Anda di halaman 1dari 9

NAMA : Efrian Juniansya

NPM : B1A022096

A. Sejarah Pemilu di Indonesia

Pemilihan umum (Pemilu) adalah proses memilih orang untuk mengisi jabatan-jabatan

politik tertentu. Jabatan-jabatan tersebut beraneka-ragam, mulai dari presiden, wakil rakyat di

berbagai tingkat pemerintahan, sampai kepala desa.Pada konteks yang lebih luas, Pemilu

dapat juga berarti proses mengisi jabatan-jabatan seperti ketua OSIS atau ketua kelas,

walaupun untuk ini kata ‘pemilihan’ lebih sering digunakan.

Pemilu merupakan salah satu usaha untuk mempengaruhi rakyat secara persuasif (tidak

memaksa) dengan melakukan kegiatan retorika, hubungan publik, komunikasi massa, lobi

dan lain-lain kegiatan. Meskipun agitasi dan propaganda di negara demokrasi sangat

dikecam, namun dalam kampanye pemilihan umum, teknik agitasi dan teknik propaganda

banyak juga dipakai oleh para kandidat atau politikus sebagai komunikator politik.

Dalam Pemilu, para pemilih dalam Pemilu juga disebut konstituen, dan kepada merekalah

para peserta Pemilu menawarkan janji-janji dan program-programnya pada masa kampanye.

Kampanye dilakukan selama waktu yang telah ditentukan, menjelang hari pemungutan suara.

Setelah pemungutan suara dilakukan, proses penghitungan dimulai. Pemenang Pemilu

ditentukan oleh aturan main atau sistem penentuan pemenang yang sebelumnya telah

ditetapkan dan disetujui oleh para peserta, dan disosialisasikan kepada para pemilih.

Indonesia telah melaksanakan beberapa kali Pemilu, dimulai sejak tahun 1955, 1971, 1977-

1997, 1999, 2004, 2009, dan 2014. Berikut penjelasan singkat tentang pelaksanaan pemilihan

umum tersebut:
1. Pemilu 1955

Berdasarkan amanat UU No.7 Tahun 1953, Pemilu 1955 dilakukan dua kali. Pemilu

pertama dilaksanakan pada 29 September 1955 untuk memilih anggota-anggota DPR. Pemilu

kedua, 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-anggota Dewan Konstituante.

Pemilu 1955 menggunakan sistem proposional. Pemilihan umum sistem proposional adalah

dimana kursi yang tersedia dibagikan kepada partai politik (organisasi peserta pemilu) sesuai

dengan imbangan perolehan suara yang didapat oleh partai politik itu. Oleh karena itu sistem

ini disebut juga dengan sistem berimbang. Dalam sistem ini wilayah negara adalah daerah

pemilihan, akan tetapi karena terlalu luas maka dibagikan berdasarkan daerah pemilihan

dengan membagi sejumlah kursi dengan perbandingan jumlah penduduk.

2. Pemilu 1971

Sangat membedakan dengan Pemilu 1955 adalah para pejabat negara pada Pemilu 1971

diharuskan bersikap netral. Tetapi pada praktiknya, pada Pemilu 1971 para pejabat

pemerintah berpihak kepada salah satu peserta pemilu yaitu Golkar.

Berkaitan dengan pembagian kursi, cara pembagian yang digunakan dalam Pemilu 1971

berbeda dengan pemilu 1955. Dalam Pemilu 1971, yang menggunakan UU No.15 Tahun

1969 sebagai dasar, semua kursi terbagi habis di setiap daerah pemilihan.

3. Pemilu 1977 -1997

Pasca Pemilu 1977, pemilu berikutnya selalu terjadwal dalam 5 tahun. Satu hal yang

membedakan adalah bahwa sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih sedikit, yaitu dua parpol,

dan satu Golkar.Selain memiliki kesamaan kontestan dari tahun ke tahun, dalam pemilu

tersebut juga hasilnya selalu sama. Golkar selalu menjadi pemenang, sedangkan Partai

Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) menjadi pelengkap

atau sekedar ornamen. Golkar bahkan sudah menjadi pemenang sejak 1971.Pemilu

1999Meskipun masa persiapannya tergolong singkat, pelaksanaan pemungutan suara 1999 ini
bisa dilakukan sesuai jadwal, yakni pada 7 Juni 1999. Tidak seperti yang diprediksi dan

dikhawatirkan banyak pihak sebelumnya, ternyata Pemilu 1999 dapat terlaksana dengan

damai, tanpa ada kekacauan yang berarti.Cara pembagian kursi hasil pemilihan kali ini tetap

memakai sistem proposional dengan mengikuti varian Roget. Dalam sistem ini sebuah partai

memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan.Namun,

cara penetapan calon terpilih berbeda dengan pemilu sebelumnya, yakni dengan menentukan

peringkat perolehan suara suatu partai di dapil. Apabila sejak Pemilu 1977 calon nomor urut

pertama dalam daftar calon partai otomatis terpilih apabila partai itu mendapat kursi. Kini

calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah tempat

seseorang dicalonkan.Pemilu 2004. Pemilihan kali ini merupakan pemilihan yang diikuti

banyak partai. Ada dua macam pemilihan umum, yang pertama pemilihan untuk memilih

anggota parlemen yang partainya memenuhi parliamentary threshold. Partai politik yang

memenuhi ambang batas masuk menjadi anggota parlemen dan partai politik yang berada di

luar gedung parlemen. Yang kedua melakukan pemilihan presiden, dan ternyata pada calon

presiden tahun 2004 dilakukan dua putaran.Dalam Pemilu 2004, ada perbedaan sistem bila

dibandingkan dengan pemilu periode sebelumnya, khususnya dalam sistem pemilihan

DPR/DPRD, sistem pemilihan DPD, dan pemilihan presiden-wakil presiden yang dilakukan

secara langsung dan bukan lagi melalui anggota MPR seperti pemilu sebelumnya. Pemilu

2004 menunjukan kemajuan dalam demokrasi kita.Pemilu 2009Pemilihan umum yang

diselenggarakan pada 2009 merupakan pemilihan umum kedua yang diikuti pemilihan

langsung presiden dan wakil presiden. Ketentuan dalam pemilihan presiden dan wakil

presiden ini ditentukan bahwa pasangan calon terpilih adalah pasangan yang memperoleh

suara lebih dari 50% dari jumlah suara dengan sedikitnya 20% suara di setiap provinsi yang

tersebar di lebih dari 50% jumlah provinsi di Indonesia.Pemilu 2014 Pemilu 2014

dilaksanakan dua kali yaitu pada tanggal 9 April 2014 yang akan memilih para anggota
legislatif dan tanggal 9 Juli 2014 yang akan memilih Presiden dan Wakil Presiden.Pemilihan

Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah 2014 (biasa disingkat Pemilu Legislatif 2014) untuk memilih 560

anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD),

serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD

Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2014-2019.Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden ini diikuti oleh dua pasang calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu Prabowo

Subianto, mantan Panglima Kostrad yang berpasangan dengan Hatta Rajasa, mantan Menteri

Koordinator Bidang Perekonomian 2009-2014, serta Joko Widodo, Gubernur DKI Jakarta

yang berpasangan dengan Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden Republik Indonesia periode

2004-2009.

4. PILPRES

Dalam praktiknya selama ini, pemilihan anggota DPR, DPD dan DPRD ditempatkan

secara terpisah dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam rezim pemilu legislatif.

Sedangkan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden ditempatkan dan diselenggarakan secara

tersendiri dalam rezim pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Namun, setelah adanya

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 tentang Pengujian Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, lahir konsep

pemilu serentak. Mahkamah Konstitusi dalam putusannya menyatakan bahwa

penyelenggaraan pemilu legislatif dan pemilu Presiden dan Wakil Presiden diselenggarakan

secara bersamaan yang berlaku pada pemilu 2019 dan pemilu seterusnya. Perlunya pemilu

serentak merupakan hasil uji materi (judicial review) atas Undang-Undang No. 42 Tahun

2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden terhadap UUD NRI. Dengan

demikian, dapat diketahui bahwa sistem pemilihan Presiden di Indonesia mulai tahun 2019

dan seterusnya dilakukan secara langsung oleh rakyat dan dilakukan secara serentak
bersamaan dengan pemilu legislatif. Dalam sistem pemilihan Presiden, juga diketahui bahwa

untuk pengusungan calon Presiden harus memenuhi pensyaratan perolehan kursi minimal.

Hal ini kemudian disebut sebagai ambang batas perolehan suara atau yang lebih dikenal

dengan istilah threshold. Wahyudi dkk (2020) menyatakan bahwa perkembangan pemilihan

umum dalam konsep demokrasi Indonesia, membawa threshold pada setiap sistem bentuk

pemilihan umum, mulai dari electoral threshold seabagai syarat partai politik dapat ikut serta

dalam Pemilu, parliementary threshold sebagai bentuk ambang batas partai untuk dapat

menduduki kursi parlemen pusat, hingga presidential threshold sebagai ambang batas suara

partai untuk mengusung calon Presiden dan Wakil Presiden dalam Pemilihan Umum. Jadi,

dalam Pemilu di Indonesia, kata threshold dijumpai dalam tiga kasus pengaturan sistem

Pemilu. 1. Pertama, electoral threshold tertuang dalam Pasal 39 UU Nomor 3 Tahun 1999

Tentang Pemilihan Umum. Ketentuan ini dicantumkan kembali pada Pasal 143 ayat (1) UU

Nomor 12 Tahun 2003 tentang pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD. 2. Kedua,

presidential threshold tertuang dalam Pasal 5 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang

Pilpres, Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Pilpres dan kemudian diatur

kembali dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. 3. Ketiga, parliamentary

treshold tertuang dalam Pasal 202 ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu. Saat

Pemilihan Umum 2014, dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu

Legislatif. Tujuan diadakannya ambang batas, yang dalam hal ini presidential threshold

adalah untuk memperkuat sistem pemerintahan Presidensial atau membentuk sistem

pemerintahan Presidensial yang efektif. Sebab Indonesia adalah negara yang menganut

sistem pemerintahan Presidensial. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Sodikin (2014) bahwa

pada awalnya pengaturan presidential threshold oleh pembentuk Undang-Undang adalah

dalam rangka penguatan sistem presidensial. Dalam Pasal 5 ayat (4) UU Nomor 23 Tahun

2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden disebutkan bahwa: "Pasangan
Calon sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau

gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15% (lima belas persen) dari

jumlah kursi DPR atau 20% (dua puluh persen) dari perolehan suara sah secara nasional

dalam Pemilu anggota DPR". Dengan demikian, Pasal 5 UU Nomor 23 Tahun 2013 ini

mengatur tentang pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diajukan oleh partai atau

gabungan partai yang memiliki sedikitnya 15 persen kursi DPR atau 20 persen suara Pemilu

DPR. Ketentuan ini dinaikkan menjadi 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara Pemilu

DPR oleh Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 yang mengatakan: "Pasangan Calon diusulkan

oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan

perolehan kursi paling sedikit 20% dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% dari suara

sah nasional dalam Pemilu anggota DPR, sebelum pelaksanaan Pemilu Presiden dan Wakil

Presiden." Aturan tentang Pemilu ini kemudian diatur kembali dalam UU Nomor 7 Tahun

2017 tentang Pemilihan umum. Inilah yang disebut presidential threshold, yaitu batas

minimal perolehan kursi atau suara partai atau koalisi partai agar bisa mengajukan pasangan

calon Presiden dan Wakil Presiden. Namun demikian, pengaturan bagi calon Presiden yang

harus memenuhi perolehan kursi minimal (ambang batas perolehan suara/threshold) dalam

sistem pemilihan Presiden secara umum sulit diterima oleh sebagian Partai Politik karena

membatasi dalam hal pengusungan bakal calon Presiden. Maka dari itu banyak pihak yang

mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), baik itu orang pribadi maupun

perwakilan partai. Dimana isi gugatan tersebut semuanya menuntut tentang pemberlakuan

ambang batas/presidential threshold yang menimbulkan pelanggaran hak politik pribadi

warga negara maupun partai poltik dan menuntut pernyataan bahwa pembuat UU telah salah

membuat aturan lebih lanjut soal tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden sebagaimana yang

diamanatkan oleh pasal 6A UUD NRI 1945 dengan menambah syarat presidential threshold.
3. PILKADA

Pemilihan kepala daerah (Pilkada atau Pemilukada) dilakukan secara langsung oleh

penduduk daerah administratif setempat yang memenuhi syarat. Pemilihan kepala daerah

dilakukan satu paket bersama dengan wakil kepala daerah. Kepala daerah dan wakil kepala

daerah yang dimaksud mencakup:

 Gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi

 Bupati dan wakil bupati untuk kabupaten

 Wali kota dan wakil wali kota untuk kota

Sebelum tahun 2005, kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD). Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui Pemilihan

Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali

diselenggarakan pada bulan Juni 2005, dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara,

Kalimantan Timur.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara

Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama

Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada.

Pemilihan kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini

adalah Pilkada DKI Jakarta 2007.

Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan umum

yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang

digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.


Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala daerah

secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan

bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih

oleh DPRD. Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota

DPR-RI yang terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi Partai Keadilan

Sejahtera (PKS) berjumlah 55 orang, Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44

orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.

Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai

langkah mundur di bidang “pembangunan” demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk

menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi sebagian pihak yang lain,

Pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja. Tetapi satu hal prinsip yang harus

digarisbawahi (walaupun dalam pelaksanaan Pemilukada tidak langsung nanti ternyata

menyenangkan rakyat) adalah: Pertama, Pemilukada tidak langsung menyebabkan hak pilih

rakyat hilang. Kedua, Pemilukada tidak langsung menyebabkan anggota DPRD mendapat

dua hak sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi. Padahal jika Pemilukada secara

langsung, tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD (sebagai warga negara) hak pilihnya

tetap ada.

sistem pemilihan kepala daerah menurut UU Sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945,

kepala daerah dipilih secara demokratis, Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, diatur mengenai pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat yang diajukan oleh partai politik atau

gabungan partai politik.

4.LEGISLATIF

Anda mungkin juga menyukai