Anda di halaman 1dari 4

TES TERTULIS ESAI

1. Studi kasus Pelanggaran Kampanye


Kampanye merupakan salah satu bagian dari pendidikan politik kepada
masyarakat adalah dengan dilakukannya kampanye Pemilu untuk menyampaikan
program visi dan misi dari peserta pemilu untuk meyakinkan masyarakat/rakyat sebagai
pemilih namun kegiatan kampanye yang dilakukan haruslah dilakukan dengan
mematuhi nilai dan norma yang ada di masyarakat dan juga tidak bertentangan dengan
aturan hukum yang ada.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum pasal 275
menyebutkan bahwa Kampanye Pemilu dapat dilakukan melalui beberapa cara atau
metode, yaitu:
1) melakukan pertemuan terbatas;
2) melakukan pertemuan tatap muka;
3) penyebaran bahan Kampanye Pemilu kepada umum;
4) pemasangan alat peraga di tempat umum;
5) media sosial;
6) iklan media masa cetak, media masa elektronik, dan internet;
7) rapat umum;
8) debat pasangan calon tentang materi kampanye pasangan calon;
9) kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye pemilu dan ketentuan
peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 280 tentang Pemilu disebutkan Perbuatan yang


dikategorikan perbuatan sebagai pelanggaran tindak pidana kejahatan pada masa
kampanye yaitu:

1) Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon, dan/atau Peserta


Pemilu yang lain;
2) Mengancam untuk melakukan kekerasan atau menganjurkan penggunaan
kekerasan kepada seseorang, sekelompok anggota masyarakat, dan/atau Peserta
Pemilu yang lain;
3) Merusak dan/atau menghilangkan alat peraga kampanye Peserta Pemilu;
4) Menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan;
5) Membawa atau menggunakan tanda gambar dan/atau atribut selain dari tanda
gambar dan/atau atribut Peserta Pemilu yang bersangkutan;
6) Menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta
Kampanye Pemilu;
7) Pelaksana dan/atau tim kampanye dalam kegiatan Kampanye Pemilu dilarang

mengikutsertakan:

a) Hakim pada semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung dan


Mahkamah Konstitusi;
b) Ketua, wakil ketua, dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan;
c) Gubernur, deputi gubernur senior, dan deputi gubernur Bank Indonesia;
d) Direksi, komisaris, dewan pengawas dan karyawan BUMN/BUMD;
e) Pejabat negara bukan anggota partai politik yang menjabat sebagai
pimpinan di lembaga nonstruktural;
f) Aparatur sipil negara;
g) Anggota Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik
Indonesia;
h) Kepala desa beserta jajarannya;
i) Warga Negara Indonesia yang tidak memiliki hak memilih.
Contoh kasus misalnya: Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin
melaporkan Reuni Akbar 212 yang digelar pada 2 Desember 2018 di Monas, Jakarta,
karena diduga ditunggangi kepentingan politik. Menurut TKN, reuni itu juga diduga
menjadi ajang kampanye terselubung pihak Prabowo-Sandi, karena hadirnya sejumlah
tokoh politik di sana. Mereka yang hadir di antaranya, capres nomor urut 01 Prabowo
Subianto, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien
Rais, Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid, dan Ketua MPR Zulkifli Hasan.
2. Pelanggaran administrasi
Klasifikasi pelanggaran administrasi pemilu sebagaimana diatur dalam Pasal 460,
UU 7 Tahun 2017 bahwa Pelanggaran administratif Pemilu meliputi pelanggaran
terhadap tata cara, prosedur, atau mekanisme yang berkaitan dengan administrasi
pelaksanaan Pemilu dalam setiap tahapan Penyelenggaraan Pemilu.
Contoh kasus misalnya: Komisi Pemilihan Umum (KPU) terbukti melakukan
pelanggaran-pelanggaran administrasi dalam kasus pencalonan anggota DPD atas nama
Oesman Sapta Odang (OSO). Alasannya, KPU tidak menjalankan amar putusan PTUN
yang memerintahkan untuk memasukkan OSO ke dalam Daftar Calon Tetap (DCT)
Pemilu 2019.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30 pada 23 Juli 2018, lalu memang
berlaku untuk Pemilu 2019. Putusan tersebut melarang pengurus parpol untuk menjadi
calon anggota DPD. Dengan demikian, Bawaslu mengakui jika putusan MK tersebut
dijadikan pedoman bagi KPU untuk melaksanakan tahapan pencalonan anggota DPD.
Namun, Bawaslu juga melihat adanya putusan PTUN pada 14 November 2018.
Putusan PTUN ini memiliki kekuatan hukum yang final dan mengikat kepada KPU.
"Sehingga, putusan PTUN ini wajib ditindaklanjuti oleh KPU sdvaja bentuk
melindungi calon tetap perseorangan DPD dalam Pemilu 2019 pada umumnya. Dan
secara khusus melindungi hak pelapor sebagai calon anggota DPD,".
Namun, kata dia, KPU tidak menindaklanjuti amar putusan keempat dalam
putusan PTUN itu. Adapun yang tidak ditindaklanjuti oleh KPU yakni memasukkan nama
OSO ke dalam DCT Pemilu 2019 hingga melampaui batas akhir pelaksanaan putusan
PTUN. Batas akhir tindaklanjut putusan PTUN adalah selama tiga hari.
3. Studi kasus politik uang,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum 278 ayat 2
mengatur, selama masa tenang, pelaksana, peserta, dan/atau tim kampanye Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden dilarang menjanjikan atau memberikan imbalan kepada
pemilih untuk: a. tidak menggunakan hak pilihnya; b. memilih Pasangan Calon; c.
memilih Partai Politik Peserta pemilu tertentu; d. memilih calon anggota DPR, DPRD
provinsi, dan DPRD; e. memilih calon anggota DPD tertentu.
Adapun, sanksi terhadap pelanggaran ketentuan tersebut diatur dalam pasal 523
ayat 2, yaitu setiap pelaksana, peserta, dan/atau tim Kampanye Pemilu yang dengan
sengaja pada masa tenang menjanjikan atau memberikan imbalan uang atau materi
lainnya kepada pemilih secara langsung ataupun tidak langsung, dipidana penjara paling
lama empat tahun dan denda paling banyak Rp 48 juta.
Sedangkan, praktik politik yang dilakukan pada hari pemungutan suara, pada
pasal 523 ayat 3 diatur bahwa setiap orang yang dengan sengaja pada hari pemungutan
suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih untuk
tidak menggunakan hak pilihnya atau memilih peserta pemilu tertentu dipidana penjara
paling lama tiga tahun dan denda paling banyak Rp 36 juta.
Contoh kasus misalnya: Bawaslu Kota Pekanbaru dan polisi melakukan operasi
tangkap tangan alias OTT terhadap empat orang terduga pelaku politik uang, Selasa
(16/4/2019) siang sekitar pukul 13.30 WIB. Dari tangan pelaku, tim sentra Gakkumdu
Kota Pekanbaru menyita uang Rp 506.400.000. Hal ini disampaikan Ketua Bawaslu
Pekanbaru Indra Khalid Nasution dalam konferensi pers di Kantor Bawaslu Pekanbaru,
Senin. "Tim sentra Gakkumdu, dalam hal ini Bawaslu dan Polresta Pekanbaru telah
mengamankan empat terduga pelaku serangan fajar (politik uang).

4. Studi kasus sengketa proses antar peserta


UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) mengatur
tentang pokok-pokok yang menjadi ruang lingkup dan mekanisme penegakan
pelanggaran pemilu, sengketa proses pemilu, dan perselisihan hasil pemilu. Adapun
mekanisme penyelesaian sengketa proses pemilu dibedakan menjadi dua mekanisme
yaitu: pertama, mekanisme penyelesaian sengketa proses Pemilu di Bawaslu, Bawaslu
Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota yang diatur dalam Pasal 466 sampai dengan
Pasal 469 UU Pemilu; dan kedua, mekanisme penyelesaian sengketa proses pemilu di
Pengadilan Tata Usaha Negara yang diatur dalam Pasal 470 sampai dengan Pasal 472 UU
Pemilu.
Contoh kasus misalnya: sistem informasi partai politik (Sipol) yang digunakan
KPU sebagai dasar penilaian keterpenuhan persyaratan pendaftaran, tidak berdasar.
KPU pun diperintahkan memperbaiki tata cara dan prosedur pendaftaran parpol dengan
menerima dokumen pendaftaran sesuai ketentuan Pasal 176 dan Pasal 177 UU Pemilu
Nomor 7 Tahun 2017. Hanya pada tahapan selanjutnya, Partai Idaman akhirnya tak lolos
sebagai peserta Pemilu 2019.
5. Studi kasus politik identitas.
Pelaksanaan Pilkada DKI 2017 yang sudah berlalu, merupakan potret yang
menunjukkan dimana politik identitas yang cenderung mengarah ke isu suku, agama
dan ras. Peranan suku, agama dan ras berperan sangat kuat bahkan terkristalisasi
sedemikian rupa sehingga memberikan tekanan psikologis kepada masyarakat pemilih.
Proses politik semacam itu disadari atau tidak akan menggerus dmokratisasi di
Indonesia.
Studi kasus misalnya: Pilkada DKI Tahun 2017 menjadi sorotan. Dalam hal ini
seolah terjadi pergulatan anatara masyarakat pribumi dan non pribumi. Pilkada DKI
pada tahun 2017 yang dimenangkan oleh Anis Baswedan dan Sandiaga Uno menjadi
potret baru bagi pergulatan politik identitas dan refresentasi politik di Indensia dimana
pada waktu itu yang menjadi lawannya adalah Ahok- Djarot pada pemilihan putaran
kedua. Dalam hal ini Ahok- Djarot menjadi potret identitas dan refresentasi non muslin
dari etnis Tionghoa dan Anis-Sandi menjadi refresentasi Muslim pribumi.

Anda mungkin juga menyukai