Anda di halaman 1dari 4

Tugas Resume

Nama : Retno Tristanti

NIM : 2021060023

Pengantar Ilmu Farmakologi

Farmakologi adalah ilmu yang memelajari pengetahuan obat dengan seluruh aspeknya, baik sifat
kimiawi maupun fisikanya, kegiatan fisiologi, resorbsi, dan nasibnya dalam organisme hidup.
Obat didefinisikan sebagai senyawa yang digunakan untuk mencegah, mengobati, mendiagnosis
penyakit atau gangguan, atau menimbulkan kondisi tertentu. Misalnya, membuat seseorang
infertile, atau melumpuhkan otot rangka selama pembedahan. Ilmu khasiat obat ini mencakup
beberapa bagian, yaitu farmakognosi, biofarmasi, farmakokinetika, dan farmakodinamika,
toksikologi, dan farmakoterapi.

Farmakognosi adalah cabang ilmu farmakologi yang memelajari sifat-sifat tumbuhan dan bahan
lain yang merupakan sumber obat. Farmakoterapi adalah cabang ilmu yang berhubungan dengan
penggunaan obat dalam pencegahan dan pengobatan penyakit. Dalam farmakoterapi ini
dipelajari aspek farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat yang dimanfaatkan untuk
mengobati penyakit tertentu. Toksikologi adalah ilmu yang memelajari keracunan zat kimia
termasuk obat, zat yang digunakan dalam rumah tangga, industri maupun lingkungan hidup lain,
seperti insektisida, pestisida, dan zat pengawet. Dalam cabang ilmu ini juga dipelajari juga cara
pencegahan, pengenalan dan penanggulangan kasus-kasus keracunan. Biofarmasi adalahbagian
ilmu yangmeneliti pengaruh formulasi obat terhadap efek terapeutiknya. Farmakologi terbagi
menjadi 2 subdisiplin, yaitu:

1. Farmakokinetik ialah apa yang dialami obat yang diberikan pada suatu makhluk hidup, yaitu
absorbsi (A), distribusi (D), metabolisme atau biotransformasi (M), dan ekskresi (E).

2. Farmakodinamik merupakan pengaruh obat terhadap sel hidup, organ atau makhluk hidup.

Regulasi Obat

1. Obat Keras
2. Obat Narkotika
3. Obat Keras Terbatas
4. Obat Bebas
5. Obat Tradisional
Aspek Biofarmasi

Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tempat kerjanya dalam tubuh obat harus
mengalami banyak proses. Dalam garis besarnya, proses-proses ini dapat dibagi dalam tiga
tingkat, yaitu fase biofarmasi, farmakokinetik, dan farmakodinamik. Biofarmasi adalah ilmu
yang bertujuan menyelidiki pengaruh pembuatan sediaan obat atas kegiatan terapetiknya. Faktor
formulasi yang dapat mengubah efek obat dalam tubuh adalah: bentuk fisik zat aktif (amorf,
kristal, kehalusan), keadaan kimiawi (ester, garam kompleks dan sebagainya), zat pembantu (zat
pengisi, zat pelekat, zat pelicin, zat pelindung, dan sebagainya), serta proses teknis pembuatan
sediaan (tekanan mesin tablet)

1. Bentuk Fisik Zat Aktif (Amorf, Kristal, Kehalusan)


2. Keadaan kimiawi (ester, garam kompleks dan sebagainya)
3. Zat pembantu (zat pengisi, zat pelekat, zat pelicin, zat pelindung, dan sebagainya)
4. Proses teknis pembuatan sediaan (tekanan mesin tablet)

Selanjutnya untuk menjelaskan aspek biofarmasi kita akan menyusun bahan ajar dalam 5
bahasan, yaitu:

(a) formulasi obat dan pharmaceutical availability (FA)

(b) biological availability (BA)

(c) kesetaraan teurapeutis

(d) bioassay dan

(e) standardisasi serta cara pemberian.  Farmakologi 

Formulasi Obat dan Pharmaceutical Availability (FA)

Pharmaceutical Availability (FA) merupakan ukuran untuk bagian obat yang in-vitro dibebaskan
dari bentuk pemberiannya dan tersedia untuk proses resorpsi, misalnya dari tablet, kapsul,
serbuk, suspensi, suppositoria dan sebagainya. Dengan kata lain FA merupakan kecepatan larut
dan jumlah dari obat yang menjadi tersedia in-vitro dari bentuk farmasetisnya. Bentuk tablet.
Setelah ditelan tablet akan pecah (desintegrasi) di lambung menjadi banyak granul kecil yang
terdiri dari zat aktif tercampur zat-zat pembantu (gom, gelatin, tajin). Baru setelah granul ini
pecah, zat aktif dibebaskan. Bila daya larutnya cukup besar, zat aktif akan melarut dalam
lambung atau usus, tergantung dimana saat itu obat berada.

Hal ini ditentukan oleh waktu pengosongan lambung yang berkisar antara 2 sampai 3 jam setelah
makan. Setelah melarut, obat tersedia dan proses resorpsi oleh usus dimulai. Peristiwa inilah
yang disebut FA. Dari uraian diatas, jelaslah bahwa obat berbentuk cairan (larutan, sirop) akan
mencapai keadaan FA dalam waktu yang jauh lebih singkat karena tidak harus melalui fase
desintegrasi dari tablet, granul dan melarut. Sebagai contoh asetosal. Bila diberikan sebagai
larutan, puncak plasmanya (A) dicapai setelah lebih kurang 1 jam, sedangkan tablet salut enteric
(ec), yaitu dengan lapisan tahan asam yang baru pecah dalam usus menghasilkan kadar maksimal
(B) setelah 4 jam dan hanya berjumlah lebih kurang 50% dari (A).

Untuk jelasnya lihat grafik dibawah ini. Ukuran melarut. Untuk obat yang tahan getah lambung,
kecepatan melarut dari berbagai bentuk sediaan menurun dengan urutan sebagai berikut. Larutan
– suspensi – serbuk – kapsul – tablet – tablet salut selaput – dragees (tablet salut gula) – tablet
e.c. – tablet kerja panjang (retard, sustained release)

Cara Pemberian obat Disamping faktor formulasi, cara pemberian obat turut menentukan
kecepatan dan kelengkapan resorpsi. Tergantung dari efek yang diinginkan, yaitu efek sistemis
(diseluruh tubuh) atau efek lokal (setempat), keadaan pasien dan sifat-sifat fisikokimiawi obat
dapat dipilih banyak cara untuk memberikan obat.

1) Efek sistemis

a) oral Pemberian obat melalui mulut adalah cara yang paling lazim digunakan karena, sangat
praktis, mudah dan aman. Seringkali resorpsi obat setelah pemberian tidak teratur dan tidak
lengkap, meskipun formulasinya optimal, misalnya senyawa ammonium kwaterner
(thiazinamium) kloksasilin dan digoksin (maksimal 80%).

b) sublingual Obat diletakkan di bawah lidah (sublingual) tempat berlangsungnya resorpsi oleh
selaput lender setempat ke dalam vena lidah yang sangat banyak di lokasi ini. Keuntungan cara
ini adalah obat langsung masuk ke peredaran darah tanpa melalui hati.

c) injeksi Pemberian obat secara parenteral (berarti “di luar usus”) biasanya dipilih jika
diinginkan efek yang cepat, kuat dan lengkap atau untuk obat yang merangsang atau dirusak oleh
getah lambung (hormone) atau tidakdiresorpsi oleh usus (streptomisin) begitu pula pada pasien
yang tidak sadar atau tidak mau bekerja sama. Keberatannya cara ini lebih mahal, nyeri serta
sukar dikerjakan sendiri oleh pasien. Selain itu, ada pula bahaya terkena infeksi kuman (harus
steril) dan bahaya merusak pembuluh darah atau saraf jika tempat suntikan tidak tepat.

d) implantasi subkutan Implantasi/subkutan adalah memasukkan obat yang berbentuk pellet steril
(tablet silindris kecil) ke bawah kulit dengan menggunakan suatu alat khusus (trocar). Obat ini
terutama digunakan untuk efek sistemis lama, misalnya hormone kelamin (estradiol,
testosterone). Akibat resorpsi yang lambat, satu pellet dapat melepaskan zat aktifnya secara
teratur selama 3- 5 bulan atau bahkan ada obat antihmil dengan lama kerja 3 tahun (Implanon,
Norplant).

e) rektal Rektal adalah pemberian obat melalui rectum (dubur) yang layak untuk obat yang
merangsang atau yang diuraikan oleh asam lambung, biasanya dalam bentuk supositoria,
kadang-kadang sebagai cairan (klisma 2-10 ml, lavemen 10-500 ml) Obat ini terutama digunakan
pada pasien yang mual atau muntah-muntah (mabuk jalan, migraine) atau yang terlampau sakit
untuk menelan tablet. Adakalanya juga untuk efek lokal yang cepat, misalnya laksan (suppose,
bisakodil/gliserin) dan klisma (prednisone, neomisin).

2) Efek lokal Mukosa lambung-usus dan rektum, juga selaput lendir lainnya dalam tubuh, dapat
menyerap obat dengan baik dan menghasilkan terutama efek setempat.

a) Intranasal Obat tetes hidung dapat digunakan pada selesma untuk menciutkan mukosa yang
bengkak (efedrin, xylometazolin). Kadang-kadang obat juga diberikan untuk efek sistemisnya,
misalnya vasopressin dan kortikosteroid (beklometason, flunisonida).

b) Intra-okuler atau intra-aurikuler (dalam mata dan telinga) Obat berbentuk tetes atau salepyang
digunakan untuk mengobati penyakit mata atau telinga. Pada penggunaan beberapa jenis obat
tetes harus waspada karena obat dapat diresorpsi dan menimbulkan efek toksis, misalnya
atropine.  Farmakologi  11

c) Inhalasi (intrapulmonal) Gas, zat terbang atau larutan sering diberikan sebagai inhalasi
(aerosol), yaitu obat yang disemprotkan ke dalam mulut dengan alat aerosol. Semprotan obat
dihirup dengan udara dan resorpsi terjadi melalui mukosa mulut, tenggorokan, dan saluran napas.
Tanpa melalui hati, obat dengan cepat melalui peredaran darah dan menghasilkan efeknya. Yang
digunakan secara inhalasi adalah anestetika umum (halotan) dan obat-obat asma (isoprenalin,
budesonide, dan beklometason) dengan maksud mencapai kadar setempat yang tinggi dan
memberikan efek terhadap bronkhia. Untuk maksud ini, selain larutan obat juga dapat digunakan
zat padatnya (turbuhaler) dalam keadaan sangat halus (microfine), misalnya natrium
kromoglikat, budesonide, dan beklometason.

d) Intravaginal Untuk mengobati gangguan vagina secara lokal tersedia salep, tablet atau sejenis
suppositoria vaginal (ovula) yang harus dimasukkan kedalam vagina dan melarut di situ.
Contohnya ialah metronidazole pada vaginitis (radang vagina). Obat dapat pula digunakan
sebagai cairan bilasan, penggunaan lain adalah untuk mencegah kehamilan dimana zat spermisid
(dengan daya mematikan sperma) dimasukkan dalam bentuk tablet, busa atau krem.

e) Kulit (topical) Pada penyakit kulit obat yang digunakan berupa salep, krem atau lotion
(kocokan). Kulit yang sehat dan utuh sukar sekali ditembus obat, tetapi resorpsi berlangsung
lebih mudah bila ada kerusakan. Efek sistemis yang menyusul kadang-kadang berbahaya, seperti
dengan kortikosteroida (kortison, betametason, dan lain-lain) terutama bila digunakan dengan
cara oklusi, artinya ditutup dengan plastik.

Anda mungkin juga menyukai