DOSEN PENGAMPU :
Robianti, S.IP.,M.Sos
Disusun Oleh
HERMAN M (20.3179)
ANDINI SALSABILLA ANUGRAH (20.3198)
VANIDHA NUR FAIZAH (19.3123)
RESTI (19.3131)
RESTA (19.3132)
JULIANSYAH (20.3183)
LA EKA FATURRAHMAN (20.3165)
A. PERTANYAAN KUNCI
1. Apa Pengertian Pemilu
2. Apa Saja Dasar Hukum Pemilu
3. Bagaimana Sejarah Pemilu di Indonesia
4. Bagaimana Tahapan Pemilu
5. Apa saja Masalah Hukum Pemilu
6. Apa Pengertian Pemilukada
7. Apa Saja Dasar Hukum Pemilukada
8. Bagaimana Sejarah Pemilukada di Indonesia
9. Bagaimana Tahapan Pemilukada
10. Apa saja Masalah Hukum Pemilukada
11. Apa Pengertian Penyelenggara Pemilu
12. Apa Saja Dasar Hukum Penyelenggara Pemilu
13. Bagaimana Sejarah Penyelenggara Pemilu
14. Apa saja Tupoksi KPU
15. Apa saja Tupoksi Bawaslu
16. Apa saja Tupoksi DKPP
17. Apa yang dimaksud Partisipasi Politik
18. Bagaimana Perkembangan Studi Mengenai Partisipasi Politik
19. Bagaimana Tipologi Partisipasi Politik
20. Bagaimana Model Partisipasi Politik
B. PEMILU
1. Pengertian Pemilu
Pemilu adalah singkatan dari Pemilihan Umum, yang merupakan proses demokratis di
mana warga negara suatu negara secara langsung atau tidak langsung memilih para
pemimpin atau perwakilan mereka dalam pemerintahan. Pemilu merupakan salah satu
mekanisme dasar dalam sistem demokrasi untuk memilih pemerintahan yang akan
memimpin dan mewakili kepentingan rakyat.
Tujuan utama dari pemilu adalah memberikan hak suara kepada warga negara dan
memberikan kesempatan untuk memilih pemimpin dan perwakilan mereka. Pemilu juga
berfungsi sebagai alat untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem
politik, serta untuk mengatur pembagian kekuasaan di antara berbagai lembaga
pemerintahan.
Proses pemilu melibatkan berbagai tahap, seperti registrasi pemilih, kampanye politik,
pemungutan suara, dan penghitungan suara. Pemilu dapat dilakukan dalam berbagai
tingkatan, mulai dari pemilihan umum nasional untuk memilih presiden atau parlemen,
hingga pemilihan lokal untuk memilih pemimpin daerah atau perwakilan di tingkat lokal.
Pemilu adalah singkatan dari Pemilihan Umum, yang merupakan proses demokratis di mana
warga negara suatu negara secara langsung atau tidak langsung memilih para pemimpin
atau perwakilan mereka dalam pemerintahan. Pemilu merupakan salah satu mekanisme
dasar dalam sistem demokrasi untuk memilih pemerintahan yang akan memimpin dan
mewakili kepentingan rakyat.
Tujuan utama dari pemilu adalah memberikan hak suara kepada warga negara dan
memberikan kesempatan untuk memilih pemimpin dan perwakilan mereka. Pemilu juga
berfungsi sebagai alat untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem
politik, serta untuk mengatur pembagian kekuasaan di antara berbagai lembaga
pemerintahan.
Proses pemilu melibatkan berbagai tahap, seperti registrasi pemilih, kampanye politik,
pemungutan suara, dan penghitungan suara. Pemilu dapat dilakukan dalam berbagai
tingkatan, mulai dari pemilihan umum nasional untuk memilih presiden atau parlemen,
hingga pemilihan lokal untuk memilih pemimpin daerah atau perwakilan di tingkat lokal.
2. Perjuangan Kemerdekaan:
- 1945: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus.
- 1945-1949: Masa revolusi kemerdekaan dengan pembentukan badan perwakilan seperti
BPUPKI, PPKI, dan Konstituante RIS.
4. Orde Baru:
- 1971: Pemilihan Umum Orde Baru pertama dengan satu partai politik, Golkar.
- 1982: Pemilihan Umum tidak langsung (MPR) dengan satu calon presiden yang diajukan.
- 1997: Munculnya gerakan reformasi yang menuntut demokrasi yang lebih besar.
6. Pemilu Terkini:
- 2024: Jadwal pemilihan presiden dan parlemen selanjutnya berdasarkan jadwal pemilu
Indonesia.
4. Tahapan Pemilu
1. Penyusunan Aturan:
- Pembuatan atau penyempurnaan undang-undang pemilihan dan peraturan terkait.
- Penetapan jadwal pemilihan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).
2. Pendaftaran Pemilih:
- Pendaftaran pemilih oleh KPU.
- Pemutakhiran data pemilih yang sudah terdaftar.
- Verifikasi dan validasi data pemilih.
3. Kampanye Pemilu:
- Pembukaan periode kampanye yang memungkinkan para calon atau partai politik untuk
mempromosikan diri mereka.
- Penyampaian program, visi, dan misi calon kepada pemilih.
- Debat publik dan pertemuan kampanye.
5. Penghitungan Suara:
- Pengumpulan dan perhitungan suara yang telah dipungut di TPS oleh KPPS (Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara).
- Verifikasi dan validasi hasil penghitungan suara oleh KPU.
- Pengumuman hasil pemilu untuk masing-masing calon atau partai politik.
6. Penetapan Pemenang:
- Pengumuman resmi pemenang pemilu oleh KPU berdasarkan hasil penghitungan suara.
- Penetapan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pemenang pemilihan.
7. Penyelesaian Sengketa:
- Penanganan sengketa pemilu yang mungkin timbul selama atau setelah pemilihan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) atau lembaga penyelesaian sengketa lainnya.
Sedangkan perselisihan pemilu terdiri dari perselisihan antar peserta pemilu atau antar
calon, perselisihan administrasi atau tata usaha negara pemilu, dan perselisihan hasil
Pemilu. Tindak pidana Pemilu ditangani Pengawas Pernilu, yang ditindaklanjuti ke KPU, KPU
Daerah, lalu KPU dan KPU daerah menjatuhkan sanksi administrasi. Sedangkan pelanggaran
kode etik penyelenggara Pemilu disidang dan diputuskan oleh DKPP.
C. PEMILUKADA
6. Pengertian Pemilukada
Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau biasa disebut dengan Pilkada
atau Pemilukada adalah Pemilihan Umum untuk memilih pasangan calon KepalaDaerah yang
diusulkan oleh Partai Politik (Parpol) atau gabungan parpol dan perseorangan.Pilkada (Pemilihan
Kepala Daerah) merupakan sebuah pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh para
penduduk daerah administratif setempat yang telah memenuhi persyaratan. Di Indonesia, saat
ini pemilihan kepala daerah dapat dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah
administratif setempat yang sudah memenuhi syarat.
Dahulu sebelum tahun 2005 kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),namun Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali
diselenggarakan pada bulan Juni 2005, dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur.
Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala
daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan
bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh
DPRD. Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang
terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi PKS berjumlah 55 orang, Fraksi Partai
Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.
Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai langkah
mundur di bidang "pembangunan" demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk
menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi sebagian pihak yang lain,
Pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja.
Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi (walaupun dalam pelaksanaan
Pemilukada tidak langsung nanti ternyata menyenangkan rakyat) adalah: Pertama, Pemilukada
tidak langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang. Kedua, Pemilukada tidak langsung
menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi.
Padahal jika Pemilukada secara langsung, tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD (sebagai
warga negara) hak pilihnya tetap ada.
c. Sosialisasi;
j. Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Presiden dan
Wakil Presiden;
k. Penyelesaian Sengketan Penetapan Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD
l. Logistik;
m. Kampanye Calon;
o. Masa Tenang;
t. Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih tanpa PermohonanvPerselisihan Hasil Pemilu;
u. Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi;
v. Peresmian Anggota;
w. Pengucapan Sumpah/Janji;
x. Tahapan kedua Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden apabila ada putaran kedua;
Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) seringkali melibatkan berbagai masalah hukum
yang muncul sepanjang proses pemilihan hingga setelahnya. Berikut ini beberapa contoh masalah
hukum yang sering terjadi dalam pemilukada:
Pelanggaran kampanye: Calon kepala daerah dan tim kampanyenya dapat terlibat dalam pelanggaran
aturan kampanye yang ditetapkan, seperti melampaui batas pengeluaran kampanye, melakukan
kampanye di luar waktu yang ditentukan, atau menggunakan sumber daya pemerintah untuk
kampanye. Pelanggaran hak pilih: Ada situasi di mana hak pilih warga negara menjadi terhambat atau
dilanggar. Hal ini dapat terjadi karena manipulasi daftar pemilih, intimidasi pemilih, atau praktik pilihan
ganda. Pencalonan yang tidak memenuhi syarat: Terkadang, calon kepala daerah yang mengajukan
pencalonan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang, seperti usia,
kewarganegaraan, atau persyaratan pendidikan. Pelanggaran tata cara pemungutan dan penghitungan
suara: Terdapat kasus ketidakpatuhan terhadap tata cara pemungutan dan penghitungan suara yang
berlaku. Hal ini dapat mencakup manipulasi atau kecurangan dalam proses ini, seperti penggunaan surat
suara palsu atau pengubahan hasil penghitungan suara. Sengketa hasil pemilihan: Jika terdapat
ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan, pihak yang kalah atau pihak tertentu dapat mengajukan
sengketa ke badan penyelesaian sengketa pemilihan, seperti Mahkamah Konstitusi atau pengadilan
administrasi
Berdasarkan UU Pemilu, Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang
terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden
dan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.
Keberadaan KPU, Bawaslu dan DKPP juga mendasarkan pada salah satu pendapat mahkamah dalam
Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Nomor 22
tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Pertimbangan tersebut berbunyi: “Bahwa untuk menjamin
terselenggaranya pemilihan umumyang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD RI Tahun 1945
menentukan bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam Undang-Undang
Dasar 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian,
menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD RI
tahun 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk
dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan
pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber
dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 Undang-Undang
22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan
pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur
penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku
penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu
menjadi nyata dan jelas”.
LPP di Indonesia mengalami transformasi dari pemilu ke pemilu. Pasca kemerdekaan 17 Agustus
1945, awalnya Indonesia berencana melaksanakan Pemilu tahun 1946 untuk memilih kekosongan
keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1946 dibentuklah lembaga penyelenggara pemilu dengan nama Badan Pembaharuan Susunan Komite
Nasional Pusat (BPSKNP) dan di tingkat daerah disingkat dengan Cabang BPSKNP. Keanggotaan BPSKNP
terdiri dari wakil-wakil Parpol dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Namun karena alasan situasi
politik, rencana Pemilu 1946 batal dilaksanakan. Seiring gagalnya rencana Pemilu 1946 struktur
organisasi BPSKNP tidak berumur lama. Selanjutnya pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor
27 Tahun 1948 tentang pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 1948 tersebut dipersiapkanlah suatu badan penyelenggara pemilu yang
disebut Kantor Pemilihan Pusat (KPP) dengan jumlah anggota sekurang-kurangnya 5 orang untuk masa
kerja 5 tahun. Pada tingkat Provinsi dibentuk Kantor Pemilihan (KP) tingkat Provinsi dan pada tingkat
Kabupaten dibentuk Cabang KP. Pada tingkat Kecamatan dibentuk Kantor Pemungutan Suara (KPS).
Namun seiring perubahan politik nasional rencana pemilu untuk memilih Anggota DPR juga mengalami
perubahan. Perubahan politik nasional juga berdampak pada disahkannyaUndang-Undang Nomor 7
tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR. Dengan disahkannya Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1953 tersebut, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948 tentang pemilihan
Anggota DPR menjadi tidak berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 Pemilu 1955
dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang diangkat dan diberhentikan Presiden (Surbakti
dan Nugroho, 2015).
Pemilu di masa Orde Baru (1971-1997) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969
dilaksanakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Bentuk
kelembagaannya tentu berada dalam struktur pemerintahan yakni di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Di bawah LPU ada struktur dan organ PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) yang bersifat ad hoc di tingkat
pusat dan PPD (Panitia Pemilihan Daerah) di tingkat daerah yang melekat dalam pemerintahan daerah.
Anggota panitia pemilihan, baik di pusat ataupun daerah, ditunjuk dan dapat diberhentikan oleh kepala
pemerintahan (Presiden, Gubernur, ataupun Bupati/Walikota). Pada pemilu 1982, Panitia Pengawas
Pelaksananaan (Panwaslak) Pemilu pertama kalinya lahir dan melekat pada LPU.
Pada Pemilu pertama pasca reformasi yakni Pemilu 1999, LPP di Indonesia bertransformasi menjadi
model Campuran. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilu mengamanatkan bahwa Pemilu
dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur
ParpolParpol peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum yang terdiri atas Unsur-Unsur Parpol Peserta Pemilu dan Pemerintah.
Masingmasing Parpol mengutus seorang wakil dan pemerintah mengirimkan sebanyak 5 (lima) orang.
Oleh karena Parpol saat itu berjumlah 48 (empat puluh delapan) dan ditambah dengan perwakilan dari
Pemerintah, maka jumlah Anggota KPUsecara keseluruhan adalah 53 (lima puluh tiga) orang. KPU
kemudian membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI sebagai Pelaksana
KPUdalampemilihan umum. PPI kemudianmembentuk PPD I (Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I). PPD I
membentuk PPD II. PPD juga terdiri dari unsur Pemerintah dan Parpol peserta pemilu sesuai dengan
tingkatan. PPD II kemudian membentuk PPK, PPS dan KPPS di TPS.1 Selain mengamanatkan
pembentukan KPU, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 juga mengamanatkan pembentukan Panitia
Pengawas dari tingkat Pusat hingga Kecamatan.
Pemilu 2004, yang menjadi Pemilu pertama pasca amandemen UndangUndang Dasar 1945, menjadi
babak baru LPP di Indonesia. Merujuk UndangUndang nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD
dan DPRD, KPU di Indonesia bertransformasi menjadi model Mandiri. Calon Anggota KPU, setelah
melalui proses seleksi terbuka, diusulkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Demikian pula Calon
Anggota KPU Provinsi, setelah melalui penjaringan yang dilakukan Tim seleksi yang dibentuk bersama
KPU dan Gubernur, diusulkan oleh Gubernur untuk mendapat persetujuan dari KPU. Sementara Calon
Anggota KPU Kabupaten/Kota,setelah melewati penjaringan yang dilakukan Tim Seleksi yang dibentuk
bersama KPU Provinsi dan Bupati/Walikota, diusulkan oleh Bupati/Walikota untukmendapat
persetujuan KPU Provinsi. Selain itu, terdapat pula Panitia Pengawas Pemilu dari tingkat pusat hingga
kecamatan dan Dewan Kehormatan KPU yang bersifat ad hoc untuk memeriksa pengaduan pelanggaran
kode etik, yang unsur keanggotaannya berasal dari internal KPU.
Dalam pemilu 2009, LPP semakin mandiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu, rekrutmen KPU di tiap tingkatan dilakukan secara terbuka. Demikian juga dengan
lembaga pengawasan, Panitia Pengawas Pemilu yang sebelumnya bersifat ad hoc bertransformasi
menjadi permanen di tingkat pusat dengan nama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Unsur Dewan
Kehormatan KPU bukan hanya berasal dari internal, tapi juga dari eksternal KPU.
Pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, LPP yang terdiri dari KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) semakin ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sebagai lembaga pemerintah yang mandiri, KPU memiliki tugas dan fungsi sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum :
Adapun tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota adalah KPU
Kabupaten/Kota bertugas:
• Memutakhirkan data Pemilih berdasarkan data Pemilu terakhir dengan memperhatikan data
kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar
Pemilih;
• Menjatuhkan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota PPK dan anggota PPS
yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan Penyelenggaraan Pemilu
berdasarkan putusan Bawaslu,
putusan bawaslu Provinsi, Putusan Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau ketentuan peraturan perundang-
undangan;dan Melaksanakan wewenang lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan/atau
ketentuan peraturang perundang-undangan.
Kabupaten/Kota berkewajiban:
Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Pengawas Pemilu berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah sebagai berikut :
BAWASLU BERTUGAS :
proses Pemilu
mengenai Pemilu;
BAWASLU BERKEWAJIBAN:
3. Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Presiden dan DPR sesuai dengan
2. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai
2. menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi Penyelenggara Pemilu;
3. bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus yang timbul untuk popularitas
pribadi; dan
1. Definisi
a. Menurut Miriam Budiardjo, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok
orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan
memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi
kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti
memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan
hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota
parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct
actionnya, dan sebagainya.
b. Ramlan Surbakti mengurai unsur-unsur dari konsep partisipasi politik sebagai berikut:
- berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati,
bukan perilaku dalam yang berµpa sikap dan orientasi.
- kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan
pelaksana keputusan politik.
- kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah
- kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan secara langsung ataupun
secara tidak langsung.
- kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar
(konvensional) dan tak berupa kekerasan (nonviolence), maupun dengan cara-cara
di luar prosedur yang wajar (tak konvensional) dan berupa kekerasan (violence).
- kegiatan individu untuk mempengaruhi pemerintah ada yang dilakukan atas
kesadaran sendiri (kegiatan otonom atau self motion), dan ada pula yang dilakukan
atas desakan, manipulasi dan paksaan dari pihak lain (mobilisasi).
Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik memfokuskan diri pada partai politik
sebagai pelaku utama, tetapi dengan berkembangnya demokrasi banyak muncul kelompok
masyarakat yang juga ingin memengaruhi proses pengambilan keputusan mengenai
kebijakan umum. Kelompok-kelompok ini lahir di masa pascaindustrial (post industrial) dan
dinamakan gerakan sosial baru (new social movement). Kelompok-kelompok ini kecewa
dengan kinerja partai politik dan cenderung untuk memusatkan perhatian pada satu
masalah tertentu (single issue) saja dengan harapan akan lebih efektif memengaruhi proses
pengambilan keputusan melalui direct action.
a. Klasifikasi Tipologi I (Partisipasi sebagai kegiatan): Partisipasi Aktif, Partispasi Pasif, serta
Apatis.
b. Klasifikasi Tipologi II (Menurut Milbrath dan Goel): Apatis, Spektator, Gladiator, dan
Pengkritik.
c. Klasifikasi Tipologi III (Menurut Olsen, Partisipasi sebagai dimensi utama stratifikasi
sosial): Pemimpin Politik, Aktivis Politik, Komunikator, Warga Negara, Marginal, dan
Orang yang Terisolasikan.
d. Klasifikasi Tipologi IV (Berdasarkan jumlah Pelaku): Individual dan Kollektif.
Kedua faktor di atas bukanlah faktor-faktor yang berdiri sendiri (bukan variabel yang
independen). Melainkan dikategorikan sebagai variabel antara (variabel moderator).
Meskipun demikian, partisipasi politik dikategorikan sebagai variabel terpengaruh atau
variabel dependen.