0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
12 tayangan4 halaman
Tes tertulis esai membahas beberapa studi kasus pelanggaran pemilu seperti pelanggaran kampanye, administrasi, politik uang, sengketa antar peserta, dan politik identitas. Kasus-kasus tersebut mencakup pelanggaran peraturan kampanye, keputusan KPU, operasi tangkap tangan politik uang, sengketa sistem pendaftaran partai, dan isu suku dan agama dalam Pilkada DKI 2017.
Tes tertulis esai membahas beberapa studi kasus pelanggaran pemilu seperti pelanggaran kampanye, administrasi, politik uang, sengketa antar peserta, dan politik identitas. Kasus-kasus tersebut mencakup pelanggaran peraturan kampanye, keputusan KPU, operasi tangkap tangan politik uang, sengketa sistem pendaftaran partai, dan isu suku dan agama dalam Pilkada DKI 2017.
Tes tertulis esai membahas beberapa studi kasus pelanggaran pemilu seperti pelanggaran kampanye, administrasi, politik uang, sengketa antar peserta, dan politik identitas. Kasus-kasus tersebut mencakup pelanggaran peraturan kampanye, keputusan KPU, operasi tangkap tangan politik uang, sengketa sistem pendaftaran partai, dan isu suku dan agama dalam Pilkada DKI 2017.
Kampanye merupakan salah satu bagian dari pendidikan politik kepada masyarakat adalah dengan dilakukannya kampanye Pemilu untuk menyampaikan program visi dan misi dari peserta pemilu untuk meyakinkan masyarakat/rakyat sebagai pemilih namun kegiatan kampanye yang dilakukan haruslah dilakukan dengan mematuhi nilai dan norma yang ada di masyarakat dan juga tidak bertentangan dengan aturan hukum yang ada. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 275 menyebutkan bahwa Kampanye Pemilu dapat dilakukan melalui beberapa cara atau metode, yaitu: 1) melakukan pertemuan terbatas; 2) melakukan pertemuan tatap muka; 3) penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum; 4) pemasangan alat peraga di tempat umum; 5) media sosial; 6) iklan media masa cetak, media masa elektronik, dan internet; 7) rapat umum; 8) debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon; 9) kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 280 tentang Pemilu disebutkan Perbuatan yang
dikategorikan perbuatan sebagai pelanggaran tindak pidana kejahatan pada masa kampanye yaitu:
Pemilu yang lain; 2) Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta Pemilu yang lain; 3) Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu; 4) Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan; 5) Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan; 6) Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta Kampanye Pemilu; 7) Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang
mengikutsertakan:
a) Hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi; b) Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan; c) Gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia; d) Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan BUMN/BUMD; e) Pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai pimpinan di lembaga nonstruktural; f) Aparatur sipil negara; g) Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia; h) Kepala desa beserta jajarannya; i) Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih. Contoh kasus misalnya: Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin melaporkan Reuni Akbar 212 yang digelar pada 2 Desember 2018 di Monas, Jakarta, karena diduga ditunggangi kepentingan politik. Menurut TKN, reuni itu juga diduga menjadi ajang kampanye terselubung pihak Prabowo-Sandi, karena hadirnya sejumlah tokoh politik di sana. Mereka yang hadir di antaranya, capres nomor urut 01 Prabowo Subianto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, dan Ketua MPR Zulkifli Hasan. 2. Pelanggaran administrasi Klasifikasi pelanggaran administrasi pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 460, UU 7 Tahun 2017 bahwa Pelanggaran administratif Pemilu meliputi pelanggaran terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu. Contoh kasus misalnya: Komisi Pemilihan Umum (KPU) terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran administrasi dalam kasus pencalonan anggota DPD atas nama Oesman Sapta Odang (OSO). Alasannya, KPU tidak menjalankan amar putusan PTUN yang memerintahkan untuk memasukkan OSO ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT) Pemilu 2019. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30 pada 23 Juli 2018, lalu memang berlaku untuk Pemilu 2019. Putusan tersebut melarang pengurus parpol untuk menjadi calon anggota DPD. Dengan demikian, Bawaslu mengakui jika putusan MK tersebut dijadikan pedoman bagi KPU untuk melaksanakan tahapan pencalonan anggota DPD. Namun, Bawaslu juga melihat adanya putusan PTUN pada 14 November 2018. Putusan PTUN ini memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat kepada KPU. "Sehingga, putusan PTUN ini wajib ditindaklanjuti oleh KPU sdvaja bentuk melindungi calon tetap perseorangan DPD dalam Pemilu 2019 pada umumnya. Dan secara khusus melindungi hak pelapor sebagai calon anggota DPD,". Namun, kata dia, KPU tidak menindaklanjuti amar putusan keempat dalam putusan PTUN itu. Adapun yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU yakni memasukkan nama OSO ke dalam DCT Pemilu 2019 hingga melampaui batas akhir pelaksanaan putusan PTUN. Batas akhir tindaklanjut putusan PTUN adalah selama tiga hari. 3. Studi kasus politik uang, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum 278 ayat 2 mengatur, selama masa tenang, pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada pemilih untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. memilih Pasangan Calon; c. memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu; d. memilih calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD; e. memilih calon anggota DPD tertentu. Adapun, sanksi terhadap pelanggaran ketentuan tersebut diatur dalam pasal 523 ayat 2, yaitu setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung, dipidana penjara paling lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta. Sedangkan, praktik politik yang dilakukan pada hari pemungutan suara, pada pasal 523 ayat 3 diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana penjara paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta. Contoh kasus misalnya: Bawaslu Kota Pekanbaru dan polisi melakukan operasi tangkap tangan alias OTT terhadap empat orang terduga pelaku politik uang, Selasa (16/4/2019) siang sekitar pukul 13.30 WIB. Dari tangan pelaku, tim sentra Gakkumdu Kota Pekanbaru menyita uang Rp 506.400.000. Hal ini disampaikan Ketua Bawaslu Pekanbaru Indra Khalid Nasution dalam konferensi pers di Kantor Bawaslu Pekanbaru, Senin. "Tim sentra Gakkumdu, dalam hal ini Bawaslu dan Polresta Pekanbaru telah mengamankan empat terduga pelaku serangan fajar (politik uang).
4. Studi kasus sengketa proses antar peserta
UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur tentang pokok-pokok yang menjadi ruang lingkup dan mekanisme penegakan pelanggaran pemilu, sengketa proses pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Adapun mekanisme penyelesaian sengketa proses pemilu dibedakan menjadi dua mekanisme yaitu: pertama, mekanisme penyelesaian sengketa proses Pemilu di Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota yang diatur dalam Pasal 466 sampai dengan Pasal 469 UU Pemilu; dan kedua, mekanisme penyelesaian sengketa proses pemilu di Pengadilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Pasal 470 sampai dengan Pasal 472 UU Pemilu. Contoh kasus misalnya: sistem informasi partai politik (Sipol) yang digunakan KPU sebagai dasar penilaian keterpenuhan persyaratan pendaftaran, tidak berdasar. KPU pun diperintahkan memperbaiki tata cara dan prosedur pendaftaran parpol dengan menerima dokumen pendaftaran sesuai ketentuan Pasal 176 dan Pasal 177 UU Pemilu Nomor 7 Tahun 2017. Hanya pada tahapan selanjutnya, Partai Idaman akhirnya tak lolos sebagai peserta Pemilu 2019. 5. Studi kasus politik identitas. Pelaksanaan Pilkada DKI 2017 yang sudah berlalu, merupakan potret yang menunjukkan dimana politik identitas yang cenderung mengarah ke isu suku, agama dan ras. Peranan suku, agama dan ras berperan sangat kuat bahkan terkristalisasi sedemikian rupa sehingga memberikan tekanan psikologis kepada masyarakat pemilih. Proses politik semacam itu disadari atau tidak akan menggerus dmokratisasi di Indonesia. Studi kasus misalnya: Pilkada DKI Tahun 2017 menjadi sorotan. Dalam hal ini seolah terjadi pergulatan anatara masyarakat pribumi dan non pribumi. Pilkada DKI pada tahun 2017 yang dimenangkan oleh Anis Baswedan dan Sandiaga Uno menjadi potret baru bagi pergulatan politik identitas dan refresentasi politik di Indensia dimana pada waktu itu yang menjadi lawannya adalah Ahok- Djarot pada pemilihan putaran kedua. Dalam hal ini Ahok- Djarot menjadi potret identitas dan refresentasi non muslin dari etnis Tionghoa dan Anis-Sandi menjadi refresentasi Muslim pribumi.