Sehari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Ir. Soekarno, Panitia Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Rajiman, Supomo, Suroso,
Sutarji, Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo, Oto Iskandar, dan Ki hadjar Dewantara
merumuskan sistem pemerintahan Indonesia.
Hasil dari rapat PPKI ini kemudian menetapkan UUD 1945 menjadi konstitusi di dalamnya
termuat semua hal yang menjadi dasar Negara Republik Indonesia serta tujuan Negara
Republik Indonesia. Selain itu hasil rapat juga menetapkan bahwa sistem pemerintahan
presidensial yang sangat tepat dan relevan dengan situasi dan kondisi di Indonesia.
Rasionalisasi kuat yang disampaikan Soekarno pada saat itu adalah bahwa Indonesia
memerlukan eksistensi dan pengakuan dari negara-negara lain, untuk itu diperlukan stabilitas
ekonomi dan politik bagi negara baru. Untuk menjawab hal itu, maka sistem presidensial
dianggap tepat karena tidak sama sekali menekankan kepada nilai kapitalisme, dan juga
sosialisme, namun ada dalam keseimbangan diantara keduanya.
Sistem pemerintahan Indonesia yang menganut presidensial saat itu belum terlaksana dengan
baik dan secara utuh merepresentasikan rakyat Indonesia. Hal ini dibuktikan belum adanya
lembaga legislatif khusus DPR yang pada saat itu masih pada proses pembangunan lembaga-
lembaga di Indonesia.
Selama empat tahun sistem pemerintahan Indonesia terkungkung oleh persoalan perebutan
wilayah di Indonesia sendiri. Banyak sekali pemberontakan oleh warga negara Indonesia,
dari ulai APRA, RMS dan DI/TII. Hal-hal seperti itulah yang diurus dan ditangani oleh
pemerintahan Indonesia pada saat itu.
Dan seharusnya ada kekuasaan mutlak yang tepisah antara eksekutif dan legislatif namun
pada saat awal berdirinya di Indonesia penerapan sistem ini masih terpincang-pincang.
Hingga sampailah pada tanggal 27 Desember 1949, di tahun itu dirumuskan kembali sistem
pemerintahan Indonesia, dengan mempertimbangkan kondisi sosial dan politik yang ada di
Indonesia.
Latar belakang adanya perumusan kembali terkait dengan sistem pemerintahan Indonesia
adalah lepasnya wilayah-wilayah RI ke tangan penjajah yakni Belanda. Hal ini menjadi
bahan evaluasi karena tidak adanya sistem otonomi khusus untuk mengurus dan juga
mengembangkan daerahnya sendiri.
Maka munculah satu bentuk negara dimana Indonesia tidak lagi menjadi negara kesatuan
melainkan berubah menjadi “negara federal” atau “serikat”. Bentuk wewenang dan
kekuasaan politik dan pemerintahan serta keamanan ditransfer seutuhnya kepada wilayah-
wilayah di Indonesia. Oleh karenanya pada saat bentuk negara Indonesia menganut bentuk
negara federal sistem pemerintahan turut mengalami pergeseran, nilai-nilai sistem parlmenter
mulai masuk dan menjadikan indonesia lebih liberal pada saat itu.
Sistem Pemerintahan Indonesia dengan UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5 juli 1959)
Sistem parlementer ini menetapkan bahwa kabinet-kabinet dan para menteri bertanggung
jawab kepada parlemen, atau jika di Indonesia adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal
ini terjadi agar proses check and balance terjadi.
Dalam sistem kabinet pun parlementer dipilih mellaui sistem voting yang digunakan dalam
pemilihan umum. Rakyat berhak mengekspresikan hak untuk ikut serta dalam berpolitik dan
juga mengekspresikan berbagai bentuk kekecewaan pada pemerintah, misalnya dalam bentuk
demonstrasi.
Pada saat itu pula, perkembangan pesat dalam suprastruktur dan infrastruktur politik bergerak
secara cepat. Adanya partai politik menandakan bahwa roda demokrasi di Indonesia berjalan,
sistem multipartai yang dianut membuka kepada siapapun untuk membentuk dan mengusung
dari partainya yang memiliki berbagai macam golongan dan sikap politik yang berbeda.
Walaupun lebih menekankan kepada demokrasi parlementer, tetap saja pada saat itu
Indonesia berlandaskan kepada UUD 1945 yang asli, memiliki sistem kabiner presidensial,
yang artinya kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan adalah di tangan Presiden.
Hal ini menimbulkan keadaaan sosial dan politik yang tidak stabil, selain Soekarno terus
menerus menggencarkan hubungan kerjasama internasionalnya, kondisi dalam negara kian
terpuruk. Kabinet Natsir yang paling pertama menjabat pada saat itu dihadapkan dengan
masalah pelik yang kian tahun semakin menggencarkan perlawanannya kepada pemerintah.
Masalah dalam keamanan negeri, seperti Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan
APRA, dan Gerakan RMS.
Pada intinya UUDS 1950, merupakan representasi dari keinginan setiap wilayah untuk
menentukan sikap dan pandangannya berdasarkan kebebasan yang sangat bebas-sebebasnya.
Syafiie (2013: 307) mengemukakan pendapatnya terkait hal tersbut, bahwa UUDS 1950
dibuat agar negara Indonesia kembali menjadi negara kesatuan namun konstitusi pada saat itu
menghendaki otonom daerah seluas-luasnya.
Masa Berlaku Kembali UUD 1945 Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa UUDS merupakan konstitusi yang sifatnya
sementara sambil menunggu tim konstituante menuntaskan berbagai macam konsep dan
kejelasan dari konstitusi Indonesia. Namun setelah dua tahun menunggu kepastian dari hasil
pembentukan konstituante hal tersebut masih belum diindahkan dan dijalankan. Sedangkan
kondisi masyarakat Indonesia pada saat itu sangatlah karut-marut.
Sejarah mencatat bahwa pemilihan anggota konstituante dilakukan pada bulan Desember
1955 dan pada tanggal 10 November 1956 merupakan hari pelantikan tim konstituante.
Presiden Soekarno saat itu berharap bahwa tim inilah yang akan merumuskan Undang-
Undang Dasar baru yang lebih relevan dan kemudian bisa dijalankan dan dimengerti oleh
seluruh warga negara Indonesia.
Tetapi seperti yang telah dikatakan diawal sampai pada 2 tahun efektifitas pembentukan tim
konstituante berakhir dengan sia-sia. Walaupun sebenarnya sudah tercapai kesepakatan
mengenai sistem pemerintahan, hak asasi, dan hal-hal lainnya.
Hal ini menimbulkan kegeraman tersendiri dari Soekarno, setelah peristiwa terpecahnya dwi
tunggal Indonesia. Soekarno menggunakan hak dan kekuasaan tertinggi sebagai presiden
yakni menggunakan dekrit presiden, dimana dekrit bisa digunakan dalam situasi dan kondisi
politik yang sangat genting.
1. Pembubaran Konstituante
2. Berlakunya kembali Undang-Undang Dasar 1945 bagi segenap Bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, terhitung mulai hari anggal
penetapan Dekrit ini, dan tidak berlaku lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
3. Pembentukan Majelis Permusyawartan Rakyat Sementara dan Dewan
Pertimbangan Agung Sementara dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Dengan adanya dekrit presiden, maka pada saat itu pulalah negara Indonesia kembali dengan
bentuk pemerintahannya yakni presidensial dan bentuk negara kesatuan. Tidak adalagi sistem
federal yang digunakan, namun setelah itu bentuk negara kesatuan lah yang digunakan.
Maka dengan dibubarkannya tim konstituante, terjadi kekosongan dalam peran dan fungsi
legislatif di Indonesia, berdasarkan ketetapan presiden, Soekarno membentuk Majelis
Permusyawaratan Rakyat pada saat itu juga agar tidak terjadi kekosongan pemerintahan dan
juga tugas pokok legislatif tetap jalan.
Tidak ada lagi istilah perdana menteri, yang ada adalah presiden pemimpin besar Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Semua sistem dan tersentralkan kepada presiden dan juga hal-
hal lain dalam artian pelaporan pertanggung jawaban kini kembali kepada presiden Indonesia
dan harus dilaporkan kepada legislatif.