Anda di halaman 1dari 22

DRAF KAJIAN

(Batas Usia Capres-Cawapres 40 Tahun Atau Menduduki Jabatan

yang Dipilih dari Pemilu/Pilkada)


Latar belakang

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden merupakan perwujudan demokrasi dalam


sistem Presidensiil .Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
telah meletakkan dasar kelembagaan Negara dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Demikian pula dengan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang sebelumnya dipilih oleh
Majelis
Permusyawaratan Rakyat sebagai pengejawantahan kedaulatan di Indonesia dialihkan dipilih
oleh rakyat pemilih secara langsung.

Sejak pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004


telah dipratekkan pemilihan langsung oleh rakyat pemilih. Berdasarkan Pasal 22 E Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 diperkenalkan Pemilu Legislatif, Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden, sedang Pasal 18 (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 mengatur Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara bertingkat
dari Gubernur hingga Bupati/Walikota. Jenjang pemilihan secara langsung tersebut menjadi
kewajiban rakyat untuk dipilih.

Pemilihan langsung yang berjenjang tersebut menjadi agenda penyelenggaraan


Pemilu untuk dilaksanakan dalam kurun waktu 5 tahun penyelenggaraan pemerintahaan di
Indonesia. Momen tersebut masing-masing pihak saling dimanfaatkan baik calon termasuk
pendukungnya, penyelenggara Pemilu maupun masyarakat pemilih untuk berbuat baik sesuai
aturan yang berlaku maupun berbuat curang dengan tegak bentuknya.

Sejarah pemilu dan pengertian dari pemilihan presiden di indonesia

Pengertian Pemilu
Pemilihan Umum (Pemilu) adalah proses demokratis untuk memilih wakil rakyat atau pejabat
pemerintahan secara langsung oleh warga negara suatu negara. Pemilu merupakan
mekanisme penting dalam sistem demokrasi modern yang memungkinkan rakyat untuk
berpartisipasi dalam menentukan pemimpin dan kebijakan negara.
Tujuan dari pemilihan umum adalah menciptakan sistem pemerintahan yang berdasarkan
pada kehendak rakyat, menjaga prinsip-prinsip demokrasi, mendorong partisipasi politik
warga negara, dan memastikan bahwa pemimpin yang terpilih mewakili kepentingan dan
aspirasi masyarakat secara luas. Pemilu yang adil, bebas, dan transparan sangat penting
dalam menjaga integritas demokrasi suatu negara.
Sejarah Pemilu di Indonesia
Sejarah Pemilu di Indonesia telah mengalami berbagai perubahan dan evolusi sejak masa
kolonial hingga era modern. Berikut adalah gambaran singkat mengenai sejarah pemilu di
Indonesia:

1. Pemilu Kolonial (1905-1942)


a. Pemilu di Indonesia dimulai pada masa penjajahan kolonial Belanda. Pemilu
pertama diadakan pada tahun 1905, di mana sejumlah perwakilan pribumi
dipilih untuk duduk di Volksraad (Dewan Rakyat), badan legislatif yang
didominasi oleh Belanda. Namun, Volksraad memiliki kekuasaan terbatas dan
peran pribumi dalam proses pemilihan sangat terbatas.

2. Periode Kemerdekaan (1945-1959)


a. Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, Pemilu
pertama di Indonesia diadakan pada tahun 1955. Pemilu tersebut adalah
Pemilu Konstituante, yang bertujuan untuk memilih anggota badan legislatif
yang akan menyusun konstitusi negara. Partai-partai politik yang beragam ikut
serta dalam pemilu ini, termasuk Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai
Komunis Indonesia (PKI), dan Partai Masyumi.

3. Demokrasi Terpimpin (1959-1965)


a. Pemilu pada periode ini berlangsung dalam suasana politik yang tidak
demokratis karena adanya sistem Demokrasi Terpimpin yang diterapkan oleh
Presiden Soekarno. Partai-partai politik diberangus dan digantikan oleh satu
partai tunggal, yakni Partai Nasional Indonesia (PNI) yang berkuasa.

4. Orde Baru (1966-1998)


a. Setelah G30S/PKI dan jatuhnya Soekarno, Soeharto menjadi presiden dan
memimpin era Orde Baru. Pemilu diatur oleh UU No. 5 Tahun 1975 dan UU
No. 2 Tahun 1985 yang menetapkan sistem Dwifungsi ABRI, di mana
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) berperan dalam politik dan
sosial kemasyarakatan. Partai Golkar, sebagai partai penguasa, mendominasi
pemilu pada periode ini.

5. Reformasi (1998-sekarang)
a. Pada tahun 1998, Indonesia mengalami reformasi politik yang menggulingkan
rezim Soeharto. Perubahan politik ini membuka jalan bagi perubahan sistem
politik dan proses pemilu. Pada tahun 1999, pemilu legislatif dan presiden
diadakan kembali dengan partai-partai politik yang lebih bebas dan pluralis.
Isu kontroversi

Soal Putusan MK Syarat Usia Capres-Cawapres

Berikut ini syarat-syarat calon Presiden dan calon Wakil Presiden menurut UU:

Bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;


Warga Negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan
lain atas kehendaknya sendiri

Suami atau istri calon Presiden dan suami atau istri calon Wakil Presiden adalah Warga
Negara Indonesia

Tidak pernah mengkhianati negara serta tidak pernah melakukan tindak pidana korupsi dan
tindak pidana berat lainnya

Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai
Presiden dan Wakil Presiden serta bebas dari penyalahgunaan Narkotika

Bertempat tinggal di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia

Telah melaporkan kekayaannya kepada instansi yang berwenang memeriksa laporan


kekayaan penyelenggara negara

Tidak sedang memiliki tanggungan utang secara perseorangan dan/atau secara badan hukum
yang menjadi tanggung jawabnya yang merugikan keuangan negara

Tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan


Tidak pernah melakukan perbuatan tercela

Tidak sedang dicalonkan sebagai anggota DPR, DPD, atau DPRD

Terdaftar sebagai Pemilih

Memiliki nomor pokok wajib pajak dan telah melaksanakan kewajiban membayar pajak
selama 5 tahun terakhir yang dibuktikan dengan surat pemberitahuan tahunan pajak
penghasilan wajib pajak orang pribadi

Belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 kali masa jabatan
dalam jabatan yang sama

Setia kepada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Bhinneka Tunggal Ika

Tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 tahun atau lebih

Berusia paling rendah 40 tahun

Berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah
menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat;
Bukan bekas anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk organisasi
massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam G.30.S/PKI

Memiliki visi, misi, dan program dalam melaksanakan pemerintahan negara Republik
Indonesia.
Alasan pengajuan permohonan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilu.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji


materi yang diajukan Almas Tsaqibbirru Re A mengenai batas usia calon presiden dan wakil
presiden (capres/cawapres). Ketentuan itu diatur dalam Pasal 169 huruf q Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

Dalam permohonannya, Almas meminta MK mengubah batas usia minimal capres-cawapres


menjadi 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai kepala daerah. Ketika pertimbangan
hukum hakim MK dibacakan, ditegaskan bahwa putusan tersebut berlaku pada Pilpres 2024.

"Ketentuan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku
mulai pada Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya," kata
Hakim MK Guntur Hamzah dalam sidang pembacaan putusan di Ruang Sidang MK pada Senin
(16/10/2023).

"Ini penting ditegaskan Mahkamah agar tidak timbul keraguan mengenai penerapan Pasal a
quo dalam menentukan syarat keterpenuhan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden
sebagaimana rumusan dalam amar putusan a quo," ujar Guntur.

Sebelumnya, MK memutuskan mengabulkan uji materiil Pasal 169 huruf q UU Pemilu


mengenai batas usia minimal calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang
diajukan oleh seorang mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru Re A. Perkara itu masuk ke MK
dengan nomor 90/PUU-XXI/2023.

"Mengadili mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian," kata Ketua MK Anwar


Usman dalam sidang pengucapan putusan di Gedung MK pada Senin (16/10/2023).

MK menyatakan Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang menyatakan "berusia paling rendah 40
tahun" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Sehingga pasal 169 huruf q selengkapnya berbunyi 'berusia paling rendah 40 tahun atau
pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk
pemilihan kepala daerah'," ujar Anwar.
JAKARTA, HUMAS MKRI – Polemik batas usia calon presiden dan calon wakil presiden
(capres dan cawapres) berakhir dengan diputusnya permohonan yang diajukan
oleh Mahasiswa Universitas Surakarta Almas Tsaqibbirru dalam Perkara Nomor 90/PUU-
XXI/2023. Dalam putusan tersebut, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan yang
menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum (UU Pemilu).

“Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian. Menyatakan Pasal 169 huruf q


Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang menyatakan, 'berusia
paling rendah 40 (empat puluh) tahun' bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang
tidak dimaknai ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki
jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah’,” ucap
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman membacakan putusan pada Senin
(16/10/2023) di Ruang Sidang Pleno MK.

Dalam pertimbangan hukum yang dibacakan oleh Hakim Konstitusi M. Guntur Hamzah,
Mahkamah berpendapat pengisian jabatan publik in casu Presiden dan Wakil Presiden perlu
melibatkan partisipasi dari calon-calon yang berkualitas dan berpengalaman. Dalam
kaitannya dengan pelaksanaan dan pengawasan kebijakan nasional, terdapat jabatan publik
yang syarat usia pencalonannya 40 tahun (Presiden dan Wakil Presiden) dan di bawah 40
(empat puluh) tahun yang sama-sama dipilih melalui pemilu seperti jabatan Gubernur (30
tahun), Bupati, dan Walikota (25 tahun), serta anggota DPR, anggota DPD, dan anggota
DPRD (21 tahun). Namun demikian, terkait dengan jabatan Presiden dan Wakil Presiden
meskipun juga dipilih melalui pemilu, namun karena terkait usia calon Presiden dan Wakil
Presiden merupakan bagian dari yang dimintakan pengujian konstitusionalitasnya, maka
jabatan Presiden dan Wakil Presiden menurut batas penalaran yang wajar kurang relevan
untuk disangkutpautkan dengan hanya syarat usia calon Presiden dan Wakil Presiden.

“Artinya, Presiden dan Wakil Presiden yang pernah terpilih melalui pemilu dengan
sendirinya seyogianya telah memenuhi syarat usia untuk jabatan Presiden dan Wakil
Presiden. Dalam rangka mewujudkan partisipasi dan calon-calon yang berkualitas dan
berpengalaman, Mahkamah menilai bahwa pejabat negara yang berpengalaman sebagai
anggota DPR anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati dan Walikota sesungguhnya
layak untuk berpartisipasi dalam kontestasi pimpinan nasional in casu sebagai calon Presiden
dan calon Wakil Presiden dalam pemilihan umum meskipun berusia di bawah 40 tahun,”
terang Guntur.

Artinya, Guntur melanjutkan jabatan-jabatan tersebut merupakan jabatan publik dan terlebih
lagi merupakan jabatan hasil pemilu yang tentu saja didasarkan pada kehendak rakyat (the
will of the people) karena dipilih secara demokratis. Pembatasan usia minimal 40 (empat
puluh) tahun semata (an sich) tidak saja menghambat atau menghalang perkembangan dan
kemajuan generasi muda dalam kontestasi pimpinan nasional, tapi juga berpotensi
mendegradasi peluang tokoh figur generasi milenial yang menjadi dambaan generasi muda,
semua anak bangsa yang seusia generasi milenial.

“Artinya, usia di bawah 40 tahun sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan yang
dipilih melalui pemilu (elected officials) seyogianya dapat berpartisipasi dalam kontestasi
calon Presiden dan Wakil Presiden. Jabatan-jabatan dimaksud merupakan jabatan yang
bersifat elected officials, sehingga dalam batas penalaran yang wajar pejabat yang menduduki
atau pemah menduduki jabatan elected officials sesungguhnya telah teruji dan telah diakui
serta terbukti pernah mendapatkan kepercayaan dan legitimasi rakyat, sehingga figur/orang
tersebut diharapkan mampu menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik in casu presiden
atau wakil presiden,” papar Guntur.

Pengalaman Jabatan

Guntur menyampaikan andaipun seseorang belum berusia 40 tahun namun telah


memiliki pengalaman sebagai pejabat negara yang dipilih melalui pemilu (anggota DPR
anggota DPD, anggota DPRD, Gubemur, Bupati, dan Walikota) tidak serta-merta
seseorang tersebut menjadi Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sebab, masih terdapat dua
syarat konstitusional yang harus dilalui yakni syarat diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai dan syarat dipilih secara langsung oleh rakyat. Sehingga, meskipun
seseorang yang telah memiliki pengalaman sebagai pejabat negara, namun tidak diusung
atau diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum,
maka sudah tentu tidak dapat menjadi calon Presiden daniatau Wakil Presiden.
Selanjutnya, seandainya seseorang diusung atau diusulkan oleh partai politik atau
gabungan partai politik peserta pemilihan umum, maka mereka tentu harus melewati
syarat konstitusional berikutnya, yaitu Pasal 6A ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan
Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
Oleh karena itu, terhadap calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia minimal 40
(empat puluh) tahun tetap dapat diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden.

“Sedangkan, bagi bakal calon yang berusia di bawah 40 tahun tetap dapat diajukan sebagai
calon Presiden dan Wakil Presiden sepanjang memiliki pengalaman pernah atau sedang
menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui pemilu in casu anggota DPR,
anggota DPD, anggota DPRD, Gubernur, Bupati, atau Walikota, namun tidak termasuk
pejabat yang ditunjuk (appointed officials), seperti penjabat atau pelaksana tugas dan
sejenisnya. Bagi pejabat appointed officials semata, dapat diajukan menjadi calon Presiden
dan Wakil Presiden melalui pintu masuk yaitu berusia 40 tahun,” ujar Guntur.

Dua Pintu Masuk


Guntur melanjutkan, menurut Mahkamah, meskipun terdapat syarat alternatif berupa
pengalaman pemah atau sedang menduduki jabatan sebagai pejabat yang dipilih melalui
pemilu (elected officials) bagi calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia di bawah 40
tahun, syarat tersebut tidak akan merugikan calon Presiden dan Wakil Presiden yang berusia
40 tahun ke atas. Karena, syarat usia dalam kandidasi Presiden dan Wakil Presiden harus
didasarkan pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give
opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel. Sehubungan dengan
hal tersebut. penting bagi Mahkamah untuk memastikan kontestasi pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil tanpa
terhalangi oleh syarat usia 40 (empat puluh) tahun semata.

“Oleh karena itu, terdapat dua ‘pintu masuk’ dari segi syarat usia pada norma Pasal 169 huruf
q UU7/2017, yaitu berusia 40 tahun atau pemahisedang menjabat jabatan yang dipilih melalui
pemilu. Pemenuhan terhadap salah satu dari dua syarat tersebut adalah valid dan
konstitusional Syahdan, "idu geni" istilah yang acapkali disematkan pada putusan Mahkamah
telah ditorehkan sebagaimana termaktub dalam amar dan pertimbangan hukum putusan ini.
Artinya, melalui putusan a quo Mahkamah sejatinya hendak menyatakan bahwa dalam
perkara a quo yakni dalam kaitannya dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden, prinsip
memberi kesempatan dan menghilangkan pembatasan harus diterapkan dengan jalan
membuka ruang kontestasi yang lebih luas, adil, rasional, dan akuntabel kepada putera-puteri
terbaik bangsa, termasuk generasi milenial sekaligus memberi bobot kepastian hukum yang
adil dalam bingkai konstitusi yang hidup (living constitution). Dengan demikian apabila salah
satu dari dua syarat tersebut terpenuhi, maka seorang Warga Negara Indonesia harus
dipandang memenuhi syarat usia untuk diajukan sebagai calon Presiden dan Wakil Presiden,”
tandas Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Hasanudin Makassar tersebut.

Guntur melanjutkan, berkenaan dengan petitum Pemohon yang pada pokoknya meminta
Mahkamah untuk memberikan pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu atau
berpengalaman sebagai kepala daerah baik di tingkat Provinsi maupun Kabupaten Kota.
Terhadap hal tersebut, Mahkamah menilai meskipun serangkaian pertimbangan hukum
Mahkamah di atas berkesesuaian dan dapat menjawab isu yang dikemukakan Pemohon,
namun pemaknaan yang tepat untuk mewujudkan pokok pertimbangan hukum tersebut tidak
sepenuhnya dapat dilakukan dengan mengikuti rumusan pemaknaan yang dikehendaki oleh
Pemohon. Oleh karena itu, dengan mempertimbangkan petitum Pemohon pada petitum
pilihan pengganti yaitu "ex aequo et bono" yang tertera dalam petitum permohonan
Pemohon, serta demi memenuhi kepastian hukum yang adil, maka menurut Mahkamah
pemaknaan yang tepat untuk rumusan norma a quo adalah berusia paling rendah 40 (empat
puluh) tahun atau pemahsedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum
termasuk pemilihan kepala daerah.
Dengan demikian, sambung Guntur, karena jabatan kepala daerah baik tingkat provinsi
maupun tingkat kabupaten kota saat ini paradigmanya adalah jabatan yang dipilih melalui
pemilihan umum, sehingga selengkapnya norma a quo berbunyi "berusia paling rendah 40
(empat puluh) tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan
umum termasuk pemilihan daerah". Lebih lanjut, ketentuan Pasal 169 huruf q UU Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam putusan a quo berlaku mulai pada Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden Tahun 2024 dan seterusnya. Hal ini penting ditegaskan Mahkamah agar
tidak timbul keraguan mengenai penerapan Pasal a quo dalam menentukan syarat
keterpenuhan usia minimal calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana rumusan dalam
amar putusan a quo.

Oleh karena itu, jelas Guntur, terhadap pemaknaan norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu,
penting bagi Mahkamah untuk menegaskan bahwa dalam hal terdapat dua putusan yang
menyangkut isu konstitusionalitas yang sama namun karena petitum yang tidak sama dalam
beberapa putusan sebelumnya dengan perkara a quo sehingga berdampak pada amar putusan
yang tidak sama, maka yang berlaku adalah putusan yang terbaru. Artinya, putusan a
quo serta merta mengesampingkan putusan sebelumnya. Ihwal pemahaman ini sejalan
dengan asas lex posterior derogat legi priori. Dengan demikian, tafsir konstitusional dalam
putusan a quo mengesampingkan putusan yang dibacakan sebelumnya dalam isu
konstitusional yang sama, dan putusan a quo selanjutnya menjadi landasan konstitusional
baru terhadap norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu yang berlaku sejak putusan ini selesai
diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum.

“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut diatas, ternyata norma Pasal 169 huruf q
UU 7/2017 telah jelas menimbulkan ketidakadilan yang intolerable. Oleh karena itu, menurut
Mahkamah, norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 haruslah dinyatakan inkonstitusional
bersyarat sepanjang tidak memenuhi pemaknaan yang akan dituangkan dalam amar putusan a
quo. Dengan demikian, pemaknaan Mahkamah tersebut tidak sepenuhnya mengabulkan
permohonan Pemohon secara keseluruhan, sehingga permohonan Pemohon adalah beralasan
menurut hukum untuk sebagian,” tandas Guntur.

Alasan penolakan
Seharusnya Ditolak
Dalam Putusan tersebut, tiga hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting
opinion) dan dua hakim konstitusi menyatakan alasan berbeda (concurring opinion). Tiga
hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda, yakni Wakil Ketua MK Saldi Isra, Hakim
Konstitusi Arief Hidayat, dan Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams. Ketiganya menilai
seharusnya Mahkamah menolak permohoan Pemohon.

Saldi di awal pendapatnya menyebut Putusan Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sebagai


peristiwa “aneh” yang “luar biasa” dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar:
Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat.Sebelumnya, dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUUXXI/2023, Mahkamah secara eksplisit,
lugas, dan tegas menyatakan bahwa ihwal usia dalam norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017
adalah wewenang pembentuk undang-undang untuk mengubahnya.

“Padahal, sadar atau tidak, ketiga Putusan tersebut telah menutup ruang adanya tindakan lain
selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Apakah Mahkamah pernah berubah
pendirian? Pernah, tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam
hitungan hari. Perubahan demikian tidak hanya sekadar mengenyampingkan Putusan
sebelumnya, namun didasarkan pada argumentasi yang sangat kuat setelah mendapatkan
fakta-fakta penting yang berubah di tengah-tengah masyarakat. Pertanyaannya, fakta penting
apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya
dari Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak
sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam Putusan a quo?” ungkap Guru Besar FH
Universitas Andalas tersebut.

Selanjutnya Saldi mengungkapkan, kronologis proses putusan serta komposisi hakim


konstitusi dalam memutus perkara tersebut. Secara keseluruhan terdapat belasan permohonan
untuk menguji batas minimal usia calon Presiden dan Wakil Presiden dalam norma Pasal 169
huruf q UU Pemilu, yang terbagi menjadi dua gelombang; tiga perkara di atas (Perkara
Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023) adalah permohonan atau perkara gelombang pertama,
sedangkan Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 termasuk perkara gelombang kedua. Rapat
Permusyawaratan Hakim (RPH) untuk memutus Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023
pada tanggal 19 September 2023, RPH dihadiri oleh delapan Hakim Konstitusi tanpa dihadiri
Ketua MK Anwar Usman. Hasilnya, enam Hakim Konstitusi, sebagaimana amar Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak permohonan dan
tetap memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan hukum terbuka (opened
legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi lainnya
memilih sikap berbeda (dissenting opinion).

Pada RPH berikutnya, sebut Saldi, beberapa hakim konstitusi yang dalam Perkara Nomor 29-
51-55/PUU-XXI/2023 telah memosisikan Pasal 169 huruf q UU Pemilu sebagai kebijakan
hukum terbuka pembentuk undang-undang (opened legal policy), tiba-tiba menujukkan
“ketertarikan” dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor
90/PUU-XXI/2023. Padahal, meski model alternatif yang dimohonkan oleh Pemohon dalam
Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 secara substansial telah dinyatakan sebagai kebijakan
hukum terbuka dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023.
Belum lagi adanya fakta, para Pemohon Perkara Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sempat
menarik permohonannya dan kemudian sehari setelahnya membatalkan kembali penarikan
tersebut. Dengan adanya kejadian tersebut, tidak ada pilihan selain Mahkamah harus
mengagendakan sidang panel untuk mengonfirmasi surat penarikan dan surat pembatalan
penarikan kepada para Pemohon. Saldi membeberkan misteri pembatalan penarikan tersebut
yang hanya berselang satu hari, sebagian Hakim Konstitusi yang 97 dalam Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 berada pada posisi Pasal 169 huruf q
UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka pembentuk undang-undang, kemudian “pindah
haluan” dan mengambil posisi akhir dengan “mengabulkan sebagian” Perkara Nomor
90/PUU-XXI/2023.

Saldi juga menyoroti mengenai amar Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor


90/PUU-XXI/2023. Ia memaparkan bahwa lima Hakim Konstitusi yang berada dalam
gerbong “mengabulkan sebagian” ternyata terbagi ke dalam dua kelompok, yaitu tiga Hakim
Konstitusi sepakat memadankan atau membuat alternatif usia 40 tahun dengan “atau
pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan
kepala daerah”. Sementara itu, dua Hakim Konstitusi yang lain memaknai petitum Pemohon
hanya sebatas “pernah menjabat atau sedang menjabat sebagai gubernur”. Tidak berhenti
sampai di situ, dua Hakim Konstitusi dimaksud masih tetap mempertahankan prinsip “opened
legal policy” dalam menentukan kriteria jabatan gubernur yang dapat disepadankan atau
dialternatifkan tersebut. Ia menyampaikan pilihan jabatan publik berupa elected
official termasuk pemilihan kepala daerah, kelimanya berada pada titik singgung atau titik
arsir jabatan gubernur. Oleh karena itu, seharusnya amar putusan lima Hakim Konstitusi yang
berada dalam gerbong “mengabulkan sebagian” adalah jabatan gubernur. Dengan pilihan
amar memaknai Pasal 169 huruf q UU 7/2017 menjadi “Persyaratan menjadi calon Presiden
dan calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau
pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan
kepala daerah” seharusnya tertolak atau tidak terterima oleh makna “mengabulkan sebagian”.

Selain itu, Saldi menekankan pembentuk undang-undang secara eksplisit menyampaikan dan
memiliki keinginan yang serupa dengan para Pemohon, sehingga perubahan ataupun
penambahan terhadap persyaratan bagi calon presiden dan wakil presiden tersebut sudah
selayaknya dilakukan melalui mekanisme legislative review dengan cara merevisi Undang-
Undang yang dimohonkan oleh para Pemohon, bukan justru melempar “bola panas” ini
kepada Mahkamah. Sayangnya, hal yang sederhana dan sudah terlihat dengan jelas
sifat opened legal policy-nya ini, justru diambil alih dan dijadikan “beban politik” Mahkamah
untuk memutusnya.

“Jika pendekatan dalam memutus perkara sejenis seperti ini terus dilakukan, saya sangat,
sangat, sangat cemas dan khawatir Mahkamah justru sedang menjebak dirinya sendiri dalam
pusaran politik dalam memutus berbagai political questions yang pada akhirnya akan
meruntuhkan kepercayaan dan legitimasi publik terhadap Mahkamah. Quo vadis Mahkamah
Konstitusi?” tandasnya.

Tiga Keganjilan

Sementara itu, Hakim Konstitusi Arief Hidayat membongkar tiga keganjilan dari lima
perkara yang menguji aturan batas usia capres dan cawapres, yakni Perkara Nomor 29/PUU-
XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUUXXI/2023, Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023, Nomor
90/PUU-XXI/2023, dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023. Tiga keganjilan tersebut, yakni
penjadwalan sidang yang terkesan lama dan tertunda, pembahasan dalam RPH, serta Perkara
Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023 ditarik tetapi tetap
dilanjutkan. Proses persidangan Pasca Persidangan Perbaikan Permohonan menuju
Pemeriksaan Persidangan dengan agenda Mendengarkan Keterangan DPR dan Presiden
terkesan terlalu lama, bahkan memakan waktu hingga 2 (dua) bulan, yakni pada Perkara
Nomor 29/PUU-XXI/2023 dan 1 (satu) bulan pada Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan
Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023. Meskipun hal ini tidak melanggar hukum acara baik yang
diatur di dalam undang-undang tentang Mahkamah Konstitusi maupun Peraturan Mahkamah
Konstitusi. Namun penundaan perkara a quo berpotensi menunda keadilan dan pada akhirnya
akan meniadakan keadilan itu sendiri (justice delayed, justice denied).

Terkait RPH, Arief menyebut Ketua MK Anwar Usman tidak hadir dalam RPH untuk tiga
perkara, yakni Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUUXXI/2023, dan
Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023. Alasan kala itu untuk menghindari konflik kepentingan
karena kerabat Ketua MK berpotensi diusulkan dalam kontestasi Pemilu Presiden 2024
sebagai Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden oleh salah satu partai politik, sehingga
Ketua memilih untuk tidak ikut dalam membahas dan memutus ketiga perkara a quo. Namun
demikian, pada Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan Perkara Nomor 91/PUU-XXI/2023
dengan isu konstitusionalitas yang sama, Ketua malahan ikut membahas dan memutus kedua
perkara a quo dan khusus untuk Perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 diputus dengan amar
“dikabulkan sebagian”.

“Sungguh tindakan yang menurut saya di luar nalar yang bisa diterima oleh penalaran yang
wajar. Tindakan Ketua ini kemudian saya pertanyakan dan persoalkan di dalam RPH. Setelah
dilakukan konfirmasi pada sidang RPH hari Kamis, tanggal 21 September 2023, Ketua
menyampaikan bahwa ketidakhadirannya pada pembahasan dan forum pengambilan
keputusan pada Perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023, Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan
Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 lebih dikarenakan alasan kesehatan dan bukan untuk
menghindari konflik kepentingan (conflict of interest) sebagaimana disampaikan Wakil
Ketua pada RPH terdahulu,” urai Arief.

Sementara itu, Hakim Konstitusi Wahiduddin Adams menegaskan jika Mahkamah


mengabulkan Permohonan ini, baik seluruhnya maupun sebagian, maka yang sejatinya terjadi
adalah Mahkamah melakukan praktik yang lazim dikenal sebagai ”legislating or governing
from the bench” tanpa didukung dengan alasan-alasan konstitusional yang cukup (sufficient
reason) dalam batas penalaran yang wajar. Hal ini menjadikan Mahkamah masuk sangat jauh
dan begitu dalam kepada salah satu dimensi dan area yang paling fundamental bagi
terselenggaranya kekuasaan legislatif yang baik dan konstitusional, yakni fungsi representasi
parlemen sebagai salah satu refleksi serta implementasi utama dari prinsip “kedaulatan
rakyat” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945.

Oleh karena itu, jelas Wahiduddin, Mahkamah dalam rangka memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara ini seharusnya (sekali lagi) meyakinkan kepada publik dan khususnya
Pemohon bahwa adakalanya kemerdekaan kekuasaan kehakiman itu diselenggarakan dalam
bentuk “kemerdekaan untuk tidak melakukan sesuatu” (The Dont’s; judicial restraint) yang
secara manusiawi memang relatif lebih sulit untuk dilakukan, sebab manusia memang secara
alamiah cenderung lebih tertarik untuk melakukan sesuatu ketimbang menahan diri untuk
tidak melakukan sesuatu. “Menimbang bahwa berdasarkan beberapa uraian argumentasi
tersebut di atas, saya berpendapat Mahkamah seharusnya menolak Permohonan Pemohon,”
ujarnya.

Kemudian pendapat berbeda juga diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Suhartoyo yang
berpendapat terhadap Pemohon yang memohon agar norma Pasal 169 huruf q UU Pemilu
dimaknai sebagaimana selengkapnya dalam petitum permohonannya yang bukan untuk
kepentingan dirinya sendiri, adalah juga tidak relevan untuk diberikan kedudukan hukum
(legal standing) untuk bertindak sebagai pemohon dalam permohonan a quo. Sehingga
pertimbangan hukum pendapat berbeda (dissenting opinion) dalam perkara Nomor 29/PUU-
XXI/2023 Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023, mutatis mutandis sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dari pertimbangan hukum dalam pendapat berbedanya dalam putusan
permohonan a quo.

Alasan Berbeda

Sementara dua alasan berbeda diungkapkan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dan
Daniel Yusmic P. Foekh. Keduanya berpendapat permohonan tersebut dikabulkan dengan
syarat berpengalaman sebagai gubernur yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk
undang-undang. Enny menjelaskan jika dikaitkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 29/PUU-XXI/2023, Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023, di
mana Mahkamah telah memutus menolak permohonan Pemohon (para Pemohon), sekalipun
khususnya dalam perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang
didalilkan adalah berpengalaman sebagai penyelenggara negara. Dalam cakupan
penyelenggara negara terdapat kepala daerah. Dalam pertimbangan hukum Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang mutatis mutandis berlaku untuk
pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi 55/PUU-XXI/2023, permohonan para
Pemohon pada pokoknya tidak secara jelas menguraikan pada batasan mana penyelenggara
negara dimaksud dikatakan berpengalaman yang setara dengan jabatan Presiden atau Wakil
Presiden. Sementara itu, alasan berbedanya dalam permohonan Pemohon a quo dikarenakan
dalil Pemohon telah secara spesifik menguraikan kaitan dengan berpengalaman sebagai
kepala daerah baik tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, namun sesuai dengan tingkatan
dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan maka dalam konteks ini gubernur sebagai
kepala daerah otonom dan juga wakil pemerintah pusat yang relevan untuk mendekat pada
level penyelenggara urusan pemerintahan yang lebih tinggi.

“Sehingga alasan saya tersebut tidak menegasikan pandangan saya sebagai bagian yang
memutus perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 dan Nomor 55/PUU-XXI/2023. Dengan
demikian, saya memiliki alasan berbeda dalam mengabulkan sebagian dari petitum Pemohon
yakni ‘berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau berpengalaman sebagai gubernur
yang persyaratannya ditentukan oleh pembentuk undang-undang’,” sebut Enny.

Dalam sidang yang sama, Mahkamah menolak tiga permohonan, yakni Perkara
Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh PSI dan empat Pemohon
perseorangan; Perkara Nomor 51/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Partai Garuda;
dan Perkara Nomor 55/PUU-XXI/2023 yang diajukan Erman Safar,dkk. Tak hanya itu,
Mahkamah juga menyatakan dua perkara tidak dapat diterima, yakni Perkara
Nomor 91/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Arkaan Wahyu Re A dan Perkara
Nomor 92/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh Melisa Mylitiachristi Tarandung serta satu
permohonan ditarik kembali, yakni Perkara Nomor 105/PUU-XXI/2023 yang diajukan oleh
Soefianto Soetono dan Imam Hermanda.
Jawaban dari MK

MK Tolak Gugatan Batas Usia Minimum Capres-Cawapres 35 Tahun

Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (16/10), menolak secara keseluruhan gugatan uji materi
soal batas usia capres dan cawapres dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum (Pemilu) yang diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). MK
menolak syarat usia capres-cawapres diturunkan dari 40 menjadi 35 tahun.

“Pokok permohonan pemohon tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya,”ujar Ketua
MK Anwar Usman dalam sidang di Gedung MK.

Dalam pertimbangannya hakim Mahkamah Konstitusi Saldi Isra mengatakan pengaturan


syarat usia capres dan cawapres merupakan kewenangan pembentuk undang-undang, yaitu
presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Berdasarkan putusan MK ini, pasal 169 huruf q, undang-undang yang dipersoalkan PSI, akan
tetap berlaku. Pasal ini menentukan bahwa capres dan cawapres harus berusia setidaknya 40
tahun.

MK juga menolak dalil yang diajukan oleh PSI bahwa batas usia 40 tahun bagi capres dan
cawapres bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan menimbulkan ketidakadilan

“Frasa berusia 40 tahun dalam pasal 169 huruf q, UU 7/2017 sepanjang tidak dimaknai
‘berusia paling rendah 40 tahun atau memiliki pengalaman sebagai penyelenggara negara’
tidak melanggar hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum, hak memperoleh kesempatan yang sama di
hadapan hukum,” ujar Saldi Isra.

Mahkamah Konstitusi juga menolak pemohonan pengujian usia minimal capres dan cawapres
yang diajukan oleh Partai garuda dan lima kepala daerah agar menambahkan frasa “atau
berpengalaman sebagai penyelenggara negara” ke dalam pasal 169 huruf q UU Pemilu.

Menurut MK, persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden berusia paling rendah 40
tahun dikecualikan bagi calon yang memiliki pengalaman sebagai penyelenggaran negara
justru menimbulkan diskriminasi dan ketidakadilan karena jenis penyelenggara negara itu
beragam.
Dari sembilan hakim yang memutus perkara, ada perbedaan pendapat antara dua hakim
konstitusi, yaitu Suhartoyo dan M.Guntur Hamzah.

Surhartoyo berpendapat para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum atau legal
standing dalam permohonannya. Oleh karena itu, ia menilai seharusnya MK menegaskan
sejak awal bahwa permohonan itu tidak memenuhi syarat formil.

Sementara, hakim konstitusi M. Guntur Hamzah menilai seharusnya permohonan para


pemohon dapat dikabulkan sebagian. Dia menimbang faktor historis, normatif, dan empiris
atau faktual. Di sejumlah negara, katanya, presiden pernah dijabat oleh mereka yang berusia
di bawah 40 tahun.

Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Partai Solidaritas Indonesia Mikhail
Gorbachev Don mengaku kecewa atas putusan MK tersebut. Menurutnya putusan MK itu
menunjukan tidak diberinya perluang bagi para pemuda untuk bisa ikut maju dalam
kontestasi politik di ranah pimpinan tertinggi negara.

Partainya, kata Mikhail, akan terus memperjuangkan anak-anak muda untuk bisa menjadi
pemimpin, baik di tingkat kepala daerah maupun kepala negara.

“Saya pikir anak-anak muda harus membuktikan. (Keputusan MK) tadi terlihat sekali bahwa
anak-anak muda belum dianggap dewasa. Anak-anak muda belum dianggap, misalnya,
mampu menjadi pemimpin-pemimpin nasional,” ujarnya.

Pengamat politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Firman Noor menilai
putusan MK sudah tepat. Pertimbangan MK, kata Firman, lebih kepada hukum dan sejarah
serta tidak ada nuansa politik.

“Tapi kalau diperiksa, politisi kita yang umur 35 itu biasanya mengandalkan orangtua, baik
dari sisi dana, jaringan dan lain-lain. Belum ada contoh di Indonesia, anak muda maju tanpa
embel orangtua atau uang orangtua.,” kata Firman.

Uji materi batas usia minimal capres-cawapres diajukan oleh sejumlah pemohon, termasuk
PSI, Partai Garuda dan lima kepala daerah.
Efek yang terjadi jika permohonan ini di sahkan

Putusan MK dapat menimbulkan Instabilitas Politik Nasional,

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan


permohonan uji materi Pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu yang menetapkan batas
usia calon presiden dan wakil presiden (capres/cawapres) paling rendah 40 tahun atau
berpengalaman sebagai kepala daerah, dapat menimbulkan instabilitas politik nasional dalam
pelaksanaan pemilihan umum (pemilu) 2024.

“Keputusan MK di luar kewenangannya dapat menimbulkan instabilitas politik yang


membahayakan persatuan nasional,” kata Analis politik Universitas Nasional (Unas) Selamat
Ginting di Jakarta, Senin (16/10).

Jakarta - Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengabulkan gugatan Nomor 90/PUU-XXI/2023


tentang UU Pemilu. Pada pokoknya, mereka yang berusia di bawah 40 tahun tapi pernah
menjabat kepala daerah bisa menjadi calon presiden (Capres) atau calon wakil residen
(Cawapres) di Pilpres 2024. Putusan MK ini pun memicu polemik dan menjadi bola panas.

Sekretaris Pengurus Daerah APHTN-HAN Sumatera Utara, Dani Sintara, menilai keputusan
MK tersebut bersifat ganda. Sebab, di satu sisi MK menolak gugatan 3 pemohon lainnya
yang ingin mengubah batas usia capres-cawapres kurang dari 40 tahun.

"Kenapa saya katakan bersifat ganda, di satu sisi MK itu sepakat bahwa usia
capres/cawaprees itu open legal policy dan sepenuhnya kewenangan pembentuk undang-
undang, tapi dalam perkara (nomor) 90 ini mahkamah konstitusi menambahkan frasa yang
sebenarnya tidak mengukuhkan usia 40 tapi masih dibuka ruang di bawah usia 40 pun boleh,
sepanjang pernah atau sedang menduduki jabatan kepala daerah baik bupati atau wali kota
atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum (pemilu), sehingga aneh saya melihat,
ada sisi keanehan daripada putusan mahkamah konstitusi ini," ujar Dani saat dihubungi
detikcom, Senin (16/10/2023).
Di sisi lain, Dani merasa heran mengapa MK mengabulkan gugatan mahasiswa Unsa Almas
Tsaqibbirru. Padahal, sebelumnya pemohon mencabut permohonannya tersebut, sehingga
seharusnya gugatan tersebut ditolak.

"Yang menarik perhatian saya itu ketika ternyata perkara nomor 90 itu sudah pernah dicabut
oleh pemohon pada tanggal 29 kalau saya tidak keliru, kemudian tanggal 30 dikirim lagi surat
oleh pemohon," lanjutnya.

Sementara itu, Ketua Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum UII, Jamaludin
Ghafur, memaparkan syarat umur capres-cawapres tidak diatur secara tegas dalam konstitusi.

"Namun dalam perkara ini, MK justru mengambil peran DPR dengan mengubah syarat umur
capres-cawapres yang semestinya ini merupakan ranah kewenangan pembentuk UU. MK
menjadi tidak konsisten dengan putusan-putusan sebelumnya," kata Jamaludin dalam
keterangannyaa kepada wartawan, Selasa (17/10).

Jamaludin menilai putusan inkonsisten MK ini sarat muatan politis. Menurutnya, putusan
MK tidak didasari rasionalitas hukum.

"Ketidakkonsistenan ini patut diduga bahwa mejalis hakim MK yang mengabulkan


permohonan ini tidak berdasarkan pada pertimbangan dan rasionalitas hukum, tetapi lebih
condong pada keputusan politik perorangan dan kelompok," tuturnya.

Hal senada juga disampaikan akademisi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Khairul
Fahmi. Dia menyebut putusan MK tersebut adalah putusan yang aneh.

"Ini putusan paling aneh yang pernah saya baca. Amar putusan tidak disetujui oleh mayoritas
hakim, melainkan hanya oleh 3 orang hakim," kata Khairul Fahmi.

hanya kritik, putusan MK ini juga menuai apresiasi. Politisi asal Partai Golkar Nusron Wahid
menyatakan putusan MK tersebut merupakan angin segar dan 'hadiah' buat anak muda
Indonesia

"Keputusan MK ini tidak hanya untuk Gibran, siapa bilang? Memang kepala daerah yang
usia di bawah 40 tahun hanya Gibran? Masih banyak gubernur, wagub, bupati, wabup, dan
wali kota yang usia di bawah 40 tahun," ungkap Nusron dalam keterangan tertulis, Selasa
(17/10/2023).
"Ada Dico (bupati Kendal dari Golkar), ada Emil Dardak (wagub Jatim dari Demokrat),
Bupati Tuban dan lain-lain. Semua mendapatkan kesempatan akibat keputusan MK ini,"
rincinya.

Sementara itu, Partai Demokrat menilai MK tetap independen. Dia menghormati putusan dan
independensi MK.

"Kami menghormati putusan MK, kami menghormati independensi MK," kata Kepala
Bakomstra Demokrat, Herzaky Mahendra Putra, saat dihubungi, Selasa (17/10/2023).

Herzaky lantas bicara terkait cawapres Prabowo Subianto usai MK mengabulkan gugatan itu.
Dia menyebut Demokrat akan mendukung siapapun pendamping Prabowo.

"Kalau terkait cawapres Pak Prabowo, sikap Demokrat jelas, Demokrat dukung Pak Prabowo
sebagai capres. Kewenangan menentukan cawapres ada di Pak Prabowo. Kami sudah
memberikan pandangan dan masukan," ucapnya.

Hal senada juga disampaikan Ketua DPP PAN Bima Arya Sugiarto. Ia menyebut putusan
MK ibarat jalur prestasi (japres) penerimaan siswa baru.

"Putusan MK ini kan sebetulnya ibarat membuka jalan tol bagi kepala daerah untuk menuju
kepemimpinan nasional. Jadi, kepala daerah itu walaupun usianya masih muda dan masa
jabatannya belum lama, tapi bisa nyapres atau cawapres, gitu," kata Bima.

"Tetapi ibarat PPDB, penerimaan siswa baru, keputusan MK ini kan seperti japres, jalur
prestasi, siswa-siswa tertentu kalau punya prestasi tertentu bisa diterima masuk sekolah
tertentu," sambungnya.

Untuk diketahui, Mahkamah Konstitusi telah mengabulkan gugatan terhadap Nomor


90/PUU-XXI/2023 tentang UU Pemilu. MK memutuskan mengabulkan gugatan syarat
pendaftaran capres dan cawapres berusia minimal 40 tahun atau berpengalaman sebagai
kepala daerah baik ditingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Putusan ini merespons permohonan uji materi Pasal 169 huruf q Undang-Undang (UU)
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur batas usia minimal capres dan cawapres.
kesimpulan

Berdasarkan kajian persyaratan WNI sejak kelahirannya yang ditetapkan dan menganalisis
persyaratan untuk menjadi capres

Berdasarkan Pasal 169 huruf q UU 7/2017 menjadi “Persyaratan menjadi calon Presiden dan
calon wakil presiden adalah: q. berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun atau
pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan
kepala daerah” seharusnya tertolak

Saldi di awal pendapatnya menyebut Putusan Nomor 90-91/PUU-XXI/2023 sebagai


peristiwa “aneh” yang “luar biasa” dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar:

Keputusan ini harus di tolak

saran

Keputusan ini mungkin akan menggangu stabilitas politik indonesia terutama di masa-masa
menjelang pemilu yang sangat rentan dengan manipulasi dan kecurangan merubah peraturan
undang-undang di masa seperti ini bisa di lihat sebagai peristiwa aneh,luar biasa,punya
banyak maksud tertentu,dan kepentingan beberapa oknum di belakang nya

Jika ingin melakukan perubahan persyaratan sebaiknya di lakukan jauh-jauh hari untuk
menghindari misinformasi dan kecurangan di masa pemilu yang akan datang
Daftar pustaka
https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19660&menu=2#:~:text=Dengan
%20pilihan%20amar%20memaknai%20Pasal,daerah%E2%80%9D%20seharusnya
%20tertolak%20atau%20tidak

https://news.republika.co.id/berita/s2mb52377/mk-putusan-batas-usia-caprescawapres-
berlaku-di-pilpres-2024

https://www.mkri.id/index.php?page=web.Berita&id=19660&menu=2

https://www.bbc.com/indonesia/articles/c72v9jwzg0yo

https://news.detik.com/pemilu/d-6984767/tolak-gugatan-psi-dkk-mk-beberkan-sejarah-
batas-usia-capres-cawapres

https://politik.rmol.id/read/2023/10/17/593517/pakar-putusan-mk-soal-usia-capres-
cawapres-cacat-hukum-dan-bahaya-untuk-pilpres-2024

https://news.detik.com/berita/d-6987142/beragam-tanggapan-soal-putusan-mk-
mengenai-batas-usia-caprescawapres/2

https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/620677/tak-diatur-uud-1945-
pengubahan-syarat-usia-capres-cawapres-bukan-kewenangan-mk

Anda mungkin juga menyukai