Anda di halaman 1dari 3

NAMA : MUSLIM

NIM : 22120002
MATA KULIAH : Politik Hukum
TUGAS : Memahami PPT Dan Membuat Pertanyaan Atau Pernyataan

A. PERNYATAAN :
Politik Hukum sebagai produk pergulatan politik sangat berpengaruh terhadap produk
yang dihasilkan. Konfigurasi politik tertentu akan melahirkan hukum dengan karakter
tertentu pula. Merujuk pernyataan Prof. Mahfud MD bahwa jika ada pertanyaan tentang
hubungan kausalitas antara hukum dan politik atau pertanyaan tentang apakah hukum yang 
mempengaruhi politik ataukah politik yang mempengaruhi hukum, maka paling tidak ada tiga
macam jawaban dapat menjelaskannya. Pertama, hukum determinan atas politik dalam arti
bahwa kegiatan-kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan-aturan
hukum. Kedua, politik determinan atas hukum, karena hukum merupakan hasil atau
kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan (bahkan) saling
bersaingan. Ketiga, politik dan hukum sebagai subsistem kemasyarakatan berada pada posisi
yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain, karena meskipun
hukum merupakan produk keputusan politik tetapi begitu hukum ada maka semua kegiatan
politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum.
Politik dan hukum dalam konteks dewasa ini, maka selalu kita menemukan
bahwasanya politik itu selalu determinan dibandingkan hukum. Politik selalu memiliki
kekuatan yang lebih besar dibandingkan  hukum itu sendiri. Bahkan jika kita mengingat
kembali perkataan Moh. Mahfud MD bahwa hukum adalah produk politik. Artinya bahwa
produk hukum yang dibentuk oleh legislator tak steril dari kepentingan politik para
pembuatnya. Hukum yang dibentuk oleh suatu negara melalui proses legislasi yang dibuat
oleh legislator (DPR)  tak lepas dari kepentingan atau politik.
Tidak lepasnya kepentingan atau politik dari sejak proses pembuatannya di DPR
sudah pula terjadi sejak Orde Lama, Orde Baru, era reformasi hingga saat ini. Sebagai
contoh, produk hukum yang dihasilkan pada masa demokrasi terpimpin berkarakter
ortodoks/konservatif. Sebagai contoh, pada masa ini undang-undang tentang Pemilu tidak
pernah dibuat, karena Pemilu belum pernah dilaksanakan. Ketentuan mengenai pemerintahan
daerah pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 diganti dengan Penpres Nomor 6 Tahun
1959. Kepala Daerah diangkat oleh pusat, tanpa harus terikat dengan calon-calon yang
diajukan oleh DPRD. Selanjutnya Penpres Nomor 6 Tahun 1959 digantikan dengan Undang-
undang Nomor 18 Tahun 1965 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Daerah, yang isinya
hampir sama dengan Penpres Nomor 6 Tahun 1959. Kontrol pusat terhadap daerah dilakukan
melalui mekanisme kontrol yang ketat atas pembuatan peraturan-peraturan oleh daerah.
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965, dalam proses pembuatannya sama sekali tidak
partisipatif, karena yang menonjol adalah penuangan visi sosial dan politik presiden.
Sehingga produk hukum lebih merupakan instrumen bagi upaya realisasi visi presiden.
Sementara itu, Soeharto yang menyatakan era pemerintahannya adalah pemerintahan
yang menerapkan pancasila secara utuh dan konsekuen ternyata juga tak benar – benar sesuai
dengan realita, semua kebijakan ekonomi dan dan politiknya justru menjauh dari pancasila
dan UUD 1945 itu sendiri yang kemudian politik hukum yang dijalankan justru sebagai
upaya untuk melanggengkan kekuasaannya. Pemerintahan Orde Baru melaksanakan pemilu
sebanyak enam kali (tahun 1971, 1977, 1985, 1987, 1992, dan 1998). Pemerintahan orde baru
dengan orde lama memiliki kesamaan yaitu menggunakan sistem antara sipil dan militer.
Salah satu contoh kekuasaan Eksekutif yang kuat dan dominan dalam pemerintahan
Indonesia diatur dalam pasal 5 UUD 1945 yang menyatakan Presiden memegang kekuasaan
membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Dengan
demikian maka Presiden memegang kekuasaan Eksekutif dan Legislatif sekaligus.
Ketidakpuasan terhadap dua era tersebut akhirnya menyebabkan gelombang unjuk
rasa yang akhirnya menumbangkan rezim orde baru. Hal ini pun menyebabkan politik hukum
Indonesia ikut berubah. Ibarat payung dan hujan, reformasi menjadi bagai payung
penyelamat dari hujan ketidakpuasan pada eranya, atas kinerja dari dua orde lama atau orde
baru, dan payung bernama reformasi tersebut menjadi harapan baru menahan hujan
ketidakpuasan tersebut, salah satu yang ingin dipayungi oleh reformasi tersebut juga
mencakup wilayah hukum, sehingga kemudian hukum benar – benar sebagai pemegang
komando tertinggi. Sehingga penyelenggaraan negara sesuai dengan prinsip The Rule of Law,
and not of Man. Hukum tidak dibuat, ditetapkan, dan ditegakkan dengan kekuasaan belaka.
Konsep ini memberikan pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi.
Dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan yang diatur dalam kontitusi agar
adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia, prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak
yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, dan menjamin keadilan bagi
setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa. Oleh
karena itu, pelaksanaan politik hukum era reformasi menurut penulis telah dilaksanakan
untuk mewujudkan pembangunan nasional, seperti adanya amandemen UUD 1945,
Penghapusan Dwi Fungsi Abri, terwujudnya kebebasan pers, pembentukan Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK), lahirnya Mahkamah Konstitusi, penghargaan terhadap HAM,
pemberantasan KKN, desentralisasi hubungan pusat dan daerah yang adil dan mewujudkan
kebebasan demokrasi serta Omnibus Law Cipta Kerja adalah beberapa agenda reformasi
yang dilakukan secara berturut – turut sejak Habibie hingga Jokowi yang kemudian
memberikan pengaruh terhadap politik hukum itu sendiri.

B. PERTANYAAN
Memang refomasi tersebut membawa dampak positif bagi pelaksanaan politik
hukum, terutama dalam hal demokrasi, namun menurut penulis, pelaksanaan politik hukum
saat ini telah terlalu dominan dipengaruhi oleh kepentingan - kepentingan kelompok politik
yang pada akhirnya produk – produk hukum yang dihasilkan juga tidak terlepas dari
pengaruh politik. Beragam contoh yang menguatkan pernyataan penulis tersebut dapat dilihat
dari banyaknya produk – produk hukum yang kemudian digugat oleh berbagai elemen karena
tidak memenuhi harapan keadilan bagi publik, misalnya ketentuan pengusulan Presiden yang
hanya boleh dilakukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dengan perolehan kursi
paling sedikit 20 % atau 25 % suara sah secara nasional. Selain itu, Pengesahan RUU KUHP
menjadi KUHP yang mengandung beberapa kontroversi seperti pasal penghinaan terhadap
Presiden, Wakil Presiden Pemerintah dan Lembaga Negara sebagaimana diatur dalam Pasal
217 – 240 KUHP yang baru. Selain itu Pasal 256 KUHP yang baru bahwa pelarangan
melakukan demonstrasi tanpa izin cendrung menjadi alat kekuasaan untuk membungkam
kebebasan berpendapat masyarakat yang sejatinya dilindungi oleh konstitusi.
Berkaca pada kondisi diatas maka yang menjadi pertanyaan saat ini adalah :
1. Sejauh mana pelaksanaan politik hukum pasca reformasi sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang mempertimbangan keinginan-keingan rakyat?; dan
2. Apakah pelaksanaan politik hukum saat ini justru seperti tidak memiliki arah
yang jelas dan cendrung pragmatis dan menjadi alat kekuasaan, karena
memang desain ketatanegaraaan kita saat ini mendukung untuk itu?

Anda mungkin juga menyukai