Anda di halaman 1dari 6

Ihda Husnayani.

30600120047

INTEGRITAS SISTEM PEMILU DI INDONESIA

Pemilihan umum adalah suatu lembaga yang berfungsi sebagai sarana penyampaian

hak-hak demokrasi rakyat. Eksistensi kelembagaan pemilihan umum sudah diakui oleh

negara-negara yang bersendikan asas kedaulatan rakyat. Inti persoalan pemilihan umum

bersumber pada dua masalah pokok yang selalu dipersoalkan dalam praktek kehidupan

ketatanegaraan, yaitu mengenai ajaran kedaulatan rakyat dan paham demokrasi, di mana

demokrasi sebagai perwujudan kedaulatan rakyat serta pemilihan umum merupakan cerminan

daripada demokrasi.

Kegiatan pemilihan umum generalelection juga merupakan salah satu sarana

penyaluran hak asasi warga negara yang sangat prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka

pelaksanaan hak-hak asasi warga negara adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin

ter laksananya penyelenggaraan pemilihan umum sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang

telah ditentukan. Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat di mana rakyatlah yang berdaulat,

maka semua aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri pun harus juga

dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah pelanggaran terhadap hak-hak

asasi apabila pemerintah tidak menjamin terselenggaranya pemilihan umum, mem perlambat

penyelenggaraan pemilihan umum tanpa per setujuan para wakil rakyat, ataupun tidak

melakukan apaapa sehingga pemilihan umum tidak terselenggara sebagaimana mestinya.

Jika dilihat dari masanya, pelaksanaan pemilu di Indonesia dibedakan menjadi tiga

masa, yaitu pemilu masa Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin/Orde Lama, pemilu

masa Orde Baru, dan pemilu masa Reformasi. Pelaksanaan pemilu pada tiap-tiap masa

tersebut mempunyai ciri yang berbeda karena dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan presiden
yang berbeda pula. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno terdapat dua masa yang

berbeda, masa Demokrasi Liberal dan masa Demokrasi Terpimpin,/ masa Orde Lama.

Pada masa Demokrasi Liberal ini dilaksanakan pemilu untuk pertama kalinya tahun

1955. Pemilu yang pertama ini dinilai sangat demokratis karena walaupun diikuti oleh

banyak partai (sistem multipartai) akan tetapi pelaksanaan pemilu ini tergolong lancar dan

tidak ada pelanggaran berarti. Sistem pemilu yang dipakai dalam pemilu 1955 ini adalah

sistem perwakilan berimbang (proportional representation) yang dikaitkan dengan sistem

daftar atau dapat disebut juga dengan sistem proporsional yang tidak murni. Pada pemilu ini

dihasilkan sebanyak 257 kursi untuk DPR dan 520 kursi untuk Konstituante.

Pelaksanaan pemilu pertama ini tidak bisa dilanjutkan pada kurun waktu lima tahun

berikutnya. Pemilu kedua yang seharusnya diselenggarakan pada tahun 1960 ternyata tidak

bisa dilaksanakan karena pada tahun 1959 Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit yang

menyatakan Konstituante dibubarkan karena dianggap tidak mampu untuk merumuskan

konstitusi negara. Demikian juga DPR hasil pemilu 1955 yang menyusul dibubarkan pada

tahun 1960 karena DPR tidak menyetujui rancangan APBN (anggaran pendapatan dan

belanja negara) yang diajukan oleh presiden. Untuk mengisi kekosongan DPR, maka presiden

membentuk DPR GR (gotong royong) yang anggotanya diangkat oleh presiden. Masa

semenjak tidak dilaksanakannya pemilu periode kedua ini juga disebut sebagai masa

Demokrasi Terpimpin atau dikenal juga dengan masa Orde Lama.

Akhirnya, pemilu kedua dilaksanakan pada tahun 1971. Setelah 1971, pemilu yang

periodik dan teratur mulai terlaksana. Pemilu ketiga diselenggarakan 6 (enam) tahun lebih

setelah pemilu 1971, yakni tahun 1977, setelah itu selalu terjadwal sekali dalam 5 (lima)

tahun. Dari segi jadwal sejak itulah pemilu teratur dilaksanakan. Pada pemilu kedua ini

Indonesia masih menggunakan sistem kepartaian multipartai namun terjadi pengurangan


partai menjadi sepuluh partai. Sistem pemilihan yang digunakan adalah sistem proporsional

tertutup. Pemilu yang dilaksanakan ini hanyalah untuk memilih anggota DPR dengan

perolehan kursi didominasi oleh Golkar.

Sistem pemilu telah mengalami beberapa perubahan di Indonesia, dimulai dengan

menggunakan sistem proposional tertutup (close list PR) sampai dengan sistem proposional

terbuka (open list PR). Di Indonesia perbedaan antara pemilu setelah perubahan UUD RI

1945 dengan Pemilu sebelum perubahan terletak pada varian Party List, dimana sebelum

terjadi perubahan masih menggunakan varian daftar tertutup (closed list), namun setelah

terjadinya perubahan menggunakan varian daftar terbuka (opened list).(Fahmi, 2011).

Fenomena yang terjadi pemilu dengan sistem proporsional terbuka sudah diterapkan sejak

pasca amandemen UUD 1945 dengan berbagai regulasi yang diterbitkan silih berganti di

mulai dari penerapan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum

sampai Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum serta saat ini sudah

terbit Perpu Nomor 1 tahun 2022 sebagai pengganti Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilihan Umum, walaupun perpu tersebut tidak membatalkan UU no 7 tahun 2017,

karena hanya beberapa pasal yang di perbaharui dalam perpu tersebut. Penyelenggaraan pada

Pemilu 2004, pertama kali melaksanakan pemilu dengan menggunakan sistem opened list

pasca amandemen UUD 1945, namun penerapannya masih terbatas (tidak sepenuhnya

terbuka), sehingga membuat beberapa pihak menyebutnya dengan istilah “sistem

proporsional setengah terbuka.(Musa, 2003).

Perubahan dilakukan dalam rangka mengakomodir proses pemilu sesuai dengan

paham kedaulatan rakyat yang di anut oleh Indonesia. Dalam perjalanannya, penggunaan

sistem proporsional terbuka yang diterapkan pada tahun 2004 sampai dengan tahun 2019

tidaklah sama melainkan memiliki berbagai variasi. Perubahan terhadap sistim proporsional

terbuaka untuk pemilu 2024 sampai saat ini belum ada perubahan. Begitu juga dengan
metode sistem pemilunya silih berganti dimulai dari berlakunya quota hare hingga

berlakunya sainte-lague. Sebagaimana diklasifikasikan ke dalam metode Kuota, metode

dengan melihat dengan teliti jumlah minimal tertentu yang dapat membuat suatu partai politik

memperoleh kursi di suatu daerah pemilihan (dapil) merupakan maksud dari Kuota Hare.

Metode Sainte- Lague murni dengan menggunakan rumus seluruh jumlah suara yang sudah

masuk dibagi dengan angka pembagi yang berbasis rata-rata jumlah suara tertinggi guna

menentukan alokasi kursi dalam satu dapil. Dengan menggunakan Metode Sainte-Lague,

dalam aplikasinya, dapat di simpulkan lebih kompleks dibandingkan dengan menggunakan

metode Kuota Hare. Melalui metode Sainte-Lague menentukan calon legislatif yang akan

lolos ke parlemen Pasal 414 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan

Umum.

melaksanakan pemilu berulang kali negara Indonesia telah begitu banya memiliki

pengalaman tentang kepemiluan. Pemilihan sistem pemilu yang sesuai merupakan salah satu

aspek penting menjadi perhatian saat penyelenggaraan proses pemilu. Selama ini sudah

berbagai macam sistem pemilu yang pernah di laksanakan di Indonesia, sistem proporsional

adalah salah satu bentuknya. Dua macam Sistem proporsional yang pernah diterapkan di

Indonesia yaitu pertama sistem proporsional daftar tertutup dan kedua sistem proporsional

daftar terbuka. Tanpa mengenyamppingkan opini dari berbagai lapisan masyarakat, kedua

sistem ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Sebagian masyarakat ada yang pro

dengan sistem proporsional terbuka, dan sebagian lagi kontra terhadap sistem tersebut, begitu

juga sebaliknya dengan system proporsional tertutup.

Penentuan sistem pemilu adalah sebuah keputusan paling penting bagi kelembagaan

dalam menerapkan demokrasi di negaranya. Pada dasarnya dalam ber demokrasi harus

memilih dan menentukan sebuah sistem pemilu untuk memilih badan legislatifnya. Dilain

hal, krisis politik di setiap negara demokrasi membawa momentum tersendiri bagi perubahan
sistem pemilu, bahkan para pelaku pembaharuan politik berupaya menjadikan perubahan

sistem pemilu sebagai agenda politik yang tidak bisa di kesampingkan meskipun tanpa krisis

politik

Sistem pemilu dengan memberikan akses ke masyarakat agar dapat memilih sendiri

calon legeslatif yang didukungnya atau yang menurut mereka dapat menjadi penyalur

aspirasinya jika terpilih merupakan bentuk penerapan Sistem proporsional daftar terbuka.

System proporsional terbuaka seolah memiliki derajat keterwakilan yang tinggi serta

mempunyai tingkat keadilan yang tinggi untuk calon legeslatif yang ikut dalam kontestan

pemilu. Sistem ini tentu memiliki kelebihan dan kelemahan, masyarakat dapat melihat serta

menyeleksi caleg-caleg yang tampil untuk dipilih dalam pemilu oleh masyarakat sehingga

masyarakat dapat lebih selektif dan rasional di dalam memilih caleg yang didukung, ini

adalah salah satu dari kelebihan sistem pemilu proporsional daftar terbuka. (Mashad, 1998).

Ketika mempertimbangkan pro dan kontra dari sistem proporsional terbuka, mari kita

juga melihat sistem proporsional tertutup untuk perbandingan. sistem pemilu di mana pemilih

secara langsung memilih wakil legislatif, dan pemilih memilih nama calon legislatif sesuai

dengan aspirasi mereka sendiri adalah Representasi proporsional terbuka. Dalam perwakilan

proporsional terbuka, jumlah suara yang diperoleh partai politik sebanding dengan perolehan

kursinya. berdasarkan perolehan suara terbanyak akan dilakukan Penetapan calon terpilih

oleh KPU. Sebaliknya, dalam sistem proporsional tertutup pemilih hanya dapat memilih

partai politiknya saja. Dalam sistem perwakilan pada proporsional tertutup, partai politik

mengajukan daftar calon secara berurutan, partai politik menetukan nomor urut calon.

Melalui sistem perwakilan proporsional tertutup, daftar calon harus di sediakan lebih banyak

daripada jumlah kursi yang dialokasikan untuk daerah pemilihannya oleh setiap partai.
Penentuan kualitas anggota legislative dengan Penerapan sistem proporsional terbuka

memiliki pengaruh besar. Memang memiliki begitu banyak kelebihan dengan Sistem pemilu

proporsional daftar terbuka. Namun sistem ini juga mempunyai kelemahan. Biaya kampanye

yang sangat tinggi dan juga akan melahirkan pemilih yang pragmatis. Calon yang kuat secara

finansial cenderung menjadi pilihan Sebagian besar pengguna hak pilih. Kemudian, akan

kemungkinan memicu terjadinya politik uang. Tidak mampu memenuhi Bilangan Pembagi

Pemilih bagi sebagian besar calon yang akan dipilih, pada akhirnya partai yang berwenang

untuk menentukan siapa calon yang akan duduk di parlemen.

Anda mungkin juga menyukai