghilangkan jangka waktu maksimal
dan batasan perpanjangan, ketentuan baru ini juga menghilangkan kesempatan pekerja untuk berubah
status dari pekerja kontrak menjadi pekerja tetap. Padahal, posisi pekerja dalam status kerja kontrak
jauh lebih rawan dibanding dengan pekerja tetap.

Jika pembatasan waktu kerja tidak diatur dalam undang-undang tersebut, maka hal demikian
mengikis peran negara itu sendiri sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa negara berperan
untuk mensejahterakan rakyatnya. Artinya, peran negara dalam undang-undang ini menjadi lemah.

2. Pengupahan
Hal lain yang menarik untuk dilihat dalam UU Cipta Kerja adalah soal pengupahan. Poin pertama
adalah hilangnya “kebutuhan hidup layak” sevbagai pertimbangan penetapan upah minimum.
Sbeagaimana termuat dalam UU Ketenagakerjaan sebelumnya, bahwa “Setiap pekerja/buruh berhak
atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Selanjutnya, “Pemerintah Pusat menetapkan
kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan
yang layak bagi kemanusiaan.”
Dalam pasal 89 UU Ketenagakerjaan tentang upah minimum menyebutkan bahwa“Upah minimum
diarahkan kepada pencapaian kebutuhan hidup layak.” Sayangnya, Pasal 89 dihapuskan dalam
ketentuan UU Cipta Kerja. Sebagai gantinya, disisipkanlah Pasal 88D yang mengatur bahwa “Upah
minimum dihitung dengan menggunakan formula perhitungan upah minimum dan Formula
perhitungan upah minimum memuat variabel pertumbuhan ekonomi atau inflasi.” Penghapusan kata
“kebutuhan hidup yang layak” dalam UU Cipta kerja, menjadikan kebijakan pengupahan jauh dari
cita awalnya yakni memberikan kehidupan yang layak bagi kemanusiaan.
Selanjutnya, dalam Pasal 88C ayat (1) UU Cipta Kerja menyatakan bahwa “Gubernur wajib
menetapkan upah minimum provinsi”. Selanjutnya, pada ayat (2) disebutkan bahwa “Gubernur dapat
menetapkan upah minimum kabupaten/kota dengan syarat tertentu.” Hal demikian berarti bahwa UU
Cipta Kerja hanya memberikan kewajiban penetapan upah minimum di tingkat provinsi, sedangkan di
tingkat kabupaten/kota sifatnya adalah opsional atau pilihan.
3. Pemutusan Hubungan Kerja
Pasal lain yang juga banyak menimbulkan polemik adalah ketentuan terkait Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK) dalam UU Cipta Kerja. Secara filosofis, PHK dalam konsepsi hubungan industrial
Pancasila adalah hal yang sangat dihindari. Sehingga wajar jika pengaturan PHK dalam Undang-
Undang Ketenagakerjaan dibuat sangat rigid untuk sedapat mungkin mencegah terjadinya PHK.
Dalam Pasal 151 ayat (2) Undang-Undang Ketenagakerjaan menyatakan bahwa Dalam hal segala
upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud
pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh
atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat
pekerja/serikat buruh. Selanjutnya pada ayat (3) menyatakan Dalam hal perundingan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat
memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga
penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Selanjutnya dalam UU Cipta Kerja bunyi Pasal 151 ayat (2) berubah menjadi, “Dalam hal pemutusan
hubungan kerja tidak dapat dihindari, maksud dan alasan pemutusan hubungan kerja diberitahukan
oleh pengusaha kepada pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh”. Ayat ini memunculkan
kekhawatiran adanya kemungkinan PHK sepihak karena PHK cukup dilakukan melalui
pemberitahuan dari pengusaha tanpa harus didahului dengan perundingan sebelumnya.
Selain itu, UU Cipta Kerja juga menghapuskan kewajiban penggantian perumahan serta pengobatan
dan perawatan bagi pekerja yang terkena PHK. Perubahan-perubahan ketentuan terkait PHK dalam
UU Cipta Kerja pada intinya menunjukkan bahwa UU ini memang jauh lebih memudahkan terjadinya
PHK jika dibandingkan Undang-Undang Ketenagakerjaan.
c. Bidang Administrasi Pemerintahan
UU Cipta kerja dipercaya pemerintah sebagai strategi jitu untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan investasi karena UU ini melakukan deregulasi terhadap beberapa ketentuan termasuk ketentuan
mengenai Administrasi Pemerintahan. Ketentuan mengenai Administrasi Pemerintahan secara khusus
diatur di dalam BAB XI UU Cipta Kerja yaitu Pelaksanaan Administrasi Pemerintahan Untuk
Mendukung Cipta Kerja. Bab XI ini terdiri dari 3 pasal: Pasal 174 terkait kewenangan, Pasal 175
yang mengubah beberapa ketentuan UU Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan
dan Pasal 176 yang mengubah beberapa ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintah
Daerah dan prubahan-perubahannya. Jika dibandingkan dengan draft RUU di bulan Februari 2020,
ketentuan Bab XI UU Cipta Kerja ini sudah mengalami beberapa perubahan. Adapun tulisan ini akan
memberikan catatan kritis terhadap hal-hal yang diatur di dalam Bab XI UU Cipta kerja (versi 1187
halaman), yaitu Pasal 174, Pasal 175 dan Pasal 176.
1. Kewenangan
Pasal 174 UU Cipta Kerja berbunyi: “Dengan berlakunya Undang-Undang ini, kewenangan menteri,
kepala lembaga, atau Pemerintah Daerah yang telah ditetapkan dalam undangundang untuk
menjalankan atau membentuk peraturan perundang-undangan harus dimaknai sebagai pelaksanaan
kewenangan Presiden”. Tidak ada penjelasan lebih lanjut terkait ketentuan Pasal 174 ini.
Beberapa hal yang menarik dari ketentuan Pasal 174 yakni,
- Keinginan Pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan obesitas regulasi yang pada tataran
implementatif menimbulkan banyak kesulitan termasuk untuk investasi, haruslah diapresiasi.
- secara umum ada logika yang menarik melalui UU ini adalah merapihkan kewenangan
Presiden. Pasal 174 UU sesungguhnya cukup benar secara paradigma bahwa kewenangan-
kewenangan yang dicantumkan di berbagai UU harusnya dalam paradigma bahwa merupakan
kewenangan Presiden dan bukan lagi kewenangan menteri dan yang lainnya. Secara doktrin
ketatanegaraan sistem Presidensial, hal itu menjadi menarik. Kecuali ketika mengatakan
bahwa termasuk kewenangan Pemerintah Daerah. Ini dapat menjadi perdebatan oleh karena
Pemerintah Daerah masih merupakan entitas tersendiri di dalam UUD. Apakah Pemda
merupakan bagian dari Pemerintah Pusat seperti doktrin kaku negara kesatuan, atau atas
nama otonomi daerah sebenarnya merupakan dua hal yang terpisah.
- terkait pemerintah daerah. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, hubungan antara
Presiden dan Pemerintah Daerah memiliki kerangkanya sendiri. Namun, singkatnya
pengaturan terkait kewenangan Presiden dan Pemerintah Daerah dalam Pasal 174 yang juga
tidak disertai adanya penjelasan, menimbulkan kekhawatiran tentang hilangnya eksistensi
desentralisasi. Dalam doktrin ketatanegaraan sistem presidensial, segala kewenangan menteri
dan lembaga memang merupakan bentuk pelaksanaan kewenangan presiden. Namun, sekali
lagi, hubungan pemerintah dan pemerintah daerah memiliki bingkai tersendiri.

Desentralisasi yang diyakini sebagai pilihan terbaik karena dapat mengatasi masalah kesenjangan
yang signifikan antara pusat dan daerah, buruknya pelayanan publik dan tingginya angka kemiskinan,
menekankan pentingnya kewenangan pemerintah daerah untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan yang diserahkan kepadanya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi urusan
pemerintah pusat. Betul bahwa pada negara kesatuan sumber kewenangan untuk mengatur ada pada
pemerintah pusat. Namun, dalam konteks negara kesatuan yang desentralisasi, pemerintah pusat juga
harus menghormati hak untuk mengatur dari pemerintah daerah terhadap urusan-urusan yang sudah
diberikan kepadanya. Dengan menarik semua kewenangan untuk mengatur dan melaksanakan
peraturan perundang-undangan bagi daerah sebagai pelaksanaan kewenangan presiden tersebut, wajar
jika kekhawatiran akan sentralisasi kembali muncul. Idealnya, Pemerintah Pusat seharusnya tetap
memiliki instrumen untuk melakukan pengawasan kebijakan daerah, namun pengawasan ini tidak
dalam kapasitas mengintervensi seperti yang terjadi pada masa lalu, tetapi mengarahkan agar
Peraturan Daerah yang dibentuk senantiasa sejalan dengan tujuan diberikannya otonomi luas. Hal
inilah yang harus dipastikan oleh pembentuk peraturan perundang-undangan untuk dijelaskan lebih
lanjut dalam peraturan pelaksanaan.

2. Diskersi
Konsep diskresi dalam UU Cipta Kerja mendapatkan perluasan pemaknaan. Diskresi menurut Pasal
24 UU Administrasi Pemerintahan harus dipenuhi dengan syarat, yakni sesuai dengan tujuan Diskresi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 ayat (2), tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, sesuai dengan AUPB, berdasarkan alasan-alasan yang objektif, tidak
menimbulkan Konflik Kepentingan, dan dilakukan dengan iktikad baik.
Sedangkan dalam pengaturan UU Cipta Kerja, tepatnya Pasal 175 angka 2, syarat diskresi diubah
dengan menghilangkan salah satu syarat diskresi yakni: “tidak bertentangan dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan”. Alasan dikeluarkannya ketentuan tersebut karena diyakini bahwa
syarat “tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” menjadikan diskresi
yang dijalankan Presiden menjadi tidak efektif.
Hal ini merupakan bentuk perluasan makna dari diskresi yang sebelumnya diatur dalam UU No. 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Pengaturan ini memberikan ruang gerak bagi pejabat
pemerintah untuk melakukan suatu tindakan tanpa perlu terikat sepenuhnya pada undang-undang
asalkan tujuannya untuk kepentingan umum.
Implikasinya juga adalah tidak ada mekanisme kontrol memadai yang diperhatikan tatkala ada
penggunaan diskresi yang tidak tepat dan bertujuan koruptif misalnya. Oleh karena kontrol yang
tercipta adalah dengan menaikkan perizinan penggunaan diskresi ke atasan secara langsung. Artinya,
Presiden sebagai atasan tertinggi tidak akan memiliki kontrol penggunaan diskresi. Begitu pun
penggunaan diskresi oleh Menteri karena satu-satunya kontrol yang ada adalah Presiden. Tatkala
Presiden telah berkehendak, maka dengan sendirinya diskresi itu pasti akan berjalan walaupun
dengan tujuan yang tidak benar.
d. Sanksi Pidana
Ada tiga catatan penting terkait penormaan sanksi pidana dalam undang-undang a quo antara lain
sebagaimana tercantum dalam halaman 25 Pasal 70, halaman 26 Pasal 75, halaman 38 Pasal 71,
halaman 43-44 Pasal 46, Pasal 47 dan Pasal 49B, halaman 63 Pasal 82, Pasal 82B, Pasal 82C dan
Pasal 109, halaman 65-66 Pasal 112, halaman 94 Pasai 89, Pasal 92, Pasal 94 dan Pasal 94A, halaman
131 Pasal 50A dan Pasal 78 ayat (5), halaman 139 Pasal 82 ayat (2) dan Pasal 83 ayat (3), halaman
141 Pasal 84 dan Pasal 85, yakni :
1. Ketentuan sanksi administrasi dan sanksi pidana yang tumpang tindih dan cenderung bertentangan
antara satu dengan yang lain. Di satu sisi dengan tegas mengatur bahwa pelanggaran terhadap
ketentuan a quo dikenakan sanksi administrasi, namun pada ketentuan pidana secara tegas
menyatakan pelanggaran terhadap ketentuan a quo diancam pidana penjara dan denda secara
kumulatif.
2. Dampak perbuatan yang tidak sebanding dengan pidana yang diancamkan. Perbuatan yang dilarang
jika dilanggar dikenakan sanski pidana penjara dan denda secara kumulasi. Celakanya, perbuatan
yang sama jika dilanggar dan mengakibatkan kematian, diancam pidana penjara atau denda secara
alternative. Seharusnya perbuatan yang berakibat mati ancaman pidananya lebih berat dalam bentuk
kumulasi dan bukan bentuk alternative.
3. Undang-undang a quo menghimpun kurang lebih 79 undang-undang yang masing-masing memiliki
ketentuan pidana. Ketika disatukan dalam sebuah undang-undang, seyogyanya ada harmonisasi antara
ketentuan yang satu dengan ketentuan yang lain dan tidak hanya merujuk pada pasal yang existing.
Hal ini mengakibatkan disparitas pidana dalam penegakkan hukum jika terjadi pelanggaran dalam
undang-undang a quo. Sebagai misal, perbuatan yang mengakibatkan mati pada klaster undang-
undang lingkungan hidup hanya dikenakan ancaman pidana maksimum 1 tahun penjara. Akibat yang
sama pada klaster undang-undang perikanan dikenakan ancaman pidana maksimum 6 tahun penjara.
Bahkan, ada ketentuan yang sama jika mengakibatkan mati hanya dikenakan denda maksimum 500
juta rupiah.
Berdasarkan tiga catatan tersebut amat sangat rentan diajukan ke Mahkamah Konstitusi berkaitan
dengan salah satu prinsip negara hukum adalah keadilan, sementara penormaan yang ada tidak
mencerminkan keadilan terkait dampak dan sanksi pidana yang diancamkan. Solusi konkrit, Presiden
segera mengeluarkan Perpu yang tidak membatalkan keseluruhan undang-undang a quo tetapi
menunda keberlakuan pasal-pasal yang bermasalah dengan untuk mengadakan perbaikan. Khusus
terkait sanksi pidana diperlukan satu pasal dalam Perpu yang menyatakan bahwa ancaman pidana
dalam undang-undang a quo ditunda keberlakuannya selama maksimal 1 tahun untuk dilakukan
harmonisasi dan sinkronisasi.
Sumber Bacaan

- https://kema.unpad.ac.id/wp-content/uploads/Kajian-Omnibus-BEM-Kema-Unpad.pdf .
Diakses tanggal 26 September 2021
- https://rispub.law.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1049/2020/11/Kertas-kebijakan-analisis-UU-
Cipta-Kerja-FH-UGM-5-November-2020-rev-1.pdf. Diakses tanggal 26 September 2021
- https://arek.its.ac.id/bem-its/wp-content/uploads/2021/01/Kajian-UU-Cipta-Kerja-HMTL-
ITS_rev.pdf. Diakses tanggal 26 September 2021
- https://www.untan.ac.id/catatan-kritis-terhadap-omnibus-law-ruu-cipta-kerja/
- https://bem.law.ui.ac.id/omnibuslaw/. Diakses tanggal 26 September 2021
- https://jdih.esdm.go.id/storage/document/UU%2032%20Tahun%202009%20(PPLH).pdf .
Diakses tanggal 26 September 2021
- https://rispub.law.ugm.ac.id/wp-content/uploads/sites/1049/2020/11/Kertas-kebijakan-analisis-UU-
Cipta-Kerja-FH-UGM-5-November-2020-rev-1.pdf. Diakses tanggal 27 September 2021
- https://madaniberkelanjutan.id/2021/02/04/pandangan-kritis-terhadap-undang-undang-no-11-tahun-
2020-tentang-cipta-kerja-masa-depan-ekonomi-dan-lingkungan-hidup.
Diakses tanggal 27 September 2021

Anda mungkin juga menyukai