Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

DINAMIKA POLITIK HUKUM DALAM ATURAN PEMILIHAN UMUM


DI INDONESIA PADA ERA REFORMASI

Nama Mahasiswa :
Clarissa Nadya Arina/clarissanadyaarina@mail.ugm.ac.id/081212008100
18/433161/PHK/10234

Ida Ayu Fitri Wijayanti/idaayufitriw@mail.ugm.ac.id/081226012123


18/433173/PHK/10246

Julika Yovi Wijayanti/julikawijayanti@mail.ugm.ac.id/081263188554


18/433179/PHK/10252

Togar Julio Parhusip/togarjulio@gmail.com/087866944896


18/433230/PHK/10303

Mata Kuliah : Mata Kuliah Politik Hukum


Dosen : Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, S.H., M.Si.

MAGISTER ILMU HUKUM


UNIVERSITAS GAJAH MADA YOGYAKARTA
KAMPUS JAKARTA
2018
I. Latar Belakang

Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, konfigurasi politik Indonesia memasuki fase

baru, salah satunya adalah amandemen terhadap UUD 1945.Perubahan atas beberapa

pasal produk hukum tertinggi di Indonesia, sangat berperan terhadap Perubahan sistem

dalam Pemilihan Umum di Indonesia pada masa Reformasi. Pemilihan umum pada Era

Reformasi ini telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat

berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilihan

umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah

pengejewantahan sistem demokrasi, melalui pemilihan umum rakyat memilih wakilnya

untuk duduk dalam parlemen, dan dalam struktur pemerintahan.

Pemilihan umum di Indonesia menganut asas "LUBER" yang merupakan singkatan

dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman

Orde Baru. Langsung berarti pemilih diharuskan memberikan suaranya secara

langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti

seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti

pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun,

kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya

diketahui oleh Pemilih itu sendiri.. Kemudian di era reformasi berkembang pula asas

"Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti

bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan

bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan

kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan

wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta

2
pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta

atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun

peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara pemilu.

Berdasarkan Asas Pemilu, berkembang pula seperangkat Aturan untuk dijadikan

landasan hukum dalam Pemilihan Umum pada Era Reformasi. Dimulai Pada pemilu

tahun 1999, ada tuntutan besar mengubah Undang-Undang (UU) Pemilu pada tahun

sebelumnya karena tidak memberikan kebebasan dalam mendirikan parpol. Undang-

Undang yang ada saat itu tidak memungkinkan demokrasi berjalan baik. Maka pemilu

1999 memerlukan pembentukan desain UU yang baru. Pemilu berikutnya tahun 2004,

dilakukan perubahan kembali UU pemilu, konteksnya karena pada tahun 2002-2003

dilakukan amandemen konstitusi yang mengubah desain dan stuktur politik di

Indonesia, akan tetapi belum ada pemilu langsung, dan sejak 2004 baru ada DPD. Jadi

ada konteks di UU Pemilu yang harus diubah.

Kemudian pada pemilu selanjutnya tahun 2009, UU pemilu kembali diubah oleh

DPR. Sehingga tidak lagi menggunakan UU yang dipakai pada Pemilu 2004, pada

perubahan di Pemilu 2004, tidak ada perubahan konteks yang mendasar, namun yang

menonjol adalah trial and error atas desain UU pemilu sebelumnya. Sejak Pemilu

2004, yang menyisakan beberapa persoalan yang dipandang perlu diperbaiki pada

Pemilu 2009. Terakhir, menghadapi Pemilu 2014 DPR kembali mengubah UU. Bahkan

ada 2 UU yang semula akan diubah, yaitu UU Pemilu dan Pilpres. Namun kenyataanya

UU Pilpres gagal diubah, terutama karena debat angka Presidential Threshold (PT).

Pada perubahan UU untuk Pemilu 2014, salah satu hal yang berubah adalah syarat

keterwakilan perempuan sebesar 30% bagi seluruh partai politik, dan perubahan calon

3
terpilih, di pemilu sebelumnya calon terpilih dari Partai Politik yang dapat kursi

didasarkan nomor urut yang disusun Partai Politik. Memasuki Pemilu serentak pada

tahun 2019, landasan aturan Pemilihan Umum menggunakan Undang-Undang Nomor

7 Tahun 2017, dimana Undang-Undang Pemilu ini merupakan satu kodifikasi aturan

tentang Pemilu,

Berdasarkan Pemaparan gambaran Dinamika Aturan dalam Pemilihan Umum ini,

menurut Komisioner KPU, Sigit Pamungkas, hal tersebut justru menunjukkan kadar

demokrasi lebih bagus dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Jadi perubahan setiap

Aturan tersebut, karena ada Politik makro yang lebih luas dan keinginan memperbaiki

kualitas Pemilihan Umum. Namun dalam aktivitas Dinamika tersebut, tanpa disadari

mencerminkan sebuah ketidakpastian hukum yang semakin berkembang di setiap

periode dalam Pemilihan Umum, sehingga menciptakan sebuah inkosistensi

Pembentukan hukum yang dinamis, yang dapat mempengaruhi sebuah subsistem

politik yang dikhawatirkan lebih berwenang dibandingkan dnegan subsistem hukum

itu sendiri, dalam mewujudkan produk hukum dimasa depan.

Dari pemaparan di atas, terlihat jelas adanya permasalahan politik hukum yang

terhadapnya perlu pengkajian secara dalam khususnya dari aspek politik hukum dalam

tujuannya mewujudkan Ius Constituendum pada Pemilihan Umum yang Ideal

berdasarkan Demokrasi Pancasila.

4
II. Rumusan Masalah

1. Bagaimana mewujudkan kepastian hukum terhadap Dinamika Aturan dalam

pemilihan umum di Era Reformasi?

2. Bagaimana dampak dari Dinamika Aturan dalam Pemilihan Umum di Era

Reformasi, untuk mewujudkan ius constituendum di Indonesia?

III. Pembahasan

3.1. Sejarah Pemilihan Umum di Indonesia

Proklamasi kemerdekaan pada tangal 17 Agustus 1945 membawa semangat

demokrasi dan menjanjikan diselenggarakannya Pemilu dengan landasan hukum yang

responsif. Sejak awal kemerdekaan, pemerintah Indonesia sudah menjanjikan

diselenggarakannya Pemilu, namun ternyata baru benar-benar dapat dilaksanakan pada

tahun 1955. Pada tahun 1953, pemerintah bersama DPR menyetujui UU tentang

Pemilihan Umum untuk anggota konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu UU

No. 7 tahun 1953. Undang-Undang ini memberikan kewenangan bagi pemerintah

untuk membuat aturan pelaksana, namun materi yang dapat diatur dalam aturan

pelaksana tersebut benar-benar yang bersifat teknis. Undang-Undang ini juga

menempatkan seluruh warga negara yang berumur minimal 18 tahun atau sudah kawin

sebagai subyek pemilihan tanpa membeda-bedakan latar belakang politik dan

golongan, termasuk anggota ABRI juga memiliki hak pilih yang sama dengan warga

negara biasa. Sedangkan untuk yang dapat mencalonkan diri atau dipilih dapat

merupakan perseorangan maupun kelompok, sehingga setiap orang benar-benar dapat

memilih atau membuat saluran aspirasi sendiri. Sistem pemilu yang digunakan adalah

5
sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan stelsel daftar dan sisa suara

terbanyak, dengan menerapkan asas umum, periodik, berkesamaan, bebas, rahasia dan

langsung.

UU No.7 Tahun 1953 ini mengatur pengorganisasian Pemilu dengan sangat fair,

dengan menempatkan pemerintah sebagai pihak netral, dimana keterlibatannya hanya

sebatas untuk fasilitas administrasi, sehingga partai-partai sendirilah yang memainkan

peranan penting dalam pemilu. Dalam UU ini juga dikenal sistem pengangkatan untuk

anggota konstituante maupun DPR. Tetapi pengangkatan ini semakin memperkuat ke-

responsif-an dari UU ini sendiri, karena pengangkatan dilakukan untuk memberikan

jaminan adanya wakil sejumlah minimal kursi bagi golongan minoritas Cina, Eropa

dan Arab, dan bukan untuk mewakili golongan pemegang kekuasaan.

Kemudian, dasar hukum mengenai pemilu pada masa ini dituangkan kembali dalam

UU No.15 Tahun 1969 tentang Pemilu. UU Pemilu pada masa ini dapat

dikualifikasikan sebagai produk hukum yang bersifat ortodoks/konservatif. UU No.15

Tahun 1969 ini hanya memuat 37 Pasal, jauh lebih sedikit jika dibandingkan UU

Pemilu sebelumnya yakni UU No.7 Tahun 1953 yang memuat 139 Pasal. Sehingga UU

ini memberikan kemungkinan yang besar bagi pemerintah atau eksekutif untuk

membuat pengaturan (regeling) berdasarkan kewenangan delegasi. Selain itu materi

muatan dalam UU ini juga bersifat sangat umum, maka dalam pembuatan peraturan

pelaksanaannya sangat dimungkinkan mengandung materi yang dianggap melanggar

asas kejujuran dan keadilan.

Selain itu, menurut UU ini, warga negara yang telah berumur 17 tahun atau sudah

kawin mempunyai hak untuk memilih, kecuali mereka. Perbedaan mencolok UU ini

6
dengan UU sebelumnya (UU No.7 Tahun 1953) adalah motif dari pengangkatan

tersebut. dalam UU No.15 Tahun 1969 ini, yang diangkat adalah mewakili visi politik

pemerintah atau untuk mendongkrak kekuatan pemerintah yang berkuasa dan berlaku

untuk sejumlah kursi yang ditetapkan (yakni 100 kursi), sedangkan menuruut UU No.7

Tahun 1953 yang diangkat mewakili golongan minoritas dan baru akan dilakukan bila

hasil pemilu tidak memberikan jumlah kursi minimal bagi golongan minoritas. Asas-

asas yang dipakai dalam UU No.15 Tahun 1969 ini adalah asas langsung, umum, bebas

dan rahasia.

3.2. Dinamika Politik Pemilu Tahun 1999

Pada awal era Reformasi, Penyelenggaraan Pemilu Tahun 1999 dimulai ketika

Presiden Soeharto mengundurkan diri dari masa jabatannya kemudian digantikan oleh

BJ Habiebie. Kemudian atas desakan publik, pemilu yang baru dipercepat untuk segera

dilaksanakan. Pada akhirnya, pemilu dilaksanakam pada tanggal 7 Juni 1999. Satu hal

yang sangat menonjol yang membedakan Pemilu 1999 dengan Pemilu-pemilu

sebelumnya sejak 1971 adalah bahwa pada Pemilu 1999 diikuti oleh banyak peserta.

Hal ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. UU

No.3 Tahun 1999 yang merupakan sumber hukum utama pemilu 1999 dikatakan oleh

sebagian besar sebagai Undang-undang Pemilu yang lebih responsif dibandingkan

Undang-undang Pemilu sebelumnya pada masa Orde Baru. Bahkan bisa dikatakan

Undang-undang ini merupakan langkah awal bangsa Indonesia menuju demokratisasi,

karena pemilu merupakan salah satu agenda awal yang diusulkan pada reformasi

setelah digulingkannya rezim Orde Baru.

7
Pemilu 1999 ini dapat dikatakan sebagai pemilu yang ditunggu-tunggu oleh

masyarakat, pemilu yang sebenarnya maka tidak mengherankan jika partisipasi pada

pemilu anggota DPR mencapai 92 %. Sedangkan untuk presiden dan wakil presiden

masih dipilih oleh MPR. Dalam UU No.3 Tahun 1999 ini banyak diatur hal-hal baru

yang tidak diatur pada UU sebelumnya, yang menunjukkan mulai berjalannya

demokrasi di Indonesia secara bertahap serta menunjukkan ke-responsif-an UU ini.

Diantaranya yaitu diatur mengenai hadirnya Pemantau Pemilu Independen dalam

pelaksanaan Pemilu sebagaimana yang diatur dalam Pasal 24 Undang-undang ini.

Dimana lembaga pemantau pemilu ini bertugas untuk memantau jalannya pemilu yang

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sebagaimana asas yang dianut oleh UU

Pemilu ini.

Undang-Undang ini menganut sistem proporsional terbuka. Selain itu, berbeda dari

pemilu rezim Orde Baru dimana penyelenggara pemilu adalah Lembaga Pemilihan

Umum yang dibentuk oleh presiden dan organisasi dibawahnya meliputi Panitia

Pemilihan Indonesia (PPI), Panitian Pemilihan Daerah (PPD), Panitia Pemilihan Suara

(PPS) dan Panitia Pengawas Pusat (PPP) yang kesemuanya diketuai (serta merangkap

anggota) oleh pemimpin pada setiap wilayah, yakni Mendagri, Gubernur,

Bupati/Walikota, Camat dan Lurah/Kepala Desa, pada pemilu 1999 ini penyelenggara

pemilu adalah KPU yang keanggotaanya terdiri dari satu orang wakil dari masing-

masing Partai Politik peserta Pemilu dan 5 orang wakil pemerintah (Pasal 9 ayat (1)).

KPU ini membawahi PPI yang juga beranggotakan wakil-wakil dari partai politik dan

pemerintah. (Pasal 12 ayat (2)).

8
Sehingga dapat dikatakan UU ini membuka akses keterlibatan partai politik dalam

pemilu yang pada rezim sebelumnya sangat dibatasi

3.3. Dinamika Pemilihan Umum Tahun 2004

Dasar Hukum pada pemilu tahun 2004 adalah Undang-Undang RI No. 12

tahun 2003 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Undang - Undang RI

No.22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,

DPR, DPD dan DPRD dan Undang - Undang RI No. 23 tahun 2003 tentang pemilu

Presiden dan Wakil Presiden.

1. Undang – Undang RI No.12 tahun 2003

Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan umum sebagaimana

telah diubah dengan Undang – Undang Nomor. 4 tahun 2000 tentang perubahan atas

Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang pemilihan umum, Sudah tidak sesuai

dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat, karena itu perlu diganti.

Partai politik yang dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat sebagai

berikut:

a. diakui keberadaanya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002

tengtang Partai Politik;

b. memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari

seluruh jumlah provinsi;

c. Memiliki pengurus lengkap sekurang-kurangnya di 2/3 (dua pertiga) dari

jumlah Kabupaten / kota di provinsi.

d. Memiliki anggota sekurang-kurangnya 100 9seribu) orang atau sekurang-

kurangnya 1/1000 (seperseribu) dari jumlah penduduk pada setiap

9
kepengurusan partai politik yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai

politik.

e. Pengurus Partai politik harus mempunyai kantor tetap dan kemudian

mengajukan nama dan tanda gambar partai politik kepada KPU.

Untuk dapat mengikuti pemilu Partai Politik harus memperoleh sekurang-

kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi DPR, memperoleh sekurang-kurangnya

4% (empat persen)jumlah kursi DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya

setengah jumlah Provinsi seluruh Indonesia atau memperoleh sekurang-kurangnya

4% (empat persen) jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di setengah

jumlah Kabupaten/Kota seluruh Indonesia. Beberapa ketentuan dalam Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah dinilai tidak memberi landasan yang Luwes bagi kelancaran

penyelenggaraan pemilihan umum. Untuk menjaga kelancaran penyelenggaraan

pemilihan umum dan sesuai dengan permintaan Ketua Komisi Pemilihan Umum

dalam surat Nomor 591/15/III/2004 tanggal 30 Maret 2004 kepada Presiden serta

mempertimbangkan hasil pertemuan konsultasi tanggal 30 Maret 2004 dan tanggal

2 April 2004 antara Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Pemilihan

Umum, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang –

Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 12

Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Berdasarkan

pertimbangan tersebut perlu menetapkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang

10
– Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12

Tahun 2003 tentang pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah menjadi Undang –

Undang.

2. Undang - Undang RI No.22 tahun 2003

Dalam Undang - Undang RI No.22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan

Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan bahwa Pimpinan MPR

terdiri atas seorang ketua dan tiga orang wakil ketua yang mencerminkan unsur DPR

dan DPD yang dipilih dari dan oleh Anggota MPR dalam Sidang Paripurna MPR.

Selama pimpinan MPR belum terbentuk, MPR dipimpin oleh pimpinan Sementara

MPR. Pimpinan Sementara MPR tersebut yaitu ketua DPR sebagai Ketua Sementara

MPR dan Ketua DPD sebagai Wakil Ketua Sementara MPR. Dalam hal ketua DPR

dan/atau ketua DPD berhalangan kedudukanya digantikan oleh salah satu Wakil ketua

DPR dan/atau wakil ketua DPD. Ketua dan Wakil Ketua MPR diresmikan dengan

keputusan MPR. Tatacara pemilihan Pimpinan MPR diatur dalam peraturan Tata Tertib

MPR. Susunan Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas anggota partai politik peserta

pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Anggota DPR

berjumlah 550 (Lima ratus lima puluh) orang, keanggotaan DPR diresmikan dengan

Keputusan Presiden dan Anggota DPR berdomisili di ibukota negara Republik

Indonesia. Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang

dipilih melalui pemilihan umum dan anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan

sebanyak empat orang. Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah

11
anggota DPR. Keanggotaan DPD diresmikan dengan Keputusan Presiden dan anggota

tersebut bedomisili didaerah pemilihanya dan selama bersidang bertempat tinggal di

ibukota negara Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat daerah Provinsi terdiri

atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil

pemilihan umum. Anggota DPRD provinsi berjumlah sekurang-kurangnya 35 orang

dan sebanyak-banyaknya seratus orang. Keanggotaan DPRD Provinsi diresmikan

dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dan anggota DPRD

Provinsi berdomisili di ibukota provinsi yang bersangkutan.

Berdasarkan pertimbangan penyempurnaan undang-undang pemilu sebelumnya

yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 1999 tentang susunan dan Kedudukan Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah maka dibentuklah undang – undang nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian undang – undang inilah yang menjadi salah satu

dasar sebagai penyelenggaraan pemilu tahun 2004.

3. Undang – Undang Nomor 23 Tahun 2003

Dalam undang – undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum Presiden

dan Wakil Presiden diatur mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden

secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik bagi bangsa Indonesia

menuju kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab. Komisi

Pemilihan Umum (KPU) beserta perangkatnya sebagai penyelenggara pemilihan

anggota DPR, DPD dan DPRD adalah juga penyelenggara pemilu Presiden dan Wakil

12
Presiden yang masa kerjanya disesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini.

Ketentuan tentang KPU beserta perangkatnya sebagaimana diatur dalam UU Nomor

12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD berlaku juga

dalam UU ini dan ketentuan yang belum diatur dalam UU nomor 12 tahun 2003

diberlakukan ketentuan dalam undang-undang nomor 23 tahun 2003 ini.

Dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum bukan hanya mengatur

tentang pemberian sanksi administrasi saja tetapi juga terdapatnya pengaturan tentang

pemberian sanksi pidana pada pelanggar uu pemilihan umum ini. Itu dapat terlihat dari

adanya ketentuan pidana yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan

umum. Dalam Perundangan–undangan pidana positif, sebagai satu bidang hukum yang

menggunakan sistem sanksi sebagai penguatnya, ialah sanski yang bersifat kepidanaan.

Sanksi ini akan menjadi tumpuan harapan, manakala sanksi-sanksi dalam bidang

hukum lainnya tidak mampu merubah bentuk-bentuk perilaku yang bersifat sosial

menjadi taat terhadap norma-norma hukum yang mengaturnya. Hukum pidana positif

di indonesia selama ini menganut dua jalur sistem ialah sistem pidana dan sistem

tindakan. Dengan sistem pidana dimaksudkan sebagai suatu sistem sanksi dimana

pihak yang melanggar norma-norma undang- undang pidana diancam dengan

seperangkat pidana yang bervariasi dari bentuk pidana pokok dan pidan tambahan.

Sedangkan sistem tindakan ialah suatu sistem perlindungan masyarakat terhadap

bentuk perbuatan yang dilakukan seseorang yang bersifat sosial dan pelakunya

memiliki sifat-sifat/kondisi khusus, yang tidak memungkinkan digunakannya sistem

sanski pidana.Dalam UU 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum juga memuat

tentang ketentuan pidana padahal UU ini bukanlah UU pidana melainkan UU

13
administratif tetapi mengatur juga mengenai ketentuan pidana. Pembatasan pidana

dalam UU No. 23 Tahun 2003 terdapat batasan sanksi pidana di dalamnya yaitu batasan

minimum dan maksimum. Terdapat pada pasal 89 : 1,3 ; Pasal 88:1, Jenis sanksi yang

digunakan dalam UU No. 23 Tahun 2003 yaitu:

Double track yaitu sistem memutuskan penjatuhan sanksi pidana menggunakan lebih

dari satu sanksi pidana yang berupa sanksi pidana dan administratif.

Dalam UU No. 23 Tahun 2003 Penyebutan subjek ada yang bersifat umum yaitu

ketentuan pidana yang diundangkan di kenakan kepada masyarakat umum ataupun

kepada siapa saja, hal ini dikarenakan terdapat kata “Setiap Orang ( Pada Pasal 88 :1-

6, 89 : 1-3, 89 : 5-8, 90 : 1-8, 91:1-4). Pada umumnya kebanyakan penyebutan subjek

yang digunakan adalah bersifat umum tetapi terdapat pula penyebutan subjek yang

bersifat khusus yaitu terdapat dalam pasal 89 : (4) “Setiap pejabat negara, pejabat

struktural dan fungsional dalam jabatan negeri dan kepala desa

atau sebutan lain yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimak

sud dalam Pasal 40 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bul

an atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.600.00

0,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta

rupiah)”. Olehkarena adanya Penyebutan setiap pejabat negara, pejabat struktural dan

fungsional mengartikan telah ada subjek tertentu yang diatur dalam ketentuan pidana

UU No. 23 Tahun 2003.

Dalam UU No. 23 Tahun 2003 perbuatan pidana kebanyakan didasarkan oleh

“kesengajaan”. Itu dapat kita lihat adanya kata “dengan sengaja” dalam setiap pasalnya

yang tercantum. Tetapi terkhusus untuk Pasal 92 :

14
“Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau Pasan-

gan Calon, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang tersebut

dalam pasal yang bersangkutan”. Dalam pasal ini disebutkan bahwa adanya

pengecualian terhadap orang yang terkait langsung dalam pemilihan umum seperti

penyelenggara atau Pasangan Calon, karena menurut kelompok kami mereka

diaanggap telah mengetahui tentang peraturan dalam pemilu. Jadi penjatuhan sanksi

yang diberikan ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan oleh karena dianggap dapat

menguntungkan dan merugikan pihak tertentu.

Selain delik kesengajaan dalam UU No. 23 Tahun 2003 terdapat pula pengaturan

tentang delik kelalaian, yaitu pada pasal 93 ayat 3 “Setiap orang yang karena

kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah

disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau

paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus

ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”. Dalam pasal ini

terdapat delik kelalaian yang tetap dikenakan sanksi pidana terhadap kelalaian yang

menyebabkan kerusakan dan kehilangan hasil pemungutan suara.

Dalam hal mekanisme pemidanaan yang dilakukan kepada pelanggar ketentuan

dalam UU No. 23 Tahun 2003 dipersamakan dengan menggunakan mekanisme

pemidanaan yang ditentukan oleh KUHP. Terdapat dalam pasal 41 : 3. Tetapi

berdasarkan ketentuan bahwa terlebih dahulu dilakukan penjatuhan sanksi

administratif kepada pelaku pelanggar UU No. 23 Tahun 2003 ini dan yang

menentukan dan melakukan mekanisme sanksi administratif adalah Komisi Pemilihan

Umum (KPU). pada dasarnya ketentuan sanksi pidana ini merupakan alat terakhir

15
dalam melakukan pengaturan penjatuhan sanksi pada orang yang melanggar, karena

apabila tindakan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan cara pemberian sanksi

administratif. Sanksi administatif dapat berupa :

1. Pasal 41 ayat 2 : sanksi yang diberikan pada penyelenggara kampanye yang

melanggar ketentuan pidana dalam perundang-undangan.

a. diberikan peringatan tertulis;

b. penghentian kegiatam kampanye

2. Pasal 42 ayat 2 : Sanksi yang diberikan kepada pasangan calon yang melanggar

ketentuan tindak pidana dalam UU No. 23 Tahun 2003. Sanksi nya ialah sanksi

pembatalan sebagai pasangan calon.

Pada pemilihan Presiden tahun 2004, Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini

merupakan sejarah bagi ketatanegaraan Indonesia didalam memilih Presiden dan Wakil

Presiden, karena pemilihan langsung tersebut baru pertama kalinya dilaksanakan di

Indonesia. Sedangkan Undang-Undang nomor 23 Tahun 2003 menjadi salah satu dasar

hukum bagi pelaksanaan tata cara pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden pada

tahun 2004.

3.4. Dinamika Pemilihan Umum Tahun 2009

Pemilu 2009 dilaksanakan menurut UU No. 10 tahun 2008 tentang pemilu

anggota DPR, DPD, dan DPRD. Jumlah kursi DPR ditetapkan sebesar 560 dimana

daerah dapil anggota DPR adalah provinsi/bagian provinsi. Jumlah kursi ditiap dapil

yang diperebutkan meinimal tiga dan maksimal sepuluh kursi.

Pemilihan umum dimaksud diselenggarakan berlandaskan asas langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Melalui undang-undang

16
ini, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara

langsung tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,

kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial . Undang-Undang ini mengatur bahwa pemilih

memilih naggota DPR dan DPRD dari partai politik yang lolos verifikasi.

Di dalam Undang-Undang diatur beberapa perubahan pokok seperti penguatan

sistem peserta pemilu, kriteria penyusunan daerah pemilihan, sistem pemilu

proporsional dengan daftar calon terbuka terbatas, dan penetapan calon terpilih serta

penyelesaian sengketa pemilu. Perubahan tersebut diadakan untuk menguatkan

lembaga perwakilan rakyat, mewujudkan sistem multipartai yang sederhana yang

kemudian diharapkan dapat menguatkan sistem pemerintahan presidensiil.

Pelasanaan pemilu tahun 2009 dilakukan dalam 2 tahap, yaitu :

Tahap I : Pemilu legislatif (DPR) yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009.

Tahap II : Pemilu legislatif (Presiden dan Wakil Presiden) yang dilaksanakan pada

tanggal 8 Juli 2009.

Peserta partai politik dalam Pemilu tahun 2009 ini berjumlah 38 partai. Sistem

pemilu yang di anut UU No.10 tahun 2008 untuk pemilu anggota DPR dan DPRD

provinsi dan kabupaten/kota adalah sistem proposional terbuka sedangkan untuk

memilih anggota DPD dengan system distrik berwakil banyak. Hal tersebut di

dasarkan pada pasal 5 ayat (1) & (2) UU No. 10 tahun 2008 yang berbunyi sebagai

berikut :

(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota

dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka.

17
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil

banyak.

Sistem proposional terbuka yaang dianut dalam periode Pemilu ini pada

dasarnya merupakan kombinasi antara system proposional dan suara terbanyak,

artinya dalam menentukan calon yang berhak duduk di lembaga perwakilan rakyat

tidak hanya di dasarkan pada nomer urut akan tetapi perolehan suara calon juga diukur

berdasarkan angka BPP, maka calon tersebut berhak duduk di lembaga perwakilan

rakyat walaupun nomer urutnya diurutan terbawah (nomer sepatu). Seorang calon

untuk memperoleh dukungan suara sesuai dengan BPP kemungkinannya sangat

keciluntuk itu maka biasanya UU menentukan dengan prosentase, misalnya 30% dari

BPP.

Pasal 214 UU No.10 th 2008: Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD

Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada

perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan

ketentuan:

a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan

berdasarkan calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh

perseratus) dari BPP;

b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan jumlahnya lebih banyak daripada

jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan

kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi

ketentuan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP;

18
c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan dengan

perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon

yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan

sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang

memperoleh suara 100% (seratus perseratus) dari BPP;

d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan jumlahnya kurang dari jumlah kursi

yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi

diberikan kepada calon berdasarkan nomor urut;

e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga

puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarka nomor urut;

Sistem distrik yang dianut dalam periode Pemilu ini didasarkan pada kesatuan

geografis dan setiap kesatuan geografis hanya akan muncul satu pemenang. Untuk itu,

dalam melaksanakan system ini wilayah Negara akan dibagi-bagi dalam beberapa

wilayah kesatuan geografis/distrik, sedangkan jumlah distrik disesuaikan

degan jumlah kursi parlemen yang akan diisi. Penentuan pemenang/calon terpilih

dalam system distrik menggunakan kaidah mayoritas, yaitu bahwa calon yang

mendapatkan suara terbanyak ditentukan sebagai pemenang.

Pasal 202 UU No.10 tahun 2008:

(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara

sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah

secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.

19
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan

perolehan kursi DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Sedangkan untuk

penggunaan hak pilih menurut UU no. 10 tahun 2008 menggunakan adult suffrage

system yaitu suatu system yang tidak membedakan hak pilih wanita ataupun laki-

laki dalam pemilu. Hal ini didasarkan pada pasal 19 ayat (1) UU No. 10 tahun

2008 yang berbunyi: “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara

telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin

mempunyai hak memilih “ Hak pilih yang digunakan menurut UU no. 10 tahun

2008 adalah hak pilih langsung artinya rakyat langsung menentukan wakil-

wakilnya yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Hal ini didasarkan pada pasal

2 dan pasal 3 UU No. 10 tahun 2008 yang berbunyi :

Pasal 2

“Pemilu dilaksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung,

umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”

Pasal 3

“Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan

DPRD kabupaten/kota”.

3.5. Pemilihan Umum Tahun 2014

Landasan Hukum pada Pemlihan Umum di Tahun 2014 ini berdasarkan :

1. Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden

20
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan

Umum

3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilu, Anggota DPR, DPD, dan

DPRD.

Berdasarkan landasan hukum tersebut, Pemilihan Umum 2014 dilaksanakan

pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu 2014

akan memakai e-voting dengan harapan menerapkan sebuah sistem baru dalam

pemilihan umum. Keutamaan dari penggunaan sistem e-voting adalah Kartu Tanda

Penduduk Elektronik (e-KTP) yang sudah mulai dipersiapkan sejak tahun 2012 secara

nasional. Dan pada tanggal 20 Oktober 2014 akan dilaksanakan pelantikan presiden

baru yakni pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang telah memenangkan pemilu

presiden 2014 Sebanyak 15 partai politik telah dinyatakan lolos verifikasi dan berhak

mengikuti Pemilihan Umum 2014. Sebanyak duabelas partai politik adalah peserta

pemilu nasional dan tiga lainnya adalah partai politik lokal di Daerah Istimewa Aceh

Nanggroe Darussalam.

Di bawah ini adalah daftar partai politik peserta Pemilihan Umum 2014:

1. Partai Nasional Demokrat (Partai Nasdem)

2. Partai Kebangkitan Bangsa (PKB)

3. Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

4. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P)

5. Partai Golongan Karya (Partai Golkar)

6. Partai Gerakan Indonesia Raya (Partai Gerindra)

7. Partai Demokrat

21
8. Partai Amanat Nasional (PAN)

9. Partai Persatuan Pembangunan (PPP)

10. Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura)

11. Partai Bulan Bintang (PBB)

12. Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI)

13. Anggota Koalisi Merah Putih terdiri atas Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN,

PKS, PPP, Demokrat,dan PBB yang nonparlemen.

14. Anggota Koalisi Indonesia Hebat terdiri atas Partai PKB,PDI-P, Partai Hanura,

Partai Nasdem, dan PKPI.

Mengkaji dari beberapa aturan yang menjadi landasan Pemilu 2014 ini, adanya

beberapa perubahan yang terjadi dengan pemilu sebelumnya, jumlah partisipan

menurun drastis pada Pemilu 2014, yakni hanya 12 parpol. Dari 12 parpol tersebut, 10

Parpol lolos ke DPR karena memenuhi syarat minimal 3,5 persen dari perolehan suara

nasional. Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Sementara untuk Pemilu 2019 nanti, parliamentary threshold sudah ditetapkan sebesar

4 persen. Kontestasi akan diikuti 14 partai politik nasional dan 4 parpol lokal Aceh.

Tahapan pemilu 2014 ini juga berbeda, karena pilpres dan pileg akan dilakukan secara

terpisah, berdasarkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Begitu pula dalam

Presidential Treshold yang terjadi dalam Pemilihan Umum Tahun 2014, berupa 20%

jumlah kursi di DPR / 25% dari perolehan suara sah Nasional.

22
3.6. Pemilihan Umum Tahun 2017

Pemilihan Umum Tahun 2019 yang akan dicatat sebagai sejarah baru dalam

perjalanan Demokrasi Indonesia karena penyatuan dan keserentakan, sehingga

Undang-Undang mengenai Pemilu yang kali pertama mengatur soal Pemilihan

Legislatif, Pemilihan Presiden, dan Penyelenggara Pemilu dalam satu Undang-Undang

(Kodifikasi Undang-Undang Pemilu). Dari aspek konstitusi ini merupakan langkah

baik dalam memantapkan regulasi Pemilu agar tidak tumpang tindih serta menciptakan

konsistensi dan harmonisasi. Ahli hukum tata negara yang juga sebagai Hakim

Mahkamah Konstitusi, Saldi Isra bahwa “Kodifikasi Undang-Undang Pemilu

dilakukan untuk mewujudkan aturan yang terususun secara logis, serasi dan pasti”.

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang baru saja disahkan oleh

Presiden yang dihasilkan dari pembahasan bersama DPR dan Pemerintah berisi 537

Pasal dan terbagi dalam 6 buku. Seiring dengan perkembangan pembahasan baik di

tingkat Panja dan Timus/Timsin, jumlah pasalnya menjadi bertambah, yaitu 573 pasal

dan daftar isian masalah (DIM) fraksi yang totalnya berjumlah 3.053 masalah. Banyak

hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ini yang

dihasilkan dari beberapa isu krusial yang dibahas Pansus RUU Pemilu. Beberapa isu

krusial di dalam Rancangan Undang-Undang ini mendapat perhatian dan disepakati

untuk dijadikan Norma.

Secara substansi Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 mengalami

perubahan yang cukup signifikan bila dibandingkan undang-undang sebelumnya.

Dalam waktu pembahasan lebih dari 8 bulan, Pansus dan Pemerintah menyepakati

sejumlah hal yang membawa konsekuensi pada pengaturan teknis oleh KPU dan

23
Bawaslu. Misalnya, Pansus sepakat memperkuat kelembagaan penyelenggaraan

pemilu dengan formula menambah jumlah Anggota KPU dan Bawaslu di daerah sesuai

dengan karakteristik daerah. Sebelum muncul wacana untuk juga menambah jumlah

Penyelenggara Pemilu di tingkat pusat, namun hal itu tidak terwujud.Agaknya beban

kerja karena keserentakan Penyelenggara Pemilu Legislatif dan Presiden juga Pilkada

Serentak seluruh Indonesia di daerah menjadi alasan yang mendorong Pansus sepakat

menambah jumlah penyelenggara Pemilu di tingkat daerah. Dalam Undang-Undang

Pemilu yang baru, anggota KPU dan Bawaslu Provinsi berkisar 5-7 orang, sementara

di Kabupaten/Kota 3-5 orang.Pansus juga memperkuat pengawas pemilu dengan

membuat Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di Kabupaten/Kota menjadi tetap

dengan masa kerja 5 tahun. Selama ini Panwaslu di daerah merupakan lembaga ad-hoc

yang dibentuk pada setiap Pemilu dan dibubarkan setelah Pemilu selesai. Secara

kelembagaan, Pansus menyepakati bahwa Pengawas Pemilu di tingkat Pusat hingga

tingkat Kabupaten/Kota bersifat permanen, sehinggga bernama Bawaslu, Bawaslu

Provinsi dan Bawaslu Kabupaten/Kota.

Hal ini agar setara dengan Penyelenggara Pemilu yakni KPU yang juga

permanen baik di tingkat pusat hingga tingkat kabupaten/kota.Begitu pula kanggotaan

KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi berjumlah 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang. KPU

Kabupaten/Kota berjumlah 3 (tiga) atau 5 (lima) orang. Penetapan jumlah anggota

KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi serta KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu KPU

Kabupaten/Kota didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah

wilayah administrasi pemerintahan. Undang-undang yang baru juga mengatur saksi

peserta Pemilu dilatih oleh Bawaslu. Ini merupakan tugas baru yang dibebankan pada

24
Bawaslu, sehingga Bawaslu bukan hanya fokus pada pengawasan tahapan dan

penegakan hukum, tetapi diperluas untuk melayani kepentingan peserta pemilu dalam

pengawasan proses Pemilu. Pelatihan saksi partai politik yang dilatih oleh bawaslu

dibiayai oleh APBN.

Dalam pemilu-pemilu sebelumnya, desain pengawasan proses Pemilu

khususnya pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara juga menjadi hak peserta

Pemilu. Tetapi bukan keharusan dalam arti undang-undang membuka kehadiran saksi

peserta Pemilu dalam memantau tahapan yang proses suara menjadi kursi sesuai

kemampuan tiap peserta Pemilu. Dengan diundangkannya pelatihan saksi peserta

Pemilu oleh Bawaslu, konsekuensinya tentu saja cukup luas bagi Bawaslu dalam

membagi fokus tugas. Hal baru lainnya dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun

2017 adalah penambahan kursi DPR, dari 560 menjadi 575 kursi. Tambahan 15 kursi

baru ini diperuntukkan bagi daerah-daerah yang mengalami disproporsionalitas. Untuk

Dapil DPR, Pansus menyepakati adanya alokasi tambahan 15 kursi bagi beberapa

Provinsi yaitu Sumatera Utara (1 kursi), Riau (2 kursi), Kepulauan Riau (1

kursi), Lampung (2 kursi), NTB (1 kursi), Kalimantan Barat (2 kursi), Kalimantan

Utara (3 kursi), Sulawesi Tengah (1 kursi), Sulawesi Tenggara (1 kursi), Sulawesi Barat

(1 kursi). Alokasi penambahan kursi untuk Dapil DPR ini menggunakan formula yakni

jumlah penduduk yang harga kursinya di atas 500.00 (lima ratus ribu) pemilih. Untuk

Dapil DPRD Provinsi tidak berubah kecuali Dapil Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa

Timur yang masing-masing ditambah 20 kursi dengan pertimbangan jumlah penduduk

di atas 20.000.000 (dua puluh juta) pemilih. Sedangkan Dapil DPRD Kabupaten/Kota

akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU.Mengenai persyaratan verifikasi partai

25
politik menjadi peserta Pemilu, Pansus bersepakat bahwa syarat-syarat tidak

mengalami perubahan dan ditambahkan ayat (3) yang berbunyi “Partai Politik yang

telah lulus verifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu”.

Undang-Undang Pemilu yang baru juga mengatur bahwa dalam hal terjadi perselisihan

kepengurusan partai politik, kepengurusan partai politik tingkat pusat yang menjadi

peserta pemilu dan dapat mendaftarkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden,

Calon Anggota DPR, Calon Danggota DPRD Provinsi dan Calon Anggota DPRD

Kabupaten/Kota merupakan kepengurusan partai politik tingkat pusat yang sudah

memperoleh putusan Mahkamah Partai atau nama lain dan di daftarkan serta ditetapkan

dengan Keputusan Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang

hukum dan hak asasi manusia.

Terkait kemungkinan munculnya pasangan calon tunggal presiden dan wakil

presiden, Undang-Undang Pemilu ini mengantisipasi dengan memberikan

perpanjangan waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Namun, jika

sampai pada perpanjangan waktu tetap tidak terpenuhi, maka Pemilu tetap dilanjutkan

dengan 1 (satu) pasangan calon.Perlu atau tidaknya kepala daerah yang dicalonkan

partai politik/gabungan partai politik sebagai calon presiden dan wakil presiden dengan

batas waktu paling lama 30 hari. Jika tidak terpenuhi, maka izin tidak

diperlukan.Mengenai kampanye yang dibiayai APBN dalam Undang-Undang Pemilu

tersebut menekankan bahwa biaya pemasangan alat peraga di tempat umum, iklan

media massa cetak, media massa elektronik, internet, dan debat pasangan calon tentang

materi kampanye pasangan calon difasilitasi KPU serta dapat didanai APBN.Terkait

rekapitulasi perhitungan suara dalam Undang-Undang Pemilu yang baru, Rekapitulasi

26
di tingkat desa atau kelurahan dihilangkan sehingga rekapitulasi dimulai di tingkat

kecamatan (PPK). Karena selama ini rekap penghitungan suara membutuhkan waktu

yang panjang.Sedangkan penanganan masalah sengketa perkara pemilu di Mahkamah

Konstitusi dalam Undang-Undang Pemilu yang baru mengatur bahwa penanganan

sengketa Pemilu di MK tidak dibatasi persentase selisih suaranya seperti halnya diatur

dalam Undang-Undang Pilkada.Yang tak kalah pentingnya, Undang-Undang Pemilu

juga mengatur afirmasi terhadap penyandang disabilitas. Ini terkait akses bagi kaum

penyandang disabilitas dalam Pemilu, sebagai pemegang hak pilih, haknya dalam

proses kandidasi dan haknya untuk mencalonkan diri sebagai penyelenggara Pemilu.

3.7. Kepastian hukum terhadap Perubahan Aturan dalam pemilihan umum di

Era Reformasi

Merujuk pada Aturan Pemilihan Umum yang di Indonesia pada Era Reformasi,

dimulai dari Pemiihan Umum tahun 1999, 2004, 2009, 2014 hingga tahun 2017, dan

menjelang Pemilihan Umum tahun 2019 yang akan datang, mencerminkan aturan yang

berubah-ubah di setiap periodenya, mencerminkan suatu pembentukan hukum yang

belum berbasis pada demokrasi dan perubahan aturan yang lebih didasari pada

kepentingan lain. Hal ini dapat dirangkum, antara lain pada Tabel Perbandingan Aturan

Pemilu, berikut ini :

27
Seperti halnya Masalah “ambang batas” dalam setiap Pemilu seringkali

berubah-ubah hanya karena alasan politis. Belum lagi pengesahannya seringkali

dilakukan di menit-menit terakhir yang akan mengganggu Komisi Pemilihan Umum

(KPU) dalam mempersiapkan segala hal terkait Pemilu. Perdebatan soal Presidential

Threshold berjalan sangat alot bahkan masih digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Komisi Pemilihan Umum pada akhirnya terpaksa membuat dua draft Peraturan

KPU untuk mengantisipasi putusan Mahkamah Konstitusi yang dikhawatirkan

memakan waktu yang lama. Kedepannya proses perdebatan panjang yang memakan

waktu sangat lama dan sarat urusan politik semata harus dihentikan. DPR dan

Pemerintah perlu menyepakati suatu aturan yang dapat dijadikan sebagai acuan

penyelenggaraan pemilu yang berkepanjangan. Tujuannya, untuk mendorong

28
konsistensi aturan. Diharapkan penyelenggaraan pemilu nantinya dapat memadukan

kesatuan pelaksanaan hukum dalam kaitannya dengan semua pemilu. Sehingga jangan

sampai tiap kali pemilu, peraturan selalu diubah-ubah. Pada tahun 2004, International

Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA) menerbitkan

standar-standar internasional pemilihan umum yang telah dihimpun dari berbagai

peraturan di dunia. Dalam laporannya itu dikatakan bahwa negara dalam membuat

peraturan hukum terkait Pemilu harus menjamin setiap partai politik dan kandidat

menikmati hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan berkumpul dan

memiliki akses terhadap para pemilih dan semua pihak yang terkait (stakeholder)

dalam proses pemilihan memiliki peluang keberhasilan yang sama.

Segala peraturan yang terkait dengan Pemilu – baik itu undang-undang,

peraturan pemerintah, hingga PKPU — seharusnya diundangkan cukup jauh dari

tanggal suatu pemilu untuk memberi peserta politik dan pemilih waktu yang cukup

untuk mengenal peraturannya dan beradaptasi dengan proses pemilu. Selain itu pula,

peraturan yang sudah ditetapkan jauh-jauh hari dapat membuka partisipasi publik untuk

menilai serta memungkinkan adanya judicial review yang dapat diselesaikan tepat

waktu dan efisien. Peraturan yang diberlakukan pada menit-menit pada praktiknya

cenderung menggerogoti legitimasi dan kredibilitas hukum dan mencegah peserta

politik dan pemilih untuk mendapatkan informasi tepat waktu tentang aturan terkait

proses pemilu.

Padahal kontestasi Pemilu membutuhkan waktu yang cukup supaya semua

partai dan kandidat dapat menyampaikan program-program mereka – termasuk jalan

keluar yang mereka tawarkan atas setiap permasalah politik yang ada – secara bebas

29
kepada pemilih. Kesempatan membuka partisipasi publik dalam pembentukan suatu

peraturan pemilu sangatlah penting. Sebab setiap peraturan yang diciptakan tentu

melibatkan suatu proses politik. Pada praktiknya yang terjadi adalah suatu subsistem

politik dianggap lebih powerfull dibandingkan dengan subsistem hukum itu sendiri,

maka produk hukum yang dihasilkan tidak lebih dari kristalisasi tawar-menawar antar

elit politik yang mengabaikan kebutuhan masyarakat itu sendiri, seperti UU Pemilu

saat ini.

3.8. Dampak dari perubahan Undang-Undang dalam Pemilihan Umum di Era

Reformasi, untuk mewujudkan ius constituendum di Indonesia

Ketidaksinambungan antara Inkosistensi dengan Dinamika didalam Aturan

yang menjadi landasan hukum dalam Pemilihan Umum di Era Reformasi,

menyebabkan dampak dari sebuah kontestasi politik utnuk mewujudkan Aturan yang

ideal. Merujuk kepada pendapat Sudiman Kartohadiprodjo Ius Constituendum adalah

hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan negara, tetapi belum merupakan

kaidah dalam bentuk undang-undang atau berbagai ketentuan lain.

Dalam setiap perubahan konstitusi terdapat paradigma perubahan yang harus

dipatuhi oleh pembuat perubahan. Paradigma perubahan itu menjadi “politik hukum”

perubahan konstitusi atau dalam hal ini suatu Aturan dalam Pemilihan Umum.

Kesulitan perubahan yang diinginkan masyarakat politik tidak senantiasa sama dengan

substansi perubahan yang dikehendaki oleh anggota lembaga yang memiliki

kewenangan melakukan perubahan konstitusi. Politik hukum Perubahan Aturan dalam

Pemilihan Umum, dinilai kurang responsif, karena disebabkan dua hal, antara lain :

30
a. Panitia Pemilihan Umum yang tidak melakukan beberapa kegiatan untuk

menampung aspirasi masyarakat berbagai lapisan dan pendapat pakar

melalui tim ahli BP MPR yang mempunyai otoritas keilmuan di bidang

perubahan konstitusi.

b. Masyarakat tidak memperoleh kesempatan dialog lebih luas untuk

menanggapi kembali rancangan perubahan yang telah dihasilkan, selain itu

hasil kesepakatan panitia ad-hoc menggambarkan adanya pertarungan

kepentingan, seperti halnya Pertarungan Kepentingan Partai Politik yang

ada, sehingga tidak tercapai rumusan tunggal, sebagai Induk dari suatu

Peraturan tersebut, yang idealnya bukan hanya tercipta dari kaum elite

politik, namun idealnya juga berasal dari Perkembangan Masyarakat.

Dampak Dinamika Aturan dalam Pemilihan Umum, yang terjadi pada era reformasi

ini, dianggap suatu cita-cita (konstelasi Ius Constituendum) dalam Pembentukan

Hukum terkait Pemilihan Umum, tersebut tanpa disadari mempengaruhi suatu

perwujudan demokrasi yang menajdi non-substansial, yang idealisnya berdasarkan

Demokrasi Pancasila. Sehingga terciptanya suatu Ius Constituendum dalam suatu

Aturan Pemilihan Umum dapat mengakomodir setiap perubahan aturan yang ada,

dimana pada praktiknya setiap Pemilihan Umum yang terjadi pada era reformasi ini

selalu dilakukan perubahan-perubahan aturan yang mengatur, sampai terjadinya suatu

kodifikasi Undang-Undang dalam Pemilihan Umum Tahun 2017 menjadi satu Induk

Peraturan yang mengatur Pemilihan Umum serentak Tahun 2019. Adanya kodifikasi

sejumlah aturan pemilu didalam suatu Undang-Undang Pemilu ini diharapkan menjadi

31
sebuah aturan final untuk menciptakan suatu kepastian hukum sekaligus dalam

mewujudkan suatu aturan yang baku untuk Pemilihan Umum dimasa yang akan datang.

IV. Kesimpulan

1. Perwujudan suatu Kepastian hukum terhadap Dinamika Aturan dalam Pemilihan

umum di Era Reformasi adalah Menciptakan suatu konsistensi Aturan Pemilihan

Umum yang dapat memadukan Kesatuan pelaksanaan hukum dalam kaitannya

dengan semua Pemilihan Umum, tidak terbatas pada Pemilihan Kepala Daerah,

Legislatif maupun Presiden dan Wakil Presiden.

2. Dampak dari Dinamika Aturan dalam Pemilihan Umum di Era Reformasi, untuk

mewujudkan ius constituendum di Indonesia, disesuaikan antara lain :

a. Panitia Pemilihan Umum yang tidak melakukan beberapa kegiatan untuk

menampung aspirasi masyarakat berbagai lapisan dan pendapat pakar

melalui tim ahli BP MPR yang mempunyai otoritas keilmuan di bidang

perubahan konstitusi.

b. Masyarakat tidak memperoleh kesempatan dialog lebih luas untuk

menanggapi kembali rancangan perubahan yang telah dihasilkan, selain itu

hasil kesepakatan panitia ad-hoc menggambarkan adanya pertarungan

kepentingan, seperti halnya Pertarungan Kepentingan Partai Politik yang

ada, sehingga tidak tercapai rumusan tunggal, sebagai Induk dari suatu

Peraturan tersebut, yang idealnya bukan hanya tercipta dari kaum elite

politik, namun idealnya juga berasal dari Perkembangan Masyarakat.

32
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Atmoredjo, Sudjito. 2018. Ideologi Hukum Indonesia Kajian tentang Pancasila dalam
Perspektif Ilmu Hukum dan Dasar Negara Indonesia. Yogyakarta: Lingkar Media
Yogyakarta
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Haris, Syamsuddin., dkk. 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru Sebuah Bunga
Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI
Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan UGM

Undang-Undang
Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante
dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 29)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota
Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2914)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4272)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4311)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 51)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 75 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109)

Internet
Churohman, Mifta. 2012. Politik Pemilu pada Masa Orde Baru (Konfigurasi Pemilu
Perspektif Politik Hukum di Orde Baru) Diakses pada 19 September 2018 dari
http://cjsmansumsel.blogdetik.com/2012/08/13/politik-pemilu-pada-masa-orde-
baru-konfigurasi-pemilu-perspektif-politik-hukum-di-orde-baru/

Anda mungkin juga menyukai