Anda di halaman 1dari 3

NAMA : MUSLIM

NIM : 22120002
MATA KULIAH : POLITIK HUKUM

TUGAS OPINI :

Politik Hukum Pasca Reformasi; Dominasi Politik Kepentingan Terhadap Politik Hukum

Oleh : Muslim

Indonesia telah mengalami banyak sekali pasang surut dalam menjalankan cita – cita
kebangsaan terutama dalam hal penegakan demokrasi. Maka berbicara era reformasi kita juga
harus membaca literatur era sebelum reformasi itu sendiri. Sejak era Soekarno, Indonesia
menganut sistem demokrasi terpimpim yang diperkenalkan oleh sang Proklamator yang diawali
denga keluarnya dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959. Keluarnya Dekrit yang di dilatarbelakangi
oleh kegagalan Badan Konstituante dalam menetapkan UUD baru untuk pengganti UUDS 1950
tersebut kemudian menandai kekuasaan Soekarno yang hampir tidak terbatas dan terpusat
dibawah kekuasaan sang Presiden.

Kemudian di Era Presiden Soeharto (1965 – 1998) yang dikenal dengan Orde Baru,
Indonesia menganut sistem Demokrasi Pancasila dengan visi utama pemerintahan Orde Baru ini
adalah untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap
aspek kehidupan masyarakat Indonesia. Perubahan sistem demokrasi pada dua era tersebut juga
memberikan pengaruh dari politik hukum yang berlaku. Jika dicermati antara Soekarno dan
Soeharto sama – sama menerapkan sistem otoriter dalam menjalankan pemerintahannya, hal ini
juga terlihat dari produk – produk hukum yang dikeluarkan pada masa itu.

Produk hukum yang dihasilkan pada masa demokrasi terpimpin berkarakter


ortodoks/konservatif. Sebagai contoh, pada masa ini undang-undang tentang Pemilu tidak pernah
dibuat, karena Pemilu belum pernah dilaksanakan. Ketentuan mengenai pemerintahan daerah
pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959.
Kepala Daerah diangkat oleh pusat, tanpa harus terikat dengan calon-calon yang diajukan oleh
DPRD. Selanjutnya Penpres Nomor 6 Tahun 1959 digantikan dengan Undang-undang Nomor 18
Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yang isinya hampir sama dengan
Penpres Nomor 6 Tahun 1959. Kontrol pusat terhadap daerah dilakukan melalui mekanisme
kontrol yang ketat atas pembuatan peraturan-peraturan oleh daerah. Undang-undang Nomor 18
Tahun 1965, dalam proses pembuatannya sama sekali tidak partisipatif, karena yang menonjol
adalah penuangan visi sosial dan politik presiden. Sehingga produk hukum lebih merupakan
instrumen bagi upaya realisasi visi presiden.1

Sementara itu, Soeharto yang menyatakan era pemerintahannya adalah pemerintahan


yang menerapkan pancasila secara utuh dan konsekuen ternyata juga tak benar – benar sesuai
dengan realita, semua kebijakan ekonomi dan dan politiknya justru menjauh dari pancasila dan
UUD 1945 itu sendiri yang kemudian politik hukum yang dijalankan justru sebagai upaya untuk
melanggengkan kekuasaannya. Pemerintahan Orde Baru melaksanakan pemilu sebanyak enam
kali (tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1998). Pemerintahan orde baru dengan orde lama
memiliki kesamaan yaitu menggunakan sistem antara sipil dan militer. Salah satu contoh
kekuasaan Eksekutif yang kuat dan dominan dalam pemerintahan Indonesia diatur dalam pasal 5
UUD 1945 yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan demikian maka Presiden memegang
kekuasaan Eksekutif dan Legislatif sekaligus 2.

1
Liky Faizal, “Produk Hukum di Indonesia Perspektif Politik Hukum”, Jurnal Hukum Ekonomi Syariah, Vol. 9 No. 1, 2017, hlm.
88.
2
J. Soedjati Djiwandono dan T.A Legowo, Revitalisasi Sistem Politik Indonesia, Jakarta: Center For Strategic and International
Studies, 1996, hlm.34.
Politik Hukum Pasca Reformasi

Setelah Orde Lama dan Orde Baru tumbang, Indonesia kemudian menghirup napas
reformasi. Dimulai dari Presiden Habibie hingga Presiden Jokowi, gegap gempita reformasi
menjadi bahasan yang terus menerus menghiasi ruang – ruang diskusi; dari parlemen jalanan
hingga parlemen sungguhan. Ibarat payung dan hujan, Reformasi menjadi bagai payung
penyelamat dari hujan ketidakpuasan pada eranya, atas kinerja dari dua orde lama atau orde
baru, dan payung bernama reformasi tersebut menjadi harapan baru menahan hujan
ketidakpuasan tersebut, salah satu yang ingin dipayungi oleh reformasi tersebut juga mencakup
wilayah hukum, sehingga kemudian hukum benar – benar sebagai pemegang komando tertinggi.
Sehingga penyelenggaraan negara sesuai dengan prinsip The Rule of Law, and not of Man.
Hukum tidak dibuat, ditetapkan, dan ditegakkan dengan kekuasaan belaka (machtstaat).3

Konsep ini memberikan pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi.
Dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan yang diatur dalam kontitusi agar
adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia, prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak
yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, dan menjamin keadilan bagi
setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.4 Oleh
karena itu, pelaksanaan politik hukum era reformasi menurut penulis telah dilaksanakan untuk
mewujudkan pembangunan nasional, seperti adanya amandemen UUD 1945, Penghapusan Dwi
Fungsi Abri, terwujudnya kebebasan pers, pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
lahirnya Mahkamah Konstitusi, penghargaan terhadap HAM, pemberantasan KKN,
desentralisasi hubungan pusat dan daerah yang adil dan mewujudkan kebebasan demokrasi serta
Omnibus Law Cipta Kerja adalah beberapa agenda reformasi yang dilakukan secara berturut –
turut sejak Habibie hingga Jokowi yang kemudian memberikan pengaruh terhadap politik hukum
itu sendiri.

Memang refomasi tersebut membawa dampak positif bagi pelaksanaan politik hukum,
terutama dalam hal demokrasi, namun menurut penulis, pelaksanaan politik hukum saat ini telah
terlalu dominan dipengaruhi oleh kepentingan - kepentingan kelompok politik yang pada
akhirnya produk – produk hukum yang dihasilkan juga tidak terlepas dari pengaruh politik. Saat
ini, posisi ketua partai politik di Indonesia justru menjelma sebagai pemimpin tertinggi dalam
mengarahkan peta jalan Negara dan bangsa Indonesia. Apa alasannya?. Misalnya, adanya
ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Dalam Pasal 222 UU Pemilu yang
menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta
Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari
jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional
pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.” adalah salah satu dasar argumentasinya.

Pasal 222 UU Pemilu tersebut adalah bentuk dari penyanderaan hak setiap masyarakat
untuk bebas mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden, hak bagi masyarakat untuk
memilih beragam calon presiden/wakil presiden tanpa dibatasi oleh satu atau dua calon saja.
Namun partai politik atau koalisi partai politik yang berkuasa memiliki kepentingan untuk
mempertahankan pasal 222 UU Pemilu tersebut agar tidak muncul banyak potensi lawan dalam
pemilihan presiden nantinya. Maka dilakukan berbagai upaya untuk mengatur lahirnya pasal
tersebut di arena legislatif.

Lalu masyarakat memilih melalui jalur Mahkamah Konstitusi (MK). Ironinya, meski
sudah dilakukan Judicial Review berulangkali terhadap pasal tersebut, MK tetap kokoh pada
pendiriannya; menolak setiap gugatan. Putusan MK ini kemudian juga patut diduga tak lepas dari
pengaruh politik. Pengisian jabatan Hakim MK dilakukan melalui calon – calon yang di pilih
oleh DPR, Presiden dan Mahkamah Agung masing-masing perwakilan sebanyak tiga orang.

3
H. Alwi Wahyudi, Ilmu Negara dan Tipologi Kepemimpinan Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2014, hlm. 237.
4 Zulkarnain Ridlwan, “Negara Hukum Indonesia Kebalikan Nachtwachterstaat”, Fiat Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Volume 5
No. 2 Mei-Agustus 2012, hlm. 143
Maka hal ini sulit untuk tidak dikatakan bahwa nantinya dalam setiap putusan – putusan MK
akan mempertimbangkan kepentingan “tuannya”. Jika hakim jumlah Hakim MK saat ini
sebanyak 9 orang, maka jika partai politiknya Presiden sama dengan partai berkuasa di DPR,
maka 3 hakim dari perwakilan Mahkamah Agung justru tidak memiliki arti apa-apa dalam
menolak pengujian terhadap produk – produk hukum yang tidak sesuai dengan kepentingan
masyarakat umum.

Oleh karena itu, rasanya tidak berlebihan jika Indra Perwira bahwa pelaksanaan politik
hukum pasca reformasi seperti tidak memiliki arah yang jelas dan cendrung pragmatis dan
menjadi alat kekuasaan, karena memang desain ketatanegaraaan kita saat ini mendukung untuk
itu. Hal ini seperti kembali pada era orde lama dan orde baru dimana hukum sering kali menjadi
alat untuk mempertahankan kekuasaan dan tirani politik serta melanggengkan korupsi. Saat ini,
kondisi tersebut juga terlihat cukup menonjol, keinginan politik eksekutif dan legislatif seringkali
memunculkan kompromi yang menyebabkan kurangnya daya kritis, munculnya pragmatisme
dan justru lebih banyak mengokomodir kepentingan pihak – pihak tertentu atas produk – produk
hukum yang dihasilkan.

Namun tidak semua hal juga demikian, upaya Presiden Jokowi merangkum ribuan UU
menjadi UU Cipta Kerja patut juga di apresiasi. Itu merupakan salah satu pelaksanaan politik
hukum yang memang dibutuhkan saat ini. Perkembangan global telah menuntut kita untuk lebih
responsive dan fleksible menyikapi keadaan. Untuk membangkitkan perekonomian butuh
investasi, agar investor mau berimvestasi dibutuhkan jaminan aturan hukum yang tidak berbelit –
belit dan adanya beragam intensif. Walau kadang terlihat lebih pro pebisnis tetapi itu adalah
bagian dari cara mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Terakhir, menurut penulis agar pelaksanaan politik hukum tidak terus – menerus
dipengaruhi oleh kepentingan politik dari kelompok – kelompok politik tertentu atau jangan
sampai menancapnya pengaruh terlalu dalam dari kepentingan satu kelompok partai politik,
maka perlu adanya pembatasan waktu untuk berkuasanya satu partai politik. Memang saat ini
untuk menjabat sebagai Presiden/Wakil Presiden hanya dibolehkan dua periode saja. Namun hal
itu tidak akan mengurangi resiko pengaruh kekuasaan yang yang berkelanjutan. Kenapa? Karena
jika partai yang sama kembali menang dan berhasill menempatkan kadernya sebagai
presiden/wakil presiden, maka potensi melanjutkan kebijakan negative masih terus berlanjut
termasuk dalam wilayah hukum untuk menghasilkan produk – produk hukum yang tidak
seharusnya dihasilkan.

Makanya diperlukan suatu pembatasan yang maksimal satu partai hanya bisa
mencalonkan kadernya sebagai Presiden/Wakil Presiden selama dua periode saja. Misalnya, jika
partai A sudah memenangi pemilu selama 2 periode, maka periode selanjutnya yang menjadi
pemenang dan mencalonkan kadernya sebagai Presiden/Wakil Presiden adalah dari partai
lainnya. Sehingga hal ini tidak menciptakan “keabadian pengaruh” dalam wilayah politik yang
kemudian akan berpengaruh terhadap semua sektor termasuk wilayah hukum itu sendiri. Jika
saat ini belum atau tidak memungkinkan adanya aturan yang membatasi agar parpol hanya bisa
menang pemilu 2 periode berturut – turut supaya tidak memiliki hak berkuasa di Eksekutif dan
Legislatif untuk periode selanjutnya, maka kesadaran masyarakatlah yang diharapkan melalui
hak memilihnya untuk membatasi itu.

Anda mungkin juga menyukai