Nama Mahasiswa :
Clarissa Nadya Arina/clarissanadyaarina@mail.ugm.ac.id/081212008100
18/433161/PHK/10234
Pasca berakhirnya rezim Orde Baru, konfigurasi politik Indonesia memasuki fase
baru, salah satunya adalah amandemen terhadap UUD 1945.Perubahan atas beberapa
pasal produk hukum tertinggi di Indonesia, sangat berperan terhadap Perubahan sistem
dalam Pemilihan Umum di Indonesia pada masa Reformasi. Pemilihan umum pada Era
Reformasi ini telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat
umum adalah suatu hal yang penting dalam kehidupan kenegaraan. Pemilu adalah
dari "Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia". Asal "Luber" sudah ada sejak zaman
langsung dan tidak boleh diwakilkan. Umum berarti pemilihan umum dapat diikuti
seluruh warga negara yang sudah memiliki hak menggunakan suara. Bebas berarti
pemilih diharuskan memberikan suaranya tanpa ada paksaan dari pihak manapun,
kemudian Rahasia berarti suara yang diberikan oleh pemilih bersifat rahasia hanya
diketahui oleh Pemilih itu sendiri.. Kemudian di era reformasi berkembang pula asas
"Jurdil" yang merupakan singkatan dari "Jujur dan Adil". Asas jujur mengandung arti
bahwa pemilihan umum harus dilaksanakan sesuai dengan aturan untuk memastikan
bahwa setiap warga negara yang memiliki hak dapat memilih sesuai dengan
kehendaknya dan setiap suara pemilih memiliki nilai yang sama untuk menentukan
wakil rakyat yang akan terpilih. Asas adil adalah perlakuan yang sama terhadap peserta
2
pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta
atau pemilih tertentu. Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun
landasan hukum dalam Pemilihan Umum pada Era Reformasi. Dimulai Pada pemilu
tahun 1999, ada tuntutan besar mengubah Undang-Undang (UU) Pemilu pada tahun
Undang yang ada saat itu tidak memungkinkan demokrasi berjalan baik. Maka pemilu
1999 memerlukan pembentukan desain UU yang baru. Pemilu berikutnya tahun 2004,
Indonesia, akan tetapi belum ada pemilu langsung, dan sejak 2004 baru ada DPD. Jadi
Kemudian pada pemilu selanjutnya tahun 2009, UU pemilu kembali diubah oleh
DPR. Sehingga tidak lagi menggunakan UU yang dipakai pada Pemilu 2004, pada
perubahan di Pemilu 2004, tidak ada perubahan konteks yang mendasar, namun yang
menonjol adalah trial and error atas desain UU pemilu sebelumnya. Sejak Pemilu
2004, yang menyisakan beberapa persoalan yang dipandang perlu diperbaiki pada
Pemilu 2009. Terakhir, menghadapi Pemilu 2014 DPR kembali mengubah UU. Bahkan
ada 2 UU yang semula akan diubah, yaitu UU Pemilu dan Pilpres. Namun kenyataanya
UU Pilpres gagal diubah, terutama karena debat angka Presidential Threshold (PT).
Pada perubahan UU untuk Pemilu 2014, salah satu hal yang berubah adalah syarat
keterwakilan perempuan sebesar 30% bagi seluruh partai politik, dan perubahan calon
3
terpilih, di pemilu sebelumnya calon terpilih dari Partai Politik yang dapat kursi
didasarkan nomor urut yang disusun Partai Politik. Memasuki Pemilu serentak pada
7 Tahun 2017, dimana Undang-Undang Pemilu ini merupakan satu kodifikasi aturan
tentang Pemilu,
menurut Komisioner KPU, Sigit Pamungkas, hal tersebut justru menunjukkan kadar
demokrasi lebih bagus dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Jadi perubahan setiap
Aturan tersebut, karena ada Politik makro yang lebih luas dan keinginan memperbaiki
kualitas Pemilihan Umum. Namun dalam aktivitas Dinamika tersebut, tanpa disadari
Dari pemaparan di atas, terlihat jelas adanya permasalahan politik hukum yang
terhadapnya perlu pengkajian secara dalam khususnya dari aspek politik hukum dalam
4
II. Rumusan Masalah
III. Pembahasan
tahun 1955. Pada tahun 1953, pemerintah bersama DPR menyetujui UU tentang
Pemilihan Umum untuk anggota konstituante dan Dewan Perwakilan Rakyat, yaitu UU
untuk membuat aturan pelaksana, namun materi yang dapat diatur dalam aturan
menempatkan seluruh warga negara yang berumur minimal 18 tahun atau sudah kawin
golongan, termasuk anggota ABRI juga memiliki hak pilih yang sama dengan warga
negara biasa. Sedangkan untuk yang dapat mencalonkan diri atau dipilih dapat
memilih atau membuat saluran aspirasi sendiri. Sistem pemilu yang digunakan adalah
5
sistem proporsional (perwakilan berimbang) dengan stelsel daftar dan sisa suara
terbanyak, dengan menerapkan asas umum, periodik, berkesamaan, bebas, rahasia dan
langsung.
UU No.7 Tahun 1953 ini mengatur pengorganisasian Pemilu dengan sangat fair,
peranan penting dalam pemilu. Dalam UU ini juga dikenal sistem pengangkatan untuk
anggota konstituante maupun DPR. Tetapi pengangkatan ini semakin memperkuat ke-
jaminan adanya wakil sejumlah minimal kursi bagi golongan minoritas Cina, Eropa
Kemudian, dasar hukum mengenai pemilu pada masa ini dituangkan kembali dalam
UU No.15 Tahun 1969 tentang Pemilu. UU Pemilu pada masa ini dapat
Tahun 1969 ini hanya memuat 37 Pasal, jauh lebih sedikit jika dibandingkan UU
Pemilu sebelumnya yakni UU No.7 Tahun 1953 yang memuat 139 Pasal. Sehingga UU
ini memberikan kemungkinan yang besar bagi pemerintah atau eksekutif untuk
muatan dalam UU ini juga bersifat sangat umum, maka dalam pembuatan peraturan
Selain itu, menurut UU ini, warga negara yang telah berumur 17 tahun atau sudah
kawin mempunyai hak untuk memilih, kecuali mereka. Perbedaan mencolok UU ini
6
dengan UU sebelumnya (UU No.7 Tahun 1953) adalah motif dari pengangkatan
tersebut. dalam UU No.15 Tahun 1969 ini, yang diangkat adalah mewakili visi politik
pemerintah atau untuk mendongkrak kekuatan pemerintah yang berkuasa dan berlaku
untuk sejumlah kursi yang ditetapkan (yakni 100 kursi), sedangkan menuruut UU No.7
Tahun 1953 yang diangkat mewakili golongan minoritas dan baru akan dilakukan bila
hasil pemilu tidak memberikan jumlah kursi minimal bagi golongan minoritas. Asas-
asas yang dipakai dalam UU No.15 Tahun 1969 ini adalah asas langsung, umum, bebas
dan rahasia.
Pada awal era Reformasi, Penyelenggaraan Pemilu Tahun 1999 dimulai ketika
Presiden Soeharto mengundurkan diri dari masa jabatannya kemudian digantikan oleh
BJ Habiebie. Kemudian atas desakan publik, pemilu yang baru dipercepat untuk segera
dilaksanakan. Pada akhirnya, pemilu dilaksanakam pada tanggal 7 Juni 1999. Satu hal
sebelumnya sejak 1971 adalah bahwa pada Pemilu 1999 diikuti oleh banyak peserta.
Hal ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik. UU
No.3 Tahun 1999 yang merupakan sumber hukum utama pemilu 1999 dikatakan oleh
Undang-undang Pemilu sebelumnya pada masa Orde Baru. Bahkan bisa dikatakan
karena pemilu merupakan salah satu agenda awal yang diusulkan pada reformasi
7
Pemilu 1999 ini dapat dikatakan sebagai pemilu yang ditunggu-tunggu oleh
masyarakat, pemilu yang sebenarnya maka tidak mengherankan jika partisipasi pada
pemilu anggota DPR mencapai 92 %. Sedangkan untuk presiden dan wakil presiden
masih dipilih oleh MPR. Dalam UU No.3 Tahun 1999 ini banyak diatur hal-hal baru
Dimana lembaga pemantau pemilu ini bertugas untuk memantau jalannya pemilu yang
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, sebagaimana asas yang dianut oleh UU
Pemilu ini.
Undang-Undang ini menganut sistem proporsional terbuka. Selain itu, berbeda dari
pemilu rezim Orde Baru dimana penyelenggara pemilu adalah Lembaga Pemilihan
Umum yang dibentuk oleh presiden dan organisasi dibawahnya meliputi Panitia
Pemilihan Indonesia (PPI), Panitian Pemilihan Daerah (PPD), Panitia Pemilihan Suara
(PPS) dan Panitia Pengawas Pusat (PPP) yang kesemuanya diketuai (serta merangkap
Bupati/Walikota, Camat dan Lurah/Kepala Desa, pada pemilu 1999 ini penyelenggara
pemilu adalah KPU yang keanggotaanya terdiri dari satu orang wakil dari masing-
masing Partai Politik peserta Pemilu dan 5 orang wakil pemerintah (Pasal 9 ayat (1)).
KPU ini membawahi PPI yang juga beranggotakan wakil-wakil dari partai politik dan
8
Sehingga dapat dikatakan UU ini membuka akses keterlibatan partai politik dalam
tahun 2003 tentang pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD. Undang - Undang RI
No.22 tahun 2003 tentang susunan dan kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat,
DPR, DPD dan DPRD dan Undang - Undang RI No. 23 tahun 2003 tentang pemilu
telah diubah dengan Undang – Undang Nomor. 4 tahun 2000 tentang perubahan atas
Undang – Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang pemilihan umum, Sudah tidak sesuai
dengan tuntutan dan perkembangan dinamika masyarakat, karena itu perlu diganti.
Partai politik yang dapat menjadi peserta Pemilu apabila memenuhi syarat sebagai
berikut:
9
kepengurusan partai politik yang dibuktikan dengan kartu tanda anggota partai
politik.
pemilihan umum dan sesuai dengan permintaan Ketua Komisi Pemilihan Umum
dalam surat Nomor 591/15/III/2004 tanggal 30 Maret 2004 kepada Presiden serta
2 April 2004 antara Pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat dan Komisi Pemilihan
Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang – Undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
10
– Undang Nomor 2 tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 12
Tahun 2003 tentang pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Undang.
Dalam Undang - Undang RI No.22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan bahwa Pimpinan MPR
terdiri atas seorang ketua dan tiga orang wakil ketua yang mencerminkan unsur DPR
dan DPD yang dipilih dari dan oleh Anggota MPR dalam Sidang Paripurna MPR.
Selama pimpinan MPR belum terbentuk, MPR dipimpin oleh pimpinan Sementara
MPR. Pimpinan Sementara MPR tersebut yaitu ketua DPR sebagai Ketua Sementara
MPR dan Ketua DPD sebagai Wakil Ketua Sementara MPR. Dalam hal ketua DPR
dan/atau ketua DPD berhalangan kedudukanya digantikan oleh salah satu Wakil ketua
DPR dan/atau wakil ketua DPD. Ketua dan Wakil Ketua MPR diresmikan dengan
keputusan MPR. Tatacara pemilihan Pimpinan MPR diatur dalam peraturan Tata Tertib
MPR. Susunan Dewan Perwakilan Rakyat terdiri atas anggota partai politik peserta
pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil pemilihan umum. Anggota DPR
berjumlah 550 (Lima ratus lima puluh) orang, keanggotaan DPR diresmikan dengan
Indonesia. Dewan Perwakilan Daerah terdiri atas wakil-wakil daerah provinsi yang
dipilih melalui pemilihan umum dan anggota DPD dari setiap provinsi ditetapkan
sebanyak empat orang. Jumlah seluruh anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah
11
anggota DPR. Keanggotaan DPD diresmikan dengan Keputusan Presiden dan anggota
ibukota negara Republik Indonesia. Dewan Perwakilan Rakyat daerah Provinsi terdiri
atas anggota partai politik peserta pemilihan umum yang dipilih berdasarkan hasil
dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden dan anggota DPRD
yaitu Undang-Undang Nomor 4 tahun 1999 tentang susunan dan Kedudukan Majelis
Daerah maka dibentuklah undang – undang nomor 22 tahun 2003 tentang susunan dan
Perwakilan Rakyat Daerah. Kemudian undang – undang inilah yang menjadi salah satu
Dalam undang – undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden diatur mengenai pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden
secara langsung oleh rakyat merupakan suatu proses politik bagi bangsa Indonesia
menuju kehidupan politik yang lebih demokratis dan bertanggung jawab. Komisi
anggota DPR, DPD dan DPRD adalah juga penyelenggara pemilu Presiden dan Wakil
12
Presiden yang masa kerjanya disesuaikan dengan ketentuan undang-undang ini.
12 tahun 2003 tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD dan DPRD berlaku juga
dalam UU ini dan ketentuan yang belum diatur dalam UU nomor 12 tahun 2003
Dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan umum bukan hanya mengatur
tentang pemberian sanksi administrasi saja tetapi juga terdapatnya pengaturan tentang
pemberian sanksi pidana pada pelanggar uu pemilihan umum ini. Itu dapat terlihat dari
adanya ketentuan pidana yang diatur dalam UU No. 23 Tahun 2003 tentang pemilihan
umum. Dalam Perundangan–undangan pidana positif, sebagai satu bidang hukum yang
menggunakan sistem sanksi sebagai penguatnya, ialah sanski yang bersifat kepidanaan.
Sanksi ini akan menjadi tumpuan harapan, manakala sanksi-sanksi dalam bidang
hukum lainnya tidak mampu merubah bentuk-bentuk perilaku yang bersifat sosial
menjadi taat terhadap norma-norma hukum yang mengaturnya. Hukum pidana positif
di indonesia selama ini menganut dua jalur sistem ialah sistem pidana dan sistem
tindakan. Dengan sistem pidana dimaksudkan sebagai suatu sistem sanksi dimana
seperangkat pidana yang bervariasi dari bentuk pidana pokok dan pidan tambahan.
bentuk perbuatan yang dilakukan seseorang yang bersifat sosial dan pelakunya
13
administratif tetapi mengatur juga mengenai ketentuan pidana. Pembatasan pidana
dalam UU No. 23 Tahun 2003 terdapat batasan sanksi pidana di dalamnya yaitu batasan
minimum dan maksimum. Terdapat pada pasal 89 : 1,3 ; Pasal 88:1, Jenis sanksi yang
Double track yaitu sistem memutuskan penjatuhan sanksi pidana menggunakan lebih
dari satu sanksi pidana yang berupa sanksi pidana dan administratif.
Dalam UU No. 23 Tahun 2003 Penyebutan subjek ada yang bersifat umum yaitu
kepada siapa saja, hal ini dikarenakan terdapat kata “Setiap Orang ( Pada Pasal 88 :1-
yang digunakan adalah bersifat umum tetapi terdapat pula penyebutan subjek yang
bersifat khusus yaitu terdapat dalam pasal 89 : (4) “Setiap pejabat negara, pejabat
atau sebutan lain yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimak
sud dalam Pasal 40 diancam dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bul
an atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp.600.00
0,00 (enam ratus ribu rupiah) atau paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta
rupiah)”. Olehkarena adanya Penyebutan setiap pejabat negara, pejabat struktural dan
fungsional mengartikan telah ada subjek tertentu yang diatur dalam ketentuan pidana
“kesengajaan”. Itu dapat kita lihat adanya kata “dengan sengaja” dalam setiap pasalnya
14
“Jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja oleh penyelenggara atau Pasan-
gan Calon, ancaman pidananya ditambah 1/3 (satu pertiga) dari pidana yang tersebut
dalam pasal yang bersangkutan”. Dalam pasal ini disebutkan bahwa adanya
pengecualian terhadap orang yang terkait langsung dalam pemilihan umum seperti
diaanggap telah mengetahui tentang peraturan dalam pemilu. Jadi penjatuhan sanksi
yang diberikan ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan oleh karena dianggap dapat
Selain delik kesengajaan dalam UU No. 23 Tahun 2003 terdapat pula pengaturan
tentang delik kelalaian, yaitu pada pasal 93 ayat 3 “Setiap orang yang karena
kelalaiannya menyebabkan rusak atau hilangnya hasil pemungutan suara yang sudah
disegel, diancam dengan pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari atau
paling lama 2 (dua) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus
ribu rupiah) atau paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”. Dalam pasal ini
terdapat delik kelalaian yang tetap dikenakan sanksi pidana terhadap kelalaian yang
administratif kepada pelaku pelanggar UU No. 23 Tahun 2003 ini dan yang
Umum (KPU). pada dasarnya ketentuan sanksi pidana ini merupakan alat terakhir
15
dalam melakukan pengaturan penjatuhan sanksi pada orang yang melanggar, karena
apabila tindakan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan cara pemberian sanksi
2. Pasal 42 ayat 2 : Sanksi yang diberikan kepada pasangan calon yang melanggar
ketentuan tindak pidana dalam UU No. 23 Tahun 2003. Sanksi nya ialah sanksi
Pada pemilihan Presiden tahun 2004, Presiden dipilih langsung oleh rakyat. Ini
merupakan sejarah bagi ketatanegaraan Indonesia didalam memilih Presiden dan Wakil
Indonesia. Sedangkan Undang-Undang nomor 23 Tahun 2003 menjadi salah satu dasar
hukum bagi pelaksanaan tata cara pemilihan langsung Presiden dan Wakil Presiden pada
tahun 2004.
anggota DPR, DPD, dan DPRD. Jumlah kursi DPR ditetapkan sebesar 560 dimana
daerah dapil anggota DPR adalah provinsi/bagian provinsi. Jumlah kursi ditiap dapil
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Melalui undang-undang
16
ini, rakyat sebagai pemilih mempunyai hak untuk memberikan suaranya secara
langsung tanpa diskriminasi berdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,
kedaerahan, pekerjaan, dan status sosial . Undang-Undang ini mengatur bahwa pemilih
memilih naggota DPR dan DPRD dari partai politik yang lolos verifikasi.
proporsional dengan daftar calon terbuka terbatas, dan penetapan calon terpilih serta
Tahap I : Pemilu legislatif (DPR) yang dilaksanakan pada tanggal 9 April 2009.
Tahap II : Pemilu legislatif (Presiden dan Wakil Presiden) yang dilaksanakan pada
Peserta partai politik dalam Pemilu tahun 2009 ini berjumlah 38 partai. Sistem
pemilu yang di anut UU No.10 tahun 2008 untuk pemilu anggota DPR dan DPRD
memilih anggota DPD dengan system distrik berwakil banyak. Hal tersebut di
dasarkan pada pasal 5 ayat (1) & (2) UU No. 10 tahun 2008 yang berbunyi sebagai
berikut :
(1) Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota
17
(2) Pemilu untuk memilih anggota DPD dilaksanakan dengan sistem distrik berwakil
banyak.
Sistem proposional terbuka yaang dianut dalam periode Pemilu ini pada
artinya dalam menentukan calon yang berhak duduk di lembaga perwakilan rakyat
tidak hanya di dasarkan pada nomer urut akan tetapi perolehan suara calon juga diukur
berdasarkan angka BPP, maka calon tersebut berhak duduk di lembaga perwakilan
rakyat walaupun nomer urutnya diurutan terbawah (nomer sepatu). Seorang calon
keciluntuk itu maka biasanya UU menentukan dengan prosentase, misalnya 30% dari
BPP.
Pasal 214 UU No.10 th 2008: Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari Partai Politik Peserta Pemilu didasarkan pada
perolehan kursi Partai Politik Peserta Pemilu di suatu daerah pemilihan, dengan
ketentuan:
a. calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota ditetapkan
b. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan jumlahnya lebih banyak daripada
jumlah kursi yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi diberikan
kepada calon yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi
18
c. dalam hal terdapat dua calon atau lebih yang memenuhi ketentuan dengan
perolehan suara yang sama, maka penentuan calon terpilih diberikan kepada calon
yang memiliki nomor urut lebih kecil di antara calon yang memenuhi ketentuan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) dari BPP, kecuali bagi calon yang
d. dalam hal calon yang memenuhi ketentuan jumlahnya kurang dari jumlah kursi
yang diperoleh partai politik peserta pemilu, maka kursi yang belum terbagi
e. dalam hal tidak ada calon yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 30% (tiga
puluh perseratus) dari BPP, maka calon terpilih ditetapkan berdasarka nomor urut;
Sistem distrik yang dianut dalam periode Pemilu ini didasarkan pada kesatuan
geografis dan setiap kesatuan geografis hanya akan muncul satu pemenang. Untuk itu,
dalam melaksanakan system ini wilayah Negara akan dibagi-bagi dalam beberapa
degan jumlah kursi parlemen yang akan diisi. Penentuan pemenang/calon terpilih
dalam system distrik menggunakan kaidah mayoritas, yaitu bahwa calon yang
(1) Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
sekurang-kurangnya 2,5% (dua koma lima perseratus) dari jumlah suara sah
19
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam penentuan
penggunaan hak pilih menurut UU no. 10 tahun 2008 menggunakan adult suffrage
system yaitu suatu system yang tidak membedakan hak pilih wanita ataupun laki-
laki dalam pemilu. Hal ini didasarkan pada pasal 19 ayat (1) UU No. 10 tahun
2008 yang berbunyi: “Warga Negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara
telah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih atau sudah/pemah kawin
mempunyai hak memilih “ Hak pilih yang digunakan menurut UU no. 10 tahun
2008 adalah hak pilih langsung artinya rakyat langsung menentukan wakil-
wakilnya yang duduk di lembaga perwakilan rakyat. Hal ini didasarkan pada pasal
Pasal 2
Pasal 3
“Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan
DPRD kabupaten/kota”.
Presiden
20
2. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan
Umum
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang pemilu, Anggota DPR, DPD, dan
DPRD.
pada tanggal 9 Juli 2014 yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden. Pemilu 2014
akan memakai e-voting dengan harapan menerapkan sebuah sistem baru dalam
pemilihan umum. Keutamaan dari penggunaan sistem e-voting adalah Kartu Tanda
Penduduk Elektronik (e-KTP) yang sudah mulai dipersiapkan sejak tahun 2012 secara
nasional. Dan pada tanggal 20 Oktober 2014 akan dilaksanakan pelantikan presiden
baru yakni pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla yang telah memenangkan pemilu
presiden 2014 Sebanyak 15 partai politik telah dinyatakan lolos verifikasi dan berhak
mengikuti Pemilihan Umum 2014. Sebanyak duabelas partai politik adalah peserta
pemilu nasional dan tiga lainnya adalah partai politik lokal di Daerah Istimewa Aceh
Nanggroe Darussalam.
Di bawah ini adalah daftar partai politik peserta Pemilihan Umum 2014:
7. Partai Demokrat
21
8. Partai Amanat Nasional (PAN)
13. Anggota Koalisi Merah Putih terdiri atas Partai Golkar, Partai Gerindra, PAN,
14. Anggota Koalisi Indonesia Hebat terdiri atas Partai PKB,PDI-P, Partai Hanura,
Mengkaji dari beberapa aturan yang menjadi landasan Pemilu 2014 ini, adanya
menurun drastis pada Pemilu 2014, yakni hanya 12 parpol. Dari 12 parpol tersebut, 10
Parpol lolos ke DPR karena memenuhi syarat minimal 3,5 persen dari perolehan suara
nasional. Joko Widodo dan Jusuf Kalla terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Sementara untuk Pemilu 2019 nanti, parliamentary threshold sudah ditetapkan sebesar
4 persen. Kontestasi akan diikuti 14 partai politik nasional dan 4 parpol lokal Aceh.
Tahapan pemilu 2014 ini juga berbeda, karena pilpres dan pileg akan dilakukan secara
Presidential Treshold yang terjadi dalam Pemilihan Umum Tahun 2014, berupa 20%
22
3.6. Pemilihan Umum Tahun 2017
Pemilihan Umum Tahun 2019 yang akan dicatat sebagai sejarah baru dalam
baik dalam memantapkan regulasi Pemilu agar tidak tumpang tindih serta menciptakan
konsistensi dan harmonisasi. Ahli hukum tata negara yang juga sebagai Hakim
dilakukan untuk mewujudkan aturan yang terususun secara logis, serasi dan pasti”.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang baru saja disahkan oleh
Presiden yang dihasilkan dari pembahasan bersama DPR dan Pemerintah berisi 537
Pasal dan terbagi dalam 6 buku. Seiring dengan perkembangan pembahasan baik di
tingkat Panja dan Timus/Timsin, jumlah pasalnya menjadi bertambah, yaitu 573 pasal
dan daftar isian masalah (DIM) fraksi yang totalnya berjumlah 3.053 masalah. Banyak
hal baru yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 ini yang
dihasilkan dari beberapa isu krusial yang dibahas Pansus RUU Pemilu. Beberapa isu
Dalam waktu pembahasan lebih dari 8 bulan, Pansus dan Pemerintah menyepakati
sejumlah hal yang membawa konsekuensi pada pengaturan teknis oleh KPU dan
23
Bawaslu. Misalnya, Pansus sepakat memperkuat kelembagaan penyelenggaraan
pemilu dengan formula menambah jumlah Anggota KPU dan Bawaslu di daerah sesuai
dengan karakteristik daerah. Sebelum muncul wacana untuk juga menambah jumlah
Penyelenggara Pemilu di tingkat pusat, namun hal itu tidak terwujud.Agaknya beban
kerja karena keserentakan Penyelenggara Pemilu Legislatif dan Presiden juga Pilkada
Serentak seluruh Indonesia di daerah menjadi alasan yang mendorong Pansus sepakat
Pemilu yang baru, anggota KPU dan Bawaslu Provinsi berkisar 5-7 orang, sementara
dengan masa kerja 5 tahun. Selama ini Panwaslu di daerah merupakan lembaga ad-hoc
yang dibentuk pada setiap Pemilu dan dibubarkan setelah Pemilu selesai. Secara
Hal ini agar setara dengan Penyelenggara Pemilu yakni KPU yang juga
KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi berjumlah 5 (lima) atau 7 (tujuh) orang. KPU
KPU Provinsi dan Bawaslu Provinsi serta KPU Kabupaten/Kota dan Bawaslu KPU
Kabupaten/Kota didasarkan pada kriteria jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah
peserta Pemilu dilatih oleh Bawaslu. Ini merupakan tugas baru yang dibebankan pada
24
Bawaslu, sehingga Bawaslu bukan hanya fokus pada pengawasan tahapan dan
penegakan hukum, tetapi diperluas untuk melayani kepentingan peserta pemilu dalam
pengawasan proses Pemilu. Pelatihan saksi partai politik yang dilatih oleh bawaslu
khususnya pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara juga menjadi hak peserta
Pemilu. Tetapi bukan keharusan dalam arti undang-undang membuka kehadiran saksi
peserta Pemilu dalam memantau tahapan yang proses suara menjadi kursi sesuai
Pemilu oleh Bawaslu, konsekuensinya tentu saja cukup luas bagi Bawaslu dalam
membagi fokus tugas. Hal baru lainnya dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun
2017 adalah penambahan kursi DPR, dari 560 menjadi 575 kursi. Tambahan 15 kursi
Dapil DPR, Pansus menyepakati adanya alokasi tambahan 15 kursi bagi beberapa
Utara (3 kursi), Sulawesi Tengah (1 kursi), Sulawesi Tenggara (1 kursi), Sulawesi Barat
(1 kursi). Alokasi penambahan kursi untuk Dapil DPR ini menggunakan formula yakni
jumlah penduduk yang harga kursinya di atas 500.00 (lima ratus ribu) pemilih. Untuk
Dapil DPRD Provinsi tidak berubah kecuali Dapil Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
di atas 20.000.000 (dua puluh juta) pemilih. Sedangkan Dapil DPRD Kabupaten/Kota
akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan KPU.Mengenai persyaratan verifikasi partai
25
politik menjadi peserta Pemilu, Pansus bersepakat bahwa syarat-syarat tidak
mengalami perubahan dan ditambahkan ayat (3) yang berbunyi “Partai Politik yang
telah lulus verifikasi ulang dan ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu”.
Undang-Undang Pemilu yang baru juga mengatur bahwa dalam hal terjadi perselisihan
kepengurusan partai politik, kepengurusan partai politik tingkat pusat yang menjadi
peserta pemilu dan dapat mendaftarkan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden,
Calon Anggota DPR, Calon Danggota DPRD Provinsi dan Calon Anggota DPRD
memperoleh putusan Mahkamah Partai atau nama lain dan di daftarkan serta ditetapkan
perpanjangan waktu pendaftaran calon presiden dan wakil presiden. Namun, jika
sampai pada perpanjangan waktu tetap tidak terpenuhi, maka Pemilu tetap dilanjutkan
dengan 1 (satu) pasangan calon.Perlu atau tidaknya kepala daerah yang dicalonkan
partai politik/gabungan partai politik sebagai calon presiden dan wakil presiden dengan
batas waktu paling lama 30 hari. Jika tidak terpenuhi, maka izin tidak
tersebut menekankan bahwa biaya pemasangan alat peraga di tempat umum, iklan
media massa cetak, media massa elektronik, internet, dan debat pasangan calon tentang
materi kampanye pasangan calon difasilitasi KPU serta dapat didanai APBN.Terkait
26
di tingkat desa atau kelurahan dihilangkan sehingga rekapitulasi dimulai di tingkat
kecamatan (PPK). Karena selama ini rekap penghitungan suara membutuhkan waktu
sengketa Pemilu di MK tidak dibatasi persentase selisih suaranya seperti halnya diatur
juga mengatur afirmasi terhadap penyandang disabilitas. Ini terkait akses bagi kaum
penyandang disabilitas dalam Pemilu, sebagai pemegang hak pilih, haknya dalam
proses kandidasi dan haknya untuk mencalonkan diri sebagai penyelenggara Pemilu.
Era Reformasi
Merujuk pada Aturan Pemilihan Umum yang di Indonesia pada Era Reformasi,
dimulai dari Pemiihan Umum tahun 1999, 2004, 2009, 2014 hingga tahun 2017, dan
menjelang Pemilihan Umum tahun 2019 yang akan datang, mencerminkan aturan yang
belum berbasis pada demokrasi dan perubahan aturan yang lebih didasari pada
kepentingan lain. Hal ini dapat dirangkum, antara lain pada Tabel Perbandingan Aturan
27
Seperti halnya Masalah “ambang batas” dalam setiap Pemilu seringkali
(KPU) dalam mempersiapkan segala hal terkait Pemilu. Perdebatan soal Presidential
Threshold berjalan sangat alot bahkan masih digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Komisi Pemilihan Umum pada akhirnya terpaksa membuat dua draft Peraturan
memakan waktu yang lama. Kedepannya proses perdebatan panjang yang memakan
waktu sangat lama dan sarat urusan politik semata harus dihentikan. DPR dan
Pemerintah perlu menyepakati suatu aturan yang dapat dijadikan sebagai acuan
28
konsistensi aturan. Diharapkan penyelenggaraan pemilu nantinya dapat memadukan
kesatuan pelaksanaan hukum dalam kaitannya dengan semua pemilu. Sehingga jangan
sampai tiap kali pemilu, peraturan selalu diubah-ubah. Pada tahun 2004, International
peraturan di dunia. Dalam laporannya itu dikatakan bahwa negara dalam membuat
peraturan hukum terkait Pemilu harus menjamin setiap partai politik dan kandidat
menikmati hak atas kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan berkumpul dan
memiliki akses terhadap para pemilih dan semua pihak yang terkait (stakeholder)
tanggal suatu pemilu untuk memberi peserta politik dan pemilih waktu yang cukup
untuk mengenal peraturannya dan beradaptasi dengan proses pemilu. Selain itu pula,
peraturan yang sudah ditetapkan jauh-jauh hari dapat membuka partisipasi publik untuk
menilai serta memungkinkan adanya judicial review yang dapat diselesaikan tepat
waktu dan efisien. Peraturan yang diberlakukan pada menit-menit pada praktiknya
politik dan pemilih untuk mendapatkan informasi tepat waktu tentang aturan terkait
proses pemilu.
keluar yang mereka tawarkan atas setiap permasalah politik yang ada – secara bebas
29
kepada pemilih. Kesempatan membuka partisipasi publik dalam pembentukan suatu
peraturan pemilu sangatlah penting. Sebab setiap peraturan yang diciptakan tentu
melibatkan suatu proses politik. Pada praktiknya yang terjadi adalah suatu subsistem
politik dianggap lebih powerfull dibandingkan dengan subsistem hukum itu sendiri,
maka produk hukum yang dihasilkan tidak lebih dari kristalisasi tawar-menawar antar
elit politik yang mengabaikan kebutuhan masyarakat itu sendiri, seperti UU Pemilu
saat ini.
menyebabkan dampak dari sebuah kontestasi politik utnuk mewujudkan Aturan yang
hukum yang dicita-citakan oleh pergaulan hidup dan negara, tetapi belum merupakan
dipatuhi oleh pembuat perubahan. Paradigma perubahan itu menjadi “politik hukum”
perubahan konstitusi atau dalam hal ini suatu Aturan dalam Pemilihan Umum.
Kesulitan perubahan yang diinginkan masyarakat politik tidak senantiasa sama dengan
Pemilihan Umum, dinilai kurang responsif, karena disebabkan dua hal, antara lain :
30
a. Panitia Pemilihan Umum yang tidak melakukan beberapa kegiatan untuk
perubahan konstitusi.
ada, sehingga tidak tercapai rumusan tunggal, sebagai Induk dari suatu
Peraturan tersebut, yang idealnya bukan hanya tercipta dari kaum elite
Dampak Dinamika Aturan dalam Pemilihan Umum, yang terjadi pada era reformasi
Aturan Pemilihan Umum dapat mengakomodir setiap perubahan aturan yang ada,
dimana pada praktiknya setiap Pemilihan Umum yang terjadi pada era reformasi ini
kodifikasi Undang-Undang dalam Pemilihan Umum Tahun 2017 menjadi satu Induk
Peraturan yang mengatur Pemilihan Umum serentak Tahun 2019. Adanya kodifikasi
sejumlah aturan pemilu didalam suatu Undang-Undang Pemilu ini diharapkan menjadi
31
sebuah aturan final untuk menciptakan suatu kepastian hukum sekaligus dalam
mewujudkan suatu aturan yang baku untuk Pemilihan Umum dimasa yang akan datang.
IV. Kesimpulan
dengan semua Pemilihan Umum, tidak terbatas pada Pemilihan Kepala Daerah,
2. Dampak dari Dinamika Aturan dalam Pemilihan Umum di Era Reformasi, untuk
perubahan konstitusi.
ada, sehingga tidak tercapai rumusan tunggal, sebagai Induk dari suatu
Peraturan tersebut, yang idealnya bukan hanya tercipta dari kaum elite
32
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Atmoredjo, Sudjito. 2018. Ideologi Hukum Indonesia Kajian tentang Pancasila dalam
Perspektif Ilmu Hukum dan Dasar Negara Indonesia. Yogyakarta: Lingkar Media
Yogyakarta
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Haris, Syamsuddin., dkk. 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru Sebuah Bunga
Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI
Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan UGM
Undang-Undang
Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante
dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 29)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilihan Umum Anggota
Badan Permusyawaratan/Perwakilan Rakyat (Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 2914)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3810)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4272)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4311)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 10 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 51)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 42 tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4924)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan
Umum (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5246)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 8 tahun 2012 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5316)
Indonesia. Undang-Undang Nomor 75 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109)
Internet
Churohman, Mifta. 2012. Politik Pemilu pada Masa Orde Baru (Konfigurasi Pemilu
Perspektif Politik Hukum di Orde Baru) Diakses pada 19 September 2018 dari
http://cjsmansumsel.blogdetik.com/2012/08/13/politik-pemilu-pada-masa-orde-
baru-konfigurasi-pemilu-perspektif-politik-hukum-di-orde-baru/