Anda di halaman 1dari 16

KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI

DAN PENDIDIKAN TINGGI

UNIVERSIAS JAMBI

POLITIK HUKUM PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA

Oleh:
Zakenia Chairunnisa
NIM : P2B12090

Dosen Pengampu :
Dr. hartati, S.H., M.H.

UNIVERSITAS JAMBI
FAKULTAS HUKUM
PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

JAMBI
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pemerintah Indonesia saat ini sedang berusaha untuk menarik investasi
baik asing maupun dalam negeri di bawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo.
Hal ini terbukti Pemerintah sebagai insiator pengusul Rancangan Undang-
Undang Tentang Cipta Kerja yang bertujuan untuk memperbaiki dan
meningkatkan ikilim investasi Indonesia. Rancangan UndangUndang Tentang
Cipta Kerja saat ini tengah dibahas di DPR RI berdasarkan Surat Kementerian
Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Nomor
PHPH.2.1.-69/SES.M.EKON/02/2020 tertanggal 13 Februari 2020 dan Surat
Presiden Republik Indonesia Nomor R06/Pres/02/2020 tanggal 7 Februari 2020.
Pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
tanggal 2 November 2022 merupakah sejarah pertama metode pembentukan
peraturan perundang-undangan melalui omnibus law Omnnibus Law ialah
metode pembentukan suatu peraturan perundang-undangan yang dapat merevisi
beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus.
Pasca pengesahan, Undang-Undang Cipta Kerja langsung mendapat
penolakan dari berbagai elemen masyarakat. Banyak ahli hukum tata negara
menilai UU Cipta Kerja merupakan regulasi yang cacat karena bertentangan
dengan prinsip procedural due process of law dan substantive due process of
law. UU Cipta Kerja menyebabkan pendelegasian kepada banyak peraturan
pelaksana. Oleh karena itu, UU Cipta Kerja justru berpotensi menyebabkan
hiperegulasi dengan bentuk baru, yakni ketidaktertiban dalam kesesuaian antar
materi muatan di Indonesia. UU Cipta Kerja langsung menjadi objek judicial
review, baik secara formal maupun materiil di Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang ini banyak menuai protes, dimana salah satunya dari
pihak Pekerja/ Buruh karena Klaster Ketenagakerjaan dalam RUU ini juga
merevisi sejumlah pasal penting yang ada dalam Undang-Undang Nomor 13

1
Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Beberapa alasan penolakan dari berbagai
macam Serikat Pekerja/ Serikat Buruh baik yang dalam tingkatan Federasi
maupun Konfederasi didasarkan pada tidak pernahnya dilibatkan secara resmi
oleh Pemerintah dalam proses penyusunannya dan substansinya yang diatur pun
merugikan pekerja yang sebelumnya telah diatur lebih baik dalam Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.
B. Rumusan Masalah.
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan penulis mengambill
rumusan masalah yaitu:
1. Bagaimana proses pembentukan dan implentasi Undang-Undang Cipta
Kerja?
2. Bagaimana politik hukum dalam pembentukan Undang-Undang Cipta
Kerja?

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Proses pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja
RUU Cipta Kerja diusulkan Pemerintah dan ditetapkan sebagai RUU
Prioritas dalam Prolegnas Tahun 2020. Pembahasan RUU a quo oleh pembentuk
UU cukup singkat dibandingkan dengan pembahasan yang dilakukan terhadap
RUU lain. RUU Cipta Kerja diklaim dapat mendorong peningkatan investasi di
Indonesia melalui pengaturan terkait dengan perizinan pajak, pembebasan tanah,
dan aspek lain terkait. Pemerintah berharap adanya UU Cipta Kerja dapat
mempermudah investor untuk berinvestasi, yang pada kemudian hari salah
satunya dapat membantu pemerintah dalam pembangunan infrastruktur. RUU
Cipta Kerja disahkan sebagai UU dan mendapat persetujuan bersama antara
Presiden dan DPR-RI pada 5 Oktober 2020. Sebelum disahkan menjadi UU,
Pemerintah sangat berambisi untuk meloloskan RUU Cipta Kerja, bahkan
mengklaim telah melakukan roadshow RUU Cipta Kerja untuk menyerap
aspirasi masyarakat.
Walaupun UU Cipta Kerja telah disetujui dan disahkan, masih banyak
perubahan-perubahan mengenai isi dan muatan UU tersebut. Saat proses
finalisasi naskah UU Cipta Kerja dilakukan, jumlah halaman teridentifikasi
bertambah banyak daripada naskah yang telah beredar, yakni dari 905 halaman
menjadi 1.035 halaman. Namun, pada saat UU Cipta Kerja telah resmi
ditandatangani Presiden dan kemudian diundangkan, jumlah halaman UU a quo
berubah menjadi sebanyak 1.187 halaman.
Pemerintah mengharapkan UU Cipta Kerja mampu mengatasi persoalan
obesitas regulasi, menciptakan peluang lapangan kerja dalam jumlah besar,
memberdayakan UMKM, serta menjadi bentuk nyata penerapan kebijakan
hukum nasional. Akan tetapi, pengesahan UU a quo ternyata menimbulkan
berbagai sikap pro dan kontra. Ada beragam perdebatan dari seluruh lapisan
masyarakat, yaitu mencakup formal pembentukan UU tersebut, yang

3
menggunakan metode omnibus law serta substansinya. UU tersebut dipandang
sebagai UU yang buruk karena cara/proses pembuatan dan masalah-masalah
substansial yang dikandungnya.
Pertama, mengenai “cetak biru” atau naskah akademik RUU Cipta Kerja.
Guna menggambarkan sistem yang diharapkan akan dibangun ke depan dalam
kebijakan yang akan dibuat, maka “cetak biru” atau naskah akademik sekurang-
kurangnya memuat pandangan yang menyeluruh, baik secara filosofis, yuridis,
maupun sosiologis terhadap RUU yang akan disusun. Namun, Naskah Akademik
RUU Cipta Kerja dinilai tidak memenuhi bentuk minimal yang diharapkan.
Cetak biru UU Cipta Kerja yang pada awalnya diharapkan dapat
menyejahterakan masyarakat dengan pembukaan lapangan kerja berjumlah besar,
justru mengebiri hak-hak dan kepentingan masyarakat. Posisi UU tersebut yang
jauh dari cetak birunya memberi gambaran bahwa terjadi pergeseran dalam cetak
biru politik hukum di Indonesia beberapa waktu belakangan, yang seharusnya
memberi perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan publik. Akan tetapi,
yang terjadi malah sebaliknya, malah memberi perlindungan terhadap
kepentingan orang-orang dalam lingkungan penguasa dan mengebiri
kepentingan-kepentingan publik.
UU Cipta Kerja memiliki landasan konstitusional untuk mewujudkan
masyarakat yang sejahtera sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945.
Bahkan, sebagaimana diatur dalam Pasal 27 (2) UUD 1945, Pemerintah harus
memenuhi hak warga negaranya untuk bekerja. Berdasarkan kerangka filosofis
tersebut, UU Cipta Kerja dilatorbelakangi oleh kebutuhan untuk menciptakan
lapangan pekerjaan demi mengurangi jumlah pengangguran. Untuk itulah
diperlukan suatu kebijakan yang strategis dengan peningkatan bidang investasi
dan mendorong perkembangan dan peningkatan kualitas usaha kecil. Akan tetapi,
paradigma yang muncul dalam proses penyusunan UU Cipta Kerja adalah
mendorong pertumbuhan ekonomi yang mengabaikan aspek lain. Beberapa

4
kelompok minoritas tidak diakui dan kontribusinya dipinggirkan, bahkan
dianggap tidak penting.
UU Cipta Kerja disusun atas dasar naskah akademik yang tidak memadai
dan analisis yang tidak komprehensif. UU tersebut dibuat dengan maksud untuk
memenuhi persyaratan hukum, tetapi tampaknya tidak memiliki hasil praktis.
Gagapnya kepentingan publik dalam cetak biru politik hukum dan
dikesampingkannya partisipasi publik dalam tahap penyusunan di tengah tarik-
menarik kepentingan politik, tentunya akan membawa dampak buruk terhadap
implementasi suatu kebijakan hukum. Masyarakat tidak akan dapat menerima
suatu kebijakan hukum yang tidak menyerap aspirasi yang ada. Penolakan adalah
hal yang wajar terjadi jika kepentingan publik tidak terakomodasi di dalam cetak
biru dan tarikmenarik kepentingan politik terjadi dalam proses penyusunan
perundang-undangan.
B. Politik hukum dalam pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja
Walaupun hukum merupakan hasil kesepakatan politik, namun konstitusi
dan peraturan perundang-undangan menjamin hukum untuk dapat memenuhi
lebih dari sekadar peraturan politik yaitu dengan memenuhi keinginan publik.
Oleh sebab itu, membuka ruang partisipasi, aspirasi, serta masukan lain dalam
penyusunan UU merupakan hal yang penting.
Asas partisipasi masyarakat menjadi isu dalam proses legislasi UU Cipta
Kerja. Pasalnya, penerapan asas partisipasi yang hanya berlangsung dalam 64
kali pertemuan tidak cukup memenuhi kriteria konsep partisipasi yang
diharapkan ketika menyusun sekitar 1200 pasal yang berdampak pada lebih dari
79 UU. Sebagian besar pertemuan adalah pertemuan internal perumusan, bukan
audiensi untuk memperkuat partisipasi.
Hakikat legislasi bukan hanya terletak pada apa-apa saja yang diinginkan
pembuat UU, melainkan juga terkait dengan apa-apa saja yang diinginkan oleh
masyarakat. Asas demokrasi menyatakan bahwa lembaga legislatif, presiden,
dan parlemen merupakan perpanjangan tangan dari kedaulatan rakyat dalam

5
sistem presidensial. Presiden memiliki kekuasaan untuk memutuskan apa yang
diinginkan rakyat untuk negara. Konstitusionalitas ketatanegaraan harus
bersumber dari hukum dasar yang hanya mengikat apabila didasarkan pada
kekuasaan (kedaulatan) tertinggi di suatu negara. Keinginan rakyat adalah
sumber kedaulatan bangsa dalam menjalankan kewenangan.
Paradigma lain yang banyak dibicarakan adalah konsistensi paradigma
negara dengan penerapan melalui UU Cipta Kerja tersebut, misalnya paradigma
pemerintah yang bermaksud untuk mengurangi jumlah peraturan, tetapi
kenyataannya melalui UU Cipta Kerja, peraturan tersebut kemungkinan akan
menjadi lebih over regulasi. Hal ini karena UU Cipta Kerja melahirkan 49
peraturan pelaksana, baik PP maupun perpres, yang memuat 466 ketentuan
delegasi. Ketentuan itu berupa 11 delegasi ke PP, 11 ke perpres, 377 ke permen,
60 ke peraturan lembaga pemerintah nonkementerian, dan 7 perda.
Pendelegasian yang dilakukan tidak hanya ke peraturan yang lebih rendah
seperti peraturan menteri, tetapi juga memuat ketentuan pendelegasian sejajar
antara PP dan antara peraturan presiden. Setidaknya ada 11 peraturan delegasi
dari PP ke PP dan satu peraturan delegasi dari perpres ke perpres.
Pendelegasian sejajar ini justru menunjukkan inkonsistensi pemerintah dalam
penyederhanaan regulasi dan akan menimbulkan masalah baru dalam regulasi.
Pada 25 November 2022 Mahkamah Konstitusi mengeluarkan Putusan
Nomor 91/PUU-XVII/2020 tentang pengujian formil UU Nomor 11 Tahun
2020 tentang Cipta Kerja dan memutuskan bahwa UU Cipta Kerja
inkonstitusional bersyarat. UU Cipta Kerja masih tetap berlaku sampai dengan
dilakukannya perbaikan pembentukan sesuai dengan tenggang waktu yang telah
diberikan. Apabila dalam tenggang waktu dua tahun tidak dilakukan perbaikan,
maka UU a quo dinyatakan inkonstitusional.
Ada beberapa catatan putusan MK terkait uji formil UU Cipta Kerja
tersebut yang perlu disikapi dengan bijak oleh Pemerintah dan DPR. Pertama,
RUU Cipta Kerja tidak memenuhi asas kejelasan tujuan dan asas kejelasan

6
rumusan. Kedua, MK mengatakan bahwa ruang partisipasi publik dalam
pembentukan UU Cipta Kerja tidak diberikan secara luas. Ketiga, MK
mengatakan naskah akademik dan Rancangan UndangUndang Cipta kerja tidak
dapat diakses oleh masyarakat. Sehingga ada proses pembuatan undang-undang
yang jauh dari kesan membuka ruang partisipasi dan aspirasi publik. Keempat,
tata cara pembentukan
UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang baku,
standar dan sistematis sebagaimana konsep yang yang diharuskan dalam UU
No. 12 Tahun 2011. Dan yang terakhir, ada banyak pelanggaranpelanggaran
atas ketentuan norma, misalnya pasal yang berubah, menghilang dan diganti
bahkan setelah terdapatnya kesepakatan.
Pertimbangan-pertimbangan MK pada putusan terkait dengan UU Cipta
Kerja diatas menjustifikasi secara tegas sekaligus memiliki kekuatan hukum
tetap dan mengikat bahwa ada yang salah dengan proses pembentukan UU
Cipta Kerja itu sendiri. Hal ini membuktikan bahwa politik hukum dari UU
Cipta Kerja yang berkarakter produk hukum ortodoks atau elitis sebagaimana
dijelaskan dalam poin tarik menarik kepentingan politik UU Cipta Kerja telah
mengakibatkan UU ini diputus inkonstitusional bersyarat oleh MK. Sehingga
hal ini menjadi peringatan yang terang bagi legislator agar tidak membentuk
UU yang menentukan hajat hidup rakyat secara serampangan atau bertentangan
dengan UUD 1945 maupun UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Undang-Undang Cipta Kerja terlihat jelas Pemerintah berusaha untuk
menciptakan social dumping yaitu membuat aturan untuk menarik investasi
asing ke Indonesia dengan cara-cara menekan upah minimum, membuat
kebijakan-kebijakan yang menguntungkan Penanam Modal Asing dan
menghilangkan perlindungan kepada Pekerja.
Terdapat sejumlah pasal dalam klaster ketenagakerjaan pada beleeid
tersebut. Empat diantaranya meliputi Pasal 59 tentang tenaga kontrak, Pasal 77

7
tantang jam kerja, Pasal 78 tentang ketntuan lembur, Pasal 79 tantang hak cuti
dan istirahat.
Negara harus tunduk dan melaksanakan amanat Alinea ke-4 Pembukaan
UUD 1945, Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 sebagai
konstitusi Negara Republik Indonesia, dan bukan justru memberikan “karpet
merah” serta membuka peluang dan kesempatan sebebas-bebasnya kepada
pekerja asing untuk dapat bekerja di Indonesia, sebagaimana yang ada dalam
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, memberikan kemudahan Tenaga
Kerja Asing (TKA) masuk ke Indonesia dengan menghapus berbagai
persyaratan antara lain menghilangkan kewajiban meminta izin kepada Menteri
Tenaga Kerja, tanpa adanya syarat standart konpetensi TKA, tanpa batasan
waktu penggunaan TKA maupun batasan jenis pekerjaan yang dapat ditempati
oleh TKA, serta tidak ada kewajiban bagi TKA menghormati budaya Indonesia.
Perubahan yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
terhadap pasal-pasal yang mengatur mengenai hubungan kerja secara umum
bersifat menghilangkan tanggung jawab Negara dalam memberikan
perlindungan kepada pekerja Indonesia dalam praktek hubungan kerja sehingga
akan mengakibatkan kerugian bagi pekerja Indonesia, sebagaimana yang ada
dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, yakni:
1. Melegalkan praktek PKWT untuk seumur hidup dan untuk semua jenis
pekerjaan dengan menentukan jangka waktu atau selesainya suatu
pekerjaan tertentu berdasarkan kesepakatan para pihak. Hal ini akan
mengakibatkan tidak akan terwujudnya asas kepastian kerja (job security)
bagi Pekerja, karena pada faktanya posisi Pekerja selalu berada di bawah
(inferior) Pengusaha bahkan dimulai dari sebelum adanya hubungan kerja,
sehingga tidak dimungkinkannya Pekerja untuk memilik status hubungan
kerja tetap. Terlebih dengan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
mengatur PKWT dapat dilakukan dengan seluruh jenis pekerjaan dan

8
waktu seumur hidup, maka jelas memudahkan PHK dilakukan kepada
Pekerja.
2. Aturan Kompensasi kepada pekerja PKWT yang diputus hubungan
kerjanya hanyalah pemanis yang bersifat utopis karena disyaratkannya
minimal masa kerja 1 tahun, sedangkan PKWT dibebaskan sebebasnya
jangka waktu keberlakuannya berdasarkan kesepakatan para pihak.
3. Menghilangkan ketentuan ketentuan mengenai pelaksanaan penyerahan
sebagian pekerjaan kepada perusahaan lainnya, yang pada faktanya
merupakan bentuk perlindungan Negara kepada Pekerja dalam praktek
pelaksanaan penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lainnya
yaitu berupa pembatasan jenis pekerjaan yang dapat dikerjakan hanya
sebatas pekerjaan penunjang yang sama sekali bukan termasuk dalam
kerjaan atau kegiatan utama, kepastian hak Pekerja yang sama dan
kepastian kerja Pekerja. Terlebih penghilangan ketentuan ini sangat jelas
bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 27/PUU-IX/2011
tanggal 17 Januari 2012 yang mewajibkan adanya mekanisme TUPE
sebagai bentuk perlindungan hukum kepada pekerja.
4. Membuat ketentuan baru yaitu “Alih Daya” yang akan sangat merugikan
Pekerja karena dapat dilakukan untuk semua jenis pekerja, tidak lagi
sebatas hanya pekerja penunjang malainkan termasuk didalamnya
pekerjaan atau kegiatan utama.
Perubahan yang ada dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja
terhadap pasal-pasal yang mengatur mengenai perlindungan, pengupahan, dan
kesejahteraan secara umum bersifat menghilangkan tanggung jawab Negara
dalam memberikan perlindungan kepada Pekerja Indonesia dalam praktek
hubungan kerja sehingga akan mengakibatkan kerugian bagi Pekerja Indonesia.
Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang
sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dipangkas.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah

9
Pasal 79 Undang-Undang Ketenagakerjaan, sebagaimana yang ada dalam
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja, yakni:
1. Menghilangkan ketentuan hari kerja dalam satu minggu yang
mengakibatkan hilangnya hari istirahat mingguan, sehingga RUU Cipta
Kerja tidak melindungi aspek kesehatan kerja pekerja demi menjaga
produktivitas Pekerja
2. Menyebabkan ketidakpastian waktu kerja pekerja, dan menggantungkan
waktu kerja kepada Pengusaha yang memberikan perintah kerja kepada
Pekerja.
3. Menambah batas maksimal jam lembur sehingga menimbulkan resiko
kesehatan dan kecelakaan kerja karena kelelahan, terlebih sangat terkesan
mementingkan kepentingan pengusaha tanpa mempertimbangkan aspek
kemanusiaan Pekerja untuk istirahat atau pemulihan, hidup sehat,
bersosialisasi, berkumpul dengan keluarga dan tetangga sebagai makluk
sosial.
4. Menghilangkan hak istirahat panjang Pekerja, dimana hal ini sangat
merugikan pekerja yang selama ini telah mendapatkan hak istirahat
panjang.
5. Mengatur Upah berdasarkan satuan waktu jelas tidak memberikan
kepastian bagi Pekerja untuk mendapatkan penghidupan yang layak,
mengaburkan prinsip no work no pay tanpa batasan syarat jelas
keberlakuan.
6. RUU Cipta Kerja melahirkan norma baru dalam pengupahan yaitu Upah
Minimum Padat Karya dimana nominalnya dapat lebih rendah dari Upah
Minimum Provinsi, jika ini terjadi jelas akan menyebabkan diskriminasi
dan tidak terwujudnya penghidupan serta imbalan yang layak bagi pekerja
yang bekerja pada industri padat karya.

10
7. Menghilangkan fungsi Serikat Pekerja/Serikat Buruh untuk dapat
merundingkan upah di atas upah minimum, hal ini jelas melanggar hak
dasar Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
8. Melahirkan norma baru dalam pengupahan yaitu Upah pada usaha Mikro
dan Kecil dimana nominalnya didasarkan pada kesepakatan para pihak,
sehingga jelas pekerja pada usaha mikro dan kecil tidak tidak dapat
mewujudkan penghidupan serta imbalan yang layak.
Negara harus memandang pemutusan hubungan kerja sebagai hal yang
harus sebisa mungkin harus dihindari karena sangat berdampak pada
penghidupan pekerja dan keluarganya. Bagi pekerja putusnya hubungan kerja
berarti permulaan masa pengangguran dengan segala akibatnya, sehingga untuk
menjamin kepastian dan ketenteraman hidup kaum buruh seharusnya tidak ada
pemutusan hubungan kerja. Prinsip ini jelas tertuang dalam Pasal 151 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang
menyatakan “Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan
pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi
pemutusan hubungan kerja.”. Dengan demikian Rancangan Undang-Undang
Cipta Kerja telah:
1. Menghilangkan prinsip utama PHK. Hal ini jelas berdampak pada
hilangnya hak atas kepastian bagi pekerja, dimana mudahnya PHK dapat
dilakukan dan terjadi, Negara dapat dianggap telah melepaskan tanggung
jawabnya dalam melakukan perllindungan kepada Pekerja;
2. Menghilangkan kewenangan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam
melakukan pembelaan terhadap anggotanya yang terkena PHK;
3. Menghilangkan uang penggantian hak sebagai salah satu hak pekerja yang
mengalami PHK. Hal jelas merupakan degradasi dari perlindungan
kesejahteraan bagi pekerja dan merupakan bentuk pelepasan tanggung
jawab Negara dalam melindungi dan mensejahterakan pekerja.

11
Ketentuan pidana dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan haruslah dipandang dan dilihat merupakan bentuk
perlindungan yang diberikan kepada pekerja agar hakhak yang telah diatur
dapat secara pasti terpenuhi, di dalam Rancangan UndangUndang Cipta kerja
telah dengan jelas:
1. Menghilangkan sanksi pidana pembayaran upah dibawah upah minimum,
hal ini jelas akan menyebabkan banyaknya praktek pembayaran upah di
bawah upah minimum.
2. Menghilangkan sanksi pidana terhadap kewajiban pelaksana penempatan
tenaga kerja memberikan perlindungan kepada pekerja, hal ini jelas
mengakibatkan tidak adanya perlindungan yang mencakup kesejahteraan,
keselamatan, dan kesehatan baik mental maupun fisik tenaga kerja.
3. Menghilangkan sanksi pidana kewajiban TKA untuk alih teknologi dan
keahlian serta pendidikan dan pelatihan kerja, sehingga selamanya TKI
tidak akan memiliki kesempatan meningkatkan kemampauannya maupun
mendapatkan kesempatan alih teknologi.
4. Menghilangkan sanksi pidana terhadap pelanggaran mempekerjakan
Pekerja/buruh perempuan yang berumur kurang dari 18 (delapan belas)
tahun antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00, hal ini jelas
merupakan bentuk dari Negara yang dipekerjakan pada jam-jam tertentu
tersebut.
5. Menghilangkan ketentuan Pidana serta mengubahnya menjadi sanksi
administratif dalam RUU Cipta Kerja membuktikan Negara hanya
berorientasi pada Investasi, dan melepaskan tanggung jawabnya
melindungi pekerja guna dapat mewujudkan kesejahteraan dan
penghidupan yang layak.
Negara harus memandang jaminan kehilangan pekerjaan yang
diselenggarakan secara nasional berdasar prinsip asuransi sosial bertentangan
dengan prinsip jaminan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Undang-

12
Undang Nomor 40 tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan
Pasal 28H ayat (3) UUD 1945. Bahwa setiap warga negara berhak atas
pekerjaan, maka menjadi tanggung jawab negara memenuhi hak setiap warga
negara untuk mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Oleh karena
itu ketika warga negara kehilangan pekerjaan makamenjadi tanggung jawab
negara untuk memberikan jaminan sosialnya.
Program Jaminan kehilangan pekerjaan dalam Rancangan Undang-
Undang Cipta Kerja ini bukan merupakan bentuk dari tanggung jawab negara
terhadap rakyat yang sedang kehilangan pekerjaan, karena terjadi pembebanan
dengan diwajibkannya pekerja mengiur, sehingga sesungguhnya yang terjadi
pekerja yang menanggung diri sendiri. Terlebih gagasan dalam Rancangan
Undang-Undang Cipta kerja tersebut secara faktual tidak konsisten dengan
pemaparan Kemenko Perekonomian di DPR RI tanggal 12 Februari 2020 yang
menyatakan Jaminan Kehilangan Pekerjaan dilaksanakan dengan tidak
menambah beban iuran pekerja dan pengusaha.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. UU Cipta Kerja disusun atas dasar naskah akademik yang tidak memadai
dan analisis yang tidak komprehensif. UU tersebut dibuat dengan maksud
untuk memenuhi persyaratan hukum, tetapi tampaknya tidak memiliki hasil
praktis. Gagapnya kepentingan publik dalam cetak biru politik hukum dan
dikesampingkannya partisipasi publik dalam tahap penyusunan di tengah
tarik-menarik kepentingan politik, tentunya akan membawa dampak buruk
terhadap implementasi suatu kebijakan hukum. Masyarakat tidak akan dapat
menerima suatu kebijakan hukum yang tidak menyerap aspirasi yang ada.
Penolakan adalah hal yang wajar terjadi jika kepentingan publik tidak
terakomodasi di dalam cetak biru dan tarik menarik kepentingan politik
terjadi dalam proses penyusunan perundang-undangan.
2. UU Cipta Kerja tidak didasarkan pada cara dan metode yang baku, standar
dan sistematis sebagaimana konsep yang yang diharuskan dalam UU No. 12
Tahun 2011. Dan yang terakhir, ada banyak pelanggaran pelanggaran atas
ketentuan norma, misalnya pasal yang berubah, menghilang dan diganti
bahkan setelah terdapatnya kesepakatan. Terdapat sejumlah pasal dalam
klaster ketenagakerjaan pada beleeid tersebut. Empat diantaranya meliputi
Pasal 59 tentang tenaga kontrak, Pasal 77 tantang jam kerja, Pasal 78 tentang
ketntuan lembur, Pasal 79 tantang hak cuti dan istirahat.
B. Saran
1. Pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja harus didukung oleh data riset atau
studi kelayakan. Naskah akademik juga harus komperehensif dan prinsip
membangun berkelanjutan atau berwawasan lingkungan serta terhadap
paradigma ekonomi Pancasila.
2. Dalam kontek Political Review, perlu dilakukan re-orientasi paradigm hukum
dalam peenyusunan Undang-Undang Cipta Kerja. Dar paradigm hukum

14
berbasis ideologi ekonomi-kapitalis liberal beralih menjadi pradigma hukum
ekonomi Pancasila yang bertumpu pada keadilan sosial, ekonomi dan
kerakyatan.

15

Anda mungkin juga menyukai