NIM : 044939965
Jawaban
kelebihan utama sistem presidensial adalah terjaganya stabilitas
pemerintahan.Artinya sistem pemerintahan ini sifatnya lebih stabil, sehingga
stabilitas pemerintahan tetap terjaga. Sedangkan kekurangan utama dari
presidensial adalah penempatan pejabat eksekutif (presiden) sehingga memiliki
kekuasaan yang cukup besar.
Sistem presidensi atau disebut juga dengan sistem kongresional, merupakan sistem
pemerintahan negara republik di mana kekuasaan eksekutif dipilih
melalui pemilu dan terpisah dengan kekuasaan legislatif.
Untuk disebut sebagai sistem presidensial, bentuk pemerintahan ini harus memiliki
tiga unsur yaitu:[1]
Presiden yang dipilih rakyat
Presiden secara bersamaan menjabat sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan dan dalam jabatannya ini mengangkat pejabat-pejabat
pemerintahan yang terkait.
Presiden harus dijamin memiliki kewenangan legislatif oleh UUD atau konstitusi.
Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kedudukan yang relatif kuat dan tidak
dapat dijatuhkan karena rendah subjektif seperti rendahnya dukungan politik. Namun
masih ada mekanisme untuk mengontrol presiden. Jika presiden melakukan
pelanggaran konstitusi, pengkhianatan terhadap negara, dan terlibat masalah
kriminal, kedudukan presiden bisa dijatuhkan. Bila ia diberhentikan karena
pelanggaran-pelanggaran tertentu, biasanya seorang wakil presiden akan
menggantikan posisinya
Kelebihan Sistem Pemerintahan Presidensial:
Badan eksekutif lebih stabil kedudukannya karena tidak tergantung pada
parlemen.
Masa jabatan badan eksekutif lebih jelas dengan jangka waktu tertentu.
Misalnya, masa jabatan Presiden Amerika Serikat adalah empat tahun, Presiden
Filipina adalah enam tahun, dan Presiden Indonesia adalah lima tahun.
Masa pemilihan umum lebih jelas dengan jangka waktu tertentu.
Penyusun program kerja kabinet mudah disesuaikan dengan jangka waktu masa
jabatannya.
Legislatif bukan tempat pengkaderan untuk jabatan-jabatan eksekutif karena
dapat diisi oleh orang luar termasuk anggota parlemen sendiri.
Kekurangan Sistem Pemerintahan Presidensial:
Dengan keragaman suku, budaya dan adat yang ada di Indonesia, pengukuhan dan
pengesahan sistem pemerintahan Indonesia berlangsung cukup lama dan sangat
sengit, pergolakan pemikiran dari para tokoh pendiri bangsa sangatlah menguras
waktu dan tenaga. Ki Bagus Hadikusumo misalnya yang memperjuangkan tetap ada
nilai islam dalam nuansa sistem pemerintahan Indonesia dan bentuk pemerintahan
Indonesia. Berbeda pikiran dengan Moh. Hatta yang menurut Ki Bagus Hadikusumo
sendiri sangat-sangat liberal (Syafiie, 2013:298).
Hasil dari rapat PPKI ini kemudian menetapkan UUD 1945 menjadi konstitusi di
dalamnya termuat semua hal yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia serta
tujuan Negara Republik Indonesia. Selain itu hasil rapat juga menetapkan bahwa
sistem pemerintahan presidensial yang sangat tepat dan relevan dengan situasi dan
kondisi di Indonesia.
Rasionalisasi kuat yang disampaikan Soekarno pada saat itu adalah bahwa
Indonesia memerlukan eksistensi dan pengakuan dari negara-negara lain, untuk itu
diperlukan stabilitas ekonomi dan politik bagi negara baru. Untuk menjawab hal itu,
maka sistem presidensial dianggap tepat karena tidak sama sekali menekankan
kepada nilai kapitalisme, dan juga sosialisme, namun ada dalam keseimbangan
diantara keduanya.
Syafiie (2013: 303) menceritakan kembali kilas sejarah situasi rapat PPKI. Setelah
istirahat dalam rapat PPKI tepat pukul 15.15 WIB rapat dimulai dan langsung
memilih untuk jabatan presiden dan wakil presiden bagi Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang saat itu tidak sempat untuk melakukan pemilihan umum, maka
akhirnya Otto Iskandardinata mengajukan usul bahwa Presiden dan Wakil Presiden
Indonesa adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta. Pemilihan secara aklamasi ini
disepakati oleh seluruh peserta rapat PPKI dan akhirnya Soekarno menjadi Presiden
terpilih RI pertama. Sistem pemerintahan Indonesia yang menganut presidensial
saat itu belum terlaksana dengan baik dan secara utuh merepresentasikan rakyat
Indonesia. Hal ini dibuktikan belum adanya lembaga legislatif khusus DPR yang
pada saat itu masih pada proses pembangunan lembaga-lembaga di Indonesia.
Dan seharusnya ada kekuasaan mutlak yang tepisah antara eksekutif dan legislatif
namun pada saat awal berdirinya di Indonesia penerapan sistem ini masih
terpincang-pincang. Hingga sampailah pada tanggal 27 Desember 1949, di tahun itu
dirumuskan kembali sistem pemerintahan Indonesia, dengan mempertimbangkan
kondisi sosial dan politik yang ada di Indonesia.
Maka munculah satu bentuk negara dimana Indonesia tidak lagi menjadi negara
kesatuan melainkan berubah menjadi “negara federal” atau “serikat”. Bentuk
wewenang dan kekuasaan politik dan pemerintahan serta keamanan ditransfer
seutuhnya kepada wilayah-wilayah di Indonesia. Oleh karenanya pada saat bentuk
negara Indonesia menganut bentuk negara federal sistem pemerintahan turut
mengalami pergeseran, nilai-nilai sistem parlmenter mulai masuk dan menjadikan
indonesia lebih liberal pada saat itu.
Sistem Pemerintahan Indonesia dengan UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 juli
1959)
Dalam sistem kabinet pun parlementer dipilih mellaui sistem voting yang digunakan
dalam pemilihan umum. Rakyat berhak mengekspresikan hak untuk ikut serta dalam
berpolitik dan juga mengekspresikan berbagai bentuk kekecewaan pada pemerintah,
misalnya dalam bentuk demonstrasi.
Pada saat itu pula, perkembangan pesat dalam suprastruktur dan infrastruktur politik
bergerak secara cepat. Adanya partai politik menandakan bahwa roda demokrasi di
Indonesia berjalan, sistem multipartai yang dianut membuka kepada siapapun untuk
membentuk dan mengusung dari partainya yang memiliki berbagai macam golongan
dan sikap politik yang berbeda.
Walaupun lebih menekankan kepada demokrasi parlementer, tetap saja pada saat
itu Indonesia berlandaskan kepada UUD 1945 yang asli, memiliki sistem kabiner
presidensial, yang artinya kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan adalah
di tangan Presiden.
Syafiie (2013: 299) menjelaskan bahwa di tahun 1949 hingga tahun 1959
merupakan tahun dimana pecahnya “dwi tunggal” Indonesia, dimana Moh. Hatta
tidak sepakat terhadap ketiranian eksekutif. Perebutan hanya terjadi ditingkat
kabinet dimana partai-partai politik yang pada saat itu sangat kuat yakni PNI dan
Masyumi bergantian memimpin kabinet. Setiap tahun terjadi pergantian kabinet,
dimana dalam sejarahnya tidak ada yang berumur panjang dalam kabinet Soekarno.
Hal ini menimbulkan keadaaan sosial dan politik yang tidak stabil, selain Soekarno
terus menerus menggencarkan hubungan kerjasama internasionalnya, kondisi
dalam negara kian terpuruk. Kabinet Natsir yang paling pertama menjabat pada saat
itu dihadapkan dengan masalah pelik yang kian tahun semakin menggencarkan
perlawanannya kepada pemerintah. Masalah dalam keamanan negeri, seperti
Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, dan Gerakan RMS.
Pada intinya UUDS 1950, merupakan representasi dari keinginan setiap wilayah
untuk menentukan sikap dan pandangannya berdasarkan kebebasan yang sangat
bebas-sebebasnya. Syafiie (2013: 307) mengemukakan pendapatnya terkait hal
tersbut, bahwa UUDS 1950 dibuat agar negara Indonesia kembali menjadi negara
kesatuan namun konstitusi pada saat itu menghendaki otonom daerah seluas-
luasnya.
Masa Berlaku Kembali UUD 1945 Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa UUDS merupakan konstitusi yang
sifatnya sementara sambil menunggu tim konstituante menuntaskan berbagai
macam konsep dan kejelasan dari konstitusi Indonesia. Namun setelah dua tahun
menunggu kepastian dari hasil pembentukan konstituante hal tersebut masih belum
diindahkan dan dijalankan. Sedangkan kondisi masyarakat Indonesia pada saat itu
sangatlah karut-marut.
Tetapi seperti yang telah dikatakan diawal sampai pada 2 tahun efektifitas
pembentukan tim konstituante berakhir dengan sia-sia. Walaupun sebenarnya sudah
tercapai kesepakatan mengenai sistem pemerintahan, hak asasi, dan hal-hal
lainnya.
Situasi politik dan sistem multipartai dengan gejolak serta semangat baru demokrasi
membawa kepada kekecauan politik dimana semua warga negara bersaing untuk
memperjuangkan ideologi yang paling benar menurutnya. Seperti yang dikatakan
Hakiki (2014:18) bahwa pada saat itu, terdapat 35 fraksi dalam badan konstituante.
Hal ini menimbulkan kegeraman tersendiri dari Soekarno, setelah peristiwa
terpecahnya dwi tunggal Indonesia. Soekarno menggunakan hak dan kekuasaan
tertinggi sebagai presiden yakni menggunakan dekrit presiden, dimana dekrit bisa
digunakan dalam situasi dan kondisi politik yang sangat genting.
1. Pembubaran Konstituante
2. Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari anggal
penetapan Dekrit ini, dan tidak berlaku lagi Undang-Undang Dasar
Sementara.
3. Pembentukan Majelis Permusyawartan Rakyat Sementara dan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dengan adanya dekrit presiden, maka pada saat itu pulalah negara Indonesia
kembali dengan bentuk pemerintahannya yakni presidensial dan bentuk negara
kesatuan. Tidak adalagi sistem federal yang digunakan, namun setelah itu bentuk
negara kesatuan lah yang digunakan.
Maka dengan dibubarkannya tim konstituante, terjadi kekosongan dalam peran dan
fungsi legislatif di Indonesia, berdasarkan ketetapan presiden, Soekarno membentuk
Majelis Permusyawaratan Rakyat pada saat itu juga agar tidak terjadi kekosongan
pemerintahan dan juga tugas pokok legislatif tetap jalan.
Tidak ada lagi istilah perdana menteri, yang ada adalah presiden pemimpin besar
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua sistem dan tersentralkan kepada
presiden dan juga hal-hal lain dalam artian pelaporan pertanggung jawaban kini
kembali kepada presiden Indonesia dan harus dilaporkan kepada legislatif.
Mengacu pada Pasal 1 ayat 2 yakni terkait dengan isi dari kedaulatan rakyat
Indonesia diantaranya bahwa Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan
sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh
rakyat Indonesia. MPR ini menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
MPR bertugas mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara
(Wakil Presiden). MPR memegang kekuasaan tertinggi, sedangkan Presiden harus
menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh
MPR. Presiden yanng diangkat oleh MPR, bertunduk dan bertanggung jawab
kepada MPR.
Hal ini menunjukan bahwa kuasa seorang presiden akan ada batasnya,
pembatasannya adalah oleh MPR, yang memiliki kewenangan untuk memberikan
pemberhentian secara tidak hormat dan juga memberikan mosi tidak percaya atas
pidato pertanggung jawabannya terhadap presiden. Jika mosi ini digunakan maka
eksekutif secara otomatis harus diganti oleh penggantinya yang baru.
Tugas pokok dan fungsi terkait dengan fungsi-fungsi lembaga negara yang dalam
hal ini dibawahi oleh MPR telah tercantum semuanya didalam UUD 1945 dengan
pembaharuan pasal-pasal baru terkait dengan tugas pokok dan fungsi lembaga
negara.
Namun realita yang terjadi dari tahun 1960-1965, Syafiie menggambarkan bahwa
dari segi pemerintahan Soekarno semakin bertindak tirani dalam hal pengambilan
keputusan untuk merumuskan kebijakannya, terbukti dengan adanya Manipol
USDEK atau Manivesto Politik dengan Undang-Undangn 1945, Sosialsme
Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kesejahteraan Rakyat.
Hakiki (2014: 24) menyatakan tahun 1966 momentum politik baru terjadi di
Indonesia dengan adanaya MPR kuasa presiden tidak lagi sama, maka pidato yang
berjudul Nawaksara yang dibawa oleh Presiden Soekarno ditolak oleh MPR. Hal ini
memberikan dampak harus lengsernya Soekarno sebagai Presiden Indonesia.
Penolakan pidato pertanggungjawaban presiden pada saat itu tidak terlepas dari
segi kondisi sosial dan politik, Presiden Soekarno dituduh telah mengkhianati
Pancasila dan juga telah bekerjasama dengan PKI untuk mengubah asas dan dasar
Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi negara yang berasaskan komunis.
Terjadi pergolakan politik dalam tubuh pemerintahan Indonesia, adanya kudeta yang
halus dan lembut dari Soehato dalam hubungan Jendral Nasution dan Soekarno
membuatnya melengserkan Soekarno dengan mudah. Soekarno sampai pada akhir
hayatnya memegang ajaran teguh Nasakomnya, karena dia yakin dan percaya
nasionalis, komunis dan islam bisa digabungkan menjadi satu kesatuan ajaran yang
bisa saling menguatkan.
Fungsi MPR dibawah rezim Soeharto dibuat menjadi dua utusan golongan, pertama
adalah dari DPR yang pada saat itu masih ada fraksi TNI/POLRI dan satunya adalah
utusan daerah dan utusan golongan.
Walaupun diadakan pemilu, namun pada saat itu yang berkuasa penuh adalah
partai Golongan Karya, sehingga pada saat itu pemerintah bernuansa tirani. Strategi
pemenangan Soeharto dari tahun 1966-1998 adalah dengan cara mengawal utusan
daerah yang diambil dari para Gubernur yang diangkat Soeharto, panglima yang
diangkat Soeharto, para utusan Golongan karya yang dipimpin oleh Soeharto
sebagai ketua dewan pembinanya, sekitar 50% lebih suara ada di dalam tubuh
MPR, itulah kunci kemenangan Soeharto berkali-kali (Syafiie, 2013: 315).
Sampai pada titik puncaknya yakni 1998, Soeharto tidak bisa lagi tetap
melanggengkan kekuasaan, demonstrasi akibat adanya krisis moneter
menggerakan semua pergerakan mahasiswa dan juga semua organ mahasiswa
untuk turun kejalan melengserkan kekuasaan mutlak dari Seoharto, akhirnya pada
saat itu Soeharto lengser.
Pasal 6 ayat 2 dalam UUD 1945 Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Hal
ini menunjukan bahwa sistem kita menggunakan parlmenter. Tidak seperti Amerika
yang pemilihannya dilakukan langsung oleh rakyat.
Presiden di sini juga harus bertanggung jawab kepada MPR. Dalam sistem
pemerintahan presidensial Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen
tetapi bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Ketentuan pertanggung jawaban
Presiden kepada MPR dan bukan langsung kepada rakyat merupakan karakter
sistem pemerintahan parlementer.
Terakhir adalah tidak adanya ketentuan yang jelas antara ekskutif dan legislatif
secara tegas. Kita bisa lihat di Pasal 5 Ayat (2) yang menyatakan bahwa Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR dan
berkaitan dengan pasal tersebut yaitu Pasal 20 Ayat (1) Tiap-tiap undang-undang
mengkehendaki persetujuan DPR.
Dari pasal ini dapat disimpulakn bahwa UUD 1945 tidak menganut paham
pemisahan kekuasaan (separation of power) seperti dalam sistem pemerintahan
presidensial melainkan menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of
power) seperti dalam sistem parlementer.
Demikianlah analisis yang coba dilihat ketika kita merujuk kepada peraturan UUD
sebelum adanya amandemen, sistematika, karakteristik dan juga aturan yang ada
masih belum jelas terarah dalam sistem pemerintahannya, seringkali juga bentuk
negara kita belum bisa terkontrol dan terarah.
Hal fundemental yang bisa kita lihat perubahannya juga adalah terkait dengan
kekuasaan dan kewenangan MPR, yang semula bisa menjatuhkan pemerintahan
kali ini supremasi tertinggi ada di tangan rakyat langsung buka diwakili oleh MPR.
Sehingga sampai hari ini pun lembaga negara MPR tidak lagi berfungsi secara
optimal. Kinerja MPR dipertanyakan karena tidak lagi tugas sentral yang diemban
oleh MPR.
Soemantri (2003: 23) mengungkapkan bahwa setelah adanya UUD hasil dari
amandemen, Presiden dan Wakil Presiden kini dipilih langsung oleh rakyat, tidak
ada satupun yang bisa menjatuhkan presiden dalam lingkup lembaga negara kecuali
rakyat itu sendiri, kemudian presiden berhak mengankat dan memberhentikan
mentri-mentri atas pilihannya sendiri.
Dan kuasa presiden dalam hal pertimbangan UU pun kini tidak lagi terlalu dominan
ini menunjukan adanya sistem presidensiil yang nyata, pasal 20 ayat 5 menyebutkan
bahwa jika rancangan Undang-Undang tidak disahkan dalam kurun waktu 30 hari
maka undang-undang itu akan tetap berjalan.
Sama halnya dengan lembaga negara, dulu tidak ada istilah lembaga negara namun
sekarang lembaga negara DPR, BPK, Presiden, DPD, MA dan MK serta Komisi
Yudisial memiliki kewenangan khusus tersendiri.
Dari enam hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia
adalah sistem presidensial karena eksekutif dan legislatif memiliki fungsi dan tugas
yang mewajibkan antara keduanya untuk saling mengawasi. Syafiie (2013:73)
menjelaskan bahwa checking power with power merupakan ciri khas mutlak yang
harus dimiliki oleh penganut sistem presidensial.