Anda di halaman 1dari 29

ASPEK-ASPEK BIOFARMAFI

apt. Dian Rahmawati, S.Farm.,M.Farm


Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba
pada tempat kerjanya dalam tubuh obat harus
mengalami 3 proses:
• fase biofarmasi,
• farmakokinetik, dan
• Farmakodinamik

Biofarmasi adalah ilmu yang bertujuan menyelidiki pengaruh pembuatan sediaan obat
atas kegiatan terapetiknya. Faktor formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam
tubuh adalah:

1. bentuk fisik zat aktif (amorf, kristal, kehalusan),


2. keadaan kimiawi (ester, garam kompleks dan sebagainya),
3. zat pembantu (zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin, zat pelindung, dan sebagainya),
4. serta proses teknis pembuatan sediaan (tekanan mesin tablet).
Bentuk Fisik Zat Aktif
(Amorf, Kristal, Kehalusan)

• Telah terbukti bahwa obat yang dihaluskan sampai ukuran partikel 1-5 mikron (microfine)

menghasilkan kadar darah 2-3 kali lebih tinggi sehingga dosisnya dapat diturunkan 2-3

kali. Misalnya, griseofulvin, spironolakton, dan digoksin.

• Sebaliknya pada sediaan rektal (suppositoria), zat amorf seringkali menyebabkan

pelambatan dari ketersediaan biologisnya (BA, bio-availability-nya), hal ganjil ini belum

dapat dijelaskan. Zat amorf resorpsinya lebih baik dibanding kristal.

• Pada pembuatan suspensi harus dipilih metode tertentu supaya zat aktif tetap berbentuk

amorf. Misalnya, pada pembuatan suspensi sefalosporin atau suspense kering yang lain.

• Syarat kehalusan dengan sendirinya tidak berlaku bagi sediaan yang bekerja lokal dalam

usus dan justru tidak boleh diserap, misalnya obat cacing (pirantel pamoat) atau

kemoterapeutika yang melawan infeksi usus (kanamisin, neomisin).


Keadaan kimiawi
(ester, garam kompleks dan sebagainya)

• Telah dibuktikan bahwa zat hidrat yang mengandung air kristal dalam

molekulnya lebih lambat resorpsinya dibanding dengan yang tanpa air

Kristal, misalnya ampisilin trihidrat (Penbritin) dibandingkan

ampisilin.0Aq (Amfipen).

• Natrium edetat dapat membentuk kompleks dengan banyak zat sehingga

mempercepat resorpsinya oleh usus, misalnya manitol dan heparin.

• Hormon kelamin yang diuraikan getah lambung dapat diberikan per oral

sebagai esternya yang stabil, misalnya etinilestradiol dan testosterone

dekanoat demikian pula eritromisin-stearat.


Zat pembantu
(zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin, zat pelindung, dan sebagainya)

• Pada tahun 1971 di Australia terjadi peristiwa difantoin (=fenitoin), yaitu ketika pasien yang menelan

tablet antiepilepsi ini menunjukkan gejala keracunan. Ternyata kadar fenitoin dari tablet tersebut

sangat tepat, tetapi zat pengisi kalsium sulfat telah diganti dengan laktosa pada proses pembuatannya.

Akibat perubahan ini BA fenitoin ditingkatkan yang mengakibatkan kenaikan resorpsinya dengan efek

toksis.

• Zat-zat dengan kegiatan permukaan (tween, span) atau zat hidrofil yang mudah larut dalam air

(polivinilpirolidon, carbowax) dapat mempercepat melarutnya zat aktif dari tablet.

• Sebaliknya zat-zat hidrofob (= tidak suka air) digunakan pada produksi tablet sebagai pelicin untuk

mempermudah mengalirnya campuran tablet ke dalam cetakan (dies) dan mencegah melekatnya pada

stempel. Zat-zat ini (asam/magnesium stearate dan lain-lain) dapat menghambat melarutnya zat aktif.

Kini sering digunakan aerosol (asam silikat koloidal) sebagai zat pelican dan anti lekat karena tidak

menghambat melarutnya zat aktif.

• Zat pengikat pada tablet dan zat pengental suspensi, seperti gom, gelatin dan tajin umumnya juga

memperlambat larutnya obat. Zat desintegrasi (berbagai jenis tepung) justru mempercepatnya.
Proses teknis pembuatan sediaan (tekanan mesin tablet)

• Semakin keras pencetakan tablet, semakin sukar melarutnya zat aktif.

• Begitu pula tablet yang disimpan seringkali mengeras dan lebih sukar

melarut.

• Selanjutnya untuk menjelaskan aspek biofarmasi, yaitu:

a) formulasi obat dan pharmaceutical availability (FA);

b) biological availability (BA);

c) kesetaraan teurapeutis;

d) bioassay; dan

e) standardisasi serta cara pemberian.


Formulasi Obat dan Pharmaceutical Availability (FA)

• Pharmaceutical Availability (FA) merupakan ukuran


untuk bagian obat yang in-vitro dibebaskan dari bentuk
pemberiannya dan tersedia untuk proses resorpsi,
misalnya dari tablet, kapsul, serbuk, suspensi,
suppositoria dan sebagainya.
• Dengan kata lain FA merupakan kecepatan larut dan
jumlah dari obat yang menjadi tersedia in-vitro dari
bentuk farmasetisnya
Formulasi Obat dan Pharmaceutical Availability (FA)

• Bentuk tablet
– Setelah ditelan tablet akan pecah (desintegrasi) di lambung menjadi banyak
granul kecil yang terdiri dari zat aktif tercampur zat-zat pembantu (gom, gelatin,
tajin). Baru setelah granul ini pecah, zat aktif dibebaskan.
– Bila daya larutnya cukup besar, zat aktif akan melarut dalam lambung atau usus,
tergantung dimana saat itu obat berada.
– Hal ini ditentukan oleh waktu pengosongan lambung yang berkisar antara 2
sampai 3 jam setelah makan.
– Setelah melarut, obat tersedia dan proses resorpsi oleh usus dimulai.

Peristiwa inilah yang disebut FA.


Formulasi Obat dan Pharmaceutical Availability (FA)

• Ukuran melarut.
– Untuk obat yang tahan getah lambung, kecepatan melarut
dari berbagai bentuk sediaan menurun dengan urutan sebagai
berikut.
Larutan – suspensi – serbuk – kapsul – tablet – tablet salut
selaput – dragees (tablet salut gula) – tablet e.c. – tablet kerja
panjang (retard, sustained release)
Formulasi Obat dan Pharmaceutical Availability (FA)

• Sebagai contoh asetosal. Bila


diberikan sebagai larutan, puncak
plasmanya (A) dicapai setelah lebih
kurang 1 jam, sedangkan tablet
salut enteric (ec), yaitu dengan
lapisan tahan asam yang baru
pecah dalam usus menghasilkan
kadar maksimal (B) setelah 4 jam
dan hanya berjumlah lebih kurang
50% dari (A). Untuk jelasnya lihat
grafik berikut:
Biological Availability (BA)

• BA adalah persentase obat yang diresorbsi dari


tubuh dari suatu dosis yang diberikan dan
tersedia untuk melakukan efek teurapeutisnya.
Di beberapa Negara (AS, Jerman) mencakup
juga kecepatannya dengan mana obat muncul
di sirkulasi darah. Biasanya obat baru berefek
sesudah obat melalui sistem porta dan hati
kemudian tiba di peredaran darah besar yang
mendistribusikan ke seluruh jaringan.
Biological Availability (BA)
• BA dapat diukur secara in-vivo (pada
keadaan sesungguhnya pasien)
dengan menentukan kadar plasma
obat sesudah mencapai steady-state.
Pada keadaan ini terjadi
keseimbangan antara kadar obat di
semua jaringan tubuh dan kadar
darah yang praktis konstan, karena
jumlah zat yang diserap dan
dieliminasi adalah sama. Antara
kadar plasma dan efek
teurapeutisnya pada umumnya
terdapat korelasi yang baik.
Kesetaraan Teurapeutis

• Kesetaraan teurapetis dapat didefinisikan sebagai

kesetaraan pola kerjanya (kadar dan kecepatan

resorpsi) dari dua obat yang berisi zat aktif dengan

dosis yang sama. Hal ini sangat penting bagi obat

yang luas terapinya sempit, yang aktivitasnya

tergantung dari kadar plasma yang tetap.

• Contohnya adalah digoksin, antikoagulansia, dan

deksametason.
Bioassay dan Standardisasi

• Kebanyakan obat dapat diukur kadarnya yang kemungkinan setara dengan aktivitasnya secara

cepat dan teliti dengan metode kimiawi atau fisika, menggunakan alat, misalnya spektrofotometer

ultraviolet/infrared dan polarograf. (Untuk obat yang struktur kimianya belum diketahui dan untuk

sediaan tak murni atau campuran dari beberapa zat aktif, metode ini tidak dapat dilakukan)

• Obat-obat ini diukur dengan metode biologis, yaitu melalui bio-assay, dimana aktivitas ditentukan

oleh organisme hidup (hewan, kuman) dengan membandingkan efek obat tersebut dengan efek

suatu standar internasional.

• Penentuan biologis dilakukan pada hewan, misalnya insulin pada kelinci (pengukuran daya

menurunkan kadar glukosa darah), ACTH pada tikus dan digitalis terhadap jantung katak.

Antibiotika diukur menggunakan penghambatannya terhadap pertumbuhan kuman.

• Kesatuan Internasional atau IU (International Unit) digunakan untuk menyatakan kekuatan obat

yang telah dipublikasikan oleh WHO bersama dengan Standar Internasional Biologis. Standar ini

disimpan di London dan Kopenhagen.


Bioassay dan Standardisasi

• Bio-assay dan penggunaan satuan biologis umumnya

ditinggalkan segera setelah terwujud suatu metode fisiko-

kimiawi, selanjutnya kadar dinyatakan dalam gram atau

milligram. Cara ini dilakukan pada tubokurarin (1955),

kloramfenikol (1956) dan penisilin (1960. Obat-obat yang dewasa

ini masih distandardisasi secara biologis adalah ACTH, antibiotika

polimiksin dan basitrasin, vitamin A, faktor pembeku darah,

sediaan antigen dan antibody, digitalis, pirogen, dan insulin

(meskipun struktur kimia dan pemurniannya sudah diketahui).


Cara Pemberian obat

• Disamping faktor formulasi, cara pemberian

obat turut menentukan kecepatan dan

kelengkapan resorpsi. Tergantung dari efek

yang diinginkan, yaitu efek sistemis (diseluruh

tubuh) atau efek lokal (setempat), keadaan

pasien dan sifat-sifat fisikokimiawi obat dapat

dipilih banyak cara untuk memberikan obat.


EFEK SISTEMIS
• Oral
 Pemberian obat melalui mulut adalah cara yang paling lazim
digunakan karena, sangat praktis, mudah dan aman. Seringkali
resorpsi obat setelah pemberian tidak teratur dan tidak lengkap,
meskipun formulasinya optimal, misalnya senyawa ammonium
kwaterner (thiazinamium) kloksasilin dan digoksin (maksimal
80%).
 Keberatan lain adalah obat setelah diresorpsi harus melalui hati
dimana dapat terjadi inaktivasi sebelum diedarkan ke tempat
kerjanya.
 Untuk mencapai efek lokal di usus dilakukan pemberian oral,
misalnya antibiotika untuk mensterilkan lambung-usus pada
infeksi atau sebelum pembedahan (streptomisin, kanamisin,
neomisin) obat-obat ini justru tidak boleh diserap, begitu pula
zat-zat kontras rontgen guna membuat foto lambung-usus.
• Sublingual
 Obat diletakkan di bawah lidah (sublingual) tempat
berlangsungnya resorpsi oleh selaput lendir setempat ke
dalam vena lidah yang sangat banyak di lokasi ini.
 Keuntungan cara ini adalah obat langsung masuk ke
peredaran darah tanpa melalui hati. Oleh karena itu,
cara ini dipilih jika efek yang cepat dan lengkap
diinginkan, misalnya pada serangan angina, asma atau
migraine (nitrogliserin, isoprenalin, ergotamine)
keberatannya adalah kurang praktis untuk digunakan
terus-menerus dandapat merangsang mukosa mulut.
 Hanya obat bersifat lipofil saja yang dapat diberikan
dengan cara ini.
• Injeksi
 Pemberian obat secara parenteral (berarti “di luar
usus”) biasanya dipilih jika diinginkan efek yang cepat,
kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang
atau dirusak oleh getah lambung (hormone) atau
tidakdiresorpsi oleh usus (streptomisin) begitu pula
pada pasien yang tidak sadar atau tidak mau bekerja
sama.
 Keberatannya cara ini lebih mahal, nyeri serta sukar
dikerjakan sendiri oleh pasien. Selain itu, ada pula
bahaya terkena infeksi kuman (harus steril) dan
bahaya merusak pembuluh darah atau saraf jika
tempat suntikan tidak tepat.
• Implantasi subkutan
 Implantasi/subkutan adalah memasukkan obat
yang berbentuk pellet steril (tablet silindris kecil)
ke bawah kulit dengan menggunakan suatu alat
khusus (trocar).
 Obat ini terutama digunakan untuk efek sistemis
lama, misalnya hormone kelamin (estradiol,
testosterone).
 Akibat resorpsi yang lambat, satu pellet dapat
melepaskan zat aktifnya secara teratur selama 3- 5
bulan atau bahkan ada obat antihmil dengan lama
kerja 3 tahun (Implanon, Norplant).
• Rektal
 Rektal adalah pemberian obat melalui rectum
(dubur) yang layak untuk obat yang merangsang
atau yang diuraikan oleh asam lambung, biasanya
dalam bentuk supositoria, kadang-kadang sebagai
cairan (klisma 2-10 ml, lavemen 10-500 ml) Obat
ini terutama digunakan pada pasien yang mual
atau muntah-muntah (mabuk jalan, migraine) atau
yang terlampau sakit untuk menelan tablet.
 Adakalanya juga untuk efek lokal yang cepat,
misalnya laksan (suppose, bisakodil/gliserin) dan
klisma (prednisone, neomisin).
Efek lokal

• Efek lokal Mukosa lambung-usus dan


rektum, juga selaput lendir lainnya dalam
tubuh, dapat menyerap obat dengan baik
dan menghasilkan terutama efek setempat.
• Intranasal
Obat tetes hidung dapat digunakan pada
selesma untuk menciutkan mukosa yang
bengkak (efedrin, xylometazolin). Kadang-
kadang obat juga diberikan untuk efek
sistemisnya
 misalnya vasopressin dan kortikosteroid
(beklometason, flunisonida ).
• Intra-okuler atau intra-aurikuler (dalam mata
dan telinga)
Obat berbentuk tetes atau salepyang
digunakan untuk mengobati penyakit
mata atau telinga. Pada penggunaan
beberapa jenis obat tetes harus waspada
karena obat dapat diresorpsi dan
menimbulkan efek toksis, misalnya
atropine
• Inhalasi (intrapulmonal)
 Gas, zat terbang atau larutan sering diberikan sebagai inhalasi
(aerosol), yaitu obat yang disemprotkan ke dalam mulut dengan
alat aerosol.
 Semprotan obat dihirup dengan udara dan resorpsi terjadi melalui
mukosa mulut, tenggorokan, dan saluran napas. Tanpa melalui
hati, obat dengan cepat melalui peredaran darah dan
menghasilkan efeknya.
 Yang digunakan secara inhalasi adalah anestetika umum (halotan)
dan obat-obat asma (isoprenalin, budesonide, dan beklometason)
dengan maksud mencapai kadar setempat yang tinggi dan
memberikan efek terhadap bronkhia.
 Untuk maksud ini, selain larutan obat juga dapat digunakan zat
padatnya (turbuhaler) dalam keadaan sangat halus (microfine),
misalnya natrium kromoglikat, budesonide, dan beklometason.
• Intravaginal
 Untuk mengobati gangguan vagina secara lokal
tersedia salep, tablet atau sejenis suppositoria
vaginal (ovula) yang harus dimasukkan kedalam
vagina dan melarut di situ.
 Contohnya ialah metronidazole pada vaginitis
(radang vagina).
 Obat dapat pula digunakan sebagai cairan bilasan,
penggunaan lain adalah untuk mencegah
kehamilan dimana zat spermisid (dengan daya
mematikan sperma) dimasukkan dalam bentuk
tablet, busa atau krem.
• Kulit (topical)
 Pada penyakit kulit obat yang digunakan berupa salep, krem atau
lotion (kocokan). Kulit yang sehat dan utuh sukar sekali ditembus
obat, tetapi resorpsi berlangsung lebih mudah bila ada kerusakan.
 Efek sistemis yang menyusul kadang-kadang berbahaya, seperti
dengan kortikosteroida (kortison, betametason, dan lain-lain)
terutama bila digunakan dengan cara oklusi, artinya ditutup dengan
plastik.
 Resorpsi dapat diperbaiki dengan tambahan zat keratolitis dengan
daya melarutkan lapisan tanduk dari kulit, misalnya asam salisilat,
urea, dan resorsin. Salep dan linimen (obat gosok) banyak
digunakan untuk meringankan rasa nyeri atau kaku otot akibat
rematik atau gangguan lain. Obat ini biasanya mengandung
analgetika (metilsalisilat, diklofenak, benzidamin, fenilbutason) dan
zat terbang (mentol, kanfer, minyak permen, minyak kayu putih).
• Cara terbaru adalah plester transdermal yang
dilekatkan pada kulit dan sebaiknya pada bagian dalam
pergelangan tangan, di belakang telinga, atau tempat
lain dengan kulit tipis yang banyak mengandung
pembuluh darah.
• Yang banyak digunakan adalah TTS (Transdermal
Terapeutic System), yaitu plester yang melepaskan
obat secara berangsurangsur dan teratur selama
beberapa waktu dan langsung memasuki darah.
• Contoh yang terkenal adalah obat mabuk jalan
skopolsmin (Scopoderm), obat anti-angina nitrogliserin
(Nitroderm TTS) dan estradiol (Estraderm TTS).
TERIMA KASI….

Anda mungkin juga menyukai