Anda di halaman 1dari 2

Dakwah sebagai gerakan dalam rangka Islamisasi di seantero muka bumi, secara teologis

merupakan kewajiban setiap muslim untuk melaksanakannya. Karena tanggung  jawab dan
konsekuensi dari seorang yang telah berislam adalah menyebarkannya. Prosesnya tentu
memanfaatkan potensi  sumberdaya yang dimiliki masing-masing dari muslim. Pelaksanaannya
bisa dengan perbuatan, lisan, tulisan maupun dengan hati.
Dia harus terkonstruksi dalam seluruh dimensi kehidupan muslim, suatu filosofi yang
mengarahkan segala dinamika kehidupan bahkan menjadi bagian dari ideologi yang mewarnai
dan mendasari segala pikiran dan langkah dalam mengarungi kehidupan.
Di Indonesia gerakan dakwah identik dengan ideologi masing masing ormas Islam, berkaitan
dengan ideologi  di Indonesia dapat dikategorikan ke dalam tiga macam, yaitu: Islam
fundamental, Islam moderat, dan Islam liberal. Islam fundamental beranggapan bahwa Agama
Islam sudah sempurna tanpa ada penambahan-penambahan hal baru  lagi yang tidak ada dalam
al-quran dan hadist, mereka menamakan hal baru tersebut dengan Bid’ah. Islam moderat adalah
Islam yang memperhatikan nilai toleransi dalam keberagaman, toleransi antara budaya lokal
dengan syariat Islam. Islam liberal adalah islam ke-kirian yaitu pemahaman islam yang
didasarkan atas realitas logika manusia dan juga berangggapan bahwa semua agama adalah
benar.
Salah satu ormas Islam adalah Muhammadiyah, ormas Islam yang didirikan oleh K.H Ahmad
Dahlan pada tanggal 18 november 1912 M/  8 dzulhijjah 1330 di Yogyakarta  merupakan ormas
Islam tertua di Indonesia. Menurut Haedar Nashir, Muhammadiyah sebagai sebuah gerakan
keagamaan memiliki dua arah (orientasi) sekaligus. Pertama, Muhammadiyah sebagai gerakan
keagamaan mengarahkan diri pada pemahaman Islam murni (tanzih: purifikasi) sehingga kita
lebih akrab ketika mendengar jargon “kembali pada al-Quran dan Hadist”. Kedua,
Muhammadiyah mengarahkan gerakannya pada perubahan-perubahan dalam konteks
Horizontal (hablun min an-nas). Terutama dengan hal-hal yang bernuansa kedunawian dengan
optimalisasi peran tajdid-nya disegala bidang kehidupan. Kedua orientasi tersebut memiliki
karakter serta wilayah garapan yang berbeda. Konteks purifikasi lebih memfokuskan diri pada
persoalan-persoalan mahdlah, sementara, tajdid cenderung menggarap persoalan-persoalan yang
masih terbuka kemungkinan untuk melakukan ijtihad. Sederhananya, purifikasi lebih menggarap
persoalan-persoalan dalam konteks hablun min Allah. Sedangkan, tajdid menggarap persoalan-
persoalan dalam konteks hablun min an-Nas.  
Dalam perjalanan sejarahnya, Muhammadiyah mengalami ketimpangan orientasi dengan hanya
terfokus pada satu arah semata, yaitu purifikasi. Ketimpangan tersebut terkadang justru
menyebabkan Muhammadiyah sering dipandang “ke-kanan-kanan-an” yang sejatinya sangat
dekat dengan arti gerakan fundamentalis. Kemudian memunculkan kesan bahwa persyarikatan
seolah memiliki corak keagamaan yang keras, sinis, dan anti terhadap lokalitas. Dalam hal ini,
Muhammadiyah sudah terlanjur sering mengatakan“syirik”, “takhayul”,
“bid’ah”,dan “khurafat” (TBC) untuk segala jenis perbuatan yang tidak senafas dengan ajaran
Islam murni, termasuk budaya lokal yang sudah menjadi tradisi turun-temurun.
Sidang Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, Bali, pada tahun 2002 menimbulkan wacana baru
yaitu Dakwah Kultural, namun wacana ini baru terekomendasikan pada Sidang Tanwir
Muhammadiyah di Makasar, Ujung pandang, tahun 2003. Melalui sidang tersebut,
Muhammadiyah memantapkan metode dakwah kultural ke depan agar agar lebih menampilkan
pola-pola pemahaman Agama secara santun terhadap budaya lokal. Dakwah kultural
Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada prinsip purifikasi (tanzih) sebagaimana orientasi
Muhammadiyah selama ini. Kelahiran Muhammadiyah yang dibidani oleh K.H. Ahmad Dahlan
sebenarnya lebih banyak terinspitrasi oleh gagasan pembaharuan (tajdid) para tokoh sebelumnya,
seperti: Ibnu Taimiyah, Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh, serta Rasyid Ridha. Para
tokoh tersebut merupakan merupakan pioneer dari gerakan pembaharuan Islam yang
mengembangkan dua arah konseptual sekaligus yakni purifikasi(purifikasi) dan modernisasi.
Melalui serangkaian langkah yang telah diatur secara tepat dan akutrat, syiar Islam diharapkan
dapat berjalan sesuai dengan sasaran. Meskipun dakwah kultural Muhammadiyah menggunakan
medium lokalitas, namun orientasi purifikasi tetap menjadi tujuan utama. Praktek kongkritnya
seorang da’i dapat mengambil sebuah contoh tentang bentuk budaya setempat seperti: Wayang.
Dalam seni pertunjukan wayang, seorang da’i harus memahami seluk beluk budaya tersebut. Di
manakah letak signifikansi wayang dengan ajaran-ajaran Islam, atau sebaliknya. Memahami
seluk beluk tradisi merupakan modal utama seorang dalam membersihkan unsure-unsur
penyelewengan yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, setelah kondisi psikologis umat berhasil
dipahami, selanjutnya menjadi lebih mudah untuk merubah bentuk-bentuk budaya warisan
Agama lain agar lebih Islami pada titik inilah, konsep dakwah kultural Muhammadiyah yang
dimaksudkan. Dakwah kultural merupakan sebuah konsep dakwah yang mencoba mengIslamkan
kultur lokal secara bertahap dan terencana.
Kendati persyarikatan menggunakan metode kultural sebagai dakwah, namun terdapat
perbedaaan mendasar anatara dakwah kultural yang digagas Muhammadiyah dengan model yang
dignakan oleh kalanganNahdlatul Ulama. Dalam konteks dakwah kultural, meskipun melibatkan
lokalitas sebagai medium dakwah, namun tetap berorientasi pada purifikasi(tanzih). Sedangkan
metode dakwah yang dijalankan kalanganNahdliyin cenderung bernuansa sinkretis, yakni
meleburkan diri dalam lokalitas dengan tanpa berorientasi pada aspek pemurnian. Dengan
demikian, karakter keIslaman versi Nahdliyin cenderung sinkretis, sedangkan
keIslaman ala Muhammadiyah tetap berorientasi pada purifikasi. Namun agenda dakwah
kultural Muhammadiyah belum sepenuhnya berhasil, Muhammadiyah lebih sering dianggap
fundamental karena orientasi pemurnian islam yang lebih banyak terlihat.
 
Daftar Putaka
Kusmanto, Thohir Yuli. 2012 Gerakan Dakwah di Kampus Riwayatmu Kini. Semarang:
Lembaga Penilitian IAIN Walisongo.
Soeratno, Siti Chamamah. 2009. Muhammadiyah sebagai Gerakan Seni dan Budaya.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anda mungkin juga menyukai