DOSEN PENGAMPU
Drs. H. Iyus Sufiandi, MM.
Disusun Oleh :
Rida Bareta (6320120044)
PEMILIHAN UMUM
Pengantar
Kita sering mendengar ada pemilihan kepala Desa, Bupati/Wali Kota, Gubernur maupun ketua
organisasi masyarakat seperti, ketua karangtaruna, Ketua BEM, MPM, namun itu bukanlah
pemilihan umum. Tapi ketika kita mendengar pemilihan Anggota DPR dan Presiden, maka
pemilihan itulah disebut PEMILIHAN UMUM anggota DPR dan Presiden.
A. Pengertian
Pemilihan Umum disebut juga dengan "Political Market" (Dr. Indria Samego). Artinya bahwa
pemilihan umum adalah pasar politik tempat individu/ masyarakat berinteraksi untuk
melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara peserta pemilihan umum (partai
politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan
serangkaian aktivitas politik yang meliputi kampanye, propaganda, iklan politik melalui media
massa cetak, audio (Radio) maupun audio visual (televisi) serta media lainnya seperti, spanduk,
pamflet, selebaran bahkan komunikasi antar pribadi yang berbentuk face to face (tatap muka)
atau lobby yang berisi penyampaian pesan mengenai program, platform, asas, ideologi serta
janji-janji politik lainnya guna meyakinkan pemilih sehingga pada pencoblosan dapat
menentukan pilihanya terhadap salah satu partai politik yang menjadi peserta pemilihan umum
untuk mewakilinya dalam badan legislatif maupun eksekutif.
B. Tujuan
Menurut rumusan penjelasan UU No. 15 tahun 1969, tentang Pemilihan Umum, yang masih
berlaku sampai tahun Pemilu 1997, disebutkan bahwa tujuan pemilu adalah:
"Dalam mewujudkan penyusunan tata kehidupan yang dijiwai semangat cita-cita Revolusi
Kemerdekaan RI Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana tersebut dalam Pancasila dan UUD
1945, maka penyusunan tata kehidupan itu harus dilakukan dengan jalan Pemilihan Umum.
Dengan demikian, diadakan pemilihan umum tidak sekedar memilih wakil-wakil rakyat untuk
duduk dalam lembaga permusyawaratan/perwakilan, dan juga tidak memilih wakil-wakil
rakyat untuk menyusun negara baru, tetapi suatu pemilihan wakil-wakil rakyat oleh rakyat yang
membawa isi hati nurani rakyat dalam selanjutkan perjuangan, mempertahankan dan
mengembangkan kemerdekaan NKRI bersumber pada Proklamasi 17 Agustus 1945 guna
memenuhi dan mengemban Amanat Penderitaan Rakyat. Pemilihan Umum adalah suatu alat
yang penggunaannya tidak boleh mengakibatkan rusaknya sendi-sendi demokrasi dan bahkan
menimbulkan hal-hal yang menderitakan rakyat, tetapi harus menjamin suksesnya perjuangan
orde baru, yaitu tetap tegaknya Pancasila dan dipertahankan UUD 1945".
Makna yang tersimpul dalam tujuan pemilu di atas merupakan fundamen pelaksanaan
demokrasi di Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan tujuan Pemilihan Umum menurut Undang-Undang No. 12 tahun 2003, tentang
Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD adalah: "Pemilu diselenggarakan dengan tujuan untuk
memilih wakil rakyat dan wakil daerah, serta untuk membentuk pemerintahan yang
demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat dalam rangka mewujudkan tujuan nasional
sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945".
Adapun Tujuan Pemilihan Umum menurut Undang-Undang No. 23, tentang Pemilihan Umum
Presiden dan Wakil Presiden, yaitu :
"Pemilu Presiden dan Wakil presiden diselenggarakan dengan tujuan untuk memilih Presiden
dan Wakil presiden yang memperoleh dukungan yang kuat dari rakyat sehingga mampu
menjalankan fungsi-fungsi kekuasaan pemerintah negara dalam rangka tercapainya tujuan
nasional sebagaimant diamanatkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945."
Mengenai asas pemilu di Indonesia dikenal ada beberapa asas pemilu yang ditetapkan
berdasarkan Undang-Undang Pemilu yang berlaku di Indonesia Asas Asas pemilu tersebut
adalah meliputi:
Dalam ilmu politik dikenal bermacam-macam sistem pemilihan umum, akan tetapi umumnya
berkisar pada dua prinsip pokok, yaitu:
Secara umum sistem pemilihan umum dapat diklasifikasi dalam dua sistem, yaitu:
1. Sistem Distrik
Sistem ini merupakan sistem pemilihan yang paling tua dan didasarkan atas kesatuan
geografis (yang biasanya disebut distrik karena kecilnya daerah yang diliputi)
mempunyai satu wakil dalam dewan perwakilan rakyat. Untuk keperluan itu daerah
pemilihan dibagi dalam sejumlah besar distrik dan jumlah wakil rakyat dalam dewan
perwakilan rakyat ditentukan oleh jumlah distrik. Calon yang dalam satu distrik
memperoleh suara yang terbanyak menang, sedangkan suara-suara yang ditujukan
kepada calon-calon lain dalam distrik itu dianggap hilang dan tidak diperhitungkan lagi,
bagaimana kecil pun selisih kekalahannya. Jadi, tidak ada sistem perwakilan
berimbang. Misalnya, dalam distrik dengan jumlah suara 100.000, ada dua calon, yakni
A dan B. Calon A memperoleh 60.000 dan B 40.000 suara, maka calon A memperoleh
kemenangan, sedangkan jumlah suara 40.000 dari calon B dianggap hilang. Sistem
pemilihan ini dipakai di Inggris, Kanada, Amerika Serikat dan India.
Sistema "single member constituency" mempunyai beberapa kelemahan.
a. Sistem ini kurang memperhitungkan adanya partai-partai kecil dan golongan
minoritas, apalagi jika golongan ini terpencar dalam beberapa distrik.
b. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu
distrik, kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti bahwa ada
sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali, dan kalau ada beberapa
partai yang mengadu kekuatan, maka jumlah suara yang hilang dapat mencapai
jumlah yang besar. Hal ini akan dianggap tidak adil oleh golongan-golongan yang
merasa dirugikan.
Disamping kelemahan-kelemahan tersebut di atas ada banyak segi positifnya, yang oleh
negara yang menganut sistem ini dianggap lebih menguntungkan dari pada sistem
pemilihan lain :
a. Karena kecilnya distrik, maka wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk
distrik, sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan
demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik.
Lagipula, kedudukannya terhadap partainya akan lebih bebas, oleh karena dalam
pemilihan semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang merupakan
faktor yang penting.
b. Sistem ini lebih mendorong proses integrasi partai-partai politik karena kursi yang
diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hanya satu. Hal ini akan mendorong
partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan
kerjasama. Disamping kecenderungan untuk membentuk partai baru dapat sekedar
dibendung sistem ini mendorong proses penyederhanaan partai tanpa diadakan
paksaan. Maurice Duverger berpendapat bahwa dalam proses seperti Inggris dan
Amerika, sistem ini telah memperkuat berlangsungnya sistem dwipartai.
c. Berkurangnya partai dan meningkatnya kerjasama antara partai-partai
mempermudah terbentuknya pemerintah yang stabil dan mempertingkat stabilitas
nasional.
d. Sistem ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.
2. Sistem Perwakilan Berimbang
Sistem ini dimaksud untuk menghilangkan beberapa kelemahan dari sistem distrik.
Gagasan pokok ialah bahwa jumlah kursi yang diperoleh oleh sesuatu golongan atau
partai adalah sesuai dengan jumlah suara yang diperolehnya. Untuk keperluan ini
ditentukan sesuatu perimbangan. misalnya 1:400.000, yang berarti bahwa sejumlah
pemilih tertentu ( dalam hal ini 400.000 pemilih) mempunyai satu wakil dalam dewan
perwakilan rakyat. Jumlah total anggota dewan perwakilan rakyat ditentukan atas dasar
perimbangan (1: 400.000) itu. Negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan yang
besar, akan tetapi untuk keperluan teknis administrasi dibagi dalam beberapa daerah
pemilihan yang besar (yang lebih besar dari pada distrik dalam Sistem Distrik), di mana
setiap daerah pemilihan pemilih sejumlah wakil sesuai dengan banyaknya penduduk
dalam dalam daerah bpemilihan itu. Jumlah wakil dalam setiap daerah pemilihan
ditentukan oleh jumlah pemilih dalam daerah pemilihan itu, dibagi dengan 400.000.
Dalam sistem ini setiap suara, dalam arti bahwa suara lebih yang diperoleh oleh suatu
partai atau golongan dalam sesuatu daerah pemilihan dapat ditambahkan pada jumlah
suara yang diterima oleh partai atau golongan itu dalam daerah pemilihan lain, untuk
menggenapkan jumlah suara yang diperlukan guna memperoleh kursi tambahan.
Sistem Perwakilan Berimbang ini sering dikombinasikan dengan beberapa prosedur
lain antara lain dengan Sistem Daftar List System). Dalam
Sistem Daftar setiap partai atau golongan mengajukan satu daftar calon dan si pemilih
memilih salah satu daftar darinya dan dengan demikian memilih satu partai dengan
semua calon yang diajukan oleh partai itu untuk bermacam-macam kursi yang sedang
direbutkan. Sistem Perwakilan
Berimbang dipakai di Negeri Belanda, Swedia, Belgia, Indonesia tahun 1955 dan 1971
dan 1976. Dalam sistem ini ada beberapa kelemahan:
a. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai partai baru.
Sistem ini tidak menjurus proses integrasi bermacam macam golongan dalam
masyarakat, mereka lebih cenderung untuk mempertajam perbedaan-perbedaan
yang ada dan kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-
persamaan. Umumnya dianggap bahwa sistem ini mempunyai akibat
memperbanyak jumlah partai.
b. Wakil yang terpilih merasa dirinya lebih terikat kepada partai dan kurang
merasakan loyalitas kepada daerah yang telah memilihnya. Hal ini disebabkan oleh
karena dianggap bahwa dalam pemilihan semacam ini partai lebih menonjol
peranannya daripada kepribadian seseorang. Hal ini memperkuat kedudukan
pimpinan partai.
c. Banyaknya partai mempersulit terbentuknya pemerintah yang stabil, oleh karena
umumnya harus mendasarkan diri atas koalisi dari dua partai atau lebih. Disamping
kelemahan tersebut, sistem ini mempunyai satu keuntungan besar, yaitu bahwa dia
bersifat representatif dalam arti bahwa setiap suara turut diperhitungkan dan praktis
tidak ada suara yang hilang. Golongan-golongan bagaimana kecil pun dapat
menempatkan wakilnya dalam badan perwakilan rakyat. Masyarakat yang
heterogen sifatnya, umumnya lebih tertarik pada sistem ini, oleh karena dianggap
lebih menguntungkan bagi masing-masing golongan.
Sistem Pemilihan Umum di Indonesia sejak pemilu pertama (1) tahun 1955 sampai dengan
pemilu yang kesepuluh (10) tahun 2004, Indonesia telah menggunakan lima (5) macam sistem
pemilu, yaitu:
1. Pada Pemilu pertama tahun 1955, Indonesia menggunakan sistem Proporsional yang
tidak murni.
2. Pada Pemilu kedua tahun 1971, Indonesia menggunakan Sistem Perwakilan Berimbang
dengan Stelsel Daftar.
3. Pada Pemilu ketiga tahun 1977 s/d pemilu ke delapan tahun 1997, Indonesia
menggunakan Sistem Proporsional.
4. Pada Pemilu sembilan tahun 1999, Indonesia menggunakan Sistem Prporsional
berdasarkan Stelsel Daftar.
5. Pada Pemilu ke sepuluh tahun 2004, Indonesia menggunakan Sistem Perwakilan
Proporsional".
6. Pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004, Indonesia menggunakan Sistem
Distrik Berwakil Banyak
BIROKRASI
Pengantar
Kita ingin sekolah mendaftar ke bagian pendaftaran, kita mau buat K KTP kita datang ke bagian
pembuatan KTP, kita mau buat SIM A atai SIM B kita datang kebagian pembuatan SIM, kita
mau bertemu Direktur TVRI kita terlebih dahulu mengisi buku tamu pada sekretarisnya.
Langkah-langkah kita dalam melakukan aktivitas yang tersebut di atas, adalah langkah-langkah
yang benar menurut BIROKRASI.
Konsep birokrasi dimunculkan oleh M De Gourney. Melalui surat tertanggal 1 Juli 1764 yang
ditulis Baran de Grim, merujuk pada gagasan Gourney yang mengeluh tentang pemerintahan
yang melayani dirinya sendiri. De Gourney menyebutkan kecenderungan itu sebagai penyakit
yang disebutnya bureaumania.
Ide tentang birokrasi bukan sesuatu yang baru. Merupakan kekeliruan kalau kita mengira
konsep ini baru muncul. Keluhan atas pemerintah pun bukan hal baru, yaitu setua usia
pemerintahan itu sendiri Juga, prinsip pemerintah harus dijalankan orang-orang yang baik dan
cakap merupakan ide yang sudah lama berkembang di lingkungan filsuf, baik Barat maupun
Timur.
Sejak kemunculan gagasan de Gourney, istilah birokrasi diadopsi secara luas dalam kamus
politik di Eropa selama abad 18. Istilah Perancis, Bureaucratie ini, dengan cepat diadopsi dalam
makna yang sama di Jerman dengan sebutan bureaukratie (kemudian menjadi burokratie), di
Italia menjadi burocrazia dan Inggris menjadi bureaucracy.
Derivasi dari istilah birokrasi juga berkembang secara luar biasa selepas periode de Gourney
ini. Muncul istilah birokrat, birokratis, birokratisme, birokratik, dan birokratisasi.kamus
Perancis, 1798, mendefinisikan birokrasi sebagai kekuasaan, pengaruh dari pemimpin dan staf
biro pemerintahan (gou ernmental bureaux). Sedangkan Kamus Jerman edisi 1813
merumuskan birokrasi sebagai kewenangan atau kekuasaan, di mana aneka departemen
pemerintahan dan cabangnya merebutnya warga negara bagi diri mereka sendiri. Padahal
istilah dasarnya adalah bureau artinya meja tulis, yang bermakna tempat pejabat bekerja.
Meski demikian, penggunaan awal sekaligus penyebarluasan istilah birokrasi justru dilakukan
novelis. Balsac, salah seorang yang paling bertanggung jawab dan konsisten dalam penyebaran
istilah ini lewat novelnya Les Employee (1836).
Kemudian diadopsi sebagai konsep yang serius oleh Frederic Le Plays pada 1864, ketika ia
membicarakan tentang birokratisme yakni tingkah laku dan sepak terjang dari pejabat
profesional yang merugikan warga negara Karenanya, Le Play-sosialis besar Perancis harus
meminta maaf atas penggunaan istilah hibrida yang diciptakan dalam novel ringan.
Tema ini (birokratismej dielaborasi secara terinci oleh Josef Oldszenki(1904) seorang pembela
Polandia yang berutang pada pemikiran dalam esai Mohl yang banyak membicarakan tentang
penyalahgunaan yang dilah birokrasi. Hingga 1896, birokrasi dalam Kamus Politik Perancis
disebutkan berasal dari Jerman dan dipopulerkan oleh Balzac.
Konsep birokrasi ini meluas ke Inggris melalui terjemahan karya berbahasa Jerman. Karya
Gorres Germany And The Revolution (1819) diterjemahkan ke Bahasa Inggris dalam versi
yang berbeda pada 1820. Istilah bueeau kratisch dihindari untuk diterjemalikan sebagai
bureaucratic Sementara pada terjemahan surat perjalanan seorang pangeran (1832)
menyebutkan, birokrasi telah menggantikan tempat dari aristokrasi dan kemungkinan besar
segera menjadi sama posisinya. Pada perkembangan selanjutnya, kamus berikutnya mulai
menyebutkan istilah ini. Spencer, juga mulai menulisnya di bukunya tentang birokrasi dengan
mengacu pada Prancis.
Mills dalam karyanya Principil Of Political Economy (1848), menempatkan diri penentang dari
konsentrasi semua ketrampilan dan pengalaman serta kekuasaan dari tindakan yang
terorganisasi di tangan manejemen kepentingan yang luas le menyebutnya sebagai dominant
bureaucracy yang muncul dalam masyarakat Inggris.
Mills menegaskan, kecenderungan itu merupakan a main cause of the inferior capacity for
political life yang menandai karakteristik dari negara yang over governed kala itu. Mills, dalam
Considerations On Representative Government (1861) membandingkan, di luar pemerintahan
perwakilan maka bentuk pemerintahan yang memiliki keterampilan politik yang tinggi adalah
birokrasi. Bahkan birokrasi berjalan dengan nama monarchi atau aristokasi sekalipun. Disini
Mills menggambarkan esensi birokrasi sebagai pemerintahan yang dikendalikan oleh mereka
yang profesional (governors by profession), ( Pembina Kagama Kalsel, Banjarmasin).
B. Definisi Birokrasi
Jika kita mendengar kata birokrasi" maka langsung yang ada dalam pikiran kita adalah
bahwasanya kita berhadapan dengan suatu prosedur yang berbelit-belit, dari meja satu ke meja
lainnya, yang ujung-ujungnya adalah biaya yang serba mahal (hight cost). Pendapat yang
demikian tidaklah dapat disalahkan seluruhnya, namun demikian apabila orang-orang yang
duduk dibelakang meja taat pada prosedur dan aturan serta berdisiplin dalam menjalankan
tugasnya, maka birokrasi akan berjalan lancar dan "biaya tinggi" akan dapat dihindarkan.
Untuk mengeliminasi pemikiran yang demikian, marilah kita sejenak mencerna pendapat para
ahli mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan birokrasi.
1. Birokrasi yang dalam bahasa Inggris, Bureaucracy, berasal dari kata Bu reau (berarti:
meja) dan Cratein (berarti: kekuasaan), dimaksudkan adalah kekuasaan berada pada
orang-orang yang di belakang meja. Di Indonesia cenderung dikonotasikan
sebagaimana telah digambarkan seperti di atas.
2. Bintoro Tjokroamidjojo
Menurut Bintoro Tjokroamidjojo (1984) birokrasi "dimaksudkan untuk mengorganisir
secara teratur suatu pekerjaan yang harus dilakukan oleh banyak orang".
Dengan demikian sebenarnya tujuan dari adanya birokrasi adalah agar pekerjaan dapat
diselesaikan dengan cepat dan terorganisir. Bagaimana suatu pekerjaan yang banyak
jumlahnya harus diselesaikan oleh banyak orang sehingga tidak terjadi tumpang tindih
di dalam penyelesaiannya, itulah yang sebenarnya menjadi tugas dari birokrasi.
3. Blau dan Page
Blau den Page (1956) mengemukakan birokrasi "acbagai tipo dari sugtu organisasi
yang dimaksudkan untuk mencapai tugas tugas administratif yang besar dengan cara
mengkoordinir secara sistematis (teratur) pekerjaan dari banyak orang" Jadi menurut
Blau dan Page, hirokrasi justru untuk melaksanakan prinsip-prinsip organisasi yang
ditujukan untuk meningkatkan efisiensi administratif, meskipun kadangkala di dalam
pelaksanaannya birokratisasi seringkali mengakibatkan adanya ketidakefisienan.
4. Ismani.
Dengan mengutip pendapat dari Mouzelis, Ismani (2001) mengemukakan "Bahwa
dalam birokrasi terdapat aturan-aturan yang rasional, struktur organisasi dan proses
berdasarkan pengetahuan teknis dan dengan efisiensi dan setinggi-tingginya. Dari
pandangan yang demikian tidak sedikitpun alasan untuk menganggap birokrasi itu jelek
dan tidak efisien".
5. Fritz Morstein Marx
Dengan mengutip pendapat Fritz Morstein Marx, Bintoro Tjokroamidjo (1984)
mengemukakan bahwa birokrasi adalah "Tipe organisasi yang dipergunakan
pemerintahan modern untuk pelaksanaan berbagai tugas-tugas yang bersifat
spesialisasi, dilaksanakan dalam sistem administrasi yang khususnya oleh aparatur
pemerintahan".
6. Riant Nugroho Dwijowijoto
Dengan mengutip Blau dan Meyer, Dwijowijoto (2004) menjelaskan bahwa "birokrasi
adalah suatu lembaga yang sangat kuat dengan kemampuan untuk meningkatkan
kapasitas kapasitas potensial terhadap hal-hal baik maupun buruk dalam keberadaannya
sebagai instrumen administrasi rasional yang netral pada skala yang besar". Selanjutnya
dikemukakan bahwa "Di dalam masyarakat modern, dimana terdapat begitu banyak
urusan yang terus-menerus dan ajeg, hanya organisasi birokrasi yang mampu
menjawabnya. birokrasi dalam praktek dijabarkan seb pegawai negeri sipil".
Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, dapat dirumuskan bahwa birokrasi adalah suatu
prosedur yang efektif dan efisien yang didasari oleh teori dan aturan yang berlaku serta
memiliki spesialisasi menurut tujuan yang telah ditetapkan oleh organisasi/institusi.
C. Karakteristik Birokrasi
Hal-hal tersebut di atas merupakan prinsip dasar dan karakteristik yang ideal dari suatu
birokrasi. Karakteristik tersebut idealnya memang dimiliki oleh para birokrat (pegawai negeri
sipil) tidak lain agar tugas-tugas administrasi yang besar dapat dilaksanakan secara efektif dan
efisien sehingga tujuan organisasi dapat tercapai sesuai yang direncanakan. Dengan demikian
pendapat sebagian masyarakat selama ini yang cenderung negatif paling tidak dapat diluruskan.
Blau dan Page: Birokrasi untuk melaksanakan tugas administrasi yang besar. Prinsip dasar dan
karakteristik ideal birokrasi meliputi: rule, spesialisasi, zakelijk, formal, hirarkis, rasional,
otoritas, obedience, discipline, sistematis dan impersonal.
Dengan mengutip pendapat Max Weber seorang sosiolog Jerman, Tjokroamidjojo (1984:72-
73) mengemukakan ciri-ciri utama dari struktur birokrasi di dalam tipe idealnya, adalah:
Pada pembahasan di atas telah diuraikan mengenai pengertian dari etika dan birokrasi, sekarang
marilah menginjak pada pengertian dari etika birokrasi. Telah diuraikan bahwa etika
merupakan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok
dalam mengatur tingkah lakunya atau kumpulan asas atau nilai moral. Untuk dapat menjadi
pegangan atau rujukan seseorang atau suatu kelompok tersebut, maka nilai-nilai moral tersebut
diwujudkan dalam bentuk kode etik, misalnya: kode etik kedokteran, kode etik pers/jurnalistik,
kode etik kehakiman, dan lain sebagainya.
Sedangkan birokrasi oleh Dwijowijoto (2004) dalam praktek dijabarkan sebagai Pegawai
Negeri Sipil. Ismani (2001) mengemukakan bahwa apabila dikaitkan dengan fungsi
pemerintahan dan pembangunan, maka birokrasi berkenaan dengan kelembagaan, aparat dan
sistem serta prosedur dalam kegiatan yang dilaksanakan demi kepentingan umum dan
masyarakat. Dalam makna birokrasi yang demikian, maka menurut Yahya Muhaimin (1991)
birokrasi sebagai keseluruhan aparat pemerintah, baik sipil maupun militer yang bertugas
membantu pemerintah dan menerima gaji dari pemerintah karena Statusnya itu. Dari
keseluruhan apa yang dikemukakan di atas dapat dirumuskan bahwa etika birokrasi adalah
"Norma atau nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi keseluruhan aparat pemerintah
dalam menjalankan tugas dan kewajibannya demi kepentingan umum atau masyarakat."
Dengan demikian, aparat pemerintah seharusnya mempunyai pedoman dan penuntun dalam
sikap dan perilaku, sehingga birokrasi menjadi bersih dinamis dan bertanggung jawab. Dalam
hal ini tidak cukup hanya tanggung jawab secara yuridis formal tetapi juga tanggung jawab
secara moral.
Dikaitkan dengan etika, maka ketentuan ketentuan yang dibuat itu disebut kode etik. Kode etik
dapat mengimbangi segi negatif dan terbentuknya kelompok yang memiliki kekuasaan khusus
tersebut.
Kode etik dapat memperkuat kepercayaan masyarakat dan mendapat kepastian bahwa
kepentingannya terjamin Jadi kode etik ibarat kompas yang menunjukkan arah moral dan
menjamin mutu kelompok tersebut dalam hal ini kelompok birokrasi dalam pemerintahan
dimata masyarakat.
Agar pelaksanaan kode etik berhasil dengan baik maka pelaksanaannya diawasi terus menerus
dan kode etik mengandung sanksi bagi pelanggar kode etik. Bila terjadi kasus pelanggaran
kode etik akan dinilai dan ditindak oleh "suatu dewan kehormatan" atau komisi yang dibentuk
khusus untuk keperluan itu.
Penerapan etika birokrasi dalam pemerintahan dituangkan kedalam kode etik Pegawai Negeri
Sipil dalam PP nomor 42 tahun 2004 dan Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik
dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003.
Secara khusus di lingkungan Departemen Keuangan beberapa unit telah memiliki kode etik
pegawai, yaitu Inspektorat Jenderal, Direktorat Jenderal Pajak, dan Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, sedangkan beberapa unit lainnya sedang menyusun kode etik pegawai antara lain;
Direktorat Surat Utang Negara pada Ditjen Perbendaharaan, Direktura: tides! Pitong dan
Lelong Negarn, Badan Pengawas Pasar Modal.
1. Dasar Hukum
Dasar Hukum ditetapkannya Etika Pegawai Negeri Sipil adalah sebagai berikut:
a. Pasal 5 ayat (2), pasal 27 ayat (1), dan pasal 28 dalam Undang-unda Doaer 1945.
b. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian
sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999.
c. Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebes KKN.
d. Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peratura Disiplin PNS.
2. Peraturan Pemerintah Nomor 42 tahun 2004 tentang Pembinaan Jiwa Korps dan Kode
Etik Pegawai Negeri Sipil.
Setiap jenis pekerjaan, pada dasarnya menuntut tanggung jawab, yang berbeda hanya besar
kecil ukuran dan ruang lingkup dari tanggung jawab tersebut. Semakin rendah posisi/jabatan
seseorang dalam organisasi, maka semakin kecil ruang lingkup dan ukuran atas tanggung
jawabnya.
Demikian pula dengan jabatan, dalam organisasi apapun termasuk organisasi pemerintah,
jabatan tidak bisa dilepaskan dari peran pejabat di dalam organisasi tersebut. Oleh karena itu,
setiap pejabat dalam organisasi pemerintah mulai dari level enelon IV, eselon III sampai
dengan eselon I, tentunya terikat pada hal-hal yang berkaitan dengan apa yang seharusnya
dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan sesuai dengan posisi dan jabatannya.
Ketentuan-ketentuan tersebut dijabarkan dalam kode etik pegawai.
Pada umumnya, penyusunan kode etik minimal didasari oleh empat aspek pertimbangan
sebagai berikut:
1. Profesionalisme
Keahlian khusus yang dimiliki oleh seseorang baik yang diperolehnya dari pendidikan
formal (dokter, akuntan, pengacara dll), dari hakat (penyanyi, pelukis, pianis dll), serta
dari kompetensi mengerjakan sesuatu (direktur, pegawai, pejabat dll)
2. Akuntabilitas
Kesanggupan seseorang untuk mempertanggungjawabkan apa pun yang dilakukannya
berkaitan dengan profesi serta perannya sehingga ia dapat dipercaya Misalnya seorang
auditor yang memeriksa laporan keuangan sebuah perusahaan. Ia harus dapat
mempertanggungjawabkan basil pemeriksaan yang dibuatnya sesuai dengan kondisi
perusahaan yang sebenarnya.
3. Menjaga kerahasiaan Sebuah kemampuan memelihara kepercayaan dengan bersikap
hati-hati dalam memberikan informasi. Seorang profesional harus mampu menyeleksi
hal-hal yang bisa diinformasikan kepada umum dan informasi yang perlu disimpan
sebagai sebuah kerahasiaan. Hal ini dilakukan demi menjaga reputasi sebuah
perusahaan dan profesi yang dijabatnya Misalnya seorang konsultan merupakan orang
kepercayaan sebuah perusahaan, ia bisa mengetahui seluruh seluk-beluk perusahaan
tersebut, tapi harus menjaga informasi yang dimilikinya agar tidak sampai ke pihak luar
yang tidak berkepentingan.
4. Independensi
Sikap netral, tidak memihak salah satu pihak, menyadari batasan-batasan dalam
mengungkapkan sesuatu juga merupakan salah satu pertimbangan kode etik. Misalnya,
untuk mendamaikan dua pihak yang berselisih dan merugikan perusahaan. Seorang
manajer yang bisa menjaga sikap independennya akan lebih dipercaya kedua belah
pihak sehingga akan sangat membantu dalam penyelesaian kasus perselisihan yang
dihadapinya.
Prinsip lain yang juga bisa dijadikan parameter dalam dalam pelaksanaan birokrasi
dapat merujuk pada prinsip-prinsip Good governance yang meliputi pertama,
partisipasi masyarakat, kedua, tegaknya supremasi hukum, ketiga, transparansi,
keempat, kepedulian kepada stakeholder, kelima, berorientasi kepada konsensus,
keenam, kesetaraan, ketujuh, efektifitas dan efisiensi, kedelapan, akuntabilitas, dan
kesembilan, visi strategis,
Sejarah birokrasi di Indonesia memiliki raport buruk, khususnya semasa Orde Baru dimana
yang menjadikan birokrasi sebagai mesin politik. Imbas dari itu semua, masyarakat harus
membayar biaya yang mahal. Ketidakpastian waktu, ketidakpastian biaya, dan ketidakpastian
siapa yang bertanggung jawab adalah beberapa fakta empiris rusaknya layanan birokrasi. Lebih
dari itu layanan birokrasi justru menjadi salah satu causa prima terhadap maraknya korupsi,
kolusi, nepotisme. Pejabat politik yang mengisi birokrasi pemerintah sangat dominan. Kondisi
ini cukup lama terbangun sehingga membentuk sikap, perilaku, dan opini bahwa pejabat politik
dan pejabat birokrat tidak dapat dibedakan.
Mengutip catatan guru besar ilmu politik Universitas Airlangga Ramlan Surbaku mengenai
fenomena birulasi di Indonesia, kewenangan besar dimiliki birokrat sehingga hampir semua
aspek kehidupan masyarakat ditangani birokrasi. Kewenangan yang terlalu besar itu bahkan
akhirnya menonjolkan peran birokrasi sebagai pembuat kebijakan ketimbang pelaksana
kebijakan, lebih bersifat menguasai daripada melayani masyarakat. Akhirnya wajar saja jika
kemudian birokrasi lebih dianggap sebagai sumber masalah atau beban masyarakat ketimbang
sumber solusi bagi masalah yang dihadapi masyarakat.
Fenomena itu terjadi karena tradisi birokrasi yang dibentuk lebih sebagai alat penguasa untuk
menguasai masyarakat dan segala sumber dayanya. Dengan kata lain, birokrasi lebih bertindak
sebagai pangreh praja daripada pamong praja. Bahkan kemudian terjadi politisasi birokrasi.
Pada rezim Orde Baru, birokrasi menjadi alat kekuasaan.
Pasca reformasi pun para pejabat politik yang kini menjabat dalam birokrasi pemerintah ingin
melestarikan budaya tersebut dengan mengaburkan antara pejabat karier dengan nonkarier.
Sikap mental seperti ini dapat membawa birokrasi pemerintahan Indonesia kembali kepada
kondisi birokrasi pemerintahan pada mesa orde baru, Bahkan kemunculan RUU Administrasi
Pemerintahan saat ini turut mendapat respon yang cukup agresif dari para pejabat politik melaui
fraksi-fraksi di DPR yang berusaha mengakomodasikan kepentingan jabatan politik mereka
untuk dapat menduduki jabatan birokrasi.