Anda di halaman 1dari 3

KUHP Baru dan Tantangan Perbaikan Penegakan Hukum

Detik.com
Link Publikasi:
https://news.detik.com/kolom/d-6489503/kuhp-baru-dan-tantangan-perbaikan-penegakan-
hukum.

Setelah sempat mengalami penundaan pengesahan pada 2019, Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RKUHP) akhirnya resmi disahkan dalam Sidang Paripurna DPR, 6
Desember 2022 meski sebelumnya masih menimbulkan pergolakan dalam masyarakat.
Pergolakan masyarakat ini timbul dari adanya pasal-pasal yang dinilai mereduksi hak
masyarakat serta mencampuri urusan privat, seperti halnya pengaturan terkait penyerangan
harkat dan martabat Presiden dan/Wakil Presiden, penghinaan lembaga negara, pengaturan
terkait demonstrasi, penyebaran ajaran komunis, hingga zina dan kohabitasi.

Sebelumnya masyarakat telah secara masif menyampaikan penolakan terhadap pengesahan


RKUHP yang awalnya direncanakan disahkan pada 24 September 2019. Akibat penolakan
masyarakat tersebut, pemerintah dan DPR akhirnya bersepakat menunda pengesahan RKUHP
guna melakukan pengkajian dan penyempurnaan. Namun mirisnya, meski sudah melewati
tiga tahun untuk melakukan penyempurnaan, masyarakat tetap belum dapat menerima upaya
pembaharuan pengaturan hukum pidana tersebut secara utuh.

Jika menelisik sejarahnya, semangat rekodifikasi dan reformulasi KUHP sebenarnya telah
digaungkan sejak 1958. Kala itu, pemerintah membentuk Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional guna mengkaji KUHP warisan kolonial Belanda. Lembaga Pembinaan Hukum
Nasional ini kemudian mengadakan Seminar Hukum Nasional I sebagai tonggak
dilaksanakannya pembaharuan KUHP. Adapun langkah konkret pembaharuan KUHP ini
kemudian baru terealisasi pada tahun 1968. 

Sejak saat itu, upaya pembaharuan hukum pidana melalui reformulasi KUHP ini terus
berlangsung hingga 1992. Namun, pembahasan di parlemen sendiri baru dimulai pertama kali
pada 2013 saat pemerintah mengusulkan RKUHP untuk dimasukkan dalam Prolegnas
Prioritas 2013. Pilihan pemerintah untuk mereformulasi KUHP ini didasari oleh adanya
keinginan untuk menciptakan produk nasional di bidang hukum pidana yang mampu
memberi perlindungan bagi masyarakat serta lebih bersifat dinamis dan demokratis.

Pembaharuan Pengaturan
Jika mencermati hasil penyempurnaan RKUHP secara keseluruhan, patut diakui terdapat
pembaharuan pengaturan yang mengarah pada perlindungan masyarakat, antara lain
pengaturan mengenai pidana kerja sosial yang belum diatur sebelumnya, perluasan jenis luka
berat, perlindungan saksi dan korban, rekayasa kasus, serta pencabutan beberapa pasal yang
dianggap bermasalah dalam undang-undang lainnya, seperti Pasal 27 UU ITE. Bahkan,
RKUHP ini juga memberi ancaman pidana terhadap tindakan-tindakan yang dapat
mengganggu ketenteraman masyarakat.
 
Pengaturan-pengaturan tersebut tentu patut diapresiasi, namun tidak diglorifikasi. Sebab,
sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk menciptakan hukum yang progresif dan berpihak
pada rakyat. Sayangnya, keberpihakan pemerintah tersebut menjadi terlihat berlawanan
dengan beberapa pengaturan yang membatasi kebebasan berpendapat, kemerdekaan
berserikat, serta pengaturan lain terkait ranah privat. Tidak berlebihan rasanya jika kemudian
masyarakat mengkhawatirkan adanya potensi kriminalisasi akibat penyalahgunaan pasal
tersebut. Dalam hal ini, pemerintah menjadi terlihat tidak konsisten dalam mewujudkan
demokratisasi yang dielu-elukan sebagai tujuan RKUHP. Selain itu, keberadaan pengaturan
tersebut juga tidak sejalan dengan tujuan pemerintah dalam upaya mengurangi over-kapasitas
lapas. 

Perlu dipahami bahwa pembentukan hukum untuk mengatur ketertiban bernegara memang
menjadi otoritas pemerintah. Pemerintah memiliki daya paksa melalui hak prerogatifnya
untuk memperbolehkan dan melarang hal-hal yang dianggap mengganggu ketertiban
bernegara. Namun, juga menjadi keharusan pemerintah dalam memberi ruang seluas-luasnya
kepada masyarakat untuk turut berpendapat dan merumuskan pengaturan yang akan mengatur
kehidupan mereka. 

Dalam hal ini, pemerintah memang telah melakukan sosialisasi dan audiensi yang kemudian
berhasil membangun political will untuk mengakomodasi masukan masyarakat. Political will
tersebut antara lain tercermin dari adanya penghapusan beberapa pasal seperti pengaturan
terkait kecurangan advokat, permasalahan gelandangan, hingga perkara unggas dan hewan
ternak. Tetapi, saya beranggapan hal tersebut belum cukup, sebab pada kenyataannya
penolakan masyarakat terus berlangsung hingga saat ini lantaran masih banyaknya masukan
masyarakat yang tidak diakomodasi.

Pemerintah mengklaim tidak dapat mengakomodasi seluruh masukan masyarakat lantaran


disebabkan oleh masih adanya perdebatan kebutuhan pengaturan antar kalangan masyarakat.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar
Sharif Hiariej dalam acara Mata Najwa edisi "Merdeka Bersuara", 10 Agustus 2022 yang
memberi gambaran adanya perdebatan antardua kalangan masyarakat terkait kebutuhan
pengaturan mengenai zina dan kohabitasi.

Hal tersebut tentu hanya menjadi salah satu alasan tidak dapat diakomodasinya seluruh
masukan masyarakat. Tetapi, berpedoman pada putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020,
pembentukan produk hukum haruslah menjamin terciptanya meaningfull participation yang
salah satunya berisi hak masyarakat untuk mendapat penjelasan, sehingga apabila pemerintah
tidak menerima masukan masyarakat, perlu adanya keterangan sejelas-jelasnya mengenai
alasan tidak diakomodasinya masukan masyarakat tersebut. Adapun dalam hal terdapat
perbedaan perspektif antar dua kalangan masyarakat, maka idealnya pandangan masyarakat
mayoritas lah yang harus diakomodasi oleh pemerintah.

Penolakan masyarakat terhadap beberapa pengaturan dalam RKUHP ini tidak dapat semata-
mata direspons dengan menyerahkan pada mekanisme judicial review. Judicial review
memang merupakan langkah konstitusional, tetapi munculnya judicial review justru
membuktikan bahwa kualitas produk hukum yang dihasilkan masih bermasalah. Penolakan
masyarakat ini justru harus dijadikan pembelajaran bagi pemerintah untuk menghasilkan
produk hukum yang lebih berpihak kepada rakyat dan juga mengedepankan meaningfull
participation

Perlunya Jaminan

Pasca pengesahan RKUHP, masyarakat kini tinggal menunggu masa berlakunya, yakni
terhitung tiga tahun sejak RKUHP tersebut disahkan. Terhadap hal ini, pemerintah wajib
menjamin agar pemberlakuan KUHP baru nantinya tidak akan memakan korban akibat
kriminalisasi yang dilakukan. Sekalipun pemerintah telah menetapkan batasan dan koridor
dalam RKUHP, seperti memberi penjelasan terkait penghinaan, pengecualian untuk
kepentingan umum, serta pengaturan pasal penghinaan dan perzinaan sebagai delik aduan.

Tetapi potret penegakan hukum saat ini masih bernuansa intimidatif dan seringkali terjadi
mispersepsi oleh aparat. Hal ini dikarenakan aparat penegak hukum belum sepenuhnya
teredukasi dan mempunyai pemahaman yang sama terhadap pengaturan yang bercelah
multitafsir. Akibatnya, niat baik pemerintah dalam menciptakan ketertiban bernegara justru
menimbulkan kekacauan.

Waktu tiga tahun yang dimiliki pemerintah diharapkan dapat dimanfaatkan untuk
mengoptimalkan sosialisasi dan edukasi terhadap para aparat guna mencegah terjadinya
kriminalisasi dan tindakan lainnya yang dapat merugikan masyarakat. Pemerintah perlu
menjamin bahwa reformasi KUHP ini tidak akan menambah daftar panjang faktor
kemunduran demokrasi Indonesia. 

Selain itu, kehati-hatian dalam menafsirkan pengaturan juga menjadi PR para aparat penegak
hukum demi mewujudkan perlindungan masyarakat dan penegakan hukum yang ideal.
Adapun saat ini, kita hanya dapat berharap agar reformasi pengaturan hukum pidana ini juga
dibarengi dengan reformasi kualitas aparat. Semoga.

Anda mungkin juga menyukai