Anda di halaman 1dari 24

MODUL TATA KELOLA PEMILU (01E4131303)

BAHAN AJAR PERTEMUAN 1-5

Prof. Dr. Muhammad, S.IP., M.Si.


BAB 1 MENGENAL PEMILU DAN SEJARAHNYA
Pemilu adalah proses pengambilan keputusan kelompok formal dimana populasi
memilih individu atau beberapa individu untuk memegang jabatan publik. Pemilihan
umum telah menjadi mekanisme yang biasa digunakan oleh demokrasi perwakilan
modern sejak abad ke-17. Pemilu dapat mengisi jabatan di legislatif, kadang di
eksekutif dan yudikatif, dan untuk pemerintah daerah dan lokal. Proses ini juga
digunakan di banyak organisasi swasta dan bisnis lainnya, dari klub hingga asosiasi
sukarela dan perusahaan.

Penggunaan universal pemilihan umum sebagai alat untuk memilih perwakilan dalam
jdemokrasi perwakilan modern berbeda dengan praktik di pola dasar demokrasi, Athena
kuno, di mana Pemilu tidak digunakan dianggap sebagai institusi oligarki dan sebagian
besar jabatan politik diisi menggunakan sortir, juga dikenal sebagai penjatahan, dimana
pemegang jabatan dipilih dengan undian.

Reformasi pemilu menggambarkan proses memperkenalkan sistem pemilu yang adil di


tempat yang tidak ada, atau meningkatkan keadilan atau efektivitas sistem yang ada.
Psephology adalah studi tentang hasil dan statistik lain yang berkaitan dengan pemilu
(terutama dengan maksud untuk memprediksi hasil di masa depan). Pemilu adalah
fakta memilih, atau dipilih. Untuk memilih berarti "memilih atau membuat keputusan",
dan kadang-kadang bentuk lain dari pemungutan suara seperti referendum disebut
sebagai pemilihan, terutama di Amerika Serikat.

Pemilihan digunakan pada awal sejarah seperti Yunani kuno dan Roma kuno, dan
sepanjang periode Abad Pertengahan untuk memilih penguasa seperti Kaisar Romawi
Suci dan paus. Pemilihan umum pejabat publik pertama yang tercatat untuk jabatan
publik, dengan suara mayoritas, di mana semua warga negara berhak memilih dan
memegang jabatan publik, berasal dari Ephors Sparta pada 754 SM, di bawah
pemerintahan campuran Konstitusi Spartan. Pemilihan demokratis Athena, di mana
semua warga negara bisa memegang jabatan publik, tidak diperkenalkan selama 247
tahun, sampai reformasi Cleisthenes. Di bawah Konstitusi Solonian sebelumnya (sekitar
574 SM), semua warga negara Athena berhak memilih dalam majelis rakyat, dalam
masalah hukum dan kebijakan, dan sebagai juri, tetapi hanya tiga kelas tertinggi warga
negara yang dapat memberikan suara dalam pemilihan. Juga yang terendah dari empat
kelas warga Athena (sebagaimana didefinisikan oleh tingkat kekayaan dan properti
mereka, bukan berdasarkan kelahiran) memenuhi syarat untuk memegang jabatan
publik, melalui reformasi Solon. Pemilihan Spartan dari Ephor, oleh karena itu, juga
mendahului reformasi Solon di Athena sekitar 180 tahun.

Pemilihan diadakan dalam berbagai pengaturan politik, organisasi, dan perusahaan.


Banyak negara mengadakan pemilihan untuk memilih orang-orang yang akan bertugas
di pemerintahan mereka, tetapi jenis organisasi lain juga mengadakan pemilihan.
Misalnya, banyak perusahaan mengadakan pemilihan di antara pemegang saham
untuk memilih dewan direksi, dan pemilihan ini mungkin diamanatkan oleh hukum
perusahaan. Di banyak tempat, pemilihan umum untuk pemerintahan biasanya
merupakan persaingan di antara orang-orang yang telah memenangkan pemilihan
pendahuluan di dalam sebuah partai politik. Pemilu di dalam perusahaan dan
organisasi lain sering kali menggunakan prosedur dan aturan yang serupa dengan
pemilu pemerintah.

Sejarah dari pemilihan umum di Indonesia diawali pada tahun 1955, yang bertujuan
untuk memilih anggota DPR yang dipersiapkan dibawah pemerintahan perdana menteri
Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroadmijojo mengundurkan diri dan dialihkan ke
Burhanudin Harahap. Ada dua tahap dalam pemilu 1955 yaitu tahap pertama untuk
memilih anggota DPR. Tahapan ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955
untuk memilih 257 anggota DPR dan 514 anggota konstituante (harusnya 520 anggota,
namun Irian Barat memiliki jatah 6 kursi, tidak melakukan pemilihan) dengan 29 jumlah
partai politik dan individu yang ikut serta. Tahap kedua adalah pemilihan anggota
konstituante yang diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955.

Pemilu berikutnya yaitu pada tanggal 5 juli 1971. Pemilu pertama yang dilakukan
dibawah kekuasaan orde baru yang diikuti oleh 9 partai politik dan 1 organisasi
masyarakat. 5 besar partai pemenang pemilu adalah Golkar, NU, Parmusi, PNII dan
PSSI. Pada tahun 1975 melalui Undang-undang Nomor 3 tahun 1975 diusulkan untuk
penggabungan partai, sehingga partai politik hanya terbagi menjadi dua, yaitu Partai
Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia, dan satu Golkar.

Pemilu pada periode ini diselenggarakan dibawah pemerintahan Presiden Soeharto,


dilakukan setiap 5 tahun sekali, mulai tahun 1977 (2 Mei 1977), 1982 (4 Mei 1982),
1987 (23 April 1987), 1992 (9 Juni 1992), dan 1997 (29 Mei 1997) dengan 3 peserta
yaitu Golongan Karya (Golkar), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan Partai
Pembangunan Persatuan (PPP).

Setelah Presiden Soeharto dilengserkan dari kekuasaannya pada tanggal 21 Mei 1998
jabatan presiden digantikan oleh Wakil Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie. Atas
desakan publik, Pemilu yang baru atau dipercepat segera dilaksanakan, sehingga hasil-
hasil Pemilu 1997 segera diganti. Kemudian ternyata bahwa Pemilu dilaksanakan pada
7 Juni 1999, atau 13 bulan masa kekuasaan Habibie. Pada saat itu untuk sebagian
alasan diadakannya Pemilu adalah untuk memperoleh pengakuan atau kepercayaan
dari publik, termasuk dunia internasional, karena pemerintahan dan lembaga-lembaga
lain yang merupakan produk Pemilu 1997 sudah dianggap tidak dipercaya. Hal ini
kemudian dilanjutkan dengan penyelenggaraan Sidang Umum MPR untuk memilih
presiden dan wakil presiden yang baru. Pemilu ini juga dilakukan untuk memilih
anggota DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD Tingkat II.

Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu pertama sejak zaman orde baru runtuh dan
dimulailah era reformasi di Indonesia. Setelah tahun 1999, Indonesia pun kembali
melakukan pemilu setiap lima tahun sekali secara langsung. Bahkan pemilu 2004
merupakan pemilu pertama kali di Indonesia dimana setiap warga negara Indonesia
yang mempunyai hak pilih, dapat memilih langsung presiden dan wakilnya selain pemilu
untuk memilih anggota DPR, DPRD Tingkat I, dan DPRD tingkat II. Selain itu, sejak
pemilu 2004, juga dilakukan pemilihan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pada pemilu
tahun 2004 dan 2009, ditetapkan parliamentary threshold (PT) sebesar 2.5%. Apabila
partai politik yang memperoleh suara dengan persentase kurang dari 2,50% tidak
berhak memperoleh kursi di DPR.

Pemilihan Umum Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April
2004 untuk memilih 550 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 128 anggota
Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD Provinsi maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009.
Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden Indonesia 2004 diselenggarakan untuk
memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk periode tahun 2004
hingga 2009. Pemilihan umum ini adalah yang pertama kalinya diselenggarakan di
Indonesia. Pemilihan umum ini diselenggarakan 2 putaran.

Pemilihan umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2009 diselenggarakan untuk memilih 560 anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2009-2014. Pemungutan suara diselenggarakan
secara serentak di hampir seluruh wilayah Indonesia pada tanggal 9 April 2009.
Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2009
diselenggarakan pada 8 Juli 2009 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden
Indonesia periode 2009-2014. Rekapitulasi perolehan suara nasional Pilpres 2009
dilaksanakan KPU pada tanggal 22 – 23 Juli 2009 dan Penetapan Hasil pada tanggal
25 Juli 2009.

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2014 (Pileg 2014) untuk memilih 560 anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 132 anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), serta
anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi maupun DPRD
Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2014-2019. Pemilihan Umum Presiden dan
Wakil Presiden Republik Indonesia Tahun 2014 (Pilpres 2014) adalah pemilihan
presiden secara langsung yang ketiga di Indonesia. Pilpres 2014 dilaksanakan pada
tanggal 9 Juli 2014 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden Indonesia untuk masa
bakti 2014-2019. Menurut UU Pemilu 2008, hanya partai yang menguasai lebih dari
20% kursi di Dewan Perwakilan Rakyat atau memenangi 25% suara populer dapat
mengajukan kandidatnya. Undang-undang ini sempat digugat di Mahkamah Konstitusi,
namun pada bulan Januari 2014, Mahkamah memutuskan undang-undang tersebut
tetap berlaku.

Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah 2019 diselenggarakan pada 17 April 2019 untuk
memilih 575 anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), 136 anggota Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD Provinsi
maupun DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2019–2024. Pemilu Legislatif
tahun tersebut dilaksanakan bersamaan dengan Pemilihan umum Presiden Indonesia
2019.

Pertanyaan :

1. Jelaskan sejarah awal lahirnya pemilu!


2. Jelaskan sejarah pelaksanaan pemilu di Indonesia!

Daftar Pustaka :

Eric W. Robinson. 1997. The First Democracies: Early Popular Government Outside
Athens. Franz Steiner Verlag.

Levin, Dov H. 2016. "When the Great Power Gets a Vote: The Effects of Great Power
Electoral Interventions on Election Results". International Studies Quarterly.

Portal Informasi Pilkada dan Pemilu. Komisi Pemilihan Umum.


BAB 2 PEMILU DAN DEMOKRASI
Pemilu adalah lembaga sentral dari pemerintahan perwakilan yang demokratis.
Mengapa? Sebab, dalam demokrasi, otoritas pemerintah semata-mata berasal dari
persetujuan yang diperintah. Mekanisme utama untuk menerjemahkan persetujuan itu
ke dalam otoritas pemerintah adalah penyelenggaraan pemilihan umum yang bebas
dan adil.

Semua demokrasi modern mengadakan pemilihan, tetapi tidak semua pemilihan


bersifat demokratis. Kediktatoran sayap kanan, rezim Marxis, dan pemerintahan satu
partai juga menggelar pemilu untuk memberikan aura legitimasi pada pemerintahan
mereka. Dalam pemilihan seperti itu, mungkin hanya ada satu kandidat atau daftar
kandidat, tanpa pilihan alternatif. Pemilihan semacam itu mungkin menawarkan
beberapa kandidat untuk setiap jabatan, tetapi pastikan melalui intimidasi atau
kecurangan bahwa hanya kandidat yang disetujui pemerintah yang dipilih. Pemilihan
lain mungkin menawarkan pilihan yang tulus--tetapi hanya di dalam partai petahana. Ini
bukan pemilu yang demokratis.

Salah satu prasyarat negara demokrasi adalah adanya Pemllihan Umum yang
dilakukan secara regular guna membentuk pemerintahan yang demokratis, bukan
hanya demokratis dalam pembentukannya tetapi juga demokratis dalam menjalankan
tugas-tugasnya. Oleh karenanya, Pemllihan umum menjadi satu hal rutin bagi ebuah
negara yang mengklaim sebagai sebuah negara demokrasi, walaupun kadang-kadang
praktek politik di negara yang bersangkutan jauh dari kaidah-kaidah demokratis dan
Pemilu tetap dijalankan untuk memenuhi tuntutan normatif yaitu sebagai sebuah
prasyarat demokrasi. Secara umum, Robert A Dahl menggarisbawahi bahwa
dalamsistem politik yang demokratis, kontrol terhadap pemerintah dalam membuat
keputusan tidak bisa diabaikan, pemerintah harus dlpiiih secara teratur melalui
pemilihan yang adil, terbuka dan ada pembatasan terhadap tindakan yang bersifat
pemaksaan, terdapat hak memilih dan hak dipilih bagi warga negara yang telah
memenuhl syarat (dewasa), termasuk pula hak warga negara untuk mengekspresikan
kebebasan poiltiknya, ternasuk mengkritik aparat kekuasaan negara, ada akses untuk
memanfaatkan sumber-sumber infornasi alternatif yang tidak dimonopoli oleh
pemerintah atau kelompok tertentu, lalu pada akhirnya, semua warga negara
mempunyai hak yang sama untuk membentuk dan bergabung ke dalam kelompok-
kelompok yang otonom, termasuk bergabung dalam partai-partai politik dan kelompok-
kelompok kepentingan yang bertujuan mempengaruhi Affan Gafar menyebut sebuah
political order dapat dikatakan demokratis apabila memenuhi sejumlah prasyarat.
Pertama, adanya akuntabilitas dimana pemegang jabatan yang dipih oleh rakyat harus
dapat mempertanggungjawabkan kebijaksanaan yang hendak dan telah ditempuhnya.
Kedua, adanya rotasi kekuasaan, dimana peluahg pergantian kekuasaan harus selalu
ada. Ketiga, rekrutmen politik yang terbuka, artinya setiap orang yang memenuhi syarat
untuk mengisi suatu jabatan politik yang dipilih oleh rakyat, mempunyai peluang yang
sama dalam melakukan kompetisi untuk mengisi jabatan tersebut. Keempat, adanya
pemilihan umum dimana setiap warga negara yang dewasa mempunyai hak untuk
memilih dan dipilih secara bebas sesuai dengan; hati nuraninya. Kelima, menikmati
hak-hak dasar, dalam arti bahwa setiap warga masyarakat dapat menikmati hak-hak
dasar mereka secara bebas terutama hak menyatakan pendapat, hak berkumpul dan
berserikat dan hak untuk menikmati pers yang bebas.

Hampir semua sarjana politik sepakat bahwa pemilu merupakan satu kriteria untuk
mengukur kadar politik sebuah sistem politik. Selain itu, Pemilu merupakan hak rakyat
untuk membentuk pemerintahan yang demokratis. Hubungan demokrasi dan Pemilu
dapat dirangkaikan dalam sebuah kalimat; "Tidak ada demokrasi tanpa Pemilu".
Tampaknya pemilu menjadi prasyarat mutlak untuk menciptakan demokrasi. Pemilu
menjadi sebuah jalan bagi terwujudnya demokrasi. Tetapi mewujudkan pemilu yang
demokratis bukanlah pekerjaan mudah sebab praktek pemilu pada akhirnya hanya
digunakan sebagai sebuah perhelatan prosedural untuk pergantian kekuasaan atau
untuk membentuk lembaga-Iembaga politik. Oleh karena itu, pemilu pada akhirnya
memerlukan standard agar prakteknya tidak sekedar dijadikan prosedurformal
pergantian kekuasaan atau pembentukan lembaga politik, tetapi pemilu menjadi ajang
yang partisipatif, kompetitif, terbuka, jujur dan adil.

Pertanggungjawaban pejabat publik menjadi sangat signifikan untuk mengontrol apakah


pejabat tersebut tidak melakukan abuse of power selama dia menjabat Dalam
demokrasi, pergantian kekuasan sebuah rezim mutlak diperlukan agar terhindar dari
bertahannya rezim yangterlalu lama berkuasa. Seringkali dalam praktek, pergantian
suatu rezim dimaknai sekedar prosedural, sedangkan penguasa yang dipilih tetap
sama. Rotasi kekuasan yang demikian sebenamya bukan rotasi kekuasaan dalamartj
sebenamya, karena yang terjadi hanya pergantian masa saja. Dalam konteks
demokratisasi, rotasi kekuasaan harus dimaknai selain sebagai pergantian masa
jabatannya juga para pejabatnya, termasuk perubahan sistem jika sistem yang berlaku
sebelumnya belum demokratis. Kemudlan pemilihan umum hendaknya tidak sekedar
menggelar perhelatan yang bersifat masal untuk membentuk pemerintahan yang
demokratis. Namun pemilihan umum harus digelar secara partisipatif yakni melibatkan
seluas mungkin warga negara tanpa ada diskriminasi, ada kompetisi yang sehat, dan
dilaksanakan secara fair dan jurdil.
Kaitan demokrasi dengan pemilu sangat erat. Namun pengkaitan pemilu dengan
demokrasi hanya mungkin dilakukan jika pemilu dilakukan dengan mencerminkan
kebebasan politik rakyat dan menghasilkan sirkulasi kekuasaan. Ada sejumlah
persyaratan untuk mewujudkan pemilu yang demokratis, antara lain yaitu:

1. Ada pengakuan terhadap hak pilih universal. Semua warga negara, tanpa
pengecualian yang bersifat ideologis dan politis, diberi hak untuk memilih dan dipilih.
dalam pemilu.

2. Ada keleluasaan untuk membentuk"tempat penampungan" bagi pluralitas aspirasi


masyarakat pemilih. Masyarakat memlliki alternatif pilihan saluran aspirasi politik yang
leluasa. Pembatasan jumlah kontestan Pemilu yang hanya mempertimbangkan alasan
yuridis formal dengan menafikkan perkembangan riil aspirasi masyarakat adalah
sebuah penyelewengan dari prinsip ini.

3. Tersedia mekanisme rekruitmen politik bagi calon-calon wakil rakyat yang


demokratis.

4. Ada kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan.

5. Ada komite atau panitia pemilihan yang independen.

6. Ada keleluasaan bagi setiap kontestan untuk berkompetisi secara sehat.

7. Penghitungan suara yang jujur.

8. Netralitas birokrasi.

Pelaksanaan Pemilu dalam sistem politik yang demokratis seharusnya tidak sekedar
menjalankan prasyarat demokrasi, tetapi Pemilu dlselenggarakan sesuai dengan
kaidah-kaidah demokrasi dan mempertiatikan electoral law yang menjadi bagian tak
terpisahkan dari semua electoral process, termasuk yang terpenting adalah law
enforcement terhadap semua pelanggarannya. Dengan demikian, Pemilu tidak hanya
berbingkai demokrasi tetapi juga bersubstansi demokrasi. Prasyarat normatif Pemilu
demokratis memang diperlukan untuk mengukur kadar substansi demokrasi dalam
proses demokrasi itu sendiri. Akan tetapi jika prasyarat tersebut tidak dibarengi dengan
komitmen yang kuat dari institusi penyelenggara pemilu, peserta kompetisi dan
masyarakat pemilih untuk menegakkan sendi-sendi demokrasi yang lalnnya, tampak
Pemilu akan tetap memiliki kecacatan sebagai pemilu yang benar-benar jujur dan adil.

Berlangsungnya pemilu akan mencerminkan kesadaran masyarakatnya. Artinya adalah


pemilihan umum yang demokratis akan mencerminkan masyarakat yang demokratis
pula. Atau dengan kata lain, kadar demokrasi dalam pemilu dapat digunakan untuk
mellhat kadar demokrasi sebuah masyarakat bernegara. Oleh karena itu, dalam
penyelenggaraan pemilihan umum, tidak hanya membutuhkan demokrasi sebagai
sebuah prosedurtetapi yang lebih penting adalah membutuhkan demokrasi as value,
sebagai sebuah nilai yang lebih esenslal. Ada etika berdemokrasi yang tidak boleh
diabaikan dalam prosedur demokrasi seperti nilai kejujuran, keadilan, kompetisi yang
sehat dan partisipasi yang terbuka. Selain itu, prasyarat normatif juga menjadi bagian
terpenting untuk bisa menciptakan pemilu demokratis.

Pertanyaan :

1. Bagaimana pemilu menjadi syarat sebuah sistem demokrasi yang baik?


2. Jelaskan syarat-syarat sebuah pemilu yang demokratis!

Daftar Pustaka :

Beetham (ed). 1994. Defining and Measuring Democracy, London; Sage Publication
Ltd.

Gafar. Affan. 2000. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Jogjakarta: Pustaka
Pelajar.

Giddens, Anthony. 2000. Jalan Ketiga, Pembaharuan Demokrasi Sosial. Jakarta:


Gramedia.
BAB 3 PARTAI POLITIK, KONFLIK, DAN PEMILIH DALAM PEMILU
Partai Politik dan Pemilu

Peranan Parpol dalam Pemilu, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang


Nomor 2 tahun 2011 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 2 tahun 2008
tentang Partai Politik, tidak terlepas dari tujuan dan fungsi parpol dalam sistem politik
demokrasi. Tujuan pembentukan Parpol ada yang bersifat umum dan khusus. Untuk
tujuan yang bersifat khusus, dalam Pasal 10 ayat (2) UU No. 2 tahun 2011 disebutkan
bahwa tujuan khusus Parpol yaitu; (a) meningkatkan partisipasi politik anggota dan
masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan; (b)
memperjuangkan cita-cita Parpol dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara, dan; (c) membangun etika dan budaya dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, bernegara. Sedangkan fungsi Parpol sebagai sarana untuk pendidikan
politik, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa, penyerap,
penghimpun dan penyalur aspirasi masyarakat, partisipasi politik dan rekrutmen politik.

Jika disimak dari perspektif aturan (regulasi), maka peranan Parpol selain sebagai
wadah rekrutmen politik dalam arti menyiapkan calon-calon anggota legislatif, juga
adalah meningkatkan partisipasi politik masyarakat dalam Pemilu dan menciptakan
iklim yang kondusif dalam proses Pemilu demi terjaganya persatuan dan kesatuan
bangsa.

Partai politik dan sistem pemilu saling berkaitan satu sama lain. Partai politik tanpa
sistem pemilu yang baik akan menyebabkan partai politik kehilangan “wadah” sehingga
membuatnya menjadi tidak teratur dan stabil. Misalnya, pembagian/penetapan jumlah
kursi di parlemen tidak jelas sehingga membutuhkan proses yang panjang,
sebagaimana pengalaman Pemilu 1999. Sementara, sebaik apa pun sistem pemilu,
tanpa berkualitasnya partai politik, hasil pemilu yang diselenggarakan akan “kosong”.
Adapun sistem pemilu merupakan pilihan yang formatnya dapat disesuaikan dengan
kebutuhan (politik) bangsa-negara Indonesia, tetapi penguatan partai politik tidak berarti
apa-apa jika tidak disertai oleh penguatan sistem pemilu.

Dalam rangka menciptakan pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif perlu didukung
pula oleh sistem kepartaian yang sederhana. Dengan sistem kepartaian sederhana
akan dapat dihasilkan tingkat fragmentasi yang relatif rendah di parlemen, yang pada
gilirannya dapat tercipta pengambilan keputusan yang tidak berlarut-larut. Jumlah partai
yang terlalu banyak akan menimbulkan dilema bagi demokrasi, karena banyaknya
partai politik peserta pemilu akan berakibat sulitnya tercapai pemenang mayoritas. Di
sisi lain, ketiadaan partai politik yang mampu menguasai mayoritas di parlemen
merupakan kendala bagi terciptanya stabilitas pemerintahan dan politik.

Konflik dan Pemilu

Konflik sering kali muncul dalam kehidupan masyarakat yang memiliki kekuatan yang
seimbang. Apabila suatu masyarakat yang secara sosiologis dihuni oleh penduduk
yang berbeda agama dan suku atau etnik, maka perbedaan itu potensial memicu
munculnya konflik dan kekerasan. Kadang-kadang pihak-pihak yang berkonflik sering
kali menonjolkan kepentingan pribadi dan golongan; bahwa kepedulian yang tinggi
terhadap kepentingan sendiri dan kepedulian yang rendah terhadap kepentingan lain,
sering kali membawa disharmonis secara sosial, ekonomi, dan politik. Dalam konteks
ini, agama dan etnik tidak menjadi sumber utama dalam konflik, bahkan mungkin hanya
alat untuk berkonflik, tetapi sumber utamanya adalah persoalan ketidakadilan,
kemiskinan, dan kesejahteraan. Konflik seringkali terjadi dalam proses interaksi antar-
individu, individu dengan kelompok, maupun kelompok dengan kelompok yang masing-
masing disebabkan oleh perbedaan baik dalam latar belakang interaksi, kemampuan
berinteraksi, maupun tujuan berinteraksi. Tidak terkecuali konflik juga terjadi pada
masyarakat Indonesia yang mempunyai latar belakang politik, etnis, dan agama yang
berbeda. Dari latar belakang yang beragam ini, corak konflik di Indonesiapun juga
beragam. Dalam proses pelaksanaannya, pemilihan umum langsung ternyata seringkali
menyebabkan sejumlah persoalan terkait proses pelaksanaannya yang dinilai
cenderung menghamburkan dana rakyat termasuk dugaan money politic, serta tidak
jarang hasil pilkada langsung itu direspon secara negatif sehingga berbuntut kerusuhan
dan kekerasan.

Dalam konteks Negara demokrasi, Maswadi Rauf menyatakan bahwa wajar apabila
demokrasi dipenuhi oleh konflik karena setiap orang atau kelompok mempunyai
kepentingan dan pendapat masing-masing yang bukan saja berbeda tetapi bahkan
dapat bertentangan satu sama lain. Kebebasan untuk mengkritik atau menentang
pihak lain yang mempunyai pendapat dan kepentingan yang berbeda atau berlawanan
yang membuat konflik kepentingan pesat didalam masyarakat. Untuk konteks Indonesia
yang berada dalam transisi demokrasi, munculnya konflik yang lahir sebagai akibat dari
perbedaan kepentingan mungkin dapat dipahami sebagai proses menuju konsolidasi
demokrasi dan pelembagaan demokrasi. Untuk mengatasi dampak negatif yang dapat
dihasilkan oleh konflik, demokrasi mengharuskan adanya kemampuan warga
masyarakat dan pemerintah untuk menyelesaikan konflik sebelum konflik menjadi
intensif dan ekstensif. Demokrasi mengharuskan adanya keterampilan untuk
menyelesaikan konflik sebagai jalan keluar dari konflik yang terjadi. Pada platform
inilah proses demokratisasi akan menemukan "ruang gerak"-nya secara dinamis,
kendatipun tak ada yang bisa menjamin sepenuhnya karena berbagai realitas dan
fenomena sosial, budaya, ekonomi, dan politik rakyat saling terkait dan saling
mempengaruhi. Pada tataran ini, pemilu langsung akan menjadi satu momentum
berharga bagi rakyat dalam memilih pemimpinnya dan sekaligus tantangan dan ujian
bagi proses pendidikan politik rakyat Indonesia. Hal yang perlu diingat, dalam proses
demokratisasi ini terdapat kelemahan, di mana kebebasan dan pengabaian rakyat
untuk memilih secara bebas, rasional, terbuka dan reflektif akan berdampak pada
munculnya apatisme politik rakyat yang lebih membahayakan bentuk pemerintahan
konstitusional.

Pemilih dan Pemilu

Perilaku pemilih dalam pemilu juga dianalisis oleh Schumpeter dalam Firmanzah
(2007:101-102). Menurut dia pemilih mendapat informasi politik dalam jumlah besar
atau (overload) dan beragam. Seringkali informasi yang diperoleh berasal dari berbagai
macam sumber yang sangat mungkin bersifat kontradiktif. Di tengah-tengah informasi
yang melimpah ini pemilih dihadapkan dengan kondisi yang sangat sulit untuk memilih-
milih informasi. Perilaku pemilih merupakan tingkah laku seseorang dalam menentukan
pilihannya yang dirasa paling disukai atau paling cocok. Secara umum teori tentang
perilaku memilih dikategorikan ke dalam dua kubu yaitu ; Mazhab Colombia dan
Mazhab Michigan (Fadillah Putra , 2008 : 201). Mazhab Colombia menekankan pada
faktor sosiologis dalam membentuk perilaku masyarakat dalam menentukan pilihan di
pemilu. Model ini melihat masyarakat sebagai satu kesatuan kelompok yang bersifat
vertikal dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Penganut pendekatan ini
percaya bahwa masyarakat terstruktur oleh norma-norma dasar sosial yang
berdasarkan atas pengelompokan sosiologis seperti agama, kelas (status sosial),
pekerjaan, umur, jenis kelamin dianggap mempunyai peranan yang cukup menentukan
dalam membentuk perilaku memilih. Oleh karena itu preferensi pilihan terhadap suatu
partai politik merupakan suatu produk dari karakteristik sosial individu yang
bersangkutan (Gaffar, Affan, 2007 : 43). Mazhab Michigan menerangkan bahwa
perilaku pemilih sangat bergantung pada sosialissi politik lingkungan yang menyelimuti
diri pemilih. Dimana pilihan seorang anak yang telah melalui tahap sosialisasi politik ini
tidak jarang memilih partai yang sama dengan pilihan orang tuanya. Jika dikaitkan
dengan Pemilu, warga negara biasa memiliki andil dalam proses pembuatan keputusan
yang berpengaruh terhadap masa depan daerahnya. Deskripsi Perilaku politik pada
umumnya ditentukan oleh faktor internal dari individu sendiri seperti idealisme, tingkat
kecerdasan, kehendak hati dan oleh faktor eksternal atau kondisi lingkungan seperti
kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang mengelilinginya.
Menurut Munir Mulkhan (2009:37)melihat perilaku politik sebagai fungsi dari kondisi
sosial dan ekonomi serta kepentingan, maka perilaku politik sebagian diantaranya
adalah produk dari perilaku sosial ekonomi dan kepentingan suatu masyarakat atau
golongan dalam masyarakat tersebut.

Pertanyaan :

1. Jelaskan peran partai politik dalam proses pemilu!


2. Jelaskan model perilaku memilih dalam pemilu!

Daftar Pustaka :

Firmanzah. 2007. Marketing Politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Haris, S. 2014. Partai, pemilu, dan parlemen era reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka
Obor.

Nas, Jayadi. 2007. Konflik Elite di Sulawesi Selatan; Analisis Pemerintahan dan Politik
Lokal. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin.

Surbakti, R. 1992. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.


BAB 4 FUNGSI BADAN PENYELENGGARA PEMILU
KPU

Komisi Pemilihan Umum (KPU) adalah lembaga Penyelenggara Pemilu yang bersifat
nasional, tetap, dan mandiri. KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota adalah
Penyelenggara Pemilu di Provinsi dan Kabupaten/Kota. Wilayah kerja KPU meliputi
seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. KPU menjalankan tugasnya
secara berkesinambungan dan dalam menyelenggarakan Pemilu, KPU bebas dari
pengaruh pihak manapun berkaitan dengan pelaksanaan tugas dan wewenangnya.
KPU berkedudukan di ibu kota negara Republik Indonesia, KPU Provinsi berkedudukan
di ibu kota provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota berkedudukan di ibu kota
kabupaten/kota.

Dalam Pasal 12 Undang Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, KPU
mempunyai tugas sebagai berikut:

1. Merencanakan program dan anggaran serta menetapkan jadwal,


2. Menyusun tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS,
KPPS, PPLN, dan KPPSLN,
3. Menyusun Peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu,
4. Mengoordinasikan, menyelenggarakan, mengendalikan dan memantau semua
tahapan pemilu,
5. Menerima daftar pemilih dari KPU Provinsi,
6. Memutakhirkan data pemilih berdasarkan data pemilu terakhir dengan
memperhatikan data kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh
pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar pemilih,
7. Membuat berita acara dan sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan suara serta
wajib menyerahkannya kepada saksi peserta pemilu dan Bawaslu,
8. Mengumumkan calon anggota DPR, calon anggota DPD, dan Pasangan Calon
terpilih serta membuat berita acaranya,
9. Menindaklanjuti dengan segera putusan Bawaslu atas temuan dan laporan
adanya dugaan pelanggaran atau sengketa Pemilu,
10. Menyosialisasikan penyelenggaraan pemilu dan/atau yang berkaitan dengan
tugas dan wewenang KPU kepada masyarakat,
11. Melakukan evaluasi dan membuat laporan setiap tahapan penyelenggaraan
pemilu, dan
12. Melaksanakan tugas lain dalam penyelenggaraan pemilu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

Dalam Pasal 13 Undang Undang 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum, KPU
mempunyai kewenangan sebagai berikut:

1. Menetapkan tata kerja KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS,
KPPS, PPLN, dan KPPSLN,
2. menetapkan Peraturan KPU untuk setiap tahapan pemilu,
3. menetapkan peserta pemilu,
4. menetapkan dan mengumumkan hasil rekapitulasi penghitungan suara tingkat
nasional berdasarkan hasil rekapitulasi penghitungan suara di KPU Provinsi
untuk Pemilu Presiden dan Wakil presiden dan untuk pemilu anggota DPR serta
hasil rekapitulasi penghitungan suara di setiap KPU provinsi untuk pemilu
anggota DPD dengan membuat berita acara penghitungan suara dan sertifikat
hasil penghitungan suara,
5. menerbitkan keputusan KPU untuk mengesahkan hasil Pemilu dan
mengumumkannya,
6. menetapkan dan mengumumkan perolehan jumlah kursi anggota DPR, anggota
DPRD provinsi, dan anggota DPRD kabupaten/kota untuk setiap partai politik
peserta pemilu Anggota DPR, anggota DPRD provinsi, dan anggota DPRD
kabupaten/kota,
7. menetapkan standar serta kebutuhan pengadaan dan pendistribusian
perlengkapan,
8. membentuk KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, dan PPLN,
9. mengangkat, membina, dan memberhentikan anggota KPU Provinsi, anggota
KPU Kabupaten/Kota, dan anggota PPLN,
10. menjatuhkan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota
KPU provinsi, anggota KPU Kabupaten/Kota, anggota PPLN, anggota KPPSLN,
dan sekretaris Jenderal KPU yang terbukti melakukan tindakan yang
mengakibatkan terganggunya tahapan penyelenggaraan pemilu yang sedang
berlangsung berdasarkan putusan Bawaslu dan/atau ketentuan peraturan
perundang-undangan,
11. menetapkan kantor akuntan publik untuk mengaudit dana kampanye Pemilu dan
mengumumkan laporan sumbangan dana Kampanye Pemilu, dan
12. melaksanakan wewenang lain dalam penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAWASLU

Pengawas Pemilihan Umum atau lebih sering di sebut BAWASLU, lembaga pengawas
Pemilu sengaja dibentuk untuk mengawasi tahapan penyelenggaraan Pemilu,
Menerima aduan, menangani kasus pelanggaran administratif Pemilu serta
pelanggaran pidana Pemilu berdasarkan tingkatan sesuai peraturan perundang-
undangan Bawaslu diatur dalam Undang-undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum.

Bawaslu bertugas:

a. Menyusun standar tata laksana pengawasan Penyelenggaraan Pemilu untuk


pengawas Pemilu di setiap tingkatan;

b. Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap:

Pelanggaran Pemilu; dan

Sengketa proses Pemilu;

c. Mengawasi persiapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas:

1. Perencanaan dan penetapan jadwal tahapan Pemilu;


2. Perencanaan pengadaan logistik oleh KPU;
3. Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu; dan
4. Pelaksanaan persiapan lainnya dalam Penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangundangan.

d. Mengawasi pelaksanaan tahapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas:

1. Pemutakhiran data pemilih dan penetapan daftar pemilih sementara serta daftar
pemilih tetap;
2. Penataan dan penetapan daerah pemilihan DPRD kabupaten/kota;
3. Penetapan Peserta Pemilu;
4. Pencalonan sampai dengan penetapan Pasangan Calon, calon anggota DPR,
calon anggota DPD, dan calon anggota DPRD sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
5. Pelaksanaan dan dana kampanye;
6. Pengadaan logistik Pemilu dan pendistribusiannya;
7. Pelaksanaan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilu di TPS;
8. Pergerakan surat suara, berita acara penghitungan suara, dan sertifikat hasil
penghitungan suara dari tingkat TPS sampai ke PPK;
9. Rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara di PPK, KPU Kabupaten/Kota,
KPU Provinsi, dan KPU;
10. Pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan, dan
Pemilu susulan; dan
11. Penetapan hasil Pemilu;

e. Mencegah terjadinya praktik politik uang;

f. Mengawasi netralitas aparatur sipil negara, netralitas anggota Tentara Nasional


Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia;

g. Mengawasi pelaksanaan putusan/keputusan, yang terdiri atas:

1. Putusan DKPP;
2. Putusan pengadilan mengenai pelanggaran dan sengketa Pemilu;
3. Putusan/keputusan Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Ihbupaten/ Kota;
4. Keputusan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota; dan
5. Keputusan pejabat yang berwenang atas pelanggaran netralitas aparatur sipil
negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia, dan netralitas anggota
Kepolisian Republik Indonesia;

h. Menyampaikan dugaan pelanggaran kode etik Penyelenggara Pemilu kepada DKPP;

i. Menyampaikan dugaan tindak pidana Pemilu kepada Gakkumdu;

j. Mengelola, memelihara, dan merawat arsip serta melaksanakan penyusutannya


berdasarkan jadwal retensi arsip sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan;

k. Mengevaluasi pengawasan Pemilu;

l. Mengawasi pelaksanaan Peraturan KPU; dan

m. Melaksanakan tugas lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bawaslu berwenang:

a. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya


pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengahrr
mengenai Pemilu;

b. Memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran, administrasi Pemilu;

c. Memeriksa, mengkaji, dan memuttrs pelanggaran politik uarg;


d. Menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian
sengketa proses Pemilu;

e. Merekomendasikan kepada instansi yang bersangkutan mengenai hasil pengawasan


terhadap netralitas aparatur sipil-negara, netralitas anggota Tentara Nasional
Indonesia, dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia;

f. Mengambil alih sementara tugas, wewenang, dan kewajiban Bawaslu Provinsi dan
Bawaslu Kabupaten/Kota secara berjenjang jika Bawaslu Provinsi dan Bawaslu
Kabupaten Kota berhalangan sementara akibat dikenai sanksi atau akibat lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ;

g. Meminta bahan keterangan yang dibuhrhkan kepada pihak terkait dalam rangka
pencegahan dan penindakan pelanggaran administrasi, pelanggaran kode etik, dugaan
tindak pidana Pemilu, dan sengketa proses Pemilu;

h. Mengoreksi putusan dan rekomendasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu


Kabupaten/Kota apabila terdapat hal yang bertentangan dengan ketentuan peraturan
perundangundangan;

i. Membentuk Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/ Kota, dan Panwaslu LN;

j. Mengangkat, membina, dan memberhentikan anggota Bawaslu Provinsi, anggota


Bawaslu Kabupaten/Kota, dan anggota Panwaslu LN; dan

k. Melaksanakan wewenang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-


undangan.

DKPP

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum menyebutkan,


Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang terdiri
atas Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi Penyelenggaraan Pemilu untuk
memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah secara langsung oleh rakyat (Pasal 1 ayat (7)). Selanjutnya, Pasal 1 ayat (24)
menyebutkan, “Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang selanjutnya disingkat
DKPP adalah lembaga yang bertugas menangani pelanggaran kode etik
Penyelenggara Pemilu”.

Penjelasan tentang DKPP diatur terinci pada Bab III, Pasal 155-Pasal 166. Tugas
DKPP disebutkan pada Pasal 156 ayat (1), yakni:
1. menerima aduan dan/atau laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang
dilakukan oleh Penyelenggara Pemilu; dan
2. melakukan penyelidikan dan verifikasi, serta pemeriksaan atas aduan dan/atau
laporan dugaan adanya pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh
Penyelenggara Pemilu.

Selanjutnya, DKPP memiliki kewenangan antara lain:

1. memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode


etik untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;
2. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai
keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain;
3. memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode
etik; dan
4. memutus pelanggaran kode etik (Pasal 159 ayat (2).

Pertanyaan

1. Jelaskan tugas dan kewenangan KPU!


2. Jelaskan tugas dan kewenangan BAWASLU!
3. Jelaskan tugas dan kewenangan DKPP!

Daftar Pustaka :

Jurdi, Fajlurrahman. 2018. Pengantar Hukum Pemilihan Umum. Jakarta: Kencana.

Tim Redaksi BIP. 2019. Undang-Undang Pemilu 2019. Jakarta: Gramedia.


BAB 5 HUKUM PEMILU
Hukum pemilu adalah disiplin ilmu yang berada pada titik temu antara hukum tata
negara dan ilmu politik. Ini meneliti "politik hukum dan hukum politik". Pengetahuan
konseptual di balik undang-undang pemilu berfokus pada siapa yang memberikan
suara, kapan orang tersebut dapat memilih, dan konstruksi di balik total yang
ditabulasikan.

Beberapa pertanyaan yang dibahas oleh undang-undang pemilu adalah:

1. Orang-orang mana yang berhak memilih dalam pemilihan (misalnya usia,


persyaratan tempat tinggal atau melek huruf, atau pajak pemungutan suara), dan
prosedur di mana orang-orang tersebut harus mendaftar untuk memilih atau
menunjukkan identitas untuk memilih
2. Orang-orang mana yang berhak memegang jabatan (misalnya, usia, tempat
tinggal, kelahiran atau persyaratan kewarganegaraan), dan prosedur yang harus
diikuti kandidat untuk muncul di surat suara (seperti format dan pengajuan petisi
pencalonan) dan aturan yang mengatur calon tertulis
3. Aturan tentang subjek apa yang dapat diajukan ke pemungutan suara langsung
melalui referendum atau plebisit, dan aturan yang harus diikuti oleh lembaga
pemerintah atau kelompok warga untuk mengajukan pertanyaan pada surat
suara untuk pertimbangan publik
4. Kerangka dimana partai politik dapat mengatur pemerintahan internal mereka,
dan bagaimana mereka memilih kandidat untuk mencalonkan diri untuk jabatan
politik (misalnya pemilihan pendahuluan)
5. Pembiayaan pemilu (misalnya batas kontribusi, aturan untuk pembiayaan publik
pemilu, pengungkapan publik kontributor, dan aturan yang mengatur kelompok
kepentingan selain organisasi kampanye kandidat)
6. Persyaratan untuk membuat distrik yang memilih perwakilan untuk majelis
legislatif (contohnya termasuk distrik kongres, tunggangan, atau distrik di dalam
kotamadya)
7. Pembatasan apa yang ditempatkan pada advokasi kampanye (seperti aturan
tentang penambahan anonim, iklan palsu, dan batasan kebebasan berbicara)
8. Bagaimana suara diberikan pada pemilihan (termasuk apakah akan
menggunakan kertas surat suara, atau beberapa bentuk pencatatan suara
lainnya seperti mesin pemungutan suara mekanis atau perangkat pemungutan
suara elektronik, dan bagaimana informasi disajikan kepada pemilih di surat
suara atau perangkat)
9. Bagaimana suara dihitung pada pemilu, penghitungan ulang, dan tantangan
pemilu
10. Apakah, dan bagaimana, pemilih atau kandidat dapat mengajukan tindakan
hukum di pengadilan atau lembaga administratif untuk menegakkan hak-hak
mereka atau menentang hasil pemilihan
11. Definisi kecurangan pemilu dan kejahatan lain terhadap sistem pemilu
12. Sumber undang-undang pemilu (misalnya, konstitusi, undang-undang nasional,
undang-undang negara bagian, atau keputusan pengadilan) dan interaksi antara
sumber-sumber hukum ini.
13. Kerangka hukum selalu fundamental. Norma hukum bersifat wajib dan
menentukan bagaimana regulasi sistem pemilu bekerja. Perangkat hukum
memberikan kepastian dan keamanan bagi tindakan pemilu.

Dalam rezim demokratis dan konstitusional, masalah pemilu diatur secara hukum oleh
undang-undang yang beragam dan terkoordinasi yang berasal dari norma fundamental,
atau oleh Konstitusi. Instrumen tersebut dapat didaftar sebagai berikut:

1. Konstitusi: Ini adalah aturan mendasar dan wajib yang darinya berasal sistem
hukum suatu negara. Konstitusi menetapkan aturan-aturan dasar tentang cara
suatu bangsa dan pemerintahannya diatur, tentang hak-hak dasar yang akan
ditegakkan, tentang prinsip-prinsip dasar yang memandu sistem pemilihan,
tentang kondisi yang harus dipenuhi individu untuk menjadi warga negara,
tentang keberadaan partai politik, otoritas pemilu dan pengadilan pemilu, dan
pada isu-isu prosedural. Aturan konstitusional adalah aturan tertinggi dalam
sistem hukum; mereka tidak dapat dimodifikasi dengan mudah dan bertahan
lebih lama dari yang lain.
2. Perjanjian internasional: Perjanjian internasional mempromosikan hak-hak dasar,
terutama yang terkait dengan partisipasi politik dan pemungutan suara.
3. Undang-undang pemilu: Undang-undang pemilu biasanya ditetapkan oleh
Kongres. Kongres Demokrat di seluruh dunia mewakili kehendak rakyat, melalui
mandat perwakilan. Sebagian besar aturan pemilu tertuang dalam undang-
undang pemilu. Mereka jauh lebih fleksibel daripada undang-undang
konstitusional dan berguna untuk mengatur topik pemilu dengan cara yang lebih
praktis.
4. Preseden yudisial: Ini adalah keputusan dan resolusi yang dikeluarkan oleh
hakim dan pengadilan untuk menyelesaikan sengketa pemilu. Saat ini, mereka
telah mencapai kualitas standar tertinggi karena relevansi hakim dan pengadilan
pada umumnya dalam kehidupan kelembagaan suatu negara.
5. Perintah Eksekutif Otoritas Pemilihan: Ini dikeluarkan oleh otoritas administratif
untuk melengkapi aturan konstitusional dan hukum.
6. Kode Etik: Ini adalah aturan yang disepakati oleh agen politik. Kode etik
bertujuan untuk meningkatkan perilaku hormat, tertib dan beradab selama
pemilu. Wasit biasanya bertugas menegakkan kode-kode ini.

Moh. Mahfud MD yang merupakan salah satu pakar politik hukum terkenal di Indonesia
mempunyai definsisi tersendiri terkait dengan pengertian politik hukum. Moh. Mahfud
MD menyatakan bahwa:

“Politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang hukum yang
akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan penggantian
hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian politik hukum
merupakan pilihan tentang hukum-hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan
tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya
dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam
pembukaan UUD 1945”5.(Mahfud, 2009: 1).

Definisi atau pengertian tentang politik hukum seperti yang diuraikan oleh Moh. Mahfud
MD pada intinya menyatakan bahwa politik hukum tidak akan lepas dari cita-cita
nasional Negara Indonesia yang diwujudkan melalui kebijakan hukum. Moh. Mahfud
MD selain mengemukakan terkait dengan politik hukum, juga membuat kriteria terkait
dengan politik hukum. Ada tiga kriteria tentang politik hukum yaitu:
1. Kebijakan negara dalam memberlakukan hukum untuk mewujudkan cita-cita negara;

2. Latar belakang dibuatnya kebijakan hukum yang diberlakukan;

3. Penegakan hukum dari kebijakan hukum yang diberlakukan.

Pemilihan Umum atau Pemilu merupakan pesta demokrasi yang harus diselenggarakan
oleh negara demokrasi. Indonesia sebagai negara demokrasi telah melaksanakan
Pemilu sebagai kegiatan rutin yang diadakan setiap lima tahun sekali. Pelaksanaan
Pemilu di Indonesia selalu diikuti dengan pembuatan instrumen hukum tentang Pemilu.
Menjelang pelaksanaan Pemilu tahun 2019, Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR dan
Pemerintah tidak luput untuk membuat instrumen hukum baru terkait dengan Pemilu
tahun 2019. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
merupakan instrumen hukum baru yang dikeluarkan untuk mengatur terkait dengan
Pemilu tahun 2019. Pengaturan pada Pemilu tahun 2019 berbeda dengan pengaturan
Pemilu sebelumnya khususnya sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2014. Pemilu
tahun 2004 sampai dengan Pemilu tahun 2014 selalui mempunyai dua instrumen
hukum. Instrumen hukum pertama mengatur tentang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Instrumen hukum
kedua mengatur tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Pertanyaan :

1. Jelaskan aspek apa saja yang perlu diatur dalam hukum pemilu!
2. Jelaskan bagaimana pembentukan hukum pemilu di Indonesia!

Daftar Pustaka :

Electoral Laws. 2018. aceproject.org

Mahfud MD, Moh. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Reynolds, Andrew, dkk. 2016. Desain Sistem Pemilu: Buku Panduan Baru International
IDEA. Stockholm: International IDEA.

Anda mungkin juga menyukai