Anda di halaman 1dari 25

PKn Progresif, Vol. 13 No.

2 Desember 2019 ISSN: 1907-5332

POLITIK HUKUM PEMILIHAN UMUM PADA MASA


ORDE LAMA, ORDE BARU DAN REFORMASI

Oleh :
Gallih Saputra Wahyu Pramukti
Alamat E-mail : sapoetragallih@gmail.com

Abstrak
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui gambaran umum dari politik hukum
pemilihan umum. Selain itu untuk mengetahui periodisasi politik hukum pemilihan
umum yang terjadi di Indonesia dari masa orde lama, orde baru dan reformasi. Kajian ini
memetakan kembali masalah penegakan hukum pemilu dan selanjutnya merumuskan
sistem penegakan hukum pemilu yang ideal, yakni sistem yang tidak menyalahi standar
pemilu demokratis, namun tetap sesuai dengan kondisi Indonesia. Selain itu, kajian ini
memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan tentang bagaimana membangun sistem
penegakan hukum pemilu yang ideal.
Kata kunci: Politik hukum, Pemilihan Umum, Demokrasi

697
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem pemilihan umum
yang jujur dan adil (free and fair elections). Pemilu jujur dan adil dapat dicapai
apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur proses pelaksanaan pemilu;
sekaligus melindungi para penyelenggara, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga
negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan,
dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. Oleh
karena itu, pemilu yang jujur dan adil membutuhkan peraturan perundang-
undangan pemilu beserta aparat yang bertugas menegakkan peraturan perundang-
undangan pemilu tersebut.
Meskipun demikian, setiap kali pemilu dilaksanakan selalu saja muncul isu
tentang lemahnya penegakan hukum pemilu.Isu ini berangkat dari kenyataan
betapa banyak pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu yang tidak
ditangani sampai tuntas.Selain itu, peraturan perundangan-undangan yang ada juga
belum mengatur tentang keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu. Memang
Mahkamah Konstitusi punya kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil
pemilu (yang ditetapkan penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU), tetapi
bagaimana dengan keberatan atas masalah lain (di luar hasil pemilu) yang juga
diputuskan oleh penyelenggara pemilu. Banyaknya kasus pelanggaran administrasi
pemilu dan tindak pidana pemilu, serta banyaknya kasus keberatan atas keputusan
penyelenggara pemilu; di satu sisi, mendorong munculnya protes-protes yang bisa
berujung kekerasan, di sisi lain, juga mengurangi legitimasi hasil pemilu.
Selain itu, proses penegakan hukum Pemilu meliputi berbagai aspek hukum
yaitu tata Negara, administrasi Negara, pidana dan perdata menyebabkan
penanganannyapun melibatkan beberapa lembaga peradilan yaitu Mahkamah
Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum. Hal ini
menyebabkan dapat terjadi putusan satu lembaga peradilan bertentangan dengan
putusan lembaga peradilan lain.
Dari gambaran tersebut memperlihatkan betapa rumitnya penegakan
hukum dalam proses pemilu. Dilain sisi lembaga pengawas Pemilu yaitu Bawaslu
698
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum
pemilu meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan
pelanggaran administrasi ke KPU.Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam
Pemilu.
Untuk mengatasi masalah-masalah penegakan hukum pemilu tersebut,
materi peraturan perundang-undangan pemilu harus dilengkapi, diperjelas, dan
dipertegas.Yang tak kalah penting adalahmemperkuat lembaga-lembaga penegak
hukum pemilu agar mampu bekerja secara efektif.Kajian ini memetakan kembali
masalah penegakan hukum pemilu dan selanjutnya merumuskan sistem penegakan
hukum pemilu yang ideal, yakni sistem yang tidak menyalahi standar pemilu
demokratis, namun tetap sesuai dengan kondisi Indonesia.Selain itu, kajian ini
memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan tentang bagaimana membangun
sistem penegakan hukum pemilu yang ideal.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran umum dari politik hukum pemilihan umum ?
2. Bagaimanakah periodisasi politik hukum pemilihan umum yang terjadi di
Indonesia dari masa orde lama, orde baru dan reformasi ?

C. Tujuan
1. Mengetahui gambaran umum dari politik hukum pemilihan umum.
2. Mengetahui periodisasi politik hukum pemilihan umum yang terjadi di
Indonesia dari masa orde lama, orde baru dan reformasi.

699
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Politik Hukum Pemilu

Proklamasi kemerdekaan pada tangal 17 Agustus 1945 membawa semangat


demokrasi dan menjanjikan diselenggarakannya Pemilu dengan landasan hukum
yang responsif.Sejak awal kemerdekaan pemerintah Indonesia sudah menjanjikan
diselenggarakannya Pemilu untuk membentuk aparatur demokrasi yang
representatif.Namun berbagai kendala politis, baik yang bersifat eksternal maupun
internal menyebabkan Pemilu baru benar-benar dapat dilaksanakan pada tahun
1955.

Pemilihan umum (pemilu) merupakan instrumen penting dalam negara


demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Pemilu berfungsi sebagai alat
penyaring bagi politikus-politikus yang akan mewakili dan membawa suara rakyat
dalam lembaga pewakilan. Mereka yang terpilih dianggap sebagai orang atau
kelompok yang mempunyai kemampuan atau kewajiban untuk bicara dan bertindak
atas nama suatu kelompok yang lebih besar melalui partai politik (parpol). Oleh
sebab itu, adanya partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik
modern yang demokratis.Hal itu dimaksudkan untuk mengaktifkan dan
memobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi
bagi pendapat yang berlawanan, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan
poitik secara sah dan damai.Dengan demikian seperti halnya pemilu, parpol pun
merupakan komponen penting dari negara demokrasi.Perlu ditegaskan
pembahasan hukum pemilu tidak dapat dilepaskan dari pembahasan sistem yang
mengatur tentang susunan dan kedudukan lembaga perwakilan.Pemilu mutlak
diperlukan oleh negara yang menganut paham demokrasi.(Moh. Mahfud MD: 2009)

Pemilihan umum di Indonesia dipenuhi dengan catatan perubahan Undang-


Undang (UU). Sejak pemilu pertama yaitu tahun 1955 hingga saat ini setidaknya
sudah terseleggara sebelas kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987,
1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014.

700
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

Indonesia telah melahirkan sebelas Undang-Undang Pemilu, hal ini


disebabkan pada pemilu legislatif tahun 2014 telah lahir satu Undang-Undang
pemilu dan masih ditambah dengan dua UU tentang Pemilu Presiden dan Wakil
Pesiden yang pada saat penyelenggaraan tahun 2004 dan 2009 diatur dengan
Undang-Undang sendiri, maka tidak aneh jika Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa
sejarah pemilu di Indonesia adalah sejarah politik hukum tentang pemilu (Benni
Setiawan, pemilu dalam optik politik hukum: 2012).

Pencarian politik hukum yang mengesankan bahwa Undang-Undang Pemilu


di Indonesia selalu lahir sebagai ”proses instrumental” atau percobaan yang tak
selesai-selesai. Hal ini setidaknya disebabkan oleh tiga hal.Pertama, karena ada
kesadaran bahwa pemilu yang diseleggarakan sebelumnya mengandung kelemahan
yang harus diperbaiki untuk menyongsong pemilu berikutnya.Kedua, karena terjadi
perubahan maupun mekanisme pemilu yang dilatarbelakangi oleh motif politik
tertentu oleh sebagian besar partai politik yang menguasai kursi DPR.Karena terjadi
perubahan situasi, misalnya, demografi kependudukan dan perkembangan daerah,
yang harus diakomodasi di dalam Undang-Undang Pemilu. (Benni Setiawan, pemilu
dalam optik politik hukum: 2012).

B. Periodisasi Politik Hukum Pemilihan Umum Yang Terjadi Di Indonesia


1. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Orde Lama (1945-1966)

Politik hukum Pemilu pada masa orde lama dibagi lagi ke dalam dua periode
yakni periode demokrasi liberal (1945-1959) dan periode demokrasi terpimpin
(1959-1966). Pada masa demokrasi liberal, terdapat produk hukum pemilu yang
responsif. Sejak awal kemerdekaan pemerintah Indonesia memang telah
menjanjikan diselenggarakannya Pemilu untuk membentuk aparatur demokrasi
yang representatif. Namun berbagai kendala politis baik eksternal maupun internal
menyebabkan pemilu baru dapat dilaksanakan pada tahun 1955. Herbert Feith
dalam Mahfud MD (2009:309) menyatakan bahwa sebelum tahun 1955 sebenarnya
telah ada produk hukum tentang pemilihan anggota lembaga perwakilan yakni UU

701
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

No.27 Tahun 1948 yang kemudian diperbarui dengan UU No.12 Tahun 1949, tetapi
tidak pernah dapat diimplementasikan karena pergolakan revolusi.
Kemudian pada tahun 1953 pemerintah bersama DPR menyetujui UU
tentang Pemilihan umum (PEMILU) untuk anggota Konstituante dan Dewan
Perwakilan Rakyat, yaitu UU No. 7 tahun 1953. UU No.7 Tahun 1953 ini lahir karena
didorong oleh kehendak masyarakat pada waktu itu yang menekan segera
dihentikannya proses lempar-melempar RUU Pemilu, sehingga kemudian UU ini
dibahas oleh badan perwakilan rakyat secara fair. Maka dapat dikatakan bahwa
terdapat partisipasi masyarakat yang cukup tinggi dalam melahirkan UU ini. Materi
muatan yang terkandung dalam UU juga mencerminkan unsur aspiratif dan limitatif.
UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang sangat responsif. UU ini mengatur
dengan sangat rinci sistem Pemilu (electoral laws) dan pokok-pokok proses
pemilunya (electoral process), sehingga sangat sulit kemungkinan eksekutif untuk
menafsirkan sendiri UU Pemilu ini untuk kepentingan pribadi maupun golongan. UU
ini memang memberikan kewenangan pemerintah untuk membuat aturan
pelaksana dari UU ini, namun materi yang dapat diatur dalam aturan pelaksana
tersebut benar-benar yang bersifat teknis. UU ini juga menempatkan seluruh warga
negara yang berumur minimal 18 tahun atau sudah kawin sebagai subyek pemilihan
tanpa membeda-bedakan latar belakang politik dan golongan, termasuk anggota
ABRI juga memiliki hak pilih yang sama dengan warga negara biasa. Sedangkan
untuk yang dapat mencalonkan diri atau dipilih dapat merupakan perseorangan
maupun kelompok, sehingga setiap orang dapat benar-benar dapat memilih atau
membuat saluran aspirasi sendiri. Sistem pemilu yang dipergunakan adalah sistem
proporsional (perwakilan berimbang) dengan stelsel daftar dan sisa suara
terbanyak, dengan menerapkan asas umum, periodik, berkesamaan, bebas, rahasia
dan langsung.
UU No.7 Tahun 1953 ini mengatur pengorganisasian Pemilu dengan sangat
fair, dengan menempatkan pemerintah sebagai pihak netral, dimana
keterlibatannya hanya sebatas untuk fasilitas administrasi, sehingga partai-partai
sendirilah yang memainkan peranan penting dalam pemilu. Dalam UU ini juga
dikenal sistem pengangkatan untuk anggota konstituante maupun DPR. Tetapi
702
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

pengangkatan ini semakin memperkuat ke-responsif-an dari UU ini sendiri, karena


pengangkatan dilakuakan untuk memberikan jaminan adanya wakil sejumlah
minimal kursi bagi golongan minoritas Cina, Eropa dan Arab, dan bukan untuk
mewakili golongan pemegang kekuasaan. Sifat ke-responsif-an produk hukum
Pemilu UU No.7 tahun 1953 ini tidak terlepas dari konfigurasi politik pada masa itu
yang harus diakui bersifat demokratis, dimana menganut sistem demokrasi liberal.
Sebagaimana yang disebutkan sebelumnya, pemilu untuk pertama kali
diselenggarakan pada tahun 1955, dengan dua kali pemungutan suara, yaitu untuk
anggota DPR dilakukan pada bulan September 1955 dan untuk anggota konstutiante
dilakukan pada bulan desember 1955. Herbert faith dalam Mahmud
MD(2009:131)mengatakan bahwa kampanye yang mendahului pemilu 1955
membawa pengaruh besar bagi politisasi masa rakyat di desa-desa. Bahkan di
banyak tempat telah mengakibatkan semakin terlibatnya rakyat dalam masalah-
masalah politik, dalam skala yang lebih besar dari pada masa revolusi.Aspirasi
politik masyarakat yang dibawa oleh media masa tanpa sensor, justru semakin
mendorong keinstabilitas karena sistem politik pada waktu itu belum mapan dan
tidak mengakar secara cultural.
Sejak tahun 1956 politik kerakyatan telah memberikan garis pengelompokan
berdasarkan etnis dan geografis yang dimulai dengan munculnya berbagai dewan
diluar jawa, yang mencapai puncaknya dengan meletusnya PRRI pada februari 1958,
yaitu peristiwa serius yang mengancam keamanan territorial. Terlihat dengan jelas
bahwa krisis politik merasuk keberbagai bagian.Di konstituante terjadi perdebatan
tentang ideology negara yang berkepanjangan dan sia-sia. Kekuatan PKI semakin
meningkat, pemerintah tidak efektif menangani masalah-masalah di daerah, dan
perpecahan dwi tunggal soekarno hatta yang pada gilirannya telah menyebabkan
munculnya gerakan separatis yang betul-betul mengancam keutuhan republik.
Terjadinya krisis politik yang berkepanjangan disebabkan oleh
kecenderungan sentrifugal sistem multipartai yang dianut, seperti diketahui sejak
bulan November 1945 dengan maklumat no.X tahun 1945, telah ditetapkan sistem
multipartai.

703
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

Jika pada masa demokrasi liberal produk hukum Pemilu bersifat


responsif, tidak demikian pada masa demokrasi terpimpin. Selama periode
demokrasi terpimpin, tidak pernah dikeluarkan peraturan-peraturan
perundang-undangan pemilu.Seperti yang telah dikemukakan, lembaga
perwakilan yang mula-mula dipakai pada awal periode ini adalah DPR, yang
anggotanya dibentuk berdasarkan hasil pemilu 1955.Akan tetapi, dengan istilah
penghentian pelakasanaan tugas, DPR telah dibubatkan secara sepihak oleh
presiden Soekarno melalui penetapan presiden no 3 tahun 1960. Dictum
penpres sebagai berikut :

a. Menghentikan pelakasanaan tugas dan pekerjaan anggota-anggota dewan


perwakilan rakyat DPR,
b. Mengusahakan pembaharuan DPR berdasarkan UUD 1945 dalam waktu
singkat.

Bunyi dictum ke dua yang lebih berupa janji untuk membentu DPR yang
sesuai dengan tuntutan UUD 1945 adalah rencana pemilu. Ini dapat dipahami
dari keterangan pejabat presiden Djuanda, bahwa pemilu akan diadakan pada
tahun 1962, karena tidak mungkin diadakan dalam waktu dekat untuk mengisi
kekosongan dalam keanggotaan DPR sambil menunggu pemilu, dengan Penpres
No.4 tahun 1960, presiden membentuk semacam DPR sementara yang disebut
dewan perwakilan rakyat gotong royong (DPR-GR). Demikian suatu lembaga
konstitusional yang seharusnya berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam
memegang kekuasaan legislative, dilakukan oleh lembaga sementara.DPR-GR,
sesuai dengan bunyi pasal 2 Penpres No.4 tahun 1960, terdiri atas wakil-wakil
golongan politik dan golongan karya serta seorang wakil dari irian barat.DPR-GR
bekerja terus dengan fungsi yang sering diintervensi oleh presiden dalam
bentuk pembuatan penpres dan pemberian kewenangan kepada DPA untuk
membicarakan setiap RUU. MPRS sebagai lembagai tinggi negara mengalami hal-
hal yang sama.

704
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

Janji presiden Soekarno untuk membentuk DPR baru melalui pemilu


selalu ditunda oleh pemerintah, dan pada akhirnya tidak diwujudkan
juga.Soekarno baru menyebut lagi soal pemilu menjelang kejatuhannya sebagai
presiden, setelah peristiwa G30S/PKI tahun 1965. Pada 1966, setelah ABRI
memegang kunci kekuasaan melalui surat sebelas maret (supersemar) dan pada
saat-saat kejatuhan soekarno tinggal menunggu waktu, tepatnya pada tanggal 17
agustus melalui pidatonya yang berjudul “jangan sekali-sekali meninggalkan
sejarah / jasmerah”. Pidato pertanggungjawaban presiden yang dikenal sebagai
nawaksara itu, soekarno pada tanggal 4 mei 1966 menyampaikan dua buah RUU,
yakni RUU penyusunan MPR, DPR, dan DPRD, serta RUU pemilihan umum.
Tetapi, seruan presiden ini tenggelam ditengah hiruk pikuk demonstrasi dan
sidang istimewa MPRS yang tampaknya tidak lagi berpihak pada pemimpin
besar revolusi.Pemilupun tak sempat dilaksanakan sampai kejatuhan presiden
pada tahun 1967, bahkan sampai meninggalnya pada tahun 1970.

Tidak adanya produk hukum pemilu maupun ketidak-sediaan


pemerintah menyelenggarakan pemilu yang diinginkan oleh rakyat ini tidak
terlepas dengan konfigurasi politik pada saat itu yang cenderung bersifat
otoriter dengan sistem demokrasi terpimpin, dimana kekuasaan terpusat pada
Soekarno sebagai presiden. Hal ini juga terlihat dari karakteristik berbagai
produk hukum yang keluar pada masa itu yang cenderung bersifat konservatif
dan seringkali produk hukum yang dikeluarkan berasal dari lembaga diluar DPR,
yakni presiden bersama Dewan Nasional yang produknya berbentuk Penpres.

2. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Orde Baru(1966-1998)

Setelah runtuhnya rezim Orde Lama maka muncul kembali rezim baru
yang disebut dengan Orde Baru. Masa Orde Baru ini bisa dimulai ketika Presiden
Soekarno memberikan surat Supersemar kepada Soeharto. Joeniarto dalam
Mahfud MD (1998:200) mendefinisikan Orde Baru sebagai tatanan kehidupan
negara dan bangsa yang diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian

705
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

Pancasila dan UUD 1945.Yang menjadi obyek kajian yang menarik pada masa
Orde Baru salah satunya tentang Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu).
Jalan yang ditempuh oleh Orde Baru untuk menjadikan dirinya sebagai
negara kuat yang kemudian menjadi otoriter-birokratis adalah jalan
konstitusional. ini membawa rezim Orde Baru pada sikap tertentu
penyelenggaraan pemilu, yakni pemilu harus diadakan sesuai dengan tuntutan
konstitusi, tetapi kekuatan pemerintah (Orde Baru) harus mendapat jaminan
untuk memenangkan pemilu tersebut. Dengan kemenangan dan dominasi
tangan pemerintah di lembaga permusyawaratan/ perwakilan diharapkan
pemerintah dapat bekerja membangun negara dalam suasana politik yang stabil
(Mahfud, 2009:313)
Dasar hukum mengenai pemilu pada masa ini dituangkan dalam dua
buah UU yaitu UU No.15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No.16 Tahun 1969
tentang Susduk MPR/DPR/DPRD. UU Pemilu pada masa Orde Baru ini dapat
dikualifikasikan sebagai produk hukum yang bersifat ortodoks/konservatif. UU
No.15 Tahun 1969 ini hanya memuat 37 Pasal, jauh lebih sedikit jika
dibandingkan UU Pemilu sebelumnya yakni UU No.7 Tahun 1953 yang memuat
139 Pasal. Sehingga UU ini memberikan kemungkinan yang besa bagi
pemerintah atau eksekutif untuk membuat pengaturan (regeling) berdasarkan
kewenangan delegasi. Selain itu materi muatan dalam UU ini juga bersifat sangat
umum, maka dalam pembuatan peraturan pelaksanaannya sangat
dimungkinkan mengandung materi yang dianggap melanggar asas kejujuran dan
keadilan.
Selain itu, menurut UU ini, warga negara yang telah berumur 17 tahun
atau sudah kawin mempunyai hak untuk memilih, kecuali mereka yang terlibat
anggota organisasi terlarang menurut peraturan perundangan.Dalam Pasal 11
UU ini juga menerapkan sistem pengangkatan dalam komposisi lembaga
perwakilan, yang sebenarnya ditentang oleh berbagai pihak karena dinilai
kurang demokratis. Porsi pengangkatan sendiri berjumlah 100 orang dari
jumlah seluruh anggota DPR yakni 500 orang (Pemilu 1987 dan 1992). Dari 100
porsi pengangkatan tersebut, sebanyak 75 porsi diangkat dari ABRI (ABRI tidak
706
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

memiliki hak pilih tetapi secara otomatis memiliki wakil di DPR/MPR). Jika
dibandingkan dengan rasio secara umum, jumlah tersebut tidak proporsional
(over-representation), sebab UU Pemilu menentukan harga 1 kursi di DPR adalah
400.000 suara. Jika rasio ini dipakai, maka ABRI seharusnya hanya dapat
memiliki tidak lebih dari 2 wakil di DPR.
Selain terkait jumlah porsi pengangkatan, perbedaan mencolok UU ini
dengan UU sebelumnya (UU No.7 Tahun 1953) adalah motif dari pengangkatan
tersebut. dalam UU No.15 Tahun 1969 ini, yang diangkat adalah mewakili visi
politik pemerintah atau untuk mendongkrak kekuatan pemerintah yang
berkuasa dan berlaku untuk sejumlah kursi yang ditetapkan (yakni 100 kursi),
sedangkan menuruut UU No.7 Tahun 1953 yang diangkat mewakili golongan
minoritas dan baru akan dilakukan bila hasil pemilu tidak memberikan jumlah
kursi minimal bagi golongan minoritas.
Asas-asas yang dipakai dalam UU No.15 Tahun 1969 ini adalah asas
langsung, umum, bebas dan rahasia. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai
Demokrasi Indonesia sebenarnya pernah mengusulkan penambahan asas jujur
dan adil yang kemudian usul ini ditolak oleh fraksi Karya Pembangunan dan
ABRI. Golkar bersikap tidak ingin mengubah UU Pemilu yang dinilainya sudah
cukup bagus dan relevan. Kalaupun usul tersebut tetap terus diperjuangkan oleh
PPP maupun PDI, maka sangat besar kemungkinan akan kandas karena
perimbangan jumlah anggota DPR tidak seimbang. Jika Golkar yang jumlah
wakilnya di DPR sangat besar menantang voting, maka gabungan suara PPP dan
PDI tidak akan dapat memenangkannya, apalagi jika fraksi ABRI mendukung
Golkar.
Selain itu, dalam penyelenggaraan pemilu, parpol juga tidak diberikan
peranan yang riil, karena ketua panitia di setiap tingkatan diduduki oleh pejabat
atau pimpinan birokrasi, sementara peranan parpol hanya bersifat parsial.
Selain itu mekanisme penyelenggaraan pemilu juga mengandung kelemahan
dalam sistem kontrol dan dalam rantai penghitungan suara. Dalam hal
kampanye, UU ini juga membatasi waktu kampanye yakni sekitar 3 minggu dan
tema kampanye juga dibatasi dengan adanya larangan untuk menyinggung hal
707
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

tertentu yang dapat memojokkan pemerintah yang diperkirakan akan


berimplikasi pada turunnya dukungan terhadap partai hegemoni yakni Golkar.
Ketidak-demokratis-an UU ini juga ditunjukkan dengan adanya lembaga
screening yang memungkinkan tangan-tangan eksekutif mencoret nama-nama
calon yang diajukan oleh OPP untuk dipilih dalam pemilu. Selain itu juga ada
mekanisme recall atau penarikan kembali seseorang dari keanggotaan lembaga
perwakilan/permusyawaratan. Dimana dengan adanya recall ini pemerintah
dapat saja meminta parpol baik secara terang-terangan maupun melalui isyarat-
isyarat politik untuk menarik anggotanya di lembaga perwakilan.
Karakteristik UU Pemilu pada masa Orde Baru yang cenderung bersifat
konservatif atau ortodoks tersebut tidak terlepas dari konfigurasi politik atau
rezim politik yang pada saat itu berkuasa, yakni sebagaimana yang sudah kita
ketahui bersama bahwa rezim Orde Baru ini diwarnai dengan ke-otoriter-an
yang kental, dimana kekuasaan Soeharto sangat kuat dengan dukungan Golkar
dan Militer (ABRI) yang juga merupakan penguasa atau pemilik porsi tertinggi
dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan.
Ketika Orde Baru, berdasarkan Tap MPRS No.XI Tahun 1966, pemilu
seharusnya dilaksanakan selambat-lambatnya pada tanggal 6 Juli 1968. Namun
Presiden Soeharto kemudian menyatakan pemilu tidak dapat dilaksanakan pada
waktu yang telah ditentukan.MPRS kemudian menjadwal ulang pemilu dengan
menetapkan pemilu paling lambat 5 juli 1971.Menurut Sigit Pamungkas (2009:
76) penundaan yang dilakukan Presiden Soeharto ini disebut politik pemilu
pertama pada masa Orde Baru untuk mempersiapkan jalan agar kekuasaannya
langgeng (bertahan lama). Mahfud MD (1999: 232) menyatakan bahwa dibalik
penundaan pemilu dari tahun 1968 menjadi 1971 ini telah dicapai kesepakatan
kompromis antara partai-partai dan pemerintah meliputi dua hal: pertama,
partai-partai setuju memberi hak kepada pemerintah untuk mengangkat
sepertiga dari seluruh anggota MPR dan mengangkat 100 orang dari 460 orang
anggota DPR; kedua, pemerintah menyetujui usul partai-partai untuk
menyelenggarakan Pemilu dengan sistem Proposional. Dengan demikian, maka

708
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

pemerintah sudah memiliki kemenangan dalam struktur politik dan


ketatanegaraan.
Harry Tjan Silalahi dalam Syamsuddin H (1998: 54) memberikan
gambaran ada dua hakikat pokok dalam pemilu untuk pemahaman Politik
(political self-understanding) Orde Baru. Pertama, pemilu bukanlah merupakan
suatu alat atau sarana untuk mengubah pemerintah atau negara RI dan kedua
keterlibatan masyarakat di dalam pemilu lebih merupakan kewajiban ketimbang
hak warganegara.Kedua gambaran tersebut dapat artikan bahwa pemilu pada
Orde Baru lebih menekankan pada mempertahankan kekuasaan dan bukan
untuk mengganti rezim pemerintahan.Ada hal mendasar yang menjadikan
pemilu-pemilu pada Orde Baru dikategorikan pemilu yang tidak demokratis.
Syamsudin Haris dalam Sigit P (2009: 75) menyebutkan yaitu pertama, terlalu
dominan peranan pemerintah, dan sebaliknya, amat minimnya keterlibatan
masyarakat hampir di semua tingkatan kelembagaan maupun proses pemilu.
Kedua, proses pemilu tidak berlangsung fair karena adanya pemihakan
pemerintah kepada salah satu organisasi peserta pemilu yaitu Golkar.
Pada Orde baru Pemilu diselenggarakan sebanyak 6 kali yaitu pada tahun
1971, 1977, 1982, 1987, 1992 dan 1997. Dasar hukum penyelenggaraan pemilu
dapat digambarkan dalam tabel sebagai berikut :

No Pemilu Dasar Hukum Perubahan

1 1971 UU No 15 Tahun -
1969

2 1977 UU No 4 Tahun 1975 Adanya penyederhanaan


partai peserta pemilu.

3 1982 UU No 2 Tahun 1980 Adanya penambahan anggota


LPU dari unsur parpol, Golkar,
dan ABRI. Serta pembentukan
panitia pengawas pemilu.

4 1987 UU No 1 Tahun 1985 Adanya penambahan jumlah


wakil ketua panitia pengawas

709
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

pemilu.

5 1992 UU No 1 Tahun 1985 Adanya penambahan jumlah


wakil ketua panitia pengawas
pemilu.

6 1997 UU No 1 Tahun 1985 Adanya penambahan jumlah


wakil ketua panitia pengawas
pemilu

Sekurang-kurangnya ada empat tujuan diadakan Pemilu pada era Orde


Baru yang terdapat didalam konsiderans UU No. 15 tahun 1969 tentang Pemilu.
Keempat hal tersebut adalah :

1. Memilih wakil-wakil rakyat yang duduk dalam lembaga permusyawaratan/


perwakilan;
2. Melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan;
3. Mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
4. Sebagai sarana untuk mencapai kemenangan Orde Baru dalam mewujudkan
tata kehidupan yang dijiwai semangat Pancasila dan UUD 1945.
Dari keempat tujuan tersebut terdapat suatu kejanggalan yang mungkin
merupakan penyimpangan politik pemilu pada era Orde Baru. Pada tujuan
Pemilu yang keempat menyebutkan bahwa tujuannya “…. mencapai kemenangan
Orde Baru…”.Dari hal tersebut jelas sekali bahwa tujuan pemilu pada orde baru
bisa diasumsikan untuk memperoleh kemenangan pada satu pihak yaitu
pemerintah yang bertahan pada saat itu.Untuk menjamin maksud tersebut maka
pemilu dilaksanakan dengan sistem proposional diselenggarakan oleh
pemerintah yang dikuasai oleh elit penguasa itu sendiri.
Pemilu 1971 diikuti oleh 58.558.776 jiwa dari jumlah penduduk Republik
Indonesia yang pada waktu itu berjumlah 77.654.492 jiwa, dengan hasil sebagai
berikut :

710
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

No Nama Partai Jumlah Suara Jumlah Kursi

1. Partai Katolik (Indonesia) 607 3


2. Partai Syarikat Islam Indonesia 1308237 10
3. Nahdlatul Ulama 1971 10213650 58
4. Partai Muslimin Indonesia 2930746 24
5. Partai Golongan Karya 34348673 236
6. Partai Kristen Indonesia 733359 7
7. Partai Musyawarah Rakyat Banyak 49000 0
8. Partai Nasional Indonesia - Massa Marhaen 3793266 20
9. Persatuanttarbiyah Islamiyah 381309 2
10. Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia 338403 0
Sumber :http://kepustakaan-presiden.perpusnas.go.id/

Hasil pemilu 1971 menempatkan Golkar sebagai mayoritas tunggal


dengan perolehan suara 62,82%. Pemilih dari Golkar hampir seluruh Indonesia
dengan perbandingan antara pemilih di Jawa dan luar Jawa yang sebanding
besarnya.Dari sisi ideologi pemilih, dari ideologi Islam dan sekuler juga sebagian
besar memilih partai Golkar.
Pada pemilu tahun 1977, dari 10 partai yang ikut di pemilu 1971 di
persempit jumlah pesertanya menjadi 3 partai. Ketiga partai tersebut adalah
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sebagai partai Islam, Partai
Demokrasi Indonesia (PDI) sebagai partai nasionalis dan Kristen, kemudian
pemenang Pemilu 1971 yaitu Golkar yang dianggap sebagai organisasi sosial
politik milik pemerintah yang berfungsi melanggengkan pemerintahan pada era
Orde Baru. Pada pemilu tahun 1977 ini mengacu pada UU No. 3 Tahun 1975
tentang Partai Politik dan Golongan Karya. Dari UU ini muncul politisasi dari UU
yang di keluarkan oleh Pemerintah. Dalam pasal 1 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1975
disebutkan ”Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Partai Politik dan
Golongan Karya adalah organisasi kekuatan sosial politik yang merupakan hasil
pembaharuan dan penyederhanaan kehidupan politik di Indonesia“. Golkar

711
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1975 dianggap bukan partai politik melainkan
organisasi sosial politik.Tetapi pada prakteknya Golkar dianggap sebagai partai
politik karena pada saat itu selalu ikut dalam Pemilu. Karena di UU No.3 tahun
1975 tersebut memberikan suatu keistimewaan dari Golkar daripada partai-
partai yang lain. Maka masyarakat akan lebih percaya dengan kinerja Golkar
untuk memberikan pemerintahan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Karena
Golkar adalah milik Pemerintah maka dalam orasinya menyuarakan kinerja
terbaik pemerintah Soeharto.
Penyimpangan hukum yang berbau politik orde baru adalah tentang
kepengurusan partai, dipasal 10 ayat 1 UU No. 3 tahun 1975 di sebutkan bahwa
kepengurusan partai-partai terbatas pada ibukota tingkat pusat, Dati I, Dati II.
Ketentuan ini menurut Miriam Budiardjo (2008: 476) disebut massa
mengambang (Floating mass) .Dalam hal ini justru menguntungkan Golkar
karena Golkar bebas bergerak sampai ke desa.Hal ini karena Golkar adalah milik
Pemerintah yang memiliki jaringan sampai ke perangkar Desa. Sedangkan kedua
Partai yaitu PDI dan PPP tidak mempunyai kepengurusan sampai ke desa
bahkan dengan adanya UU No. 3 tahun 1975 dilarang untuk membentuk
kepengurusan sampai desa.
Hasil pemilu pada tahun 1977 tetap dimenangkan oleh Golkar dengan
perolehan 62,11%, kemudian untuk PPP dan PDI masing-masing hanya
mendapat 29,29% dan 8,6% . Kemenangan dari Golkar terus berlanjut sampai
tahun 1997. Dilihat dari proses pemilu dari tahun 1971-1997 ini memberikan
suatu fenomena yang didominasi politisasi di pemerintahan era Orde Baru.
Konsistensi Golkar memenangkan pemilu ini sebagai bentuk bahwa kedua partai
lawan yaitu PDI dan PPP tidak lebih hanya sebagai penyerta.Pemilu ada era Orde
Baru hanya tidak ada kompetisi karena 6 kali pemilu selalu dimenangkan oleh
Golkar.
Hal yang menarik pada Orde Baru adalah Anggota Legislatif yang terpilih
dari pemilu lebih merespon kepada Pemerintah daripada aspirasi rakyat.Karena
pada saat itu yang membuat rancangan Perundang-undangan adalah
Eksekutif.Maka Legislatif lebih dikenal sebagai lembaga yang hanya
712
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

mengesahkan saja.Hal ini karena anggota Legislatif berasal dari Golkar.Dan


Golkar sendiri adalah meilih Pemerintah.Pengendali utama para anggota Golkar
dari Eksekutif Pemerintahan.Pada era orde Baru ini lebih sering dikenal sebagai
Pemerintahan yang otoriter.Dengan kemenangan Golkar pada era Orde Baru ini,
pemilu yang dilaksanakan tidak melahirkan sirkulasi elit penguasa.Elit Penguasa
yang berkuasa hanya berputar disekitar kroni Suharto.Setiap kali pasca pemilu,
PDI dan PPP tidak serta merta ikut dalam pemerintahan.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, untuk anggota DPR yang duduk di
parlemen tidak semuanya hasil pemilu tetapi ada penunjukan dari pihak ABRI
sebanyak 75 orang. Jumlah ini tidak sebanding dengan jumlah anggota dari
Partai PDI dan PPP yang ada di DPR. Dari penjabaran diatas maka dapat diambil
beberapa kesimpulan antara lain :

1. Penundaan pemilu pada tahun 1968 menjadi 1971 sebagai strategi politik
untuk mempertahankan pemerintahan Soeharto;
2. Golkar sebagai mesin politik pemerintah yang perannya sebagai pendukung
pemerintah dalam pemilu di Era Orde Baru;
3. Adanya penyederhanaan peserta pemilu. Hal ini untuk mengurangi lawan
kompetisi Golkar pada pemilu, sehingga di sini Golkar mempunyai dukungan
kuat dan lawan yang sedikit;
4. Adanya floating mass dimana partai politik tidak diperbolehkan mempunyai
kepengurusan sampai ke tingkat desa;
5. Tujuan pemilu di Era Orde baru hanya untuk memenangkan Golkar guna
mempertahankan kekuasaan Suharto yang akhirnya dapat bertahan sampai
30 tahun.
3. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Reformasi
a. Sejarah Pemilu DPR pada Era Reformasi
Politik hukum pemilu DPR pada era reformasi dilaksanakan sejak
Pemilu 1999, kemudian dilanjutkan pada Pemilu 2004, 2009 dan 2014. Pada
awal era Reformasi, Penyelenggaan Pemilu Tahun 1999 dimulai ketika Presiden
Soeharto mengundurkan diri dari masa jabatannya kemudian digantikan oleh BJ

713
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

Habiebie. Kemudian atas desakan publik, pemilu yang baru dipercepat untuk
segera dilaksanakan.Pada akhirnya, pemilu dilaksanakam pada tanggal 7 Juni
1999. Satu hal Yang sangat menonjol yang membedakan Pemilu 1999 dengan
Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah bahawa pada Pemilu 1999 diikuti
oleh banyak peserta. Hal ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk
mendirikan partai politik.
Meskipun masa persiapannya hanya singkat, pelaksanaan pemungutan
suara bisa tepat sesuai jadwal.Pemilu pada tahun 1999 ini terlaksana dengan
damai, walau ada keterlambatan pada Daerah Tingkat II di Sumatera
Utara.Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah
mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU Pemilu, dan RUU Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Namun, tidak seperti persiapan dan
pelaksanaannnya, saat melakukan perhitungan pada pemilu 1999 ini
mengalami beberapa kendala, yaitu adanya penolakan dari 27 partai untuk
menandatangani berita acara pengitungan suara dengan dalih Pemilu belum
jujur dan adil.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua setelah Soeharto jatuh. Meskipun
demikian, pada pemilu kedua ini memiliki perbedaan yang sangat jauh dalam
banyak hal dibandingkan Pemilu 1999. Kemudian, pada Pemilu 2004
diperkenalkan tiga sistem baru di Indonesia, yaitu sistem proposional dengan
daftar calon terbuka untuk pemilu DPR dan DPRD, system pemilu untuk anggota
DPD, dan sistem Pemilu Presiden dan Wapres secara langsung. Syarat Parpol
Peserta Pemilu 2004, bahwa tidak semua parpol yang terdaftar dan lolos
verifikasi oleh Departemen Kehakiman dan HAM langsung dapat mengikuti
Pemilu 2004 yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2003.
Sedangkan, Pelaksanaan Pemilu 2009 tidak jauh berbeda dengan Pemilu
2004, bahwa sistem proposional dengan daftar calon terbuka untuk pemilu DPR
dan DPRD, sistem distrik berwakil banyak untuk anggota DPD, dan sistem
pemilihan presiden dan wapres secara langsung. Perbedaan utamanya adalah
pada penetapan suara terbanyak yang duduk di kursi parlemen.Penetapan ini
merupakan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi.Dengan penetapan ini
714
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

faktor nomor urut tidak terpakai lagi.Penyelenggaraan Pemilu 2014, yaitu


secara umum ketentuannya sama dengan Pemilu 2004 dan Pemilu 2009. Hanya
saja, ada tahun 2014 ini ada usulan adanya pemilu secara serentak.

b. Pelaksanaan Pemilu DPR era Reformasi


Dalam pelaksanaan pemilu DPR pada era reformasi sejak tahun 1999
sampai sekarang banyak mengalami perkembangan dalam penyelenggaraan
pemilunya.Pemilu pada tahun 1999 diselenggarakan oleh KPU yang unsur
keanggotaanya dari partai politik peserta pemilu dan pemerintah.Pada pemilu
2004, diselenggarakan ole KPU bersifat nasional, tetap, dan mandiri terdiri dari
unsur-unsur non partai. Sama halnya dengan Pemilu 2004, Pemilu 2009 dan
Pemilu 2014 juga diselenggarakan oleh KPU bersifat nasional, tetap, dan
mandiri terdiri dari unsur-unsur non partai.
Dalam penyelenggaraan Pemilu DPR era Reformasi ini masih terdapat
beberapa kelemahan dalam pelaksanaanya.Kelemahan dalam Pemilu 1999 yang
paling menonjol adalah instabilitas KPU dalam mengambil keputusan-
keputusan penting.Sehingga, KPU Pemilu 1999, tidak berhasil menyelesaikan
tugas pentingnya berupa penetapan hasil pemilu. Sedangkan, kelemahan yang
menonjol pada Pemilu 2004 adalah terletak pada keterlibatan anggota KPU detil
teknis, seperti proyek pengadaan tinta dan sebagainya yang berakibat pada
jeratan hukum bagi beberapa anggota KPU. Namun disisi lain, kelebihan dari
Pemilu 2004 adalah KPU relatif berasil menyelenggarakan Pemilu dengan
lancar dan berhasil menunaikan seluruh tugas dan kewenangannya.
Adapun kelemahan yang menonjol dari Pemilu 2009 adalah aspek
profesionalitas dan inkonsistensi KPU dalam penyelenggaraan pemilu.
Profesionalitas yang lemah dan inkonsistensi KPU berakibat pada tuduhan tidak
independennya KPU dalam menyelenggarakan Pemilu. Sedangkan, Kelemahan
dari Pemilu 2014 adalah dalam pelaksanaan belum dapat terlaksana baik secara
keseluruhan, masih terdapat banyak golput, dan kelemahan dari pihak
pelaksana yaitu KPU.

715
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

Sedangkan, ketentuan mengenai peserta pemilu mengalami perubahan,


karena Persyaratan Peserta pemilu dalam Era Reformasi ini semakin ketat dari
masa ke masanya.Pada Pemilu 1999, ketentuan mengenai pendirian partai
politik dan persyaratan menjado peserta Pemilu sangat longgar.Sedangka pada
Pemilu 2004 mulai diperketat, dan diperketat lagi pada Pemilu 2009 dan Pemilu
2014.Persyaratan yang diperketat ini merupakan suatu upaya untuk
penyederhanaan partai.Namun, upaya ini belum sepenuhnya berhasil.Karena
masih banyak partai baru yang bermunculan.
Perubahan juga terjadi pada ambang batas yang dipakai beserta
implikasi dari ambang batas tersebut.Pada Pemilu 1999 menyebutkan bahwa
dipakai ambang batas elektoral yang diatur dalam Pasal 39 UU Nomor 3 Tahun
1999 tentang Pemilu.Sedang, dalam Pemilu 2004 juga dipakai ambang batas
elektoral, yang diatur dalam Pasal 9 UU Nomor 12 Tahun 2003. Dalam Pemilu
2009 terdapat ketentuan mengenai ambang batas parlemen, yang dikenal
dengan parliamentary threshold yang diatur dalam Pasal 20 Ayat 1 UU Nomor
10 Tahun 2008 hanya berlaku untuk DPR RI. Dalam Pemilu 2014 sistem
parliamentary threshold berlaku secara nasional, baik DPR RI, DPD, DPRD.

c. Politik Hukum Pemilu DPR, DPD, dan DPRD era Reformasi


Dasar pelaksanaan Pemilu DPR dari tahun 1999 sampai 2014 era Reformasi
terus mengalami perubahan. Perubahan peraturan perundang-undangan
tersebut, yaitu :
− Pemilu 1999 dasar UU Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu
− Pemilu 2004 dasarnya UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD
− Pemilu 2009 dasarnya UU nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD
− Pemilu 2014 UU Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu anggota DPR, DPD
dan DPRD.

716
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

Pemilu DPR pada era Reformasi ini mengalami berbagai perubahan dan
perkembangan, yang disebabkan oleh perubahan dasar aturan/perubahan
peraturan perundangan yang menjadi dasarnya. Beberapa perubahan yang
terjadi yaitu dari segi Sistem Pemilu, ketentuan memilih dan jumlah partai, yakni
dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Sistem Pemilu
Pada masa reformasi pemilhan umum legislatif tetap menggunakan
sistem proposional namun terjadi beberapa modifikasi. Pada pemilu tahun
1999 DP tidak hanya terpaku pada propinsi, tetapi juga sudah
memperhatikan kabupaten/kota. Pada pemilu 2004, DP tidak lagi propinsi
tetapi meliputi daerah yang lebih kecil lagi, dimana masing-masing DP
mendapat jatah 3 sampai 12 kursi. Sementara pemilu 2009 besaran DP untuk
DPR diperkecil antara 3 sampai 10 kursi. Pemilu 2004 dan 2009 juga telah
menganut sistem proposional daftar terbuka. Namun menurut Nico Harjanto
( dalam Kacung Marijan:2010:94-95) perubahan tersebut tidak sepenuhnya
terbuka, melainkan lebih kepada sistem proposional semi daftar terbuka. Hal
ini dikarenakan penentuan tentang siapa yang akan mewakili partai di dalam
perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak
melainkan tetap berdasarkan nomor urut.
2) Jumlah Partai
Berbeda dengan masa orde baru, pada masa reformasi jumlah partai
politik meningkat. Hal ini diakarenakan dianutnya kembali sistem demokrasi
di Indonesia. Seperti apa yang dikatakan oleh Scarrow bahwa kemunculan
partai-partai berbanding lurus dengan tumbuhnya proses demokratisasi,
khususnya yang berkaitan dengan kesamaan hak antar warga negara.Pada
pemilu 1999, jumlah partai yang megikuti pemilihan legislatif berjumlah 48
partai politik. Pada pemilu 2004 diikuti 24 partai politik, dan pemilu tahun
2009 diikuti 41 partai politik nasional dan 6 partai lokal di Aceh.
Dari penjelasan perbandingan jumlah partai pada masa orde baru dan
masa reformasi terlihat bahwa pada masa orde baru partai peserta pemilu
lebih sedikit dan dibatasi. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan Presiden
717
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

Soeharto melalui UU No 3 Tahun 1975, adan adanya pandangan bahwa


sistem multipartai dapat mengganngu kestabilan negara. Sementara itu pada
masa reformasi jumlah partai politik pengikut pemilu lebih banyak, hal ini
dikarenakan dianutnya kembali keran demkrasi di Indonesia.
3) Ketentuan Memilih
Pada pemilu masa reformasi terjadi perubahan dalam memberikan
suara kepada peserta pemilu. Pada pemilu 1999, pemilih dapat memberikan
suara dengan mencoblos lambang partai dan memilih salah satu calon dari
partai yang dipilih. Sementara pada pemilu tahun 2004 dan 2009 selain
memilih partai dan calon partai, masyarakat juga memilih anggota DPD yang
dilakukan dengan mencoblos salah satu angggota DPD dalam surat suara.
Sehingga, dapat dikatakan bahwa berbeda dengan pemilu pada masa
orde baru, pada pemilu reformasi ini terdapat empat UU yang mengatur
tentang pemilu, yang memiliki beberapa perubahan dan perbedaan sebagai
berikut :
1) Lembaga Penyelenggara pada pemilu Orba menitikberatkan anggota
pada pejabat pemerintah, sedangkan pemilu reformasi anggota lebih
independen bebas dari unsur partai dan pemerintah.
2) Sistem pemilu pada pemilu orde baru menganut sistem proposional
tertutup, sementara pemilu reformasi dengan sistem proposional
terbuka.
3) Jumlah partai peserta pemilu orde baru ditentukan pemerintah,
sementara pada masa reformasi lebih demokratis.Ketentuan memilih
pada masa orde baru hanya mencoblos gambar partai, sementara
pemilu reformasi juga dapat memilih calon perseorangan.

718
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi politikus-politikus yang akan
mewakili dan membawa suara rakyat dalam lembaga pewakilan. Mereka yang
terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan
atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang
lebih besar melalui partai politik (parpol). Oleh sebab itu, adanya partai politik
merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang
demokratis.Pemilihan umum di Indonesia dipenuhi dengan catatan perubahan
Undang-Undang (UU). Sejak pemilu pertama yaitu tahun 1955 hingga saat ini
setidaknya sudah terseleggara sebelas kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014.
2. Politik hukum di Indonesia dibagi menjadi tiga rezim. Yang pertama, politik
hukum pemilu pada rezim Orde Lama, pada rezim ini masih dibagi lagi kedalam
dua periode yaitu demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi
liberal undang-undang yang dihasilkan tentang pemilu bersifat responsif,
namun hal ini berbeda dengan periode demokrasi terpimpin dimana dalam
periode ini tidak pernah dikeluarkan peraturan-peraturan perundang-
undangan pemilu. Dalam periode Orde Baru karakteristik Undang-Undang
Pemilu pada masa Orde Baru yang cenderung bersifat konservatif atau
ortodoks, hal ini tidak terlepas dari rezim politik yang pada saat itu berkuasa,
yakni pada rezim Orde Baru ini diwarnai dengan ke-otoriter-an yang kental,
dimana kekuasaan Soeharto sangat kuat dengan dukungan Golkar dan Militer
(ABRI) yang juga merupakan penguasa atau pemilik porsi tertinggi dalam
lembaga permusyawaratan/perwakilan. Sedangkan pada masa reformasi politik
hukum yang dihasilkan cukup responsif, namun peran KPU masih lemah, karena
profesionalitas yang lemah dan inkonsistensi KPU berakibat pada tuduhan tidak
independennya KPU dalam menyelenggarakan Pemilu.

719
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

B. Saran
Pada demokrasi terpimpin atau orde baru, kondisi politik saat itu terpusat
kuat pada salah satu partai dan partai itu mendominasi dalam pemilu sehingga
menjadikan soeharto presiden selama 32 tahun.Jalannya demokrasi dalam periode
tersebut belum sesuai dengan konsep demokrasi sendiri karena lebih di kuasai oleh
penguasa atau sering disebut pemerintah yang otoriter.Jadi dalam pembuatan
produk perundang-undangan tidak mengedepankan suara rakyat.Namunhal
tersebut tidaklah tepat, karena seharusnya dalam pembuatan produk perundang-
undanganharuslah lebih mengedepankan suara rakyat, sehingga tidak muncul
kekuasaan yang otoriter. Selain itu dalam proses pelaksanaan pemilu,
profesionalitas dari KPU haruslah diperkuat dan seharusnya KPUlebih bersifat
independen.

720
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332

DAFTAR PUSTAKA

Buku
Budiardjo, Miriam. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3S
Indonesia
__________. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Haris, Syamsuddin., dkk. 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru Sebuah
Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI
MD, Mahfud. 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media
Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan UGM
Mahfud MD, Moh. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafido
Persada.

Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai politik dan Golongan Karya

Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia Diakses pada tanggal 5
Januari 2021 pukul 10.00 WIB.

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20283450-T29436-Politik%20hukum.pdf diakses
pada tanggal 15 Januari 2021 pukul 09.00 WIB

https://profgunarto.files.wordpress.com/2012/12/politik-hukum-7.pdf diakses
pada tanggal 15 Januari 2021 pukul 16.00 WIB

Penyelenggara Pemilu Orde Baru: Menjaga Kemenangan Golkar. Diakses pada 15


Januari 2021 dari
http://www.rumahpemilu.org/in/read/194/Penyelenggara-Pemilu-Orde-
Baru-Menjaga-Kemenangan-Golkar

721

Anda mungkin juga menyukai