Mayoritas publik merasa Perppu Cipta Kerja lebih menguntungkan pelaku usaha dan investor,
bukan pekerja. Meski demikian, publik juga masih menaruh harapan Perppu Cipta Kerja ini
dapat membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Pemerintah perlu merawat harapan itu
dengan mengimplementasikan perppu dengan sebaik-baiknya.
Penilaian publik ini cenderung tidak selaras dengan pertimbangan pemerintah dalam
mengeluarkan Perppu Cipta Kerja. Pemerintah memang merasa perlu mempercepat antisipasi
terhadap kondisi global, baik kemungkinan resesi global, peningkatan inflasi, maupun
ancaman stagflasi. Munculnya negara-negara berkembang yang sudah mulai meminta
tambahan bantuan kepada IMF pun disebut sebagai alasan lahirnya perppu ini.
Publik melihat, sebelum lahirnya Perppu Cipta Kerja, keberadaan Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja juga kurang mewakili aspirasi masyarakat. Masih minimnya
peran publik dalam proses lahirnya UU Cipta Kerja yang kemudian dinyatakan
inkonstitusional bersyarat oleh MK dan direspons pemerintah dengan menerbitkan Perppu
Cipta Kerja semakin menegaskan minimnya aspirasi masyarakat dalam proses pembentukan
regulasi tersebut. Apalagi, jauh sebelum UU Cipta Kerja disahkan, reaksi publik cenderung
menolak dengan munculnya demonstrasi, terutama dari kalangan buruh dan pekerja.
Minimnya transparansi dan keterlibatan publik ini juga menjadi salah satu catatan yang
disampaikan MK dalam putusan Nomor 91/PUU-XVIII/2020 terkait UU Cipta Kerja. Saat
itu, mahkamah mengharuskan materi perubahan UU agar bisa dengan mudah diakses publik.
Tidak heran jika kemudian sejumlah elemen masyarakat sipil bersiap menyoal Perppu Cipta
Kerja ke MK.
Bagaimanapun, keberpihakan terhadap pekerja menjadi salah satu benang merah dari
keresahan publik soal Perppu Cipta Kerja, alasan penolakan terhadap lahirnya UU Cipta
Kerja, yang kemudian diubah menjadi Perppu Cipta Kerja ini, sebagian besar karena
dianggap tidak berpihak kepada pekerja. Alasan penolakan lainnya adalah karena aturan
dalam perundang-undangan ini dikhawatirkan akan digunakan perusahaan agar lebih mudah
menekan, bahkan memecat buruh.
Kekhawatiran ini tentu bukan tanpa dasar. Pasalnya, Perppu Cipta Kerja masih belum
menyelesaikan persoalan terkait dengan pekerja yang menjadi ganjalan pada UU Cipta Kerja
sebelumnya. Beberapa hal seperti soal ketidakpastian hukum terkait sistem kerja kontrak dan
praktik outsourcing masih tak tersentuh dalam perppu tersebut.
Menurut Pemerintah, kehadiran Perppu Ciptaker telah memenuhi syarat dibentuknya sebuah
Perppu yakni adanya kebutuhan mendesak dan kekosongan hukum. Pernyataan ini tidak
berdasar dan patut dipertanyakan logikanya, mengingat MK dalam Putusan
91/PUU-XVIII/2020 mensyaratkan UU Ciptaker untuk diulang proses pembentukannya
dengan memerhatikan salah satunya mengenai partisipasi yang bermakna. Penerbitan Perppu
adalah seperti siasat sehingga secara keseluruhan seolah mengkhianati amanah MK demi
mengakali syarat partisipasi bermakna ini.
Penerbitan Perppu Ciptaker ini merupakan sinyal kuat bagaimana Pemerintah mendudukkan
publik dalam proses legislasi. Ada tiga corak utama yang lahir sejak 2019 yang terus
berulang hingga kini dalam proses legislasi.
Pertama, memposisikan publik sebagai pihak yang berhadapan dengan Pemerintah dalam
proses legislasi. Pesan ini terang dan jelas apabila kita memerhatikan bahwa dalam setiap
dinamika dalam proses pembentukan undang-undang, kerap terlontar kalimat “kalau menolak
RUU ini, silakan maju ke MK” dari Pemerintah. Alih-alih menempatkan publik sebagai mitra
dalam proses penyusunan, yang terjadi justru memposisikan publik sebagai lawan; padahal
rakyat-lah yang akan terdampak dalam pelaksanaan suatu undang-undang. Pengenyampingan
partisipasi publik terlihat dari program “sosialisasi” yang praktiknya adalah safari komunikasi
satu arah dari pihak Pemerintah, yang kemudian diklaim sebagai pemenuhan syarat
partisipasi.
Ketiga, kerancuan dalam skala prioritas materi muatan legisasi. Pertimbangan kekosongan
hukum yang seharusnya menjadi salah satu prasyarat utama dalam pembentukan Perppu tidak
terpenuhi dalam Perppu Cipta Kerja. Justru mandat dari putusan MK untuk menyusun ulang
UU Omnibus Cipta Kerja tersebut malah secara aktif diabaikan oleh Pemerintah dengan
keluarnya Perppu ini. Argumentasi kepentingan ekonomi dalam penerbitan Perppu Cipta
Kerja ini juga memberikan kode yang membingungkan bagi publik. Apabila ada kebutuhan
pengencangan anggaran karena potensi ekonomi yang memburuk, mengapa justru ada
pengeluaran uang dengan skala massif, misalnya untuk membangun IKN dan memaksakan
pembentukan UU IKN. Contoh lain adalah keluarnya agenda demi agenda legislasi yang
sebetulnya tidak ada urgensi namun diduga keras demi mengakomodir kepentingan elit;
seperti revisi UU KPK di tahun 2019, revisi UU MK di tahun 2020 hingga UU IKN di tahun
2022.
Penerbitan Perppu Ciptaker semakin menegaskan bahwa publik tidak ada artinya bagi
Pemerintah dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan. Keharusan untuk
menghadirkan partisipasi bermakna justru direspon dengan semakin mendangkalkan saluran-
saluran partisipasi masyarakat. Hal tersebut terlihat dari dua Perppu yang baru saja terbit pada
tahun 2022, yakni Perppu Pemilu dan Perppu Ciptaker. Tidak hanya pada tingkat
pembentukan Perppu, penyumbatan ruang partisipasi bermakna juga dilakukan pembentuk
UU dalam beberapa kesempatan seperti UU Ibu Kota Negara (UU IKN) dan KUHP.
Sekalipun MK telah beberapa kali menegaskan dalam putusannya tentang pentingnya
partisipasi yang bermakna dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, sinyal yang
diterima publik adalah praktik ugal-ugalan Pemerintah dalam proses legislasi demi memenuhi
kepentingan oligarki.
Di samping banyaknya pertanyaan dan polemik yang ditimbulkan dari penerbitan Perppu
Ciptaker, celakanya sampai dengan rilis ini disusun dokumen Perppu Ciptaker belum dapat
diakses. Hal itu menguatkan kesan bahwa Pemerintah semakin menarik proses pembentukan
peraturan perundang-undangan ke ruang gelap. Padahal prinsip transparansi adalah prasyarat
terbukanya ruang partisipasi yang bermakna.
Tidak hadirnya ruang partisipasi bermakna dalam proses legislasi membawa semakin dalam
ke jurang kemunduran proses pembentukan peraturan perundang-undangan, ditambah saat ini
terjadi langkah-langkah penjinakkan Mahkamah Konstitusi melalui revisi UU MK tahun
2020 sebagai antisipasi adanya uji materi produk legislasi bermasalah. Kita juga bisa melihat
peran DPR yang semakin tumpul dengan terus mengakomodasi kepentingan Presiden dalam
proses legislasi. Atraksi yang diperlihatkan DPR dalam menjalankan perannya sebagai
pemegang kuasa proses legislasi juga kerap sama dan sebangun dengan Pemerintah sehingga
fungsi penyeimbangan yang seharusnya terjadi malah absen. Penyusunan legislasi yang
seharusnya mendapat sorotan terang agar bisa terpantau rakyat justru terjadi di ujung
Desember saat warga mulai absen di ruang publik karena menikmati jeda akhir tahun. Fakta
bahwa draft Perppu tidak langsung disebarluaskan pasca pengesahannya semakin
menasbihkan bahwa proses legislasi disusun hanya untuk kepentingan elit belaka.
Tak heran, kekhawatiran publik terhadap dampak yang ditimbulkan dari UU Cipta Kerja
yang kemudian diikuti dengan hadirnya perppu ini cukup tinggi. Meskipun demikian,
masyarakat sebetulnya tidak sepenuhnya antipati dengan kehadiran Perppu Cipta Kerja. Hal
ini terlihat dengan sikap dari separuh lebih responden yang masih menaruh harapan yang
terekam dari tingkat keyakinan mereka terhadap penerapan Perppu Cipta Kerja ini bisa
membawa kesejahteraan bagi masyarakat umum. Tentu, keyakinan publik ini semestinya
menjadi modal sosial bagi pemerintah untuk mengimplementasikan kehadiran perppu dengan
sebaik-baiknya.
Modal sosial ini perlu diimbangi dengan pembuktian dari pemerintah bahwa hadirnya Perppu
Cipta Kerja ini benar- benar akan membawa manfaat bagi masyarakat Indonesia, terutama
kesejahteraan bagi para pekerja yang selama ini menjadi isu yang mewarnai polemik
hadirnya perppu ini.
Di tengah kekhawatiran akan lahirnya Perppu Cipta Kerja, merawat harapan publik dengan
membuktikan bahwa peraturan ini lahir sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat menjadi
sebuah keniscayaan.
Dalam suatu negara hukum, maka konstitusi harus dijadikan sebagai pedoman dan rujukan
dalam penetapan kebijakan negara serta ditaati oleh seluruh masyarakat dan penyelenggara
negara. Akan tetapi sangat disayangkan, Perppu cipta kerja yang baru saja dikeluarkan oleh
pemerintah sejatinya tidak berpedoman dan merujuk pada konstitusi negara serta
penyelenggara negara tidak menaati konstitusi tersebut.
Pembuatan perppu dilakukan dengan jangka waktu yang singkat dan tidak adanya
pembahasan yang melibatkan atau dicampur tangani oleh Mahkamah Konstitusi. Serta
pembentukan Undang-Undang yang membutuhkan jangka waktu yang cukup lama, oleh
karena hal tersebutlah pemerintah mengambil jalan pintas yakni dengan menyetujui adanya
Perppu tersebut. Maka dari itu, Perppu Cipta Kerja ini dinyatakan adalah suatu
pembangkangan terhadap Mahkamah Konstitusi.