Anda di halaman 1dari 10

TUGAS MAKALAH PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA

(TENTANG)
HAK TURUT SERTA DALAM PEMERINTAHAN

NAMA KELOMPOK :
1. ADITYA PRAKASA
2. FATHIAH MEYDIANA UTAMI
3. MOCHTAR RINO SIHAGI
4. SUHARYANTI ASTI OKTAVIA

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan saya kesempatan menyelesaikan makalah
ini dengan penuh kemudahan. Tanpa kehendak-NYA mungkin saya tidak dapat menyelesaikan
dengan baik. Makalah ini disusun agar kita semua dapat memahami seberapa besar dari makna
dari Hak Asasi Manusia yang akan saya tulis berdasarkan dari berbagai sumber. Makalah ini
saya susun tidak mudah seperti membalikkan telapak tangan banyak tantangan yang saya
temukan. Namun dengan usaha, kemauan, kerja keras dan atas kehendak_NYA saya dapat
menyelesaikan makalah ini.Makalah ini memuat tentang HAK ASASI MANUSIA

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada dosen dan semua pihak yang terkait yang telah
banyak membantu kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Semoga dengan
adanya makalah ini dapat memberikan banyak informasi, pengetahuan dan wawasan yang lebih
luas kepada kita semua, saya tahu bahwa makalah in mempunyai kelebihan dan kekurangan
maka dari itu saya mohon kritik dan saran yang membangun. Terimakasih.
Latar belakang

Hak asasi manusia adalah sebuah konsep yang secara sederhana diartikan sebagai hak yang
dimiliki orang seseorang karena seseorang tersebut adalah manusia. Kebebasan dasar dan hak-
hak dasar yang disebut sebagai hak asasi manusia (HAM) tersebut melekat pada manusia secara
kodrat sebagai anugerah tuhan yang maha esa, tanpa perbedaan diantara lainya. Dengan adanya
hak asasi tersebut, manusia dapat mengembangkan diri pribadi,peranan dan sumbanganya bagi
kesejahteraan hidup manusia .dan tidak ada kekuasaan di dunia yang dapat mencabutnya. Oleh
karena itu, negara ,pemerintah,organisasi apapun mengemban kewajiban untuk mengakui dan
melindungi hak asasi manusia pada setiap manusia tanpa terkecuali . ini berarti bahwa hak asai
manusia harus selalu menjadi titik tolak dan tujuan dalam penyelenggaraan kehidupan
bermasyarakat,berbangsa ,dadn bernegara.
Terdapat dua alat ukur untuk melihat perkembangan HAM yaitu:
1. Adanya kondisi objektif masyarakat yang terlindungi secara signifikan dari ancaman dan
tindakan-tindakan anti kemanusiaan.hal ini berarti bahwa dengan menggunakan alat ukur
ini kita dapat mengetahui apakah perubahan sektor hukum telah mempunyai dampak
positif terhadap mekanisme kontrol dari perilaku aparatur negara untuk menghindari
banyaknya pelanggaran HAM atau tidak.
2. Adanya masalah banyaknya semacam lingkaran setan kekebalan hukum (vicious circle of
impunity) yang dinikmati khususnya oleh beberapa komponen tertentu di indonesia yang
memiliki akses dan berlindung dibalik otoritas politik.
Undang undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dalam pasal 8
menyebutkan bahwa perlindungan,pemajuan,penegakan,dan pemenuha hak asasi manusia
terutama menjadi tanggung jawab  pemerintah.
Salah satu jenis hak yang diatur dalam undang-undang nomor 39 tahun 1999 adalah
tentang hak untuk turut serta dalam pemerintahan. Pelaksanaan konsisten dari hak ini adalah
perwujudan dari demokrasi karena demokrasi itu sendiri adalah memberikan kesemparan untuk:
 Partisipasi yang efektif
 Persamaan dalam memberikan suara
 Mendapatkan pemahaman yang jenih
 Melaksanakan pengawasan akhir terhadap agenda
 Pencakupan orang dewasa
Tiga unsur dalam pemerintahan dalam pasal 43 undang-undang nomor 39 tentang hak asasi
manusia,materi penegakan hak turut serta dalam pemerintahan dibagi kedalam tiga unsur . ketiga
unsur tersebut saling terkait dan mnjadi pedoman dalam pelaksanaan hak turut serta dalam
pemerintahan.

Ketiga unsur hak tersebut adalah:


1. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilu
Kebebasanuntuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melali
pemungutan suara yang langsung, umum,bebas, rahasia,jujur,adil sesuai dengan
ketentuan perundangundangan.
Unsur ini merupakan unsur pertama dalam hak untuk ikut serta dalam pemerintahan .dari
unsur ini dapat dilihat ahwa pemilu merupakan suatu lembahga yang amat penting dalam
pelaksanaan hak untuk ikut serta dalam pemerintahan . pemilu tersebut harus
mengutamakan dasar persamaan hak baik bagi warga negara, untuk dipilih dalam
pemerintahan ataupun memilih wakil rakyat dan atau pemerintahan melalui pemilu
tersebut. Unsur ini mellindungi warga negara yang telah cukup umur atau sudah
kawin,untuk secara bebas memilih wakil yang di inginkan untuk duduk di pemerintahan.
Di dalam undang-undang pemilu juga terdapat  pengaturan tentang siapa yang tidak dapat
memilih dan dipilih. Misal keentuan tidak diperbolehkannya seseorang yang dijatuhkan
hukuman berkekuatan hukum tetap oleh pengadilan minimal 5 tahun atau lebih untuk
dipilih,dan juga peraturan yang membatasi hak orang cacat , mereka bisa memilih
tetapitidak dapat dipilih.
2. Hak untuk turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau degan perantara wakil
yang dipilihnya.
Dalam unsur ini memiliki arti bahwa keterlibatan seluruh warga negara untuk bebas ikut
dalam kegiatan dan perbuatan pemerintahan merumuskan dan mengambil kebijakan
pemerintahan baik langsung maupun tidak langsun melalui wakil-wakilnya di lembaga
perwakilan.
3. Hak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan di pemerintahan
Tiap warga negara berhak untuk duduk dan diangkat dalam setiap jabatan mempunyai
arti bahwa untuk mengisi atau menduduki posisi atau jabatan aoaoun yang termasuk baik
dalam birokrasi negara/pemerintah atau pemerintahan dalam arti luas, setiap warga
negara memiliki hak yang sama dan dijamin tidak ada diskriminasi dalam bentuk
apapun,sesuai dengan peraturan dan kebijakan yang berlaku.
Upaya untuk penegakan pelaksanaan hak untuk turut serta dalam pemerintahan
Pemerintah telah membaentuk undang-undang politik yang mendukung penegakan dari
hak untuk ikut serta dalam pemerintahan yaitu:
1. UU No.2 Tahun 1999 tentang partai politik. Undang-undang ini memungkinkan rakyat
indonesiauntuk dapat membentuk partai politik sesuai dengan ketentuan yang berlaku
dalam undang-undang,dimana dalam ketentuan tersebut sebelumnya partai politik yang
diperbolehkan berada di indonesia hanya dua yaitu PPP dan PDIP, ditambah golkar yang
menyatakan dirinya bukan partai politik . lalu undang-undang ini tidak berlaku lagi dan
digantikan dengan undang-undang No.31 tahun 2002
2. UU No.3 Tahun 1999 tentang pemilu . undang-undang ini memungkinkan rakyat
indonesia memilih partai yang diyakininya, yang akan menempatkan wakil rakyat
sebagai mana pilihan mereka.
Selain itu keberadaan mahkamah konstitusi juga menjadi jalan keluar bagi warga negara
indonesia yang merasa bahwa hak konstitusunya dilanggar,untuk dimohonkan kepada mk untuk
dikembalikan kembali hak konstitusinya.

Lembaga lembaga yang terkait dengan penanganan hak turut serta dalam pemerintahan
1. DPR<DPD< dan Presiden sebagai lembaga-lembaga yang membentuk peraturan
perundang-undangan ,lembaga yang mewakili rakyat indonesia dan lembaga
pemerintahan
2. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang menerima dan mengadili permohonan yang
berhubungan dengan pelanggaran hak konstitutional seseorang
3. Komnas HAM, Sebagai lembaga yang mengawasi dan membantu para pihak yang hak
nya dilanggar
4. Lembaga dan aparat pemerintahan terkait,yang berhubungan dengan penegakan
pelaksanaan hak untuk turut serta dalam pemerintahan.

Pembahasan masalah tentang hak untuk turut serta dalam pemerintahanHak untuk ikut serta
dalam pemerintahan

KASUS
(Kiprah politik warga Tionghoa)

Pelacakan dan penelusuran terhadap peran politik Tionghoa di Indonesia merupakan usaha
menyingkap berbagai persolan dan wacana politik pinggiran terpinggirkan. Hal ini memberikan
gambaran bahwa orang-orang Tionghoa tidak seperti yang disangkakan khalayak bahwa
Tionghoa identik dengan ekonomi. Mengutip istilah Ong Hok Kham Tionghoa identik dengan
economic animal. Istilah ini akan terbantah jika potongan-potongan sejarah politik Tionghoa di
Indonesia yang terpendam dalam hiruk pikuk perjalanan sejarah negara tercinta ini dan bahkan
terdiskriminasi dalam tradisi historiografi ini di teliti, direkonstruksi, dan akhirnya dipahami
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam perjalanan politik bangsa Indonesia. Pengenalan
sejarah politik Tionghoa yang terpendam dan pembongkaran peran mereka dalam bidang politik
mampu menanggalkan identitas yang dilekatkan pada mereka, sehingga terbentuk pemahaman
baru tentang mereka.

Ketunggalan bidang yang dikaji oleh Mahfud, yaitu realitas sejarah politik Tionghoa di
Indonesia sebagai usaha menemukan kembali sejarah politik Tionghoa dan mengaitkan dengan
panggung sejarah nasional secara global. Hal itu merupakan usaha strategis dan berani. Ia
mengajak peminat dan pembaca sejarah menelusuri ratusan tahun peran politik Tionghoa di
Indonesia. Pada konteks ini argumentasi yang dibangun bahwa mendengar dan membahas
masalah Tionghoa dan politik di Indonesia penting dan perlu dilakukan untuk menyingkap
berbagai persolan dan “wacana politik pinggiran yang dipinggirkan” dalam diskursus dan realitas
wacana aksi sosial politik di Indonesia.

Akar Sejarah Politik Tionghoa Indonesia (zaman pergerakan) Sejarah peran politik Tionghoa di
tanah air cukup panjang, namun Mahfud membatasi dengan mencari akar sejarah politik
Tionghoa di Indonesia pada zaman pergerakan nasional Indonesia. Penentuan pilihan ini
berdasarkan argumentasi yang mengaitkan peran politik Tionghoa dengan dua tahapan
perjuangan bangsa Indonesia, yaitu tahap proto nasionalis (1908-1926), dan tahap nasionalisme
Indonesia sesungguhnya (1927-1942), yakni ketika konsep negara bangsa, lambang, bendera,
dan lagu kebangsaan mulai muncul. Pada tahap proto nasionalis, warga minoritas Tionghoa,
sudah mulai tersisih dari pergerakan. Ketersisihan ini ditandai dengan terbentuknya Tiong Hoa
Hwe Koan, organisasi pertama warga Tionghoa tahun 1900, atau delapan tahun lebih tua dari
Boedi Utomo yang berdiri 1908.

Pembentukan THHK menunjukkan bahwa Warga Tionghoa sejak tahun 1900 telah berusaha
keluar dari status Tionghoa lokal dan kembali menganggap diri mereka bagian dari warga
Tiongkok. Di dalam pergerakan Indonesia berbagai organisasi politik menolak warga Tionghoa
masuk dalam organisasi pergerakan. Contoh penolakan tersebut misalnya Indische Partij dan
Partai Komunis Indonesia memberlakukan keanggotaannya hanya untuk “orang Indonesia Asli”,
bahkan Syarikat Islam malah bernada anti-Tionghoa. Hal itu menunjukkan bahwa warga
Tionghoa pada saat itu belum diberi tempat yang layak dalam hal kebebasan berpolitik.
Kondisi berubah ketika memasuki tahap kedua, yaitu tahap nasionalisme sesungguhnya. Gerakan
Rakyat Indonesia (Gerindo) memberikan kesempatan bagi warga Tionghoa peranakan untuk
bergabung sebagai anggota. Ketua Gerindo Amir Syarifuddin mengatakan bahwa
kewarganegaraan seseorang tidak ditentukan oleh darah, warna kulit, atau bentuk muka akan
tetapi oleh tiga faktor, yaitu: tujuan, cita-cita, dan keinginan kuat. Hal ini menimbulkan pro-
kontra, terutama mengenai loyalitas warga Tionghoa kepada Indonesia.

Pada saat Konggres Pemuda 28 Oktober 1928 yang melahirkan Sumpah Pemuda, seluruh
perwakilan organisasi kepemudaan dari berbagai suku hadir dalam pengesahan sidang
kepemudaan Indonesia tersebut, namun tidak ada satu pun organisasi Tionghoa peranakan
kecuali seorang yang bernama Kwee Thiam Hong alias Daud Budiman, yang mewakili Jong
Sumatranen Bond. Realita ini menunjukkan bahwa pada zaman penjajahan, secara politis
umumnya pergerakan Indonesia menolak minoritas Tionghoa dalam organisasi-organisasi
politik, dan sekaligus menolak mereka untuk masuk dalam pencitraan bangsa Indonesia.
Persfektif yang terbangun pada saat itu ialah bahwa bangsa Indonesia adalah warga Indonesia
asli. Pandangan ini merupakan pemikiran kaum nasionalis Islam hingga nasionalis sekuler. Cara
pandang tersebut berimplikasi pada sistem keanggotaan partai atau organisasi pergerakan kala itu
serta sikap pribumi terhadap kaum minoritas Tionghoa.

Zaman Orde Lama dan Orde Baru Sikap dan cara pandang bangsa Indonesia terhadap etnis
Tionghoa berubah pada pascakemerdekaan. Hal ini berimplikasi pada sistem keanggotaan
organisasi politik bagi warga Tionghoa. Periode ini menunjukkan bahwa telah mulai ada titik
terang keikutsertaan warga Tionghoa peranakan dalam perpolitikan Indonesia. UUD 1945
menyebutkan secara eksplisit bahwa semua warga negara berkedudukan sama di depan hukum.
Bung Hatta pada September 1946 meyakinkan orang Tionghoa bahwa mereka mendapat
kedudukan dan hak yang sama dengan orang Indonesia asli. Kebijakan politik Indonesia dalam
menyikapi warga Tionghoa tidak lepas dengan kondisi RRC sebagai negeri asal penduduk
Tionghoa. Kondisi RRC ketika itu dinilai sebagai kekuatan komunis terbesar di dunia, sangat
diperhitungkan oleh Indonesia. Sebab lain adalah bahwa pemerintah pasca kemerdekaan sedang
gencar-gencarnya meminta dukungan dari beberapa negara untuk mengakui kedaulatan NKRI.
Negara yang semula mengakui kedaulatan RI adalah Mesir dan India. Pada saat itu peran politik
warga Tionghoa sempat terjebak pada kondisi instabilitas kedua negara, terutama kecurigaan
pemerintah RI akan kondisi dan status RRC sebagai negara komunis.

Mahfud selanjutnya mengatakan bahwa secara politis, peran individual warga Tionghoa memang
tidak begitu signifikan apalagi kalau dihadapkan pada kondisi pasang surut hubungan pemerintah
RI dengan RRC yang menyebabkan ruang politik warga Tionghoa masih terbatas pada organisasi
bentukan mereka sendiri yang sifatnya masih tradisional dan bercorak ekonomi. Kebijakan
pemerintah Soekarno dengan pembentukan poros Jakarta-Peking-Pyongyang itu pun tidak
berdampak signifikan pada kesempatan warga Tionghoa masuk dalam jajaran kabinet maupun
jabatan lainnya. Bahkan kebijakan pemerintah dalam UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden
Indonesia merupakan warga negara Indonsia asli. Artinya secara tidak langsung mengubur
harapan warga keturunan untuk bercita-cita tinggi, menjadi presiden.
Di era Orde Baru, nasib warga Tionghoa tidak menjadi lebih baik. Setelah Soekarno yang
antikolonialis dijatuhkan oleh kaum militer Indonesia yang pro-Barat, kemudian Soeharto
berkuasa selama 32 tahun (1966-1998), dan PKI disapu bersih dari percaturan kekuasaan politik
Indonesia. Politik Soeharto terhadap etnik Tionghoa mengandung dua dimensi: budaya dan
ekonomi. Dalam bidang budaya ia memperkenalkan politik asimilasi total dengan menghapuskan
tiga pilar budaya Tionghoa, yakni sekolah, organisasi, dan Media Tionghoa, dalam bidang
ekonomi penguasa baru ini memberikan kesempatan yang luas kepada etnik Tionghoa. Hal ini
berhubungan dengan strategi besarnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan
perkembangan Indonesia untuk memberikan legitimasi kekuasaannya. Menurut Mahfud Orde
Baru membuka lebar-lebar bagi modal asing di Indonesia serta menerapkan politik pro-bisnis.
Orang-orang Tionghoa di Indonesia sangat potensial untuk dimanfaatkan dalam bidang ekonomi,
namun secara politik mereka dicurigai bahkan didiskriminasi. Akibat yang tidak direncanakan
adalah meningkatnya kekuasaan ekonomi etnik Tionghoa, tetapi pada saat yang sama secara
politik mereka menjadi sangat rentan terhadap serangan. Keamanan mereka berada di tangan
pribumi. Mereka tersisih secara politik. Warga Tionghoa hanya secara individual yang
berkecimpung di dunia politik, selebihnya mereka apatis, bahkan muncul fobia politik.

Zaman Reformasi: Sebagai Tiket Politik Masa setelah Orde Baru terjadi bersamaan dengan
perubahan dunia internasional. Globalisasi dan demokratisasi berdampak terhadap Indonesia dan
banyak dunia lainnya. Citra tentang Tiongkok juga telah berubah. Negara itu tidak lagi
dipandang sebagai pengekspor “revolusi”, tetapi dipandang sebagai negara yang menghendaki
situasi status quo. Demokratisasi telah terjadi di Indonesia. Kemajuan fundamental terjadi secara
bertahap dalam bidang hukum dan status politik etnis Tionghoa. Kemajuan ini sebagai dampak
dari perubahan situasi Indonesia maupun internasional sebelumnya. Pemerintah baru menyadari
bahwa guna meningkatkan kondisi ekonomi Indonesia, partisipasi etnik Tionghoa sangat
menentukan. Pemerintah Indonesia pasca-Soeharto menerapkan berbagai tindakan yang
memberikan peluang bagi etnik Tionghoa.

Periode ini dikatakan Mahfud sebagai tiket politik bagi warga Tionghoa. Hal ini dikarenakan
terbitnya berbagai kebijak memberikan peluang bagi warga Tionghoa untuk mengekspresikan
minat politiknya dan memperjuangkan hak-haknya. Pada bagian ini Mahfud menarasikan dengan
apik, tidak sekedar kaya informasi, tetapi juga kronologis. Misalnya sebelum memaparkan
kegiatan politik warga Tionghoa pasca-Orde Baru, Mahfud mendahului dengan menunjukkan
kebijakan-kebijakan pemerintah zaman Reformasi yang digunakan sebagai payung hukum bagi
warga Tionghoa dalam berkiprah di dunia politik. Realitanya memang demikian. Zaman
reformasi disambut dengan euforia oleh warga Tionghoa di Indonesia. Berbagai organisasi
berlatar etnis baik yang bersifat politik maupun kelompok kepentingan bermunculan. Misalnya
Partai Reformasi Tionghoa Indonesia (PARTI), Partai Pembauran Indonesia (Parpindo), dan
Forum Masyarakat untuk Solidaritas Demokrasi Indonesia (Formasi). Ini bukti bahwa sejumlah
warga Tionghoa mulai menekuni dunia politik dengan menjadi anggota legislatif (caleg) dari
warga Tionghoa. Lima anggota DPR dan tujuh anggota MPR terpilih berasal dari warga
Tionghoa. Pada Pemilu 2004, jumlahnya meningkat. Tercatat lebih dari 200 calon legislatif
Tionghoa, namun hanya segelintir yang terpilih, tetapi sejumlah jabatan legislatif dan eksekutif
mulai diraih warga Tionghoa. Mahfud menyebut Alvien Lie, Kwik Kian Gie, Basuki Cahaya
Purnama, dan masih banyak anggota legislatif dari warga Tionghoa. Hal ini menunjukkan bahwa
kini partisipasi politik warga Tionghoa di era Reformasi jauh lebih baik. Depolitisasi warga
Tionghoa buatan rezim Soeharto sudah berakhir. Mereka berusaha keluar dari stigma sebagai
golongan netral dalam panggung politik. Kini dapat ditemui warga Tionghoa bergabung dengan
parpol mulai dari PDI-P, PAN, PKB, dan partai lainnya.
Sentuhan Lain yang Menyertai Bahasan Kiprah Politik Warga Tionghoa
Nuansa lain di luar aspirasi politik adalah tentang hukum kewarganegaraan yang berhasil dalam
UU Kewarganegaraan No.12 Tahun 2006, dan UU penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis
No.40 Tahun 2008; Aspirasi adanya Pahlawan Nasional dari warga Tionghoa sebagai bentuk
pengakuan dan kesetaraan etnis. Aspirasi ini telah direspons pada tanggal 10 November 2009
saat peringatan hari Pahlawan dengan menetapkan John Lie sebagai pahlawan Nasional pertama
warga Tionghoa. Aspirasi politik berupa politik identitas ke politik multikultural. Aspirasi ini
adalah bentuk perjuangan bersama masyarakat yang tidak lagi ingin mementingkan identitas,
tetapi perjuangan bersama dengan kelompok lain demi tegaknya motto Bhinneka Tunggal Ika di
negeri ini.
Menurut Mahfud, aspirasi politik tersebut dalam banyak hal sudah diperjuangan oleh politisi
warga Tionghoa, baik yang di parlemen maupun non parlemen. Para politisi Tionghoa di
parlemen terus mengaspirasikan beberapa kepentingan dan aspirasi warga negara Indonesia
Tionghoa. Sementara warga Tionghoa yang di luar parlemen, kebanyakan tergabung dalam
organisasi dan komunitas Tionghoa seperti Perhimpunan Inti, PSMTI, PITI, Yayasan Nabil, dan
komunitas online terus mengaspirasikan dan mengawal kepentingan warga Indonesia, khususnya
warga Tionghoa.
Penutup
Buku Mahfud mengurai realita kekinian tentang kiprah politik warga Tionghoa, tanpa melupakan
kiprah politik warga Tionghoa di masa lalu. Pembaca dibawa kepada pemahaman bahwa peran
politik warga Tionghoa bukan merupakan sesuatu hal yang tiba-tiba muncul namun merupakan
aktivitas yang kontinu. Peran itu mengalami pasang surut seirama dengan perkembangan politik
nasional. Ini dibuktikan dalam tulisan Mahfud. Dengan merajut untaian sejarah masa lalu etnis
Tionghoa, penulis menggiring pembaca agar tercipta pemahaman bahwa secara politik warga
Tionghoa sejak zaman dahulu merupakan bagian dari warga Indonesia, meski asal usul mereka
tidak ditemukan secara geografis di negeri ini. Pemberian ruang kepada warga Tionghoa dalam
historiografi Indonesia merupakan pengakuan bahwa mereka ada seperti warga lain dari negeri
ini, sehingga di masa yang akan datang integrasi tetap terbina. Itu harapan terselip penulis buku
ini.
DaftarPustaka
Coppel A, Charles. 1994. Tionghoa Indonesia dalam Krisis. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Setiono, Benny G. 2002. Tionghoa dalam Pusaran Politik. Jakarta: Elkasa.
Suryadinata, Leo. 1996. Political Thingking of The Indonesia Chinese, 1900-1995. Singapore:
SingaporeUniversityPress.
Tan, Mely G. 1979. Golongan Tionghoa di Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.

Anda mungkin juga menyukai