Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

HUKUM KEPARTAIAN DAN PEMILU


“PEMILU, PEMILUKADA,PENYELENGGARA PEMILU dan PARTISIPASI POLITIK”
(KELOMPOK 7)

DOSEN PENGAMPU :
Robianti, S.IP.,M.Sos
Disusun Oleh
HERMAN M (20.3179)
ANDINI SALSABILLA ANUGRAH (20.3198)
VANIDHA NUR FAIZAH (19.3123)
RESTI (19.3131)
RESTA (19.3132)
JULIANSYAH (20.3183)
LA EKA FATURRAHMAN (20.3165)

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


STIH SOELTHAN M. TSJAFIOEDDIN SINGKAWANGTAHUN
AKADEMIK 2022/2023
PEMILU, PEMILUKADA, PENYELENGGARA PEMILU, DAN PARTISIPASI POLITIK

A. PERTANYAAN KUNCI
1. Apa Pengertian Pemilu
2. Apa Saja Dasar Hukum Pemilu
3. Bagaimana Sejarah Pemilu di Indonesia
4. Bagaimana Tahapan Pemilu
5. Apa saja Masalah Hukum Pemilu
6. Apa Pengertian Pemilukada
7. Apa Saja Dasar Hukum Pemilukada
8. Bagaimana Sejarah Pemilukada di Indonesia
9. Bagaimana Tahapan Pemilukada
10. Apa saja Masalah Hukum Pemilukada
11. Apa Pengertian Penyelenggara Pemilu
12. Apa Saja Dasar Hukum Penyelenggara Pemilu
13. Bagaimana Sejarah Penyelenggara Pemilu
14. Apa saja Tupoksi KPU
15. Apa saja Tupoksi Bawaslu
16. Apa saja Tupoksi DKPP
17. Apa yang dimaksud Partisipasi Politik
18. Bagaimana Perkembangan Studi Mengenai Partisipasi Politik
19. Bagaimana Tipologi Partisipasi Politik
20. Bagaimana Model Partisipasi Politik

B. PEMILU
1. Pengertian Pemilu

Pemilu adalah singkatan dari Pemilihan Umum, yang merupakan proses demokratis di
mana warga negara suatu negara secara langsung atau tidak langsung memilih para
pemimpin atau perwakilan mereka dalam pemerintahan. Pemilu merupakan salah satu
mekanisme dasar dalam sistem demokrasi untuk memilih pemerintahan yang akan
memimpin dan mewakili kepentingan rakyat.

Tujuan utama dari pemilu adalah memberikan hak suara kepada warga negara dan
memberikan kesempatan untuk memilih pemimpin dan perwakilan mereka. Pemilu juga
berfungsi sebagai alat untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem
politik, serta untuk mengatur pembagian kekuasaan di antara berbagai lembaga
pemerintahan.

Proses pemilu melibatkan berbagai tahap, seperti registrasi pemilih, kampanye politik,
pemungutan suara, dan penghitungan suara. Pemilu dapat dilakukan dalam berbagai
tingkatan, mulai dari pemilihan umum nasional untuk memilih presiden atau parlemen,
hingga pemilihan lokal untuk memilih pemimpin daerah atau perwakilan di tingkat lokal.
Pemilu adalah singkatan dari Pemilihan Umum, yang merupakan proses demokratis di mana
warga negara suatu negara secara langsung atau tidak langsung memilih para pemimpin
atau perwakilan mereka dalam pemerintahan. Pemilu merupakan salah satu mekanisme
dasar dalam sistem demokrasi untuk memilih pemerintahan yang akan memimpin dan
mewakili kepentingan rakyat.

Tujuan utama dari pemilu adalah memberikan hak suara kepada warga negara dan
memberikan kesempatan untuk memilih pemimpin dan perwakilan mereka. Pemilu juga
berfungsi sebagai alat untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi dalam sistem
politik, serta untuk mengatur pembagian kekuasaan di antara berbagai lembaga
pemerintahan.

Proses pemilu melibatkan berbagai tahap, seperti registrasi pemilih, kampanye politik,
pemungutan suara, dan penghitungan suara. Pemilu dapat dilakukan dalam berbagai
tingkatan, mulai dari pemilihan umum nasional untuk memilih presiden atau parlemen,
hingga pemilihan lokal untuk memilih pemimpin daerah atau perwakilan di tingkat lokal.

2. Dasar Hukum Pemilu


a. Pasal 1 ayat (2), Pasal 5 ayat (1), Pasal 6, Pasal 6A, Pasal 18 ayat (3), Pasal 19 ayat (1),
Pasal 20, Pasal 22C ayat (1), dan Pasal 22E UUD 1945.
b. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jo Perpu No. 1 Tahun 2022.
c. Putusan-Putusan MK
d. Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu, Peraturan DKPP, Peraturan MA, Peraturan MK
e. Keputusan-Keputusan/Surat Edaran terkait Petunjuk Teknis
3. Sejarah Pemilu di Indonesia
1. Era Kolonial:
- 1905: Pemilihan Volksraad pertama di Hindia Belanda, badan perwakilan penduduk
pribumi.
- 1925: Didirikannya Partai Nasional Indonesia (PNI) sebagai partai politik pertama di
Indonesia.

2. Perjuangan Kemerdekaan:
- 1945: Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus.
- 1945-1949: Masa revolusi kemerdekaan dengan pembentukan badan perwakilan seperti
BPUPKI, PPKI, dan Konstituante RIS.

3. Era Demokrasi Parlementer:


- 1955: Pemilihan Umum pertama di Indonesia, dengan terbentuknya Konstituante dan
Parlemen Indonesia.
- 1959: Pembubaran Parlemen Indonesia dan penerapan sistem Demokrasi Terpimpin.

4. Orde Baru:
- 1971: Pemilihan Umum Orde Baru pertama dengan satu partai politik, Golkar.
- 1982: Pemilihan Umum tidak langsung (MPR) dengan satu calon presiden yang diajukan.
- 1997: Munculnya gerakan reformasi yang menuntut demokrasi yang lebih besar.

5. Reformasi dan Demokrasi:


- 1999: Pemilihan Umum pertama pasca-Reformasi, dengan pemilihan Presiden secara
langsung dan partai-partai politik yang lebih beragam.
- 2004: Pemilu serentak pertama, dengan pemilihan presiden dan parlemen pada satu hari
yang sama.
- 2014: Pemilihan Presiden yang kontroversial antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto.
- 2019: Pemilu serentak kedua setelah reformasi, termasuk pemilihan presiden dan
parlemen.

6. Pemilu Terkini:
- 2024: Jadwal pemilihan presiden dan parlemen selanjutnya berdasarkan jadwal pemilu
Indonesia.

4. Tahapan Pemilu
1. Penyusunan Aturan:
- Pembuatan atau penyempurnaan undang-undang pemilihan dan peraturan terkait.
- Penetapan jadwal pemilihan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU).

2. Pendaftaran Pemilih:
- Pendaftaran pemilih oleh KPU.
- Pemutakhiran data pemilih yang sudah terdaftar.
- Verifikasi dan validasi data pemilih.

3. Kampanye Pemilu:
- Pembukaan periode kampanye yang memungkinkan para calon atau partai politik untuk
mempromosikan diri mereka.
- Penyampaian program, visi, dan misi calon kepada pemilih.
- Debat publik dan pertemuan kampanye.
5. Penghitungan Suara:
- Pengumpulan dan perhitungan suara yang telah dipungut di TPS oleh KPPS (Kelompok
Penyelenggara Pemungutan Suara).
- Verifikasi dan validasi hasil penghitungan suara oleh KPU.
- Pengumuman hasil pemilu untuk masing-masing calon atau partai politik.

6. Penetapan Pemenang:
- Pengumuman resmi pemenang pemilu oleh KPU berdasarkan hasil penghitungan suara.
- Penetapan calon yang memperoleh suara terbanyak sebagai pemenang pemilihan.

7. Penyelesaian Sengketa:
- Penanganan sengketa pemilu yang mungkin timbul selama atau setelah pemilihan oleh
Mahkamah Konstitusi (MK) atau lembaga penyelesaian sengketa lainnya.

8. Pelantikan dan Pembentukan Pemerintahan:


- Pelantikan pemenang pemilu sebagai pemimpin atau wakil-wakil rakyat yang terpilih.
- Pembentukan pemerintahan berdasarkan hasil pemilu.
5. Masalah Hukum Pemilu
Berbicara mengenai aspek hukum dalam Pemilu memang selalu mengalami dinamika
hukum. Dinamika hukum tersebut tidak terlepas dari bergantinya peraturan perundang-
undangan yang mengatur pemilu seiring dengan dinamikapenyelenggaraan pemilu pada
setiap kurun waktu tertentu. Untuk pemilu 2019, DPR dengan persetujuan bersama
Presiden,telah menetapkan UU No.7 tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilu. Undang-
undang Pemilu ini merupakan kodifikasiberbagai Undang-undang yang berkaitan dengan
Pemilu, yaitu Undang-Undang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD.

Undang-Undang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, dan Undang-Undang


Penyelenggara Pemilu. Konstruksi hukum Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Pemilu itu menunjukkan penanganan pelanggaran dan perselisihan.
Pelanggaran terdiri dari tindak pidana pernilu, pelanggaran administrasi pernilu, dan
pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu.

Sedangkan perselisihan pemilu terdiri dari perselisihan antar peserta pemilu atau antar
calon, perselisihan administrasi atau tata usaha negara pemilu, dan perselisihan hasil
Pemilu. Tindak pidana Pemilu ditangani Pengawas Pernilu, yang ditindaklanjuti ke KPU, KPU
Daerah, lalu KPU dan KPU daerah menjatuhkan sanksi administrasi. Sedangkan pelanggaran
kode etik penyelenggara Pemilu disidang dan diputuskan oleh DKPP.
C. PEMILUKADA

6. Pengertian Pemilukada

Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau biasa disebut dengan Pilkada
atau Pemilukada adalah Pemilihan Umum untuk memilih pasangan calon KepalaDaerah yang
diusulkan oleh Partai Politik (Parpol) atau gabungan parpol dan perseorangan.Pilkada (Pemilihan
Kepala Daerah) merupakan sebuah pemilihan yang dilakukan secara langsung oleh para
penduduk daerah administratif setempat yang telah memenuhi persyaratan. Di Indonesia, saat
ini pemilihan kepala daerah dapat dilakukan secara langsung oleh penduduk daerah
administratif setempat yang sudah memenuhi syarat.

7. Dasar Hukum Pemilukada

a. Pasal 18 ayat (4) UUD 1945


b. UU No. 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Junto UU No. 8
Tahun 2015 Junto UU No. 10 Tahun 2016 Junto UU No. 6 Tahun 2020.
c. Putusan-Putusan MK
d. Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu, Peraturan DKPP, Peraturan MA, Peraturan MK.
e. Keputusan-Keputusan

8. Bagaimana Sejarah Hukum Prmilukada di Indonesia

Dahulu sebelum tahun 2005 kepala daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD),namun Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat melalui
Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pilkada. Pilkada pertama kali
diselenggarakan pada bulan Juni 2005, dilaksanakan di Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kalimantan Timur.

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara


Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu, sehingga secara resmi bernama
Pemilihan umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat Pemilukada. Pemilihan
kepala daerah pertama yang diselenggarakan berdasarkan undang-undang ini adalah Pilkada DKI
Jakarta 2007.Pada tahun 2011, terbit undang-undang baru mengenai penyelenggara pemilihan
umum yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011. Di dalam undang-undang ini, istilah yang
digunakan adalah Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Pada tahun 2014, DPR-RI kembali mengangkat isu krusial terkait pemilihan kepala
daerah secara langsung. Sidang Paripurna DRI RI pada tanggal 24 September 2014 memutuskan
bahwa Pemilihan Kepala Daerah dikembalikan secara tidak langsung, atau kembali dipilih oleh
DPRD. Putusan Pemilihan kepala daerah tidak langsung didukung oleh 226 anggota DPR-RI yang
terdiri Fraksi Partai Golkar berjumlah 73 orang, Fraksi PKS berjumlah 55 orang, Fraksi Partai
Amanat Nasional (PAN) berjumlah 44 orang, dan Fraksi Partai Gerindra berjumlah 32 orang.
Keputusan ini telah menyebabkan beberapa pihak kecewa. Keputusan ini dinilai sebagai langkah
mundur di bidang "pembangunan" demokrasi, sehingga masih dicarikan cara untuk
menggagalkan keputusan itu melalui uji materi ke MK. Bagi sebagian pihak yang lain,
Pemilukada tidak langsung atau langsung dinilai sama saja.

Tetapi satu hal prinsip yang harus digarisbawahi (walaupun dalam pelaksanaan
Pemilukada tidak langsung nanti ternyata menyenangkan rakyat) adalah: Pertama, Pemilukada
tidak langsung menyebabkan hak pilih rakyat hilang. Kedua, Pemilukada tidak langsung
menyebabkan anggota DPRD mendapat dua hak sekaligus, yakni hak pilih dan hak legislasi.
Padahal jika Pemilukada secara langsung, tidak menyebabkan hak pilih anggota DPRD (sebagai
warga negara) hak pilihnya tetap ada.

9. Bagaimana Tahapan Pemilukada


Berdasarkan ketentuan dalam perundang-undang ini, KPU kemudian mengatur waktu
dan hari tahapan penyelenggaraan pemilu secara spesifik ke dalam Peraturan Komisi Pemilihan
Umum (PKPU) PKPU No. 7 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketigas Atas PKPU No. 7 Tahun 2017
tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2019, dengan
pengaturan sebagai berikut:

1. Tahapan dan Penjadwalan Pemilihan Umum Tahun 2019 di Indonesia :

a. Perencanaan program dan anggaraan;

b. Penyusunan Peraturan KPU;

c. Sosialisasi;

d. Pendaftaran dan Verifikasi Peserta Pemilu;

e. Penyelesaian Sengketa Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu;

f. Pembentukan Badan Penyelenggara;

g. Pemutakhiran Data Pemilih dan Penyusunan Daftar Pemilih;

h. Penyusunan Daftar Pemilih di Luar Negeri;

i. Penataan dan Penetapan Daerah Pemilihan (Dapil);

j. Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota dan Presiden dan

Wakil Presiden;

k. Penyelesaian Sengketan Penetapan Pencalonan Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD

Kabupaten/Kota, dan Presiden dan Wakil Presiden;

l. Logistik;

m. Kampanye Calon;

n. Laporan Audit Dana Kampanye;

o. Masa Tenang;

p. Pemungutan dan Penghitungan Suara;

q. Rekapitulasi Hasil Penghitungan Suara;

r. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu DPR, DPD, DPRD Provinsi/Kabupaten/Kota;

s. Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;

t. Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih tanpa PermohonanvPerselisihan Hasil Pemilu;

u. Penetapan Perolehan Kursi dan Calon Terpilih Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi;

v. Peresmian Anggota;
w. Pengucapan Sumpah/Janji;

x. Tahapan kedua Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden apabila ada putaran kedua;

y. Penetapan Hasil Pemilu;

z. Sumpah Janji dan Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden.

10. Apa Saja Masalah Hukum di Pemilukada

Pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) seringkali melibatkan berbagai masalah hukum
yang muncul sepanjang proses pemilihan hingga setelahnya. Berikut ini beberapa contoh masalah
hukum yang sering terjadi dalam pemilukada:

Pelanggaran kampanye: Calon kepala daerah dan tim kampanyenya dapat terlibat dalam pelanggaran
aturan kampanye yang ditetapkan, seperti melampaui batas pengeluaran kampanye, melakukan
kampanye di luar waktu yang ditentukan, atau menggunakan sumber daya pemerintah untuk
kampanye. Pelanggaran hak pilih: Ada situasi di mana hak pilih warga negara menjadi terhambat atau
dilanggar. Hal ini dapat terjadi karena manipulasi daftar pemilih, intimidasi pemilih, atau praktik pilihan
ganda. Pencalonan yang tidak memenuhi syarat: Terkadang, calon kepala daerah yang mengajukan
pencalonan tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh undang-undang, seperti usia,
kewarganegaraan, atau persyaratan pendidikan. Pelanggaran tata cara pemungutan dan penghitungan
suara: Terdapat kasus ketidakpatuhan terhadap tata cara pemungutan dan penghitungan suara yang
berlaku. Hal ini dapat mencakup manipulasi atau kecurangan dalam proses ini, seperti penggunaan surat
suara palsu atau pengubahan hasil penghitungan suara. Sengketa hasil pemilihan: Jika terdapat
ketidakpuasan terhadap hasil pemilihan, pihak yang kalah atau pihak tertentu dapat mengajukan
sengketa ke badan penyelesaian sengketa pemilihan, seperti Mahkamah Konstitusi atau pengadilan
administrasi

D. LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU

11. Definisi Penyelenggara Pemilu

Berdasarkan UU Pemilu, Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang
terdiri atas Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan Pemilu untuk memilih
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Anggota Dewan perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden
dan untuk memilih Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.

Keberadaan KPU, Bawaslu dan DKPP juga mendasarkan pada salah satu pendapat mahkamah dalam
Pertimbangan Hukum Mahkamah Konstitusi Nomor 11/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Nomor 22
tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu. Pertimbangan tersebut berbunyi: “Bahwa untuk menjamin
terselenggaranya pemilihan umumyang luber dan jurdil, Pasal 22E ayat (5) UUD RI Tahun 1945
menentukan bahwa, “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang
bersifat nasional, tetap dan mandiri”. Kalimat “suatu komisi pemilihan umum” dalam Undang-Undang
Dasar 1945 tidak merujuk kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Dengan demikian,
menurut Mahkamah, fungsi penyelenggaraan pemilihan umum tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU), akan tetapi termasuk juga lembaga pengawas pemilihan umum dalam hal ini
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) sebagai satu kesatuan fungsi penyelenggaraan pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Pengertian ini lebih memenuhi ketentuan UUD RI
tahun 1945 yang mengamanatkan adanya penyelenggara pemilihan umum yang bersifat mandiri untuk
dapat terlaksananya pemilihan umum yang memenuhi prinsip-prinsip luber dan jurdil. Penyelenggaraan
pemilihan umum tanpa pengawasan oleh lembaga independen, akan mengancam prinsip-prinsip luber
dan jurdil dalam pelaksanaan Pemilu. Oleh karena itu, menurut Mahkamah, Badan Pengawas Pemilihan
Umum (Bawaslu) sebagaimana diatur dalam Bab IV Pasal 70 sampai dengan Pasal 109 Undang-Undang
22/2007, harus diartikan sebagai lembaga penyelenggara Pemilu yang bertugas melakukan pengawasan
pelaksanaan pemilihan umum, sehingga fungsi penyelenggaraan Pemilu dilakukan oleh unsur
penyelenggara, dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan unsur pengawas Pemilu, dalam hal ini
Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Bahkan, Dewan Kehormatan yang mengawasi perilaku
penyelenggara Pemilu pun harus diartikan sebagai lembaga yang merupakan satu kesatuan fungsi
penyelenggaraan pemilihan umum. Dengan demikian, jaminan kemandirian penyelenggara pemilu
menjadi nyata dan jelas”.

12. Dasar Hukum Penyelenggara Pemilu

a. Pasal 22E Ayat (5) UUD 1945.


b. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu jo Perpu No. 1 Tahun 2022.
c. Putusan-Putusan MK
d. Peraturan KPU, Peraturan Bawaslu, Peraturan DKPP, Peraturan MA, Peraturan MK
e. Keputusan-Keputusan/Surat Edaran terkait Petunjuk Teknis

13. Sejarah Lembaga Penyelenggara Pemilu (LPP)

LPP di Indonesia mengalami transformasi dari pemilu ke pemilu. Pasca kemerdekaan 17 Agustus
1945, awalnya Indonesia berencana melaksanakan Pemilu tahun 1946 untuk memilih kekosongan
keanggotaan Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1946 dibentuklah lembaga penyelenggara pemilu dengan nama Badan Pembaharuan Susunan Komite
Nasional Pusat (BPSKNP) dan di tingkat daerah disingkat dengan Cabang BPSKNP. Keanggotaan BPSKNP
terdiri dari wakil-wakil Parpol dan ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Namun karena alasan situasi
politik, rencana Pemilu 1946 batal dilaksanakan. Seiring gagalnya rencana Pemilu 1946 struktur
organisasi BPSKNP tidak berumur lama. Selanjutnya pemerintah menerbitkan Undang-Undang Nomor
27 Tahun 1948 tentang pemilihan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Berdasarkan Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 1948 tersebut dipersiapkanlah suatu badan penyelenggara pemilu yang
disebut Kantor Pemilihan Pusat (KPP) dengan jumlah anggota sekurang-kurangnya 5 orang untuk masa
kerja 5 tahun. Pada tingkat Provinsi dibentuk Kantor Pemilihan (KP) tingkat Provinsi dan pada tingkat
Kabupaten dibentuk Cabang KP. Pada tingkat Kecamatan dibentuk Kantor Pemungutan Suara (KPS).
Namun seiring perubahan politik nasional rencana pemilu untuk memilih Anggota DPR juga mengalami
perubahan. Perubahan politik nasional juga berdampak pada disahkannyaUndang-Undang Nomor 7
tahun 1953 tentang Pemilihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR. Dengan disahkannya Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1953 tersebut, Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1948 tentang pemilihan
Anggota DPR menjadi tidak berlaku. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1953 Pemilu 1955
dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) yang diangkat dan diberhentikan Presiden (Surbakti
dan Nugroho, 2015).

Pemilu di masa Orde Baru (1971-1997) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1969
dilaksanakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh Menteri Dalam Negeri. Bentuk
kelembagaannya tentu berada dalam struktur pemerintahan yakni di bawah Kementerian Dalam Negeri.
Di bawah LPU ada struktur dan organ PPI (Panitia Pemilihan Indonesia) yang bersifat ad hoc di tingkat
pusat dan PPD (Panitia Pemilihan Daerah) di tingkat daerah yang melekat dalam pemerintahan daerah.
Anggota panitia pemilihan, baik di pusat ataupun daerah, ditunjuk dan dapat diberhentikan oleh kepala
pemerintahan (Presiden, Gubernur, ataupun Bupati/Walikota). Pada pemilu 1982, Panitia Pengawas
Pelaksananaan (Panwaslak) Pemilu pertama kalinya lahir dan melekat pada LPU.

Pada Pemilu pertama pasca reformasi yakni Pemilu 1999, LPP di Indonesia bertransformasi menjadi
model Campuran. Undang-Undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilu mengamanatkan bahwa Pemilu
dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum yang bebas dan mandiri, yang terdiri dari atas unsur
ParpolParpol peserta Pemilihan Umum dan Pemerintah, yang bertanggung jawab kepada Presiden.
Presiden membentuk Komisi Pemilihan Umum (KPU) berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999
tentang Pemilihan Umum yang terdiri atas Unsur-Unsur Parpol Peserta Pemilu dan Pemerintah.
Masingmasing Parpol mengutus seorang wakil dan pemerintah mengirimkan sebanyak 5 (lima) orang.
Oleh karena Parpol saat itu berjumlah 48 (empat puluh delapan) dan ditambah dengan perwakilan dari
Pemerintah, maka jumlah Anggota KPUsecara keseluruhan adalah 53 (lima puluh tiga) orang. KPU
kemudian membentuk Panitia Pemilihan Indonesia yang selanjutnya disebut PPI sebagai Pelaksana
KPUdalampemilihan umum. PPI kemudianmembentuk PPD I (Panitia Pemilihan Daerah Tingkat I). PPD I
membentuk PPD II. PPD juga terdiri dari unsur Pemerintah dan Parpol peserta pemilu sesuai dengan
tingkatan. PPD II kemudian membentuk PPK, PPS dan KPPS di TPS.1 Selain mengamanatkan
pembentukan KPU, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 juga mengamanatkan pembentukan Panitia
Pengawas dari tingkat Pusat hingga Kecamatan.

Pemilu 2004, yang menjadi Pemilu pertama pasca amandemen UndangUndang Dasar 1945, menjadi
babak baru LPP di Indonesia. Merujuk UndangUndang nomor 12 tahun 2003 tentang Pemilu DPR, DPD
dan DPRD, KPU di Indonesia bertransformasi menjadi model Mandiri. Calon Anggota KPU, setelah
melalui proses seleksi terbuka, diusulkan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Demikian pula Calon
Anggota KPU Provinsi, setelah melalui penjaringan yang dilakukan Tim seleksi yang dibentuk bersama
KPU dan Gubernur, diusulkan oleh Gubernur untuk mendapat persetujuan dari KPU. Sementara Calon
Anggota KPU Kabupaten/Kota,setelah melewati penjaringan yang dilakukan Tim Seleksi yang dibentuk
bersama KPU Provinsi dan Bupati/Walikota, diusulkan oleh Bupati/Walikota untukmendapat
persetujuan KPU Provinsi. Selain itu, terdapat pula Panitia Pengawas Pemilu dari tingkat pusat hingga
kecamatan dan Dewan Kehormatan KPU yang bersifat ad hoc untuk memeriksa pengaduan pelanggaran
kode etik, yang unsur keanggotaannya berasal dari internal KPU.

Dalam pemilu 2009, LPP semakin mandiri. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu, rekrutmen KPU di tiap tingkatan dilakukan secara terbuka. Demikian juga dengan
lembaga pengawasan, Panitia Pengawas Pemilu yang sebelumnya bersifat ad hoc bertransformasi
menjadi permanen di tingkat pusat dengan nama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Unsur Dewan
Kehormatan KPU bukan hanya berasal dari internal, tapi juga dari eksternal KPU.

Pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019, LPP yang terdiri dari KPU, Bawaslu dan Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP) semakin ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 15 tahun 2011 tentang
Penyelenggara Pemilu dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

14. Tupoksi KPU dan Jajarannya

Sebagai lembaga pemerintah yang mandiri, KPU memiliki tugas dan fungsi sebagaimana diamanatkan
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum :

Adapun tugas, wewenang dan kewajiban Komisi Pemilihan Umum Kabupaten/Kota adalah KPU
Kabupaten/Kota bertugas:

• Menjabarkan program dan melaksanakan anggaran;

• Melaksanakan semua tahapan Penyelenggaraan di Kabupaten/Kota berdasarkan ketentuan peraturan


perundang-undangan;

• Mengoordinasikan dan mengendalikan tahapan penyelenggaraan oleh PPK,

PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya;

• Menyampaikan daftar pemilih kepada KPU Provinsi;

• Memutakhirkan data Pemilih berdasarkan data Pemilu terakhir dengan memperhatikan data
kependudukan yang disiapkan dan diserahkan oleh Pemerintah dan menetapkannya sebagai daftar
Pemilih;

KPU Kabupaten/Kota berwenang:

• Menetapkan jadwal di kabupaten/kota;

• Membentuk PPK, PPS, dan KPPS dalam wilayah kerjanya;

• Menetapkan dan mengumumkan rekapitulasi penghitungan suara Pemilu anggota DPRD


kabupaten/kota berdasarkan rekapitulasi penghitungan suara di PPK dengan membuat berita acara
rekapitulasi suara dan sertifikat rekapitulasi suara;
• Menerbitkan keputusan KPU Kabupaten/Kota untuk mengesahkan hasil Pemilu anggota DPRD
Kabupaten/Kota dan mengumumkannya

• Menjatuhkan sanksi administratif dan/atau menonaktifkan sementara anggota PPK dan anggota PPS
yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan Penyelenggaraan Pemilu
berdasarkan putusan Bawaslu,

putusan bawaslu Provinsi, Putusan Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau ketentuan peraturan perundang-
undangan;dan Melaksanakan wewenang lain yang diberikan oleh KPU, KPU Provinsi, dan/atau
ketentuan peraturang perundang-undangan.

Kabupaten/Kota berkewajiban:

• Melaksanakan semua tahapan Penyelenggaraan Pemilu dengan tepat waktu;

• Memperlakukan Peserta Pemilu secara adil dan setara;

• Menyampaikan semua informasi penyelenggaraan Pemilu kepada masyarakat;

• Melaporkan pertanggungjawaban penggunaan anggaran sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan;

• Menyampaikan laporan pertanggungjawaban semua kegiatan Penyelenggaraan

Pemilu kepada KPU melalui KPU Provinsi;

15. Tupoksi Bawaslu dan Jajarannya

Tugas, Wewenang, dan Kewajiban Pengawas Pemilu berdasarkan amanat Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum adalah sebagai berikut :

BAWASLU BERTUGAS :

1. Menyusun standar tata laksana pengawasan Penyelenggaraan Pemilu untuk pengawas

Pemilu di setiap tingkatan

2. Melakukan pencegahan dan penindakan terhadap Pelanggaran Pemilu dan Sengketa

proses Pemilu

3. Mengawasi persiapan Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri atas

• Perencanaan dan penetapan jadwal tahapan Pemilu;

• Perencanaan pengadaan logistik oleh KPU;

• Sosialisasi Penyelenggaraan Pemilu; dan

• Pelaksanaan persiapan lainnya dalam Penyelenggaraan Pemilu sesuai dengan

ketentuan peraturan perundangundangan


BAWASLU BERWENANG:

1. Menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan dugaan adanya

pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang mengahrr

mengenai Pemilu;

2. Memeriksa, mengkaji, dan memutus pelanggaran, administrasi Pemilu;

3. Memeriksa, mengkaji, dan memuttrs pelanggaran politik uarg;

4. Menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian

sengketa proses Pemilu;

5. Merekomendasikan kepada instansi yang bersangkutan mengenai hasil pengawasan

terhadap netralitas aparatur sipil-negara, netralitas anggota Tentara Nasional Indonesia,

dan netralitas anggota Kepolisian Republik Indonesia

BAWASLU BERKEWAJIBAN:

1. Bersikap adil dalam menjalankan tugas dan wewenang;

2. Melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas Pengawas Pemilu

pada semua tingkatan;

3. Menyampaikan laporan hasil pengawasan kepada Presiden dan DPR sesuai dengan

tahapan Pemilu secara periodik darr/atau berdasarkan kebutuhan;

4. Mengawasi pemutakhiran dan pemeliharaan data pemilih secara berkelanjutan yang

ditakukan oleh KPU dengan memperhatikan data kependudukan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan; dan

5. Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan ketentuan perundangan

16. Tupoksi DKPP dan Jajarannya

Selanjutnya, DKPP memiliki kewenangan antara lain:

1. memanggil Penyelenggara Pemilu yang diduga melakukan pelanggaran kode etik

untuk memberikan penjelasan dan pembelaan;

2. memanggil pelapor, saksi, dan/atau pihak lain yang terkait untuk dimintai

keterangan, termasuk untuk dimintai dokumen atau bukti lain;

3. memberikan sanksi kepada Penyelenggara Pemilu yang terbukti melanggar kode


etik; dan

4. memutus pelanggaran kode etik (Pasal 159 ayat (2).

Kewajiban DKPP diuraikan pada Pasal 159 ayat (3), yaitu;

1. menerapkan prinsip menjaga keadilan, kemandirian, imparsialitas, dan transparansi;

2. menegakkan kaidah atau norma etika yang berlaku bagi Penyelenggara Pemilu;

3. bersikap netral, pasif, dan tidak memanfaatkan kasus yang timbul untuk popularitas

pribadi; dan

4. menyampaikan putusan kepada pihak terkait untuk ditindaklanjuti.

17. PARTISIPASI POLITIK

1. Definisi
a. Menurut Miriam Budiardjo, partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok
orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan
memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, memengaruhi
kebijakan pemerintah (public policy). Kegiatan ini mencakup tindakan seperti
memberikan suara dalam pemilihan umum, menghadiri rapat umum, mengadakan
hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota
parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct
actionnya, dan sebagainya.
b. Ramlan Surbakti mengurai unsur-unsur dari konsep partisipasi politik sebagai berikut:
- berupa kegiatan atau perilaku luar individu warga negara biasa yang dapat diamati,
bukan perilaku dalam yang berµpa sikap dan orientasi.
- kegiatan itu diarahkan untuk mempengaruhi pemerintah selaku pembuat dan
pelaksana keputusan politik.
- kegiatan yang berhasil (efektif) maupun yang gagal mempengaruhi pemerintah
- kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan secara langsung ataupun
secara tidak langsung.
- kegiatan mempengaruhi pemerintah dapat dilakukan melalui prosedur yang wajar
(konvensional) dan tak berupa kekerasan (nonviolence), maupun dengan cara-cara
di luar prosedur yang wajar (tak konvensional) dan berupa kekerasan (violence).
- kegiatan individu untuk mempengaruhi pemerintah ada yang dilakukan atas
kesadaran sendiri (kegiatan otonom atau self motion), dan ada pula yang dilakukan
atas desakan, manipulasi dan paksaan dari pihak lain (mobilisasi).

18. Perkembangan Studi Mengenai Partisipasi Politik

Pada awalnya studi mengenai partisipasi politik memfokuskan diri pada partai politik
sebagai pelaku utama, tetapi dengan berkembangnya demokrasi banyak muncul kelompok
masyarakat yang juga ingin memengaruhi proses pengambilan keputusan mengenai
kebijakan umum. Kelompok-kelompok ini lahir di masa pascaindustrial (post industrial) dan
dinamakan gerakan sosial baru (new social movement). Kelompok-kelompok ini kecewa
dengan kinerja partai politik dan cenderung untuk memusatkan perhatian pada satu
masalah tertentu (single issue) saja dengan harapan akan lebih efektif memengaruhi proses
pengambilan keputusan melalui direct action.

19. Tipologi Partai Politik

a. Klasifikasi Tipologi I (Partisipasi sebagai kegiatan): Partisipasi Aktif, Partispasi Pasif, serta
Apatis.
b. Klasifikasi Tipologi II (Menurut Milbrath dan Goel): Apatis, Spektator, Gladiator, dan
Pengkritik.
c. Klasifikasi Tipologi III (Menurut Olsen, Partisipasi sebagai dimensi utama stratifikasi
sosial): Pemimpin Politik, Aktivis Politik, Komunikator, Warga Negara, Marginal, dan
Orang yang Terisolasikan.
d. Klasifikasi Tipologi IV (Berdasarkan jumlah Pelaku): Individual dan Kollektif.

20. Model Partisipasi Politik

Faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi tinggi-rendahnya partisipasi politik


seseorang, ialah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik).

Berdasarkan tinggi-rendahnya kedua faktor tersebut, Paige membagi Partisipasi menjadi


empat tipe:
a. cenderung aktif, jika seseorang memiliki kesadaran politik dan kepercayaan kepada
pemerintah tinggi.
b. Cenderung pasif-tertekan (apatis), jika seseorang memiliki kesadaran politik dan
kepercayaan kepada pemerintah rendah.
c. Militan radikal jika seseorang memiliki kesadaran politik tinggi tetapi kepercayaan kepada
pemerintah rendah.
d. Tidak aktif (pasif) jika seseorang memiliki kesadaran politik rendah tetapi kepercayaan
kepada pemerintah tinggi.

Kedua faktor di atas bukanlah faktor-faktor yang berdiri sendiri (bukan variabel yang
independen). Melainkan dikategorikan sebagai variabel antara (variabel moderator).
Meskipun demikian, partisipasi politik dikategorikan sebagai variabel terpengaruh atau
variabel dependen.

Anda mungkin juga menyukai