Anda di halaman 1dari 6

LAPORAN PRAKTIKUM

Biofarmasetika

Kelompok : 1

Nama : Muhammad fadhil kamil


Nim:SF21149

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS BORNEO LESTARI

BANJARBARU

2023
PERCOBAAN III
PENETAPAN KADAR PARACETAMOL DALAM TIKUS JANTAN

A. TUJUAN PERCOBAAN
Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menetapkan
kadar paracetamol pada tikus putih jantan.

B. PENDAHULUAN
Absorpsi, merupakan proses penyerapan kelengkapan
dan kecepatan proses tersebut. Kelengkapan dinyatakan
dalam persen dari jumlah obat yang diberikan. Pemberian
obat per oral merupakan cara pemberian obat yang paling
umum dilakukan karena mudah, aman, dan murah.
Kerugiannya ialah banyak faktor yang mempengaruhi
bioavailabilitasnya, obat dapat mengiritasi saluran cerna, dan
perlu kerja sama dengan penderita; tidak bisa dilakukan bila
pasien koma (Ganiswarna, 1995).
Pemberian obat melalui mulut (per oral) adalah cara
yang paling lazim, karena sangat praktis, mudah dan aman.
Namun, tidak semua obat dapat diberikan peroral, misalnya
obat yang merangsang (emetin, aminofilin) atau yang
diuraikan oleh getah lambung, seperti benzilpenisilin,
insulin, oksitosin (Tjay & Rahardja, 2002).
Suksesnya perpindan obat dari suatu bentuk seediaan
dosis oral ke dalam sirkulai umum bisa dicapai dengan
empat langkah:
1. Penghantaran obat pada tempat absorbsi,
2. Keberadaan obat dalam bentuk larutan,
3. Pergarakan dari obat larut melalui membran saluran cerna,
4. Pergerakan obat dari tempat absorbsi ke dalam sirkulasi umum.
(Shargel, 1988).
Setelah suatu obat diberikan secara oral dengan dosis
tinggal, total dosis obat yang ada dalam tubuh, dalam urin,
dan dalam dinding usus hendaknya dihitung dengan lengkap,
oleh karena itu dosis (D0) dinyatakan :
D=D +D+D
0 GI B u

(Shargel, 1988).

19
Absorpsi sistemik suatu obat dari saluran cerna atau
tepat ekstravaskuler yang lain bergantung pada bentuk
sediaan, anatomi dan fifiologi tempat absorpsi. Faktor-faktor
seperti luas permukaan dinding usus, kecepatan
pengosongan lambung, pergerkan saluran cerna dan aliran
darah ke tempat absorpsi, semuanya mempengaruhi laju dan
jumlah absorpsi obat. Walaupun ada variasi, keseluruhan
laju absorpsi obat dapat digambaran secara matematik
sebagai suatu proses order kesatu atau order nol. Sebagian
besar model farmakokinetik menganggap absorpsi mengikuti
order kesatu, kecuali apabila anggapan absorpsi order nol
memperbaiki model secara bermakna atau telah teruji dengan
percobaan (Shargel, 1988).
Laju perubahan jumlah obat dalam tubuh, dDB/dt,
bergantung pada laju absorpsi dan eliminasi obat. Laju
perubahan obat dalam tubuh pada setiap waktu sama dengan
laju absorpsi obat dikurangi laju eliminasi obat :

dD dD
GI c
dDB = − -------------------------------

dt dt dt

(Shargel, 2005).

Umumnya absorpsi dan distribusi obat terjadi secara difusi pasif. Mula-mula obat
harus berada dalam larutan air pada permukaan membran sel, kemudian molekul
obat akan melintasi membran dengan melarut dalam lemak membran. Pada
proses ini, obat bergerak dari sisi yang kadarnya lebih tinggi ke sisi lain. Setelah
taraf mantap (steady state) dicapai, kadar obat bentuk non-ion di kedua sisi
membran akan sama (Ganiswarna, 1995).

Pada beberapa individu, absorpsi obat oral setelah dosis


oral tunggal tidak terjadi dengan segera, sehubungan dengan
faktor-faktor fisiologik seperti waktu pengosongan lambung
dan pergerakan usus. Penundaan waktu absorpsi sebelum
permulaan absorpsi obat order kesatu terjadi, dikenal sebagai
lag time. Untuk kecepatan absorbsi secara difusi pasif,
berlaku hukum Fick I:
dCb -D.A.K(Cg – Cp)
−=
dt
dCb = Kecepatan absorbsi orde pertama
D = Koefisien difusi
K = Koefisien Partisi
A = Luas permukaan membran/bidang anbsorbsi
Cg = Kadar obat yang terlarut dalam saluran cerna

20
Cp = Kadar obat dalam plasma darah
(Shargel, 1988).
Kondisi percobaan in vivo berbeda dari in vitro. Pada
percobaan in vitro hanya digunakan jaringan yang terpisah
dari peredaran darah, tidak fisiologis seperti pada percobaan
in vivo. Tetapi percobaaan ini perlu dilakukan, sebagai
oriemntasi untuk memperoleh gambaran hasil percobaan in
vivo yang diharapkan (Anonim, 2002).
Setelah lepas dari produk obat, obat secara cepat
diabsorpsi dan laju absorpsi akan mengikuti kinetika orde
nol yang sama dengan suatu infusi obat secara intravena.
Dalam banyak hal produk obat dirancang agar agar laju
absorpsi sistemik obat dibatasi oleh laju pelepasan obat
melalui sistem ‘delivery’ obat. Namun faktanya sebagian
besar produk obat pelepasan terkendali yang melepaskan
obat dengan kinetika orde nol in vitro tidak menunjukkan
absorpsi obat orde nol bila diberikan in vivo. Banyak hal
yang menyebabkan kurangnya absorpsi obat orde nol dari
produk obat pelepasan terkendali setelah pemberian oral,
diantaranya karena sejumlah kejadian yang tidak dapat
diperkirakan yang terjadi dalam saluran cerna selama
absorpsi (Anonim, 2002).

CARA PERCOBAAN
Subjek percobaan
Tikus jantan
Alat dan bahan
Alat :
Alat gelas,
timbangan analitik,
spuit oral,
effendrof,
spektrofotometer UV,
sentifuge,
hot plate,
pisau.
Bahan.
Paracetamol,
etil asetat,
TCA,
metanol.
Cara kerja
Validasi metode
Penetapan panjang gelombang maksimum paracetamol
Digunakan larutan baku paracetamol dengan kadar 6 ppm, dan
diukur serapannya pada panjang gelombang 200 sampai 300 nm.

21
Pembuatan kurva baku paracetamol
Ditimbang baku pembanding PCT sebanyak 10 mg dan dialrutkan
dalam metanol 15 mL dalam gelas beker. Kemudian dimasukkan
ke dalam labu takar 100 mL kemudian ditambahkan akuades
hingga 100 mL dan diperoleh larutan induk paracetamol kadar 10
mg/100mL setara dengan 100 ppm. Kemudian dibuat seri
konsentrasi 4.6.8.10.12.
Linearitas dan rentang
Dihitung persamaan regresi linear paracetamol
Uji perlakuan dan penetapan kadar paracetamol dalam darah
Hewan uji dipuasakan selama 18 jam, kemudian diberikan PCT
secara tunggal secara oral dosis 9 mg/200gBB.
Pengambilan sampel darah dilakukan dari vena tikus pada menit
ke-0, 10,20,30, 40, 60 menit. Sebanyak 0,5 mL darah ditampung
dalam tabung berisi EDTA, kemudian ditambahkan TCA 5%, di
sentrifuge selama 5 menit dengan kecepatan 2500rpm. Diambil
beningannya atau plasma. Plasma ditambahkan dengan 2 ml etil
asetat kemudian di vorteks dan bagian bening diambil dan
diuapkan etil asetatnya sampai diperoleh residu PCT. Kemudian
residu dilarutkan dengan metanol 2 mL dan diukur absirbansi
larutan dengan alat spektrofotometer UV dengan panjang
gelombang 243 nm.
Dari data absorbansi dihitung kadar PCT pada tiap cuplikan waktu
dengan regresi linear kurva baku PCT.

Pembahsan

Praktikum kali ini bertujuan agar mahasiswa mampu menentukan kadar parasetamol
yang larut dalam darah hewan uji kelinci megunakan mesin sentri dan mesin
spektrofotometri dalam darah setelah pemberian obat secara oral pada hewan uji. Pada
praktikum kali ini dilakukan pengambilan sampel darah pada hewan uji yaitu pada
bagian vena ekor. Dalam praktikum kali ini digunakan hewan uji tikus putih atau nama
lain (Rattus norvegicus) karena memiliki ketersediaan hayati yang mirip dengan manusia.
Namun kondisi pada hewan uji tidk selalu menggambakan kondisi pada manusia yaitu
pada absorbsi,distribusi,metabolism, serta ekskresi.

Pada percobaan kali ini digunakan obat parasetamol yang di berikan secara oral pada
subjek mengunakan spuit oral,sebelum pemberian parasetamol darah subjek akan di
ambil terlebih dahulu sebagai belanko netral.

Darah subjek yang telah di berikan parasetamol di tempatkan kedalam tabung effendorf
yang terdapat cairan EDTA yang berguna sebagai pencegaj pembekuaan darah pada
darah subjek yang dapat menggangu proses pengamatan mengunkan spektrofotometri,
Contoh lain antikoagulan yaitu warfarin, heparin, griserifulvin barbiturat, dan sebagainya

Anda mungkin juga menyukai