Anda di halaman 1dari 5

Nama : Dedi Syah

NIM : 195010101111063
No Absen : 23
Penundaan Pemilu dan Wacana Presiden 3 Periode

A. Pendahuluan

Wacana penundaan pemilu yang baru-baru ini ramai diperbincangkan banyak kalangan, berkaitan
juga dengan periode jabatan Presiden. Periode kedua Presiden Joko Widodo akan segera berakhir
pada tahun 2024, dibarengi dengan dilaksanakannya pemilihan umum untuk memilih Presiden
yang baru. Namun, wacana penundaan pemilu tersebut menegaskan bahwa banyak pihak yang
mendukung agar Presiden Joko Widodo tidak akan lengser pada tahun 2024, dan secara tidak
langsung juga menegaskan bahwa adanya keinginan berbagai pihak untuk memperpanjang jabatan
Presiden Joko Widodo selama 3 periode.

Alasan yang dikemukakan oleh para pihak yang mengemukakan penundaan pemilu antara lain
adalah karena tujuan kestabilan sosial dan ekonomi akibat adanya pandemi Covid-19 yang
dianggap sebagai suatu keadaan darurat. Selain itu, klaim big data sejumlah 110 juta warga
Indonesia yang mendukung adanya penundaan pemilu juga menjadi salah satu alasan pendukung.

Pemilihan umum diatur dalam konstitusi negara Indonesia pada Pasal 22E ayat (1)1 dimana
pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5
tahun sekali. Dari pasal tersebut, terlihat bahwa Indonesia merupakan negara demokrasi yang
kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, dan hal tersebut diekspresikan melalui pemilu. Pasal
22E ayat (1) sejalan dengan Pasal 7 yang menyebutkan masa jabatan Presiden juga selama 5 tahun,
dan menjabat paling lama 2 periode. Apabila penundaan pemilu ini dilaksanakan, maka hal
tersebut akan bertentangan dengan konstitusi negara Indonesia, dan merupakan bentuk pelecehan
terhadap konstitusi. Berdasarkan hal tersebut, penundaan pemilu merupakan sesuatu yang tidak
memiliki dasar hukum, sehingga apabila tetap dipaksa untuk dilakukan, maka semua
penyelenggaraan negara nantinya, akan tidak legitimate atau illegal.

B. Pembahasan

1
UUD 1945
Menurut pakar hukum tata negara, Denny Indrayana, terdapat kemungkinan dilakukan
pelanggaran terhadap konstitusi menurut teori ketatanegaraan, yakni karena adanya situasi darurat
yang membahayakan rakyat.2 Pelanggaran terhadap konstitusi tersebut dilakukan dengan alasan
penyelamatan negara dan melindungi rakyat. Salah satu alasan pihak pendukung wacana
penundaan pemilu 2024 ini adalah karena adanya pandemic Covid-19 yang dianggap sebagai
situasi darurat, yang berdampak pada ketidakstabilan ekonomi. Akan tetapi, ketidakstabilan
ekonomi merupakan suatu kondisi yang harus dilihat dari berbagai faktor, seperti kebijakan
ekspor-impor, deflasi dan inflasi, dan lain sebagainya, sehingga pemilu yang akan dilakukan pada
tahun 2024 bukanlah hal krusial yang akan menyebabkan ketidakstabilan ekonomi. Peristiwa
penyelenggaraan Pilkada serentak pada tahun 2020 yang juga dilaksanakan pada kondisi pandemi
juga semakin menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilu dalam situasi pandemi dimungkinkan
untuk dilaksanakan dengan protokol kesehatan yang ketat. Pelaksanaan pemilu pada tahun 2024
dan pergantian Presiden nantinya, dirasa tidak terlalu memberikan dampak buruk bagi penanganan
pandemi Covid-19, mengingat selama ini kebijakan penanganan pandemi dinilai tidak konsisten
karena sering bergonta-ganti.

Penundaan pemilu sangat dimungkinkan terjadi. Koalisi masyarakat sipil yang membawakan isu
tentang penundaan pemilu memaparkan dalam diskusi publik yang diselenggarakan oleh YLBH
Indonesia, bahwa bila benar-benar akan dilaksanakan pemilu pada tahun 2024, maka setidak-
tidaknya KPU harus mengesahkan tahapan pemilu mulai dari bulan Juni tahun 2022. Apabila
tahapan-tahapan pemilu tidak segera dilaksanakan, maka dikhawatirkan kemungkinan penundaan
pemilu 2024 sangat besar terjadi.

Konstitusi bukan hanya sekedar pasal atau peraturan atau teks yang dibuat untuk diabaikan.
Konstitusi merupakan suatu gagasan untuk membatasi kekuasaan. Perubahan terhadap konstitusi
dapat dilakukan melalui amandemen. Dalam sejarahnya, Undang-Undang Dasar 1945 telah
mengalami empat kali amandemen, yakni pada tahun 1999 sampai 2002. Amandemen yang
dilakukan tersebut adalah perwujudan atas tuntutan reformasi yang merupakan respon dari
pemerintahan orde baru yang otoriter. Berbicara soal amandemen Undang-Undang Dasar 1945,
banyak pihak yang mendukung dilakukannya amandemen guna menyelenggarakan penundaan

2
https://nasional.kompas.com/read/2022/02/25/16495021/pakar-wacana-penundaan-pemilu-adalah
pelanggaran-konstitusi?page=all
pemilu 2024, sekaligus melancarkan jabatan Presiden 3 periode, karena secara konstitusional,
penundaan pemilu dapat dilakukan dengan cara melakukan amandemen UUD 1945. Namun, yang
perlu disoroti adalah amandemen yang pernah dilakukan sebelumnya adalah bertujuan untuk
memperjelas aturan-aturan dasar dalam tatanan negara, kedaulatan rakyat, HAM, pembatasan
kekuasaan, dan eksistensi negara demokrasi dan negara hukum. Jika mengacu pada hal tersebut,
maka amandemen UUD 1945 guna melancarkan jabatan Presiden 3 periode seharusnya tidak bisa
dilakukan karena hal tersebut mencederai hakikat konstitusi, yakni sebagai pembatas kekuasaan.
Kemudian jika dikaitkan dengan kedaulatan rakyat sebagai kekuasaan tertinggi dan data sebanyak
110 juta warga Indonesia yang mendukung adanya penundaan pemilu. Hal tersebut tetap tidak
membenarkan adanya amandemen, karena negara tidak boleh dijalankan hanya berdasarkan
angka, dan tetap harus memperhatikan prinsip pembatasan kekuasaan tadi.

Permasalahan turunan yang menyertai jika penundaan pemilu 2024 dan perpanjangan
jabatan presiden benar dilakukan

Penundaan pemilu merupakan agenda untuk melanggengkan kepentingan oligarki. Implikasi dari
adanya penundaan pemilu adalah terjadinya perpanjangan masa jabatan Presiden, dimana hal itu
merupakan pintu gerbang menuju pemerintahan yang otoriter seperti pada era orde baru. Jika
meninjau secara historis, mulai era demokrasi terpimpin pada tahun 1959 dimana wewenang
tertinggi kala itu ada di tangan Presiden, dan kemudian dilanjutkan dengan era Orde Baru yang
semakin otoriter dan sentralistik, perpanjangan masa jabatan presiden dikhawatirkan akan
membawa Indonesia kembali kepada masa-masa kelam. Sentralisasi kekuasaan tersebut akan
berdampak pada segala aspek ekhidupan bermasyarakat.

Lantas, bagaimana kondisi pemerintahan Indonesia dalam kurun waktu delapan tahun ini?

Rezim pemerintah Indonesia saat ini dinilai banyak melakukan pelanggaran konstitusi. Dengan
dilakukannya penundaan pemilu dan perpanjangan periode jabatan Presiden, akan semakin
mencerminkan kepemimpinan yang otoriter, dan bukan tidak mungkin kondisi negara Indonesia
akan kembali pada era Orde Baru.

1. Banyaknya janji pemerintah yang tidak ditepati. Pemerintah sendiri sering membuat
Pernyataan dan kebijakan yang inkonsisten, misalnya pada penanganan pandemi Covid-
19. Selain itu pemerintah pernah menjanjikan jaminan kepastian kerja, hidup dan upah
yang layak bagi buruh, namun secara fakta, pemerintah malah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 2015 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.
2. Banyaknya kriminalisasi aktivis dan pers, semakin menunjukkan tanda-tanda bahwa
kemungkinan untuk terjadinya pengekangan Pers dan kebebasan berserikat seperti yang
terjadi pada era orde baru. Pengekangan terhadap Pers akan berdampak pada hilangnya
kontrol sosial Pers, sehingga banyak isu-isu yang tidak bisa disampaikan pada masyarakat
karena ketidakmampuan Pers untuk memantau hal tersebut.
3. Berbagai kebijakan yang dibuat dilakukan secara tertutup dan menindas rakyat. Hal ini bisa
dilihat dari pembuatan dan pengesahan berbagai Undang-Undang seperti, UU Cipta Kerja,
UU Minerba, dan UU KPK yang minim partisipasi rakyat. Kebijakan-kebijakan yang
diatur di dalamnya juga tidak memihak rakyat, bahkan terjadi pelemahan terhadap KPK.
Selain itu, dari segi lingkungan, kebijakan-kebijakan yang dibuat juga hanya berfokus pada
pengerukan sumber daya alam sebesar-besarnya demi mencapai keuntungan, dan tidak
memikirkan dampak lingkungan yang nantinya terjadi, misalnya dalam UU Minerba
dimana pengusaha pertambangan hanya diwajibkan memilih satu tanggung jawab antara
reklamasi dan kegiatan pasca tambang. Jika rezim saat ini terus berkuasa, maka sentralisasi
kewenangan akan terjadi.
4. Pemerintah tidak mendengarkan suara rakyat atas semua penolakan yang terjadi akibat
dikeluarkannya kebijakan-kebijakan yang ada. Hal ini dapat dilihat dari segala aksi yang
sudah dilakukan secara besar-besaran, misalnya pada aksi Reformasi Dikorupsi, yang
bahkan menelan korban jiwa, namun dalam hal itu pemerintah tetap mengesahkan Undang-
Undang Cipta Kerja.
5. Pemerintahan yang sentralistik tersebut berdampak pada segala aspek, misalnya aspek
hukum. Hal ini bisa dilihat pada kekuasaan yudikatif, dimana Mahkamah Konstitusi dalam
memutus inkonstitusional Undang-Undang Ciipta Kerja memberikan syarat perbaikan
selama 2 tahun, sehingga Undang-Undang tersebut sampai saat ini masih bisa dijalankan.
Selain itu pada Mahkamah Agung, jika melihat perkembangan kasus korupsi akhir-akhir
ini, putusan yang diberikan sangat meringankan para koruptor.
6. Segala bentuk pengkhianatan negara terhadap rakyat tersebut akan berdampak pada
kepercayaan rakyat, sehingga nantinya terjadi normalisasi golput dalam pemilihan umum.
C. Kesimpulan

Dari uraian diatas, dapat dilihat bahwa pemerintahan Indonesia saat ini cenderung bersifat
sentralistik. Berbagai kebijakan yang dibuat adalah untuk kepentingan investasi dan pemilik
modal, namun mengabaikan aspek kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, bahkan lingkungan.
Penundaan pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden bukanlah hal yang diperlukan oleh
rakyat, namun masyarakat Indonesia memerlukan solusi atas permasalahan diatas. Karena sudah
seharusnya penyelenggara negara seharusnya berfokus untuk menjamin kesejahteraan dan
keselamatan rakyat, ketimbang berusaha untuk melancarkan kepentingannya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai