Sejarah Pemilu di Indonesia dimulai sejak awal zaman revolusi nasional. Rencana untuk
mengadakan pemilihan umum nasional pertama di Indonesia diumumkan pada tanggal 5
Oktober 1945. Pada tahun 1946, pemilihan umum pertama diadakan di Karesidenan Kediri dan
Surakarta.
Kemudian, pada tahun 1948, Badan Pekerja KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat)
menyetujui undang-undang yang menetapkan sistem pemilihan umum tidak langsung
berdasarkan perwakilan proporsional dan memberikan hak pilih kepada semua warga negara
yang berusia di atas 18 tahun.
Satu hari setelah proklamasi kemerdekaan, yaitu pada tanggal 18 Agustus 1945, Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan Soekarno dan Mohammad Hatta
sebagai Presiden dan Wakil Presiden pertama Republik Indonesia.
Pada tanggal 3 November 1945, melalui Maklumat X yang dikeluarkan oleh Wakil Presiden
Mohammad Hatta, didorong pembentukan partai-partai politik sebagai persiapan untuk
penyelenggaraan Pemilu pada tahun 1946. Maklumat X memberikan legitimasi kepada partai-
partai politik yang sudah terbentuk sebelumnya, baik pada masa pemerintahan Belanda
maupun Jepang.
Maklumat X juga menetapkan tujuan lain, yaitu penyelenggaraan Pemilu untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada bulan Januari 1946. Namun, rencana tersebut tidak
dapat dilaksanakan karena beberapa faktor, antara lain kurangnya perundang-undangan yang
mengatur penyelenggaraan pemilu dan rendahnya stabilitas keamanan negara pada saat itu.
Pemerintah dan rakyat saat itu lebih fokus pada upaya mempertahankan kemerdekaan.
Pemilu 1955
Sejarah pemilu di Indonesia diawali pada tahun 1955,, setelah melalui periode pemerintahan
Soekarno. Pada periode ini, sistem pemerintahan yang dianut adalah Demokrasi Terpimpin.
Pada tanggal 5 Juli 1959, Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menetapkan UUD
1945 sebagai Dasar Negara. Konstituante dan DPR hasil Pemilu dibubarkan dan digantikan
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR). Selama periode Soekarno, terjadi
perubahan politik yang krusial, termasuk ketika MPRS (Majelis Permusyawaratan Rakyat
Sementara) menolak Pidato Presiden Soekarno yang berjudul Nawaksara pada Sidang Umum
Ke-IV tanggal 22 Juni 1966.
Pemilu 1971
Orde Baru mulai meredam persaingan politik dan mengurangi pluralisme politik. Partai
Golongan Karya (Golkar) menjadi partai yang mendominasi dengan perolehan suara sebesar
62,82%.
Pemilu 1977
Pemilu tahun 1977 mengalami perubahan dengan penyatuan beberapa partai politik. Partai
Nahdlatul Ulama (NU), Parmusi, Perti, dan PSII bergabung menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), sedangkan Partai Nasional Indonesia (PNI), Parkindo, Partai Katolik,
Partai IPKI, dan Partai Murba bergabung menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Formasi
kepartaian ini terus dipertahankan hingga Pemilu 1997, dengan Golkar sebagai partai
mayoritas, diikuti oleh PPP dan PDI.
Pemilu 1999
Pada tahun 1998, Soeharto digantikan oleh B.J. Habibie sebagai Presiden, dan pada tahun
yang sama, Pemilu yang semula diagendakan pada tahun 2002 dipercepat pelaksanaannya
menjadi tahun 1999.
Pemilu 2004
Pemilu 2004 melibatkan banyak partai politik dan terdiri dari dua tahap, yaitu pemilihan anggota
parlemen yang memenuhi parliamentary threshold dan pemilihan presiden dengan dua putaran.
Terjadi perubahan sistem dalam pemilihan DPR/DPRD, DPD, dan pemilihan presiden-wakil
presiden yang dilakukan secara langsung.
Pemilu 2009
Pemilu 2009 merupakan pemilu kedua dengan pemilihan langsung presiden dan wakil presiden.
Pasangan calon terpilih ditentukan berdasarkan perolehan suara lebih dari 50% dari jumlah
suara dengan minimal 20% suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari 50% jumlah
provinsi di Indonesia.
Pemilu 2014
Pemilu 2014 diadakan dua kali, yaitu untuk pemilihan anggota legislatif pada 9 April 2014, dan
untuk pemilihan presiden dan wakil presiden pada 9 Juli 2014. Pemilu ini memilih anggota DPR,
DPD, serta anggota DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota periode 2014-2019.
Pemilu 2019
Pemilu 2019 melibatkan 20 partai politik, namun setelah verifikasi dan proses banding, hanya
16 partai yang menjadi peserta pemilu legislatif. PDI Perjuangan menjadi pemenang dengan
perolehan suara terbanyak dan 128 kursi di DPR, diikuti oleh Partai Gerindra dan Partai Golkar.
Sejak periode reformasi, Pemilu di Indonesia diadakan secara reguler setiap lima tahun untuk
memilih anggota DPR, DPRD tingkat I, dan DPRD tingkat II. Sistem pemilihan umum yang
digunakan saat ini adalah sistem pemilihan umum langsung berdasarkan perwakilan
proporsional. Pemilu menjadi salah satu mekanisme penting dalam proses demokratisasi dan
perwujudan kehendak rakyat di Indonesia.
TUJUAN PEMILU
Secara singkat, tujuan pemilu adalah untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan baik
eskekutif maupun legislatif. Serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan
memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional sesuai UUD 1945.
Negara demokrasi sangat berkaitan erat dengan penyelenggaraan pemilihan umum. Bahkan,
pemilihan umum atau pemilu menjadi indikator penting untuk melihat praktek demokrasi di
sebuah negara. Demokrasi berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Hal
tersebut mengandung makna bahwa kekuasaan negara berada di tangan rakyat. Untuk
mewujudkan negara yang demokratis, pemilu adalah cara untuk mengangkat eksistensi rakyat
sebagai pemegang kedaulatan tertinggi dalam negara. Penyelenggaraan pemilu memiliki fungsi
dan tujuan tertentu bagi sebuah negara.
Fungsi Pemilihan Umum Menentukan Pemerintahan secara Langsung dan Tak Langsung
Dalam kehidupan politik modern yang demokratis, pemilu berfungsi sebagai suatu jalan dalam
pergantian dan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan regulasi, norma, dan etika.
Sehingga penentuan pemerintahan yang akan berkuasa ditentukan secara damai dan beradab.
Pemilihan tersebut dapat dilakukan secara langsung yaitu rakyat ikut memberikan suara. Dapat
juga dilakukan secara tidak langsung yaitu pemilihan yang dilakukan oleh wakil rakyat. Baca
juga: Survei SMRC: Mayoritas Responden Tolak Pemilu Diundur Wahana Umpan Balik antara
Pemilik Suara dan Pemerintah Pemilu sebagai ajang untuk memilih pejabat publik dapat
dimanfaatkan sebagai sarana umpan balik dari masyarakat terhadap pemerintah yang
berkuasa.
Ketika pemerintah yang berkuasa dianggap tidak menunjukkan kinerja yang baik selama
memerintah, maka dalam ajang pemilu berikutnya pemilih menghukumnya dengan tidak
memilih calon atau partai politik tersebut. Sebaliknya, ketika selama menjalankan pemerintahan
menunjukkan kinerja yang bagus, maka besar kemungkinan pemilih akan memilih kembali
calon atau partai yang sedang berkuasa untuk melanjutkan roda pemerintahan. Barometer
Dukungan Rakyat terhadap Penguasa Setelah proses penghitungan suara dan penetapan
peserta pemilu usai, maka kita bisa mengukur seberapa besar dukungan rakyat terhadap
mereka yang telah terpilih. Pengukuran dapat dilakukan dengan melihat perolehan suara.
Apakah kemenangan didapatkan dengan suara mutlak atau menang dengan selisih suara yang
tipis. Semakin besar persentase perolehan suara yang didapat, maka semakin tinggi tingkat
dukungan rakyat kepada calon tersebut. Sarana Rekrutmen Politik Rekrutmen politik adalah
seleksi dan pengangkatan seseorang atau kelompok untuk melaksanakan sejumlah peran
dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya. Melalui proses
rekrutmen politik inilah akan ditentukan siapa-siapa saja yang akan menjalankan pemerintahan
melalui lembaga-lembaga yang ada. Oleh karena itu, fungsi rekrutmen politik memegang
peranan penting dalam suatu sistem politik sebuah negara. Baca juga: Sejarah Pemilu Pertama
di Indonesia: Jejak Demokrasi di Pemilihan Umum 1955 Alat untuk Mempertajam Kepekaan
Pemerintah terhadap Tuntutan Rakyat Sebelum dilaksanakan pemilihan umum, para calon
akan melakukan kampanye politik. Dalam masa kampanye para calon menyampaikan visi, misi,
dan program yang akan dilaksanakan jika terpilih. Pada masa kampanye, rakyat juga
menyampaikan tuntutannya sekaligus koreksi terhadap pemerintah yang sedang berkuasa.
Pada masa ini, dilakukan evaluasi besar-besaran terhadap kinerja pemerintah. Sehingga
pemerintah harus menjadi lebih peka akan kebutuhan rakyatnya. Tujuan Pemilihan Umum
Tujuan penyelenggaraan pemilu adalah: Mewujudkan peralihan kepemimpinan pemerintahan
secara tertib dan damai. Mewujudkan pergantian pejabat yang akan mewakili kepentingan
rakyat di lembaga perwakilan. Memobilisasi dan menggalang dukungan rakyat terhadap negara
dan pemerintahan dengan ikut serta dalam proses politik. Melaksanakan prinsip kedaulatan
rakyat di lembaga perwakilan. Melaksanakan prinsip hak-hak asasi warga negara.
Dalam konteks pelaksanaan Pemilu di Indonesia, asas “Luber” yang merupakan singkatan dari
“Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia” telah ada sejak zaman Orde Baru. Selanjutnya, di era
reformasi, muncul juga asas “Jurdil” yang merupakan singkatan dari “Jujur dan Adil”.
Dalam Pasal 1 UU Pemilu disebutkan bahwa, Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut
Pemilu adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat,
anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sementara terkait asas, prinsip dan tujuan Pemilu di Indonesia telah diatur dalam Pasal 2,
Pasal 3 , dan Pasal 4 UU No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu) tersebut.
Kenali 11 Prinsip Penyelenggaraan Pemilu di Indonesia
Seperti disebutkan sebelumnya, mengenai prinsip penyelenggaraan Pemilu di Indonesia
termuat dalam Pasal 3 UU No. 7 Tahun 2017 (UU Pemilu). Disebutkan bahwa, ada 11 prinsip
penyelenggaraan Pemilu di Indonesia yang haru dipenuhi.
1. Mandiri
2. Jujur
3. Adil
4. Berkepastian hokum
5. Tertib
6. Terbuka
7. Proporsional
8. Profesional
9. Akuntabel
10. Efektif
11. Efisien.
Pemilu 1971
Sistem Pemilu
Pemilu 1971 merupakan pemilu kedua yang diselenggarakan bangsa Indonesia. Pemi- lu
1971 dilaksanakan pada pemerintahan Orde Baru, tepatnya 5 tahun setelah pemerin- tahan ini
berkuasa. Pemilu yang dilaksanakan pada 5 Juli 1971 ini diselenggarakan untuk memilih
Anggota DPR.
Sistem Pemilu 1971 menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan sistem
stelsel daftar, artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR dan DPRD,
berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih memberikan su- aranya kepada
Organisasi Peserta Pemilu.
PEMILU 1977
Sistem Pemilu
Pemilu kedua pada pemerintahan orde baru ini diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977.
Sama halnya dengan Pemilu 1971, pada Pemilu 1977 juga menggunakan sistem per- wakilan
berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar.
PEMILU 1982
Sistem Pemilu
Pemilu 1982 merupakan pemilu ketiga yang diselenggarakan pada pemerintahan Orde Baru.
Pemilu ini diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 1982. Sistem Pemilu 1982 tidak berbeda
dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1971 dan Pemilu 1977, yaitu masih
menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional).
PEMILU 1987
Sistem Pemilu
Pemilu keempat pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 23 April 1987.
Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1987 masih sama dengan sistem yang di- gunakan
dalam Pemilu 1982, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel
daftar.
PEMILU 1992
Sistem Pemilu
Pemilu kelima pada pemerintahan Orde Baru dilaksanakan pada tanggal 9 Juni 1992. Sistem
Pemilu yang digunakan pada tahun 1992 masih sama dengan sistim yang digunakan dalam
Pemilu 1987, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar
PEMILU 1997
Sistem Pemilu.
Pemilu keenam pada pemerintahan Orde Baru ini dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997.
Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1997 masih sama dengan sistem yang di- gunakan
dalam Pemilu 1992, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional).
Pemilu 1999
Sistem Pemilu.
Pemilu 1999 merupakan pemilu pertama pada masa reformasi. Pemungutan suara
dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999 secara serentak di seluruh wilayah Indonesia. Sistem
Pemilu 1999 sama dengan Pemilu 1997 yaitu sistem perwakilan berimbang (propor- sional)
dengan stelsel daftar.
Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama yang memungkinkan rakyat memilih lang- sung wakil
mereka untuk duduk di DPR, DPD, dan DPRD serta memilih langsung presi- den dan wakil
presiden. Pemilu 2004 diselenggarakan secara serentak pada tanggal 5 April 2004 untuk
memilih 550 Anggota DPR, 128 Anggota DPD, serta Anggota DPRD (DPRD Provinsi maupun
DPRD Kabupaten/Kota) se-Indonesia periode 2004-2009. Sedangkan untuk memilih presiden
dan wakil presiden untuk masa bakti 2004-2009 diselenggarakan pada tanggal 5 Juli 2004
(putaran I) dan 20 September 2004 (putaran II).
Pemilu yang demokratis paling tidak harus memiliki 5 pilar diantaranya adalah regulasi yang
jelas, peserta pemilu yang berkompeten, pemilih yang cerdas, penyelenggara pemilu yang
berintegritas, dan birokrasi yang netral. Dimana pilar yang satu saling mendukung dengan pilar
yang lainnya. Tanpa satu pilar, maka tidak mungkin mencapai pemilu yang demokratis,
kelimanya harus saling menguatkan.
Pelaksanaan pemilu dikatakan berjalan secara demokratis apabila setiap warga negara
Indonesia yang mempunyai hak pilih dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum,
bebas, rahasia, jujur, dan adil. Setiap pemilih hanya menggunakan hak pilihnya satu kali dan
mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara.
Pemilu memiliki arti penting sebagai salah satu prosedur utama dalam demokrasi. Dalam
sistem demokrasi modern, kedaulatan rakyat hanya bisa dikelola secara optimal melalui
lembaga perwakilan. Oleh karena itu, arti penting pemilu yang utama adalah sebagai sarana
untuk mewujudkan kedaulatan rakyat.
sejak pergantian era Orde Baru menjadi era reformasi, Indonesia memasuki fase demokrasi
atau pemilihan umum langsung. Ini menjadi salah satu pilar bangsa untuk terus ditegakkan
demi menjaga negara agar selalu berkembang dan maju, baik itu di lembaga eksekutif, legislatif
maupun yudikatif. Supaya selalu seiring dengan kepentingan rakyat, bukan kepentingan dan
kehendak segelintir kelompok kepentingan, yakni para pemodal kapitalis dan oligarki.
Selain itu, demokrasi adalah instrumen atau cara paling efektif dalam mengontrol pemerintah.
Sebab, sesuai dengan adagium yang dicetuskan Abraham Lincoln bahwa demokrasi adalah
pemerintah yang oleh, dari, dan untuk rakyat. Kemudian diperkuat oleh Sutan Sjahrir bahwa
nilai demokrasi adalah yang menyanjung nilai-nilai kemanusiaan, sehingga kepemimpinan yang
terpilih dalam bernegara terhindar dari sikap yang suka menindas dan tidak adil kepada
rakyatnya.
Akan tetapi, hal tersebut masih jauh panggang dari api, karena masih tingginya kasus
pelanggaran pemilu, dan yang selalu menjadi perhatian utama adalah praktik politik uang
(money politics/buying voters), karena tindakan politik uang inilah yang menyebabkan
rendahnya kualitas demokrasi di Indonesia.Mengutip artikel yang ditulis Burhanudin Muhtadi
pada laman KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) yang menjelaskan tingginya tingkat politik
uang di Indonesia pada Pemilu 2019 dengan persentase di kisaran 19,4%-33,1%, sehingga
menjadikan Indonesia sebagai negara ranking 3 di dunia untuk praktik politik uang.
Tentu ini hal yang sangat memalukan dan merendahkan kualitas demokrasi Indonesia di mata
dunia. Hal ini mengindikasikan bahwa model penyelenggaraan dan kepengawasan pemilu saat
ini masih bersifat sangat normatif, barometer ini bisa dilihat dari indeks angka politik uang di
Indonesia yang sangat tinggi. Bahkan berada di peringkat tiga dunia.
Menurut catatan Burhanudin Muhtadi, ada 62 juta (33%) pemilih pernah ditawari politik uang,
tentu ranking tersebut sangat miris dan menyedihkan karena membuat Indonesia secara
demokrasi sejajar dengan negara-negara miskin di Afrika seperti Uganda dan Benin.
Patronase didefinisikan sebagai bentuk dukungan atau dorongan berupa hak istimewa atau
bantuan keuangan yang diberikan oleh suatu kelompok dan individu kepada pihak atau individu
lain. Adapun definisi dari klientisme adalah bentuk relasi kuasa antar-aktor politik yang
memberikan sesuatu kepada (patron) non-programatik dengan pihak yang menerima (klien)
didasari pemberian loyalitas dari penerima secara paternalistik (otoriter).
Memanfaatkan eksperimen alami dari konteks Indonesia, didapatkan temuan bahwa beberapa
partai politik di Indonesia merupakan lokus utama kekuasaan klientelistik, kasus di Indonesia
tampaknya menunjukkan bahwa kontrol elite atas birokrasi lokal jauh lebih penting untuk
melembagakan struktur klientisme.
Kemudian ditemukan tidak ada efek yang jelas dari akuntabilitas pemilu terhadap hasil
pembangunan manusia di Indonesia dan adanya distorsi patronase serta siklus anggaran, uang
menimbulkan pertanyaan tentang efektivitas pemilihan kepala daerah dalam meningkatkan
hubungan akuntabilitas tanpa syarat atau janji politik.
Selain itu, muncul isu dan debat akademik tentang korupsi, politik uang, dan kolusi elite telah
memberikan gambaran yang cukup suram bagi akuntabilitas pemilu di Indonesia. Dengan bukti
adanya distorsi kebijakan terkait pemilu dan menyoroti pentingnya birokrasi lokal sebagai alat
untuk politik klientelistik.
Hal ini menunjukkan bahwa upaya reformasi harus fokus mewujudkan kondisi kala peserta
pemilu dapat menghasilkan hubungan akuntabilitas yang didasari pada hal yang sifatnya
meritoktaris dan programatik antara pemilih dan kandidat atau perwakilan politik di eksekutif
maupun legislatif.
Kedua adalah koordinasi yang kuat dan efektif antara lembaga penyelenggara dan pengawas
pemilu seperti KPU dan Bawaslu, serta pihak keamanan dan penegak hukum, sehingga terjadi
formulasi pengawasan yang komprehensif dan memiliki daya getar dan daya tangkal, sehingga
tidak ada lagi kandidat nakal yang berani menghalalkan segala cara untuk mendapatkan suara
rakyat.
Ketiga adalah melibatkan aktif peran lembaga atau organisasi serta masyarakat peduli
pemilihan umum, baik secara langsung maupun via media sosial, seperti adagium bahwa
kejadian yang viral bisa menegakkan keadilan, maka sebaiknya peran partisipasi masyarakat
juga perlu ditingkatkan, berkolaborasi dengan pihak terkait dan memviralkan jika memang
terjadi pelanggaran-pelanggaran pemilu oleh oknum politikus atau kandidat tertentu, sehingga
secara alami akan terjadi pencegahan dan membuat takut pihak-pihak yang ingin berbuat
curang.
Keempat, yang terakhir dan sangat penting adalah penguatan independensi dan integritas
internal anggota dan jajaran lembaga penyelenggara dan pengawas pemilu itu sendiri,
sehingga tidak mudah diintervensi, tidak mudah disogok, dan tegak lurus menegakkan aturan
jika terjadi pelanggaran demi terwujudnya pesta demokrasi pemilu untuk menghasilkan kualitas
kepemimpinan yang meritokrasi, bukan oligarki–kapitalis.
PENTINGNYA BERPARTISIPASI DALAM PEMILU
Partisipasi pemilih dalam Pemilu dan Pemilihan adalah tanggung jawab bersama antara
penyelenggara Pemilu, Pemerintah, partai politik dan segenap warga negara dimana perhelatan
itu diselenggarakan. Partisipasi tidak bisa dibebankan kepada salah satu pihak, semua harus
bersatu padu melakukan strategi sesuai kapasitas masing-masing.
Pemilih pemula adalah bagian dari pemilih yang menjadi banyak perhatian publik. Perhatian ini
demikian tajam mengingat sikap apatis yang ditunjukkan mayoritas anak muda sejak
meluasnya penggunaan media sosial. Hal ini tentu memiliki alasan yaitu secara kasat mata
masyarakat melihat para kaum muda lebih asik dengan permainan dunia maya dibandingkan
dunia nyata.
Hal yang dikuatirkan adalah minimnya informasi atau informasi tidak berimbang yang mereka
dapatkan dari internet atau media sosial, dan lebih disayangkan lagi jika lingkunganpun justru
mengabaikanya dalam ketidaktahuanya. Dalam situasi ini pengaruh buruk atau kabar hoax atau
kampanye hitam yang bertebaran di media sosial akan mudah membuatnya percaya bahkan
berani menjadi aktor penyebarannya.
Mengingat pribadi anak adalah peniru tingkah laku orang-orang disekitarnya, perilaku apatis
juga dapat diasumsikan merupakan cerminan lingkungannya, baik itu di rumah, sekolah,
ataupun masyarakat sekitarnya. Minimnya figur yang dapat dicontoh sebagai idola membuat
mereka tidak percaya pada orang-orang disekitarnya sehingga memilih tidak peduli.
Maka dengan alasan tersebut diasumsikan bahwa berkenaan dengan partisipasi pemilih
pemula ada tiga faktor yang berperan sangat dominan, diantaranya orang tua, guru dan tokoh
masyarakat. Peran guru diantaranya memberikan pembelajaran kewarganegaraan, hak dan
kewajiban warga negara, sistem pemerintahan demokrasi, musyawarah untuk mufakat,
kepatuhan terhadap Undang-Undang, dan lain sebagainya yang fokus terhadap penanaman
pemahaman sebagai warga negara. Guru juga berkesempatan mensimulasikan pemilu dalam
acara pemilihan ketua kelas dan ketua OSIS yang diselenggarakan disekolah dengan
melibatkan peran seluruh siswa sebagai pemilih.
Berikutnya ada peran orang tua yang tidak bisa dianggap kecil, terlebih mayoritas waktu anak
adalah bersama orang tua di rumah. Orang tua berperan dalam penanaman karakter anak
seperti berperilaku jujur, adil, saling hormat menghormati, gotong royong, musyawarah, dan lain
sebagainya. Sadarilah orang tua adalah guru dan model utama yang segala perilakunya
dicontoh oleh anak, maka tampilkan peran terbaik saat berada bersama anak-anak kita.
Kurangi sikap mendikte pilihan anak, berikan kesempatan anak untuk memaparkan kebenaran
versinya dan kemudian orang tua meluruskan bagian-bagian yang dianggap tidak tepat.
Biasakan melakukan komunikasi untuk mentransfer informasi dan menyerap apa yang mereka
fikirkan. Dengan segala pengalamannya orang tua dapat menciptakan suasana kondusif
sehingga anak merasa nyaman dan percaya akan bimbingan orang tuanya dan tidak mudah
terbawa arus berita hoax diluaran.
Dan faktor ketiga adalah orang-orang dilingkungan anak. Kenapa lingkungan sangat
berpengaruh? Karena lingkungan memberikan penajaman dan pengalaman atas semua
pemahaman yang telah dimiliki anak di rumah dan di sekolah. Ibarat sebuah pisau, lingkungan
akan terus mengasah karakter anak menjadi mirip dengan yang ada disekitarnya. Untuk itu
anak memerlukan lingkungan yang baik, menerima dan merangkulnya pada hal-hal positif dan
tidak mengungkungnya dalam stigma ''anak kecil tidak tau apa-apa''.
Figur-figur seperti tokoh masyarakat, tokoh pemuda, tokoh agama, dan tokoh perempuan
memainkan peran yang cukup dapat diperhitungkan untuk dapat ditiru oleh calon pemilih
pemula. Cara mereka memimpin, memecahkan masalah, mengambil keputusan, menjadi
contoh untuk mereka bagaimana proses demokrasi seharusnya. Indikator-indikator sikap
seorang pimpinan secara tidak langsung terserap dalam ingatan dan diaplikasikan saat dirinya
memilih kelak.
Untuk meningkatkan partisipasi pemilih pemula program sosialisasi KPU goes to school cukup
menarik perhatian. Dimana KPU bekerjasama dengan beberapa Sekolah tingkat menengah
untuk dapat bertemu langsung dengan calon pemilih pemula dan melakukan strategi
komunikasi mengenai isu-isu demokrasi. Media yang sesuai untuk kegiatan ini adalah
penayangan video, penyebaran poster, dan bermain game berhadiah ringan.
Selain itu, KPU memiliki program sosialisasi kepada beberapa organisasi profesi, diantaranya
profesi guru/PGRI. Banyak warga masyarakat datang kepada guru untuk mendapatkan solusi
segala permasalahan. Guru juga dipercaya sebagai tokoh masyarakat seperti RT,RW,
pengurus DKM, dan lain sebagainya. Oleh karena itu KPU menyadari benar bahwa guru
merupakan agen informasi yang sangat terpercaya baik dilingkungan kerja maupun
dilingkungan tempat tinggalnya. Sehingga guru banyak dilibatkan dalam kegiatan tahapan
seperti sosialisasi dan pembentukan badan Adhok.
Disisi lain, KPU program sosialisasi kepada tokoh pemuda, tokoh masyarakat, tokoh agama,
tokoh perempuan, serta tokoh lainnya masih dianggap cukup efektif untuk pemerataan
informasi. Tokoh-tokoh disini pastinya yang dianggap memiliki kapasitas untuk dapat
menyebarkan kembali informasi yang didapatnya dan menggiring pemilih untuk hadir di TPS.
Khusus pemilih pemula diperlukan peran aktif dari para tokoh dalam memberikan penjelasan,
bimbingan serta ajakan yang ramah dan informatif. Sebagai seorang pemula mereka akan
merasa dihargai dan tertarik jika para tokoh langsung yang terlibat mendorong partisipasi ini.
Selain dengan strategi tatap muka langsung, KPU pandeglang juga menyiapkan berbagai akun
resmi media sosial dari berbagai platform; diantaranya Youtube, facebook, instagram, podcast,
tiktok, twitter, yang dapat diakses oleh masyarakat kapan dan dimanapun. Dengan konten
pemberitaan yang menarik dan terkini, diharapkan akan memberikan pencerahan pada pemilih
pemula yang selama ini aktif di media sosial. Pengemasan konten telah melalui tahap verifikasi
kelayakan yang mempertimbangkan sisi informasi dan edukasi. Nara sumber yang
dihadirkanpun dipercaya memiliki kewenangan dibidangnya masing-masing.
Dengan kemampuan anggaran yang cukup, tidak menutup kemungkinan KPU melakukan
program-program kreatif yang menarik untuk pemilih pemula, seperti lomba menjadi presenter
podcast, lomba fotografi, membuat lagu jingle pemilu/pemilihan, membuat video edukasi
pemilu, dan lain sebagainya. Selain informatif dan memerlukan keterampilan khusus, jenis-jenis
lomba ini lebih kearah hiburan ringan yang banyak diminati anak muda.