Anda di halaman 1dari 5

1.

Pemilu di Indonesia
Sejarah pemilu di Indonesia dibagi menjadi 3 masa, pertama pada masa orde lama,
masa orde baru, dan masa reformasi.
a. Pemilu Masa Orde Baru
Pemilu tahun 1955 dilaksanakan dalam dua tahapan yaitu 29 September 1955
untuk memilih angota DPR dan tanggal 15 Desmeber 1955 untuk memilih anggota
Dewan Konstituante1. Tahap pertama pemilu diikuti oleh 29 partai politik dan
individu, pada tahap kedua memperebutkan 514 kursi Dewan Konstituante. Pada
masa ini pemilu dilaksanakan pada tahun 1955 dengan menggunakan sistem
proporsional, dimana sistem ini diambil dengan penentuan kursi didasarkan pada
jumlah penduduk2. Pemilu tahun 1955 merupakan pemilu paling sukses di Indonesia,
karena pada pelaksanaanya diselenggarakan secara aman, lancar, jujud, adil, dan
demokratis. Masing-masing calon melaksanakan persaingan secara sehat. Beberapa
indikator bahwa pemilu 1955 sangat menjunjung tinggi demokrasi3:
1) Pelaksanaan pemilu berjalan dengan tertib, lancar, dan jauh dari anarki.
2) Diikuti oleh banyak partai (multipartai) yang mempunyai asas-asas berbeda.
3) Hasil pemilu dapat diterima sepenuhnya oleh kontestan pemilu.
b. Pemilu Masa Orde Lama4
a) Pemilu tahun 1971
Dilaksanakan pada tanggal 3 Juli 1971 yang diselenggarakan berdasarkan UU
Nomor 15 Tahun 1969 tentang pemilu. Pemilu 1971 pada dasaranya mengadopsi
pemilu 1955, tetapi terdapat perbedaan yang sangat mencolok seperti perdana
Menteri yang berasal dari partai bisa ikut menjadi calon partai secara formal,
pemerintah menetapkan peraturan bahwa seluruh PNS harus menyalurkan
aspirasinya pada satu partai.
Pembagian kursi pada pemilu 1971 dilakukan dengan stembus acoord yaitu
kesepakatan antar partai politik untuk memanfaatkan sisa suara yang tidak habis
dibagi dalam bilangan pemilih. Pemilu pada tahun ini Golkar memperoleh
presentase terbesar sebanyak 62,82% memegang 236 kursi.

1
Indriana F, Pemilu di Indonesia, Tangerang: Loka Aksara, 2019, hal. 5
2
Ringo Rahata dan Melkisedek Bagad Fenetiruma, Dinamika Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Klaten: PT.
Cempaka Putih, 2018, hal.13
3
Indriana F, Pemilu di Indonesia, Tangerang: Loka Aksara, 2019, hal. 7
4
Ringo Rahata dan Melkisedek Bagad Fenetiruma, Dinamika Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Klaten: PT.
Cempaka Putih, 2018, hal.19-26
b) Pemilu tahun 1977
Pada pemilu 1977 ditandai dengan adanya kebijakan fusi partai atau
penyederhanaan partai politik, diatur dalam UU Nomor 3 Tahun 1975 tentang
Partai Politik dan Golkar. Yang menghasilkan 3 partai yaitu PPP, Partai Golkar,
dan PDIP.
Dilaksanakan pada 2 Mei 1977, pemilu 1977 diatur dalam UU Nomor 4 Tahun
1975 tentang Pemilihan Umum. UU tersebut menegaskan yang bisa menikuti
pemilahan umum hanyalah dua partai politik dan Golkar. Pembagian kursi
menggunakan sistem proporsional di daerah pemilihan. Pemegang porelahan
suara terbanyak dipegang oleh Golkar dengan presentase 62,11% sebanyak 232
kursi.
c) Pemilu tahun 1982
Dilaksanakan pada 4 Mei 1982, diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 1980
tentang Pemilihan umum. Pembagian kursi masih sama seperti pemilu
sebelumnya dengan sistem proposional di daerah pemilihan. Porelahan tertinggi
di pegang oleh Golkar dengan presentase 64,34% sebanyak 242 kursi.
d) Pemilu tahun 1987
Dilaksanakan pada 23 April 1987, dengan dasar hukum UU Nomor 1 Tahun
1985 tentang Pemilihan Umum, dengan siste pemilihan proposional. Pada
pemilu 1987 UU tentang partai politik dan Golongan Karya diubah menjadi UU
Nomor Tahun 1985, dimana setiap partai harus memiliki asas yang sama
Pancasila, apabila partai menolak asas tersebut maka harus dibubarkan.
Porelahan suara tertinggi oleh Golkar dengan presentase 73,16% sebanyak 299
kursi.
e) Pemilu tahun 1992
Dilaksanakan pada 6 Juni 1992, dengan dasar hukum UU Nomor 1 Tahun
tentang Pemilu 1992. Pemilu 1992 anggota DPR diperiksa secara khusus melalui
penelitian khusus. Pembagian kursi masih sama seperti pemilu sebelumnya.
Porelahan suara tertinggi oleh Golkar dengan presentase 68,10% sebanyak 282
kursi.
f) Pemilu tahun 1997
Dilaksanakan pada 29 Mei 1997, dengan dasar hukum UU Nomor 1 Tahun
1985. Pada pemilu 1997 kursi DPR meningkat menjadi 425 orang karena adanya
perubahan UU tentang susunan MPR, DPR, dan DPD dengan UU Nomor 5
Tahun 1995 terkait mengurangi jumlah kursi ABRI di DPR. Pembagian kursi
masih sama dengan tahun sebelumnya. Golkar meraih peringkat pertama dengan
presentase 74,51% sebanyak 325 kursi.
c. Pemilu Masa Reformasi5
a) Pemilu tahun 1999
Dilaksanakan pada 7 Juni 1999 saat itu masa pemerintahan B.J. Habibie.
Pemilu pada 1999 diikuti dengan sidang MPR terkait memilih presiden dan
wakil presiden baru. Pemilu tahun 1999 berdampak pada pergantian anggota
DRP dan MPR sebelum masa baktinya habis, muncul dasar hukum tentang
penyelenggaraan pemilu. Dengan pengajuan RUU tentang partai politik, RUU
tentang pemilu, dan RUU tentang susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD yang disiapkan oleh kementerian dalam negeri.
DPR menyetujui RUU tersebut yang disahkan menjadi UU Nomor 2 Tahun
1999 tentang Partai Politik, UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum,
UU Nomor 4 tahun 1999 tentang Susuna dan Kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD. Presiden selanjutnya membentuk KPU (Komisi Pemilihan Umum)
beranggotakan dari wakil partai politik dan wakil dari pemerintah.
Pemilu 1999 pada UU Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum pada
Ketentuan Umum ayat (7) bahwa “Pemilihan Umum dilaksanakan dengan
menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar”. Sistem ini berbeda
dengan sistem pemilu sebelumnya.
Pada tahap perhitungan suara dan pembagian kursi, 27 partai menolak
menandatangani berita acara perhitungan suara karena dianggap tidak secara
jujur dan adil. Hasil dokumen rapat diserahkan kepada presiden yang selanutnya
oleh presiden diserahkan kepada Panwaslu (Panitia Pengawas Pemilu). Hasil
pemilu dipbulikasikan pada masyarakat di tanggal 26 Juli 1999. Hasil perolehan
suara tertinggi ialah oleh PDIP dengan suara DPR sebanyak 35.689.073
sebanyak 153 kursi.
Pada pembagian kursi pemilu 1999 calon terpilih ditentukan berdasarkan suara
terbesar atau terbanyak dari daerah seseorang dicalonkan. Sehingga seorang

5
Ringo Rahata dan Melkisedek Bagad Fenetiruma, Dinamika Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia, Klaten: PT.
Cempaka Putih, 2018, hal.27-44
calon meskipun berada pada urutan terbawah dari daftar calin, jika dari
daerahnya partai mendapatkan suara tebesar dialah yang terpilih.
b) Pemilu tahun 2004
Pemilu 2004, menerapkan sistem pemilihan secara langsung. Yaitu memilih
presiden dan wakil presiden secara langsung. Dilaksanakan pada dua tahapan
yaitu di 5 April 2004 pemilu legislatif dan pemilu presiden dilakukan dua
putaran pada 5 Juli 2004 dan 20 September 2004. Terdapat 5 pasangan calon
yang ditetapkan oleh Keputusan Komisi Pemilihan Umum Nomor 36/2004.
Hasil pada legislatif, ada lima besar porelahan suara yaitu partai Golkar, PDIP.
PKB, PPP, dan Partai Demokrat. Hasil pada pemilihan presiden dan wakil
presiden, di putaran pertama unggul Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla
sebesar 33,57% disusul oleh Megawati-Hasyim Muzadi sebesar 26,61%. Lalu
dilaksanakan putaran kedua menghasilkan kemenangan Susilo Bambang
Yudhoyono-Jusuf Kalla sebesar 60,62%.
c) Pemilu tahun 2009
Pelaksanaan pemilu 2009 mengikuti pelaksanaan pemilu 2004. Dasar hukum
pada pemilu presiden dan wakil preside tahun 2009 adalah UU Nomor 42 Tahun
2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Diikuti oleh 38
partai nasional dan 6 partai politik local dari Nanggroe Aceh Darussalam.
Legislatif dilaksanakan pada 9 April 2009, dengan sistem perwakilan
berimbang (proporsional) dengan sitem calon terbuka. Pemilihan presiden dan
wakil presiden pada 8 Juli 2009 dengan tiga pasangan calon.
Hasil pemilihan suara pada legislatif dipimpin oleh partai Demokrat,
sedangkan pada pemilihan presiden dan wakil presiden dimenangkan oleh
pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono sebesar 60,80%
d) Pemilu tahun 2014
Pada pemilu tahun 2014, KPU menetapkan beberapa tahap verifikasi yang
pada akhirnya pada pemilu 2014 KPU memutuskan ada 12 partai politik nasional
dan 3 partai local Nanggroe Aceh Darussalam yang terdaftar sebagai peserta
pemilu legislatif.
Pasangan calon pada tahun 2014 dua pasangan calon presiden dan wakil
presiden. Diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan
Umum Presiden dan Wakil Presiden dinayatakan bahwa pasangan calon
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu. Dengan
memenuhi syarat mendapat porelahan kursi 20% dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% suara nasional.
Pemilu legislatif terdapat perubahan pada UU Nomor 8 Tahun 2012,
ditetapkannya ambang batas parlemen sebesar 3,5%. Apabila suara dibawah itu
tidak mendapatkan kursi di parlemen (DPR). Suara terunggul pada legislatif
dipegang oleh PDIP dengan presentase 18,95% sebanyak 109 kursi. Pada
pemilihan presiden dan wakil presiden dimenangi oleh Jokowi -Jusuf Kalla
dengan presentase 53,15%.
e) Pemilu tahun 2019
Dilaksanakan pada 17 April 2019, yang berlandaskan pada UU Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Pada pemilihan legislatif maupun dari
pemilihan presiden dan wakil presiden memilik peraturan yang sama pada
pemilu sebelumnya. Pemilihan legislatif yang berhasil terverikasi ada 14 partai.
Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden terdapat dua pasangan calon.
Hasil pada pemilu legislatif, PDIP memperoleh suara terbanyak sebesar
19,33%, pembagian kursi tetap menggunakan ambang batas parlemen seperti
pemilu sebelumnya. Untuk pemilihan presiden dan wakil presiden dimenangkan
oleh Jokowi-Ma’aruf Amin dengan perolehan 55,32%.

Anda mungkin juga menyukai