KELAS : PSI A
NIM : 20101157510016
MATKUL : PANCASILA
Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik, Presiden Republik
Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan.
Hal itu didasarkan pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.” Dengan demikian, sistem
pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial.
2. Pengertian Sistem Pemerintahan
Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata system dan pemerintahan. Kata
system merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan,
tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang
berasal dari kata perintah. kata-kata itu berarti:
b. Pemerintah adalah kekuasaan yang memerintah suatu wilayah, daerah, atau, Negara.
Maka dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh
badan-badan legislative, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam rangka mencapai
tujuan penyelenggaraan negara. Dalam arti yang sempit, pemerintaha adalah perbuatan
memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta jajarannya dalam rangka mencapai
tujuan penyelenggaraan negara. Sistem pemerintahan diartikan sebagai suatu tatanan utuh
yang terdiri atas berbagai komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan
memengaruhi dalam mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan.
Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut.
Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi
dalam beberapa provinsi.
Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden
dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki
kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.
Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsur-unsur dari sistem pemerintahan parlementer
dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam
sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah
sebagai berikut;
Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap
memiliki kekuasaan mengawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari
DPR.
Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak
budget (anggaran)
Kajian Politik
Sistem Pemerintahan Menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen UUD 1945
Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia telah terjadi sebanyak empat
kali. Tahun 1960 sistem pemerintahan dan bentuk pemerintahan kembali menjadi kesatuan
dan sistem presidensial. Ada banyak perubahan yang mendasar dengan telah dihapuskannya
sistem demokrasi parlementer di Indonesia pada saat itu, diantaranya adalah pembentukan
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Mengacu pada Pasal 1 ayat 2 yakni terkait dengan isi dari kedaulatan rakyat Indonesia
diantaranya bahwa Kedaulatan adalah di tangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. MPR ini
menetapkan UUD dan Garis-Garis Besar Haluan Negara.
MPR bertugas mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan wakil Kepala Negara (Wakil
Presiden). MPR memegang kekuasaan tertinggi, sedangkan Presiden harus menjalankan haluan
negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh MPR. Presiden yanng diangkat
oleh MPR, bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR.
Hal ini menunjukan bahwa kuasa seorang presiden akan ada batasnya, pembatasannya adalah
oleh MPR, yang memiliki kewenangan untuk memberikan pemberhentian secara tidak hormat
dan juga memberikan mosi tidak percaya atas pidato pertanggung jawabannya terhadap
presiden. Jika mosi ini digunakan maka eksekutif secara otomatis harus diganti oleh
penggantinya yang baru.
Majelis Permusyawaratan Rakyat secara tidak langsung merupakan lembaga negara tertinggi
dan terbesar yang dimiliki oleh Indonesia. MPR tidak bisa berdiri sendiri maka dibentuklah
badan-badan khusus yang menangani beban atau masalah-masalah khusus diantaranya
adalah DPR, DPA, MA dan BPK. Secara tidak langsung pun Presiden kuasanya dibawah MPR itu
sendiri.
Tugas pokok dan fungsi terkait dengan fungsi-fungsi lembaga negara yang dalam hal ini
dibawahi oleh MPR telah tercantum semuanya didalam UUD 1945 dengan pembaharuan pasal-
pasal baru terkait dengan tugas pokok dan fungsi lembaga negara.
Diterapkannya kembali UUD 1945 sebenarnya mengindikasikan bahwa sistem pemerintahan
Indonesia tidak lain adalah hasil dari gabungan antara parlementer dan juga presidensial, ini
sangat terlihat dimana tidak adanya pembagian kekuasaan secara tegas terhadap fungsi
eksekutif dan legislatif keduanya masih saling membutuhkan.
Namun realita yang terjadi dari tahun 1960-1965, Syafiie menggambarkan bahwa dari segi
pemerintahan Soekarno semakin bertindak tirani dalam hal pengambilan keputusan untuk
merumuskan kebijakannya, terbukti dengan adanya Manipol USDEK atau Manivesto Politik
dengan Undang-Undangn 1945, Sosialsme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, dan Kesejahteraan
Rakyat.
Demokrasi terpimpin yang dijalankan oleh Soekarno adalah bentuk pemerintahan yang
mengedepankan musyawarah mufakat namun kekuasaan tertuju pada satu puncak pemimpin
sentral, yakni presiden. Masa ini sampai sekarang disebut dengan Orde Lama. Dimana semua
jenis dan model pemerintahan serta bentuk pemerintahan dicoba untuk dijalankan agar
terjadinya kesejahteraan rakyat.
Hakiki (2014: 24) menyatakan tahun 1966 momentum politik baru terjadi di Indonesia dengan
adanaya MPR kuasa presiden tidak lagi sama, maka pidato yang berjudul Nawaksara yang
dibawa oleh Presiden Soekarno ditolak oleh MPR. Hal ini memberikan dampak harus lengsernya
Soekarno sebagai Presiden Indonesia.
Dengan ditolaknya pemerintahan Soekarno munculah skema dan skenario pemerintahan yang
berkedok demokrasi parlementer, demokrasi presidensial yang sebenarnya adalah tirani politik
tanpa henti.
Penolakan pidato pertanggungjawaban presiden pada saat itu tidak terlepas dari segi kondisi
sosial dan politik, Presiden Soekarno dituduh telah mengkhianati Pancasila dan juga telah
bekerjasama dengan PKI untuk mengubah asas dan dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjadi negara yang berasaskan komunis.
Terjadi pergolakan politik dalam tubuh pemerintahan Indonesia, adanya kudeta yang halus dan
lembut dari Soehato dalam hubungan Jendral Nasution dan Soekarno membuatnya
melengserkan Soekarno dengan mudah. Soekarno sampai pada akhir hayatnya memegang
ajaran teguh Nasakomnya, karena dia yakin dan percaya nasionalis, komunis dan islam bisa
digabungkan menjadi satu kesatuan ajaran yang bisa saling menguatkan.
Dibawah Rezim Soeharto pemerintahan Indonesia sangat menonjolkan ketiranian, walaupun
ada lembaga negara yang mengontrol ada pengawas pemerintah namun semuanya
dilumpuhkan oleh Soeharto denga cara menaruh orang-orangnya di setiap lembaga negara jadi
Soeharto sampai pada 32 tahun tidak tergoyahkan kepemimpinannya (Syafiie, 2013: 315).
Fungsi MPR dibawah rezim Soeharto dibuat menjadi dua utusan golongan, pertama adalah dari
DPR yang pada saat itu masih ada fraksi TNI/POLRI dan satunya adalah utusan daerah dan
utusan golongan.
Walaupun diadakan pemilu, namun pada saat itu yang berkuasa penuh adalah partai Golongan
Karya, sehingga pada saat itu pemerintah bernuansa tirani. Strategi pemenangan Soeharto dari
tahun 1966-1998 adalah dengan cara mengawal utusan daerah yang diambil dari para
Gubernur yang diangkat Soeharto, panglima yang diangkat Soeharto, para utusan Golongan
karya yang dipimpin oleh Soeharto sebagai ketua dewan pembinanya, sekitar 50% lebih suara
ada di dalam tubuh MPR, itulah kunci kemenangan Soeharto berkali-kali (Syafiie, 2013: 315).
Sampai pada titik puncaknya yakni 1998, Soeharto tidak bisa lagi tetap melanggengkan
kekuasaan, demonstrasi akibat adanya krisis moneter menggerakan semua pergerakan
mahasiswa dan juga semua organ mahasiswa untuk turun kejalan melengserkan kekuasaan
mutlak dari Seoharto, akhirnya pada saat itu Soeharto lengser.
Pada inti kesimpulannya adalah bahwa sistem pemerintahan sebelum amandemen masih
belum terkonsentrasi penuh, ketika kita menyebut bahwa sistem pemerintahan Indonesia pada
saat itu adalah sistem presidensial, namun karakteristiknya menunjukan hal itu semi
presidensial, atau campuran hal ini terlihat dari beberapa aturan pasal yang termuat di UUD
1945 sebelum amandemen diantaranya:
Pasal 4 ayat 1 yang menjelaskan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintah dan
kepala negara tidak disebutkan secara rinci dibatang tubuh UUD 1945. Pasal 1 ayat 2 dalam
UUD 1945 menjelaskan bahwa kedaulatan mutlak sepenuhnya ditangan rakyat namun realita
yang terjadi adalah supremasi lembaga yang mewakili rakyat.
Hal ini menunjukan bahwa karakter sistem pemerintahan parlementer karena kedaulatan
rakyat dilakukan oleh MPR yang merupakan representasi dari masyarakat Indonesia dan
selanjutnya MPR mendistribusikan kewenangannya pada MA, DPR, Presiden dan BPK. Berarti
hal ini membuktikan kekuasaan presiden tidak langsung.
Pasal 6 ayat 2 dalam UUD 1945 Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh MPR. Hal ini
menunjukan bahwa sistem kita menggunakan parlmenter. Tidak seperti Amerika yang
pemilihannya dilakukan langsung oleh rakyat.
Presiden di sini juga harus bertanggung jawab kepada MPR. Dalam sistem pemerintahan
presidensial Presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen tetapi bertanggung jawab
langsung kepada rakyat. Ketentuan pertanggung jawaban Presiden kepada MPR dan bukan
langsung kepada rakyat merupakan karakter sistem pemerintahan parlementer.
Terakhir adalah tidak adanya ketentuan yang jelas antara ekskutif dan legislatif secara tegas.
Kita bisa lihat di Pasal 5 Ayat (2) yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan
membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR dan berkaitan dengan pasal tersebut
yaitu Pasal 20 Ayat (1) Tiap-tiap undang-undang mengkehendaki persetujuan DPR.
Dari pasal ini dapat disimpulakn bahwa UUD 1945 tidak menganut paham pemisahan
kekuasaan (separation of power) seperti dalam sistem pemerintahan presidensial melainkan
menganut prinsip pembagian kekuasaan (distribution of power) seperti dalam sistem
parlementer.
Demikianlah analisis yang coba dilihat ketika kita merujuk kepada peraturan UUD sebelum
adanya amandemen, sistematika, karakteristik dan juga aturan yang ada masih belum jelas
terarah dalam sistem pemerintahannya, seringkali juga bentuk negara kita belum bisa
terkontrol dan terarah.
Sistem Pemerintahan Indonesia setelah amandemen UUD 1945
Soemantri (2003: 25) menjelaskan amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia telah dilakukan sebanyak empat kali, yakni tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002. Dari
hasil amandemen tersebut maka terjadi perubahan-perubahan mendasar yakni terkait dengan
lembaga negara. Jika sebelum amandemen masih terdapat utusan golongan dan daerah serta
ada dewan pertimbangan agung. Setelah amandem lembaga negara itu dihapuskan dan
diganti oleh Dewan Perwakilan Daerah dan juga Mahkamah Konstitusi.
Hal fundemental yang bisa kita lihat perubahannya juga adalah terkait dengan kekuasaan dan
kewenangan MPR, yang semula bisa menjatuhkan pemerintahan kali ini supremasi tertinggi
ada di tangan rakyat langsung buka diwakili oleh MPR. Sehingga sampai hari ini pun lembaga
negara MPR tidak lagi berfungsi secara optimal. Kinerja MPR dipertanyakan karena tidak lagi
tugas sentral yang diemban oleh MPR.
Terkait dengan sistem pemerintahan yang diterapkan setelah adanya amandemen, Indonesia
semakin yakin dan percaya bahwa sistem pemerintahannya adalah presdiensial. Keraguan-
keraguan sebelum adanya amandemen dalam sistem pemerintahan dicoba untuk dipecahkan
bersama dengana adanya amanden.
Soemantri (2003: 23) mengungkapkan bahwa setelah adanya UUD hasil dari amandemen,
Presiden dan Wakil Presiden kini dipilih langsung oleh rakyat, tidak ada satupun yang bisa
menjatuhkan presiden dalam lingkup lembaga negara kecuali rakyat itu sendiri, kemudian
presiden berhak mengankat dan memberhentikan mentri-mentri atas pilihannya sendiri.
Dan kuasa presiden dalam hal pertimbangan UU pun kini tidak lagi terlalu dominan ini
menunjukan adanya sistem presidensiil yang nyata, pasal 20 ayat 5 menyebutkan bahwa jika
rancangan Undang-Undang tidak disahkan dalam kurun waktu 30 hari maka undang-undang
itu akan tetap berjalan.
Sama halnya dengan lembaga negara, dulu tidak ada istilah lembaga negara namun sekarang
lembaga negara DPR, BPK, Presiden, DPD, MA dan MK serta Komisi Yudisial memiliki
kewenangan khusus tersendiri.
Hal ini menunjukan bahwa sistem pemerintahan Indonesia setelah amandemen lebih rapih dan
juga terstruktur secara kelembagaan, maka dari itu sistem pemerintahan indonesia paska
amandemen lebih spesifik kepada sistem pemerintahan presidensial karena menurut Soemantri
(2003:34):
Kepala negara dan Kepala pemerintah dipegang oleh Presiden; Presiden bertanggung jawab
secara langsung kepada rakyat; Rakyat memilih langsung Presiden dan Wakil Presiden; Tidak
dapat dijatuhkan oleh lembaga negara; Tidak mengutamakan asas pemisahan kekuasaan tapi
mengutamakan asas pembagian kekuasaan; Para mentri bertanggung jawab kepada Presiden
Dari enam hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah
sistem presidensial karena eksekutif dan legislatif memiliki fungsi dan tugas yang mewajibkan
antara keduanya untuk saling mengawasi. Syafiie (2013:73) menjelaskan bahwa checking
power with power merupakan ciri khas mutlak yang harus dimiliki oleh penganut sistem
presidensial.