Oleh :
Gallih Saputra Wahyu Pramukti
Alamat E-mail : sapoetragallih@gmail.com
Abstrak
Tujuan penulisan ini untuk mengetahui gambaran umum dari politik hukum
pemilihan umum. Selain itu untuk mengetahui periodisasi politik hukum pemilihan
umum yang terjadi di Indonesia dari masa orde lama, orde baru dan reformasi. Kajian ini
memetakan kembali masalah penegakan hukum pemilu dan selanjutnya merumuskan
sistem penegakan hukum pemilu yang ideal, yakni sistem yang tidak menyalahi standar
pemilu demokratis, namun tetap sesuai dengan kondisi Indonesia. Selain itu, kajian ini
memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan tentang bagaimana membangun sistem
penegakan hukum pemilu yang ideal.
Kata kunci: Politik hukum, Pemilihan Umum, Demokrasi
697
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu syarat pokok demokrasi adalah adanya sistem pemilihan umum
yang jujur dan adil (free and fair elections). Pemilu jujur dan adil dapat dicapai
apabila tersedia perangkat hukum yang mengatur proses pelaksanaan pemilu;
sekaligus melindungi para penyelenggara, kandidat, pemilih, pemantau, dan warga
negara pada umumnya dari ketakutan, intimidasi, kekerasan, penyuapan, penipuan,
dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi hasil pemilu. Oleh
karena itu, pemilu yang jujur dan adil membutuhkan peraturan perundang-
undangan pemilu beserta aparat yang bertugas menegakkan peraturan perundang-
undangan pemilu tersebut.
Meskipun demikian, setiap kali pemilu dilaksanakan selalu saja muncul isu
tentang lemahnya penegakan hukum pemilu.Isu ini berangkat dari kenyataan
betapa banyak pelanggaran administrasi dan tindak pidana pemilu yang tidak
ditangani sampai tuntas.Selain itu, peraturan perundangan-undangan yang ada juga
belum mengatur tentang keberatan atas keputusan penyelenggara pemilu. Memang
Mahkamah Konstitusi punya kewenangan untuk menyelesaikan perselisihan hasil
pemilu (yang ditetapkan penyelenggara pemilu, dalam hal ini KPU), tetapi
bagaimana dengan keberatan atas masalah lain (di luar hasil pemilu) yang juga
diputuskan oleh penyelenggara pemilu. Banyaknya kasus pelanggaran administrasi
pemilu dan tindak pidana pemilu, serta banyaknya kasus keberatan atas keputusan
penyelenggara pemilu; di satu sisi, mendorong munculnya protes-protes yang bisa
berujung kekerasan, di sisi lain, juga mengurangi legitimasi hasil pemilu.
Selain itu, proses penegakan hukum Pemilu meliputi berbagai aspek hukum
yaitu tata Negara, administrasi Negara, pidana dan perdata menyebabkan
penanganannyapun melibatkan beberapa lembaga peradilan yaitu Mahkamah
Konstitusi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Peradilan umum. Hal ini
menyebabkan dapat terjadi putusan satu lembaga peradilan bertentangan dengan
putusan lembaga peradilan lain.
Dari gambaran tersebut memperlihatkan betapa rumitnya penegakan
hukum dalam proses pemilu. Dilain sisi lembaga pengawas Pemilu yaitu Bawaslu
698
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
dan jajarannya tidak lebih dari tukang pos yang tugasnya dalam penegakan hukum
pemilu meneruskan kasus yang mengandung unsur pidana ke polisi dan
pelanggaran administrasi ke KPU.Hal ini menambah rumit penegakan hukum dalam
Pemilu.
Untuk mengatasi masalah-masalah penegakan hukum pemilu tersebut,
materi peraturan perundang-undangan pemilu harus dilengkapi, diperjelas, dan
dipertegas.Yang tak kalah penting adalahmemperkuat lembaga-lembaga penegak
hukum pemilu agar mampu bekerja secara efektif.Kajian ini memetakan kembali
masalah penegakan hukum pemilu dan selanjutnya merumuskan sistem penegakan
hukum pemilu yang ideal, yakni sistem yang tidak menyalahi standar pemilu
demokratis, namun tetap sesuai dengan kondisi Indonesia.Selain itu, kajian ini
memberikan sejumlah rekomendasi kebijakan tentang bagaimana membangun
sistem penegakan hukum pemilu yang ideal.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah gambaran umum dari politik hukum pemilihan umum ?
2. Bagaimanakah periodisasi politik hukum pemilihan umum yang terjadi di
Indonesia dari masa orde lama, orde baru dan reformasi ?
C. Tujuan
1. Mengetahui gambaran umum dari politik hukum pemilihan umum.
2. Mengetahui periodisasi politik hukum pemilihan umum yang terjadi di
Indonesia dari masa orde lama, orde baru dan reformasi.
699
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Politik Hukum Pemilu
700
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
Politik hukum Pemilu pada masa orde lama dibagi lagi ke dalam dua periode
yakni periode demokrasi liberal (1945-1959) dan periode demokrasi terpimpin
(1959-1966). Pada masa demokrasi liberal, terdapat produk hukum pemilu yang
responsif. Sejak awal kemerdekaan pemerintah Indonesia memang telah
menjanjikan diselenggarakannya Pemilu untuk membentuk aparatur demokrasi
yang representatif. Namun berbagai kendala politis baik eksternal maupun internal
menyebabkan pemilu baru dapat dilaksanakan pada tahun 1955. Herbert Feith
dalam Mahfud MD (2009:309) menyatakan bahwa sebelum tahun 1955 sebenarnya
telah ada produk hukum tentang pemilihan anggota lembaga perwakilan yakni UU
701
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
No.27 Tahun 1948 yang kemudian diperbarui dengan UU No.12 Tahun 1949, tetapi
tidak pernah dapat diimplementasikan karena pergolakan revolusi.
Kemudian pada tahun 1953 pemerintah bersama DPR menyetujui UU
tentang Pemilihan umum (PEMILU) untuk anggota Konstituante dan Dewan
Perwakilan Rakyat, yaitu UU No. 7 tahun 1953. UU No.7 Tahun 1953 ini lahir karena
didorong oleh kehendak masyarakat pada waktu itu yang menekan segera
dihentikannya proses lempar-melempar RUU Pemilu, sehingga kemudian UU ini
dibahas oleh badan perwakilan rakyat secara fair. Maka dapat dikatakan bahwa
terdapat partisipasi masyarakat yang cukup tinggi dalam melahirkan UU ini. Materi
muatan yang terkandung dalam UU juga mencerminkan unsur aspiratif dan limitatif.
UU ini dapat dikatakan sebagai UU yang sangat responsif. UU ini mengatur
dengan sangat rinci sistem Pemilu (electoral laws) dan pokok-pokok proses
pemilunya (electoral process), sehingga sangat sulit kemungkinan eksekutif untuk
menafsirkan sendiri UU Pemilu ini untuk kepentingan pribadi maupun golongan. UU
ini memang memberikan kewenangan pemerintah untuk membuat aturan
pelaksana dari UU ini, namun materi yang dapat diatur dalam aturan pelaksana
tersebut benar-benar yang bersifat teknis. UU ini juga menempatkan seluruh warga
negara yang berumur minimal 18 tahun atau sudah kawin sebagai subyek pemilihan
tanpa membeda-bedakan latar belakang politik dan golongan, termasuk anggota
ABRI juga memiliki hak pilih yang sama dengan warga negara biasa. Sedangkan
untuk yang dapat mencalonkan diri atau dipilih dapat merupakan perseorangan
maupun kelompok, sehingga setiap orang dapat benar-benar dapat memilih atau
membuat saluran aspirasi sendiri. Sistem pemilu yang dipergunakan adalah sistem
proporsional (perwakilan berimbang) dengan stelsel daftar dan sisa suara
terbanyak, dengan menerapkan asas umum, periodik, berkesamaan, bebas, rahasia
dan langsung.
UU No.7 Tahun 1953 ini mengatur pengorganisasian Pemilu dengan sangat
fair, dengan menempatkan pemerintah sebagai pihak netral, dimana
keterlibatannya hanya sebatas untuk fasilitas administrasi, sehingga partai-partai
sendirilah yang memainkan peranan penting dalam pemilu. Dalam UU ini juga
dikenal sistem pengangkatan untuk anggota konstituante maupun DPR. Tetapi
702
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
703
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
Bunyi dictum ke dua yang lebih berupa janji untuk membentu DPR yang
sesuai dengan tuntutan UUD 1945 adalah rencana pemilu. Ini dapat dipahami
dari keterangan pejabat presiden Djuanda, bahwa pemilu akan diadakan pada
tahun 1962, karena tidak mungkin diadakan dalam waktu dekat untuk mengisi
kekosongan dalam keanggotaan DPR sambil menunggu pemilu, dengan Penpres
No.4 tahun 1960, presiden membentuk semacam DPR sementara yang disebut
dewan perwakilan rakyat gotong royong (DPR-GR). Demikian suatu lembaga
konstitusional yang seharusnya berfungsi sebagai mitra pemerintah dalam
memegang kekuasaan legislative, dilakukan oleh lembaga sementara.DPR-GR,
sesuai dengan bunyi pasal 2 Penpres No.4 tahun 1960, terdiri atas wakil-wakil
golongan politik dan golongan karya serta seorang wakil dari irian barat.DPR-GR
bekerja terus dengan fungsi yang sering diintervensi oleh presiden dalam
bentuk pembuatan penpres dan pemberian kewenangan kepada DPA untuk
membicarakan setiap RUU. MPRS sebagai lembagai tinggi negara mengalami hal-
hal yang sama.
704
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
Setelah runtuhnya rezim Orde Lama maka muncul kembali rezim baru
yang disebut dengan Orde Baru. Masa Orde Baru ini bisa dimulai ketika Presiden
Soekarno memberikan surat Supersemar kepada Soeharto. Joeniarto dalam
Mahfud MD (1998:200) mendefinisikan Orde Baru sebagai tatanan kehidupan
negara dan bangsa yang diletakkan kembali pada pelaksanaan kemurnian
705
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
Pancasila dan UUD 1945.Yang menjadi obyek kajian yang menarik pada masa
Orde Baru salah satunya tentang Pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu).
Jalan yang ditempuh oleh Orde Baru untuk menjadikan dirinya sebagai
negara kuat yang kemudian menjadi otoriter-birokratis adalah jalan
konstitusional. ini membawa rezim Orde Baru pada sikap tertentu
penyelenggaraan pemilu, yakni pemilu harus diadakan sesuai dengan tuntutan
konstitusi, tetapi kekuatan pemerintah (Orde Baru) harus mendapat jaminan
untuk memenangkan pemilu tersebut. Dengan kemenangan dan dominasi
tangan pemerintah di lembaga permusyawaratan/ perwakilan diharapkan
pemerintah dapat bekerja membangun negara dalam suasana politik yang stabil
(Mahfud, 2009:313)
Dasar hukum mengenai pemilu pada masa ini dituangkan dalam dua
buah UU yaitu UU No.15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan UU No.16 Tahun 1969
tentang Susduk MPR/DPR/DPRD. UU Pemilu pada masa Orde Baru ini dapat
dikualifikasikan sebagai produk hukum yang bersifat ortodoks/konservatif. UU
No.15 Tahun 1969 ini hanya memuat 37 Pasal, jauh lebih sedikit jika
dibandingkan UU Pemilu sebelumnya yakni UU No.7 Tahun 1953 yang memuat
139 Pasal. Sehingga UU ini memberikan kemungkinan yang besa bagi
pemerintah atau eksekutif untuk membuat pengaturan (regeling) berdasarkan
kewenangan delegasi. Selain itu materi muatan dalam UU ini juga bersifat sangat
umum, maka dalam pembuatan peraturan pelaksanaannya sangat
dimungkinkan mengandung materi yang dianggap melanggar asas kejujuran dan
keadilan.
Selain itu, menurut UU ini, warga negara yang telah berumur 17 tahun
atau sudah kawin mempunyai hak untuk memilih, kecuali mereka yang terlibat
anggota organisasi terlarang menurut peraturan perundangan.Dalam Pasal 11
UU ini juga menerapkan sistem pengangkatan dalam komposisi lembaga
perwakilan, yang sebenarnya ditentang oleh berbagai pihak karena dinilai
kurang demokratis. Porsi pengangkatan sendiri berjumlah 100 orang dari
jumlah seluruh anggota DPR yakni 500 orang (Pemilu 1987 dan 1992). Dari 100
porsi pengangkatan tersebut, sebanyak 75 porsi diangkat dari ABRI (ABRI tidak
706
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
memiliki hak pilih tetapi secara otomatis memiliki wakil di DPR/MPR). Jika
dibandingkan dengan rasio secara umum, jumlah tersebut tidak proporsional
(over-representation), sebab UU Pemilu menentukan harga 1 kursi di DPR adalah
400.000 suara. Jika rasio ini dipakai, maka ABRI seharusnya hanya dapat
memiliki tidak lebih dari 2 wakil di DPR.
Selain terkait jumlah porsi pengangkatan, perbedaan mencolok UU ini
dengan UU sebelumnya (UU No.7 Tahun 1953) adalah motif dari pengangkatan
tersebut. dalam UU No.15 Tahun 1969 ini, yang diangkat adalah mewakili visi
politik pemerintah atau untuk mendongkrak kekuatan pemerintah yang
berkuasa dan berlaku untuk sejumlah kursi yang ditetapkan (yakni 100 kursi),
sedangkan menuruut UU No.7 Tahun 1953 yang diangkat mewakili golongan
minoritas dan baru akan dilakukan bila hasil pemilu tidak memberikan jumlah
kursi minimal bagi golongan minoritas.
Asas-asas yang dipakai dalam UU No.15 Tahun 1969 ini adalah asas
langsung, umum, bebas dan rahasia. Partai Persatuan Pembangunan dan Partai
Demokrasi Indonesia sebenarnya pernah mengusulkan penambahan asas jujur
dan adil yang kemudian usul ini ditolak oleh fraksi Karya Pembangunan dan
ABRI. Golkar bersikap tidak ingin mengubah UU Pemilu yang dinilainya sudah
cukup bagus dan relevan. Kalaupun usul tersebut tetap terus diperjuangkan oleh
PPP maupun PDI, maka sangat besar kemungkinan akan kandas karena
perimbangan jumlah anggota DPR tidak seimbang. Jika Golkar yang jumlah
wakilnya di DPR sangat besar menantang voting, maka gabungan suara PPP dan
PDI tidak akan dapat memenangkannya, apalagi jika fraksi ABRI mendukung
Golkar.
Selain itu, dalam penyelenggaraan pemilu, parpol juga tidak diberikan
peranan yang riil, karena ketua panitia di setiap tingkatan diduduki oleh pejabat
atau pimpinan birokrasi, sementara peranan parpol hanya bersifat parsial.
Selain itu mekanisme penyelenggaraan pemilu juga mengandung kelemahan
dalam sistem kontrol dan dalam rantai penghitungan suara. Dalam hal
kampanye, UU ini juga membatasi waktu kampanye yakni sekitar 3 minggu dan
tema kampanye juga dibatasi dengan adanya larangan untuk menyinggung hal
707
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
708
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
1 1971 UU No 15 Tahun -
1969
709
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
pemilu.
710
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
711
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
sesuai dengan UU No. 3 Tahun 1975 dianggap bukan partai politik melainkan
organisasi sosial politik.Tetapi pada prakteknya Golkar dianggap sebagai partai
politik karena pada saat itu selalu ikut dalam Pemilu. Karena di UU No.3 tahun
1975 tersebut memberikan suatu keistimewaan dari Golkar daripada partai-
partai yang lain. Maka masyarakat akan lebih percaya dengan kinerja Golkar
untuk memberikan pemerintahan yang terbaik bagi bangsa Indonesia. Karena
Golkar adalah milik Pemerintah maka dalam orasinya menyuarakan kinerja
terbaik pemerintah Soeharto.
Penyimpangan hukum yang berbau politik orde baru adalah tentang
kepengurusan partai, dipasal 10 ayat 1 UU No. 3 tahun 1975 di sebutkan bahwa
kepengurusan partai-partai terbatas pada ibukota tingkat pusat, Dati I, Dati II.
Ketentuan ini menurut Miriam Budiardjo (2008: 476) disebut massa
mengambang (Floating mass) .Dalam hal ini justru menguntungkan Golkar
karena Golkar bebas bergerak sampai ke desa.Hal ini karena Golkar adalah milik
Pemerintah yang memiliki jaringan sampai ke perangkar Desa. Sedangkan kedua
Partai yaitu PDI dan PPP tidak mempunyai kepengurusan sampai ke desa
bahkan dengan adanya UU No. 3 tahun 1975 dilarang untuk membentuk
kepengurusan sampai desa.
Hasil pemilu pada tahun 1977 tetap dimenangkan oleh Golkar dengan
perolehan 62,11%, kemudian untuk PPP dan PDI masing-masing hanya
mendapat 29,29% dan 8,6% . Kemenangan dari Golkar terus berlanjut sampai
tahun 1997. Dilihat dari proses pemilu dari tahun 1971-1997 ini memberikan
suatu fenomena yang didominasi politisasi di pemerintahan era Orde Baru.
Konsistensi Golkar memenangkan pemilu ini sebagai bentuk bahwa kedua partai
lawan yaitu PDI dan PPP tidak lebih hanya sebagai penyerta.Pemilu ada era Orde
Baru hanya tidak ada kompetisi karena 6 kali pemilu selalu dimenangkan oleh
Golkar.
Hal yang menarik pada Orde Baru adalah Anggota Legislatif yang terpilih
dari pemilu lebih merespon kepada Pemerintah daripada aspirasi rakyat.Karena
pada saat itu yang membuat rancangan Perundang-undangan adalah
Eksekutif.Maka Legislatif lebih dikenal sebagai lembaga yang hanya
712
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
1. Penundaan pemilu pada tahun 1968 menjadi 1971 sebagai strategi politik
untuk mempertahankan pemerintahan Soeharto;
2. Golkar sebagai mesin politik pemerintah yang perannya sebagai pendukung
pemerintah dalam pemilu di Era Orde Baru;
3. Adanya penyederhanaan peserta pemilu. Hal ini untuk mengurangi lawan
kompetisi Golkar pada pemilu, sehingga di sini Golkar mempunyai dukungan
kuat dan lawan yang sedikit;
4. Adanya floating mass dimana partai politik tidak diperbolehkan mempunyai
kepengurusan sampai ke tingkat desa;
5. Tujuan pemilu di Era Orde baru hanya untuk memenangkan Golkar guna
mempertahankan kekuasaan Suharto yang akhirnya dapat bertahan sampai
30 tahun.
3. Politik Hukum Pemilu Pada Masa Reformasi
a. Sejarah Pemilu DPR pada Era Reformasi
Politik hukum pemilu DPR pada era reformasi dilaksanakan sejak
Pemilu 1999, kemudian dilanjutkan pada Pemilu 2004, 2009 dan 2014. Pada
awal era Reformasi, Penyelenggaan Pemilu Tahun 1999 dimulai ketika Presiden
Soeharto mengundurkan diri dari masa jabatannya kemudian digantikan oleh BJ
713
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
Habiebie. Kemudian atas desakan publik, pemilu yang baru dipercepat untuk
segera dilaksanakan.Pada akhirnya, pemilu dilaksanakam pada tanggal 7 Juni
1999. Satu hal Yang sangat menonjol yang membedakan Pemilu 1999 dengan
Pemilu-pemilu sebelumnya sejak 1971 adalah bahawa pada Pemilu 1999 diikuti
oleh banyak peserta. Hal ini dimungkinkan karena adanya kebebasan untuk
mendirikan partai politik.
Meskipun masa persiapannya hanya singkat, pelaksanaan pemungutan
suara bisa tepat sesuai jadwal.Pemilu pada tahun 1999 ini terlaksana dengan
damai, walau ada keterlambatan pada Daerah Tingkat II di Sumatera
Utara.Sebelum menyelenggarakan Pemilu yang dipercepat itu, pemerintah
mengajukan RUU tentang Partai Politik, RUU Pemilu, dan RUU Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Namun, tidak seperti persiapan dan
pelaksanaannnya, saat melakukan perhitungan pada pemilu 1999 ini
mengalami beberapa kendala, yaitu adanya penolakan dari 27 partai untuk
menandatangani berita acara pengitungan suara dengan dalih Pemilu belum
jujur dan adil.
Pemilu 2004, merupakan pemilu kedua setelah Soeharto jatuh. Meskipun
demikian, pada pemilu kedua ini memiliki perbedaan yang sangat jauh dalam
banyak hal dibandingkan Pemilu 1999. Kemudian, pada Pemilu 2004
diperkenalkan tiga sistem baru di Indonesia, yaitu sistem proposional dengan
daftar calon terbuka untuk pemilu DPR dan DPRD, system pemilu untuk anggota
DPD, dan sistem Pemilu Presiden dan Wapres secara langsung. Syarat Parpol
Peserta Pemilu 2004, bahwa tidak semua parpol yang terdaftar dan lolos
verifikasi oleh Departemen Kehakiman dan HAM langsung dapat mengikuti
Pemilu 2004 yang telah diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2003.
Sedangkan, Pelaksanaan Pemilu 2009 tidak jauh berbeda dengan Pemilu
2004, bahwa sistem proposional dengan daftar calon terbuka untuk pemilu DPR
dan DPRD, sistem distrik berwakil banyak untuk anggota DPD, dan sistem
pemilihan presiden dan wapres secara langsung. Perbedaan utamanya adalah
pada penetapan suara terbanyak yang duduk di kursi parlemen.Penetapan ini
merupakan hasil dari putusan Mahkamah Konstitusi.Dengan penetapan ini
714
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
715
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
716
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
Pemilu DPR pada era Reformasi ini mengalami berbagai perubahan dan
perkembangan, yang disebabkan oleh perubahan dasar aturan/perubahan
peraturan perundangan yang menjadi dasarnya. Beberapa perubahan yang
terjadi yaitu dari segi Sistem Pemilu, ketentuan memilih dan jumlah partai, yakni
dapat dijabarkan sebagai berikut.
1) Sistem Pemilu
Pada masa reformasi pemilhan umum legislatif tetap menggunakan
sistem proposional namun terjadi beberapa modifikasi. Pada pemilu tahun
1999 DP tidak hanya terpaku pada propinsi, tetapi juga sudah
memperhatikan kabupaten/kota. Pada pemilu 2004, DP tidak lagi propinsi
tetapi meliputi daerah yang lebih kecil lagi, dimana masing-masing DP
mendapat jatah 3 sampai 12 kursi. Sementara pemilu 2009 besaran DP untuk
DPR diperkecil antara 3 sampai 10 kursi. Pemilu 2004 dan 2009 juga telah
menganut sistem proposional daftar terbuka. Namun menurut Nico Harjanto
( dalam Kacung Marijan:2010:94-95) perubahan tersebut tidak sepenuhnya
terbuka, melainkan lebih kepada sistem proposional semi daftar terbuka. Hal
ini dikarenakan penentuan tentang siapa yang akan mewakili partai di dalam
perolehan kursi di DPR/D tidak didasarkan pada perolehan suara terbanyak
melainkan tetap berdasarkan nomor urut.
2) Jumlah Partai
Berbeda dengan masa orde baru, pada masa reformasi jumlah partai
politik meningkat. Hal ini diakarenakan dianutnya kembali sistem demokrasi
di Indonesia. Seperti apa yang dikatakan oleh Scarrow bahwa kemunculan
partai-partai berbanding lurus dengan tumbuhnya proses demokratisasi,
khususnya yang berkaitan dengan kesamaan hak antar warga negara.Pada
pemilu 1999, jumlah partai yang megikuti pemilihan legislatif berjumlah 48
partai politik. Pada pemilu 2004 diikuti 24 partai politik, dan pemilu tahun
2009 diikuti 41 partai politik nasional dan 6 partai lokal di Aceh.
Dari penjelasan perbandingan jumlah partai pada masa orde baru dan
masa reformasi terlihat bahwa pada masa orde baru partai peserta pemilu
lebih sedikit dan dibatasi. Hal ini dikarenakan adanya kebijakan Presiden
717
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
718
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemilu berfungsi sebagai alat penyaring bagi politikus-politikus yang akan
mewakili dan membawa suara rakyat dalam lembaga pewakilan. Mereka yang
terpilih dianggap sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kemampuan
atau kewajiban untuk bicara dan bertindak atas nama suatu kelompok yang
lebih besar melalui partai politik (parpol). Oleh sebab itu, adanya partai politik
merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang
demokratis.Pemilihan umum di Indonesia dipenuhi dengan catatan perubahan
Undang-Undang (UU). Sejak pemilu pertama yaitu tahun 1955 hingga saat ini
setidaknya sudah terseleggara sebelas kali yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977,
1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014.
2. Politik hukum di Indonesia dibagi menjadi tiga rezim. Yang pertama, politik
hukum pemilu pada rezim Orde Lama, pada rezim ini masih dibagi lagi kedalam
dua periode yaitu demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin. Dalam demokrasi
liberal undang-undang yang dihasilkan tentang pemilu bersifat responsif,
namun hal ini berbeda dengan periode demokrasi terpimpin dimana dalam
periode ini tidak pernah dikeluarkan peraturan-peraturan perundang-
undangan pemilu. Dalam periode Orde Baru karakteristik Undang-Undang
Pemilu pada masa Orde Baru yang cenderung bersifat konservatif atau
ortodoks, hal ini tidak terlepas dari rezim politik yang pada saat itu berkuasa,
yakni pada rezim Orde Baru ini diwarnai dengan ke-otoriter-an yang kental,
dimana kekuasaan Soeharto sangat kuat dengan dukungan Golkar dan Militer
(ABRI) yang juga merupakan penguasa atau pemilik porsi tertinggi dalam
lembaga permusyawaratan/perwakilan. Sedangkan pada masa reformasi politik
hukum yang dihasilkan cukup responsif, namun peran KPU masih lemah, karena
profesionalitas yang lemah dan inkonsistensi KPU berakibat pada tuduhan tidak
independennya KPU dalam menyelenggarakan Pemilu.
719
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
B. Saran
Pada demokrasi terpimpin atau orde baru, kondisi politik saat itu terpusat
kuat pada salah satu partai dan partai itu mendominasi dalam pemilu sehingga
menjadikan soeharto presiden selama 32 tahun.Jalannya demokrasi dalam periode
tersebut belum sesuai dengan konsep demokrasi sendiri karena lebih di kuasai oleh
penguasa atau sering disebut pemerintah yang otoriter.Jadi dalam pembuatan
produk perundang-undangan tidak mengedepankan suara rakyat.Namunhal
tersebut tidaklah tepat, karena seharusnya dalam pembuatan produk perundang-
undanganharuslah lebih mengedepankan suara rakyat, sehingga tidak muncul
kekuasaan yang otoriter. Selain itu dalam proses pelaksanaan pemilu,
profesionalitas dari KPU haruslah diperkuat dan seharusnya KPUlebih bersifat
independen.
720
PKn Progresif, Vol. 13 No. 2 November 2019 ISSN: 1907-5332
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Budiardjo, Miriam. 1998. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Pustaka LP3S
Indonesia
__________. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Haris, Syamsuddin., dkk. 1998. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru Sebuah
Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan PPW-LIPI
MD, Mahfud. 1999. Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi. Yogyakarta: Gama Media
Pamungkas, Sigit. 2009. Perihal Pemilu. Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu
Pemerintahan UGM
Mahfud MD, Moh. 2009. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafido
Persada.
Undang-Undang
Undang-Undang Nomor 15 tahun 1969 tentang Pemilu
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai politik dan Golongan Karya
Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia Diakses pada tanggal 5
Januari 2021 pukul 10.00 WIB.
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20283450-T29436-Politik%20hukum.pdf diakses
pada tanggal 15 Januari 2021 pukul 09.00 WIB
https://profgunarto.files.wordpress.com/2012/12/politik-hukum-7.pdf diakses
pada tanggal 15 Januari 2021 pukul 16.00 WIB
721