Anda di halaman 1dari 13

ARTIKEL – ARTIKEL

TENTANG PEMILU

Nama : Aldi Dwi Prasetya

No Absen : 04

Kelas : IX A
MK Beri 6 Opsi Pemilu Serentak 2024, Apa Saja?
Andi Saputra - detikNews
Minggu, 21 Nov 2021 13:57 WIB

Jakarta - Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi (Sekjen MK) M Guntur Hamzah menyatakan MK
telah memberikan 6 opsi pemilu serentak. Enam opsi itu bisa dipilih oleh Pemerintah dan DPR untuk
melaksanakannya dalam koridor demokrasi yang konstitusional.
"MK sudah memutus menyangkut bagaimana keserentakan pemilu dengan memberi opsi enam cara
yang bisa dilakukan terkait format pemilu serentak. Pemerintah dan DPR yang menentukan dari
berbagai aspek pertimbangan, melakukan evaluasi terhadap pemilu serentak sebelumnya, format
pemilu serentak seperti apa yang ditetapkan," kata Guntur sebagaimana dilansir website MK, Minggu
(21/11/2021).

Hal itu juga disampaikan saat menjadi narasumber Webinar Nasional 'Format Pemilu Serentak Pasca
Putusan MK No. 55/2019' pada Sabtu (20/11) kemarin di Solo. Kegiatan ini terselenggara atas kerja
sama MK dengan Asosiasi Pengajar Hukum Acara Mahkamah Konstitusi (APHAMK).

Apa saja opsi itu? Berikut 6 opsi tersebut:

1. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan anggota DPRD;
2. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, Gubernur, dan
Bupati/Wali Kota;
3. Pemilu serentak untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, anggota DPRD,
Gubernur, dan Bupati/Wali Kota;
4. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan
beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak lokal untuk memilih anggota DPRD
Provinsi, anggota DPRD Kabupaten/Kota, pemilihan Gubernur, dan Bupati/Wali Kota.
5. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan
beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD
Provinsi dan memilih Gubernur, DPRD Kab/Kota, Bupati/Wali Kota.
6. Pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden, dan
beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu serentak provinsi untuk memilih anggota DPRD
Provinsi dan memilih gubernur; dan kemudian beberapa waktu setelahnya dilaksanakan pemilu
serentak kabupaten/kota untuk memilih anggota DPRD Kabupaten/Kota dan memilih Bupati dan Wali
Kota.

"Model pemilu serentak dalam putusan MK dimaksud merupakan opsi untuk menjaga keserentakan
pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden/Wakil Presiden. Opsi model pemilu serentak
tersebut, dapat menjadi pedoman maupun petunjuk bagi penyelenggara pemilu, baik KPU, Bawaslu
maupun DKPP, termasuk juga dari Pemerintah untuk menindaklanjuti putusan MK," ujar Guntur.

Guntur selanjutnya menyinggung tenggang waktu penyelesaian perselisihan hasil Pemilu Serentak
maupun pemilihan kepala daerah (pilkada). Prinsip dasar MK, satu hari pun tidak boleh lewat dari
tenggang waktu yang sudah ditentukan oleh undang-undang.

"Kalau MK melewati tenggang waktu yang ditentukan, hal itu dianggap cacat," ungkap Guntur.

Lantas, bagaimana MK menyikapi Pilkada Serentak 2024? Pengalaman MK selama ini menunjukkan
bahwa MK punya cara tersendiri menangani perkara pilkada. Pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi juga menjadi kunci dalam penyelesaian perkara di MK.

"Mau dikasih waktu 14 hari kerja, selesai. Dikasih waktu 30 hari kerja, selesai. Dikasih waktu 45 hari
kerja, juga selesai. Kunci Mahkamah Konstitusi dapat menyelesaikan berbagai perkara dengan waktu
yang telah diberikan, karena penggunaan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat masif.
Sehingga semua distribusi dokumen-dokumen yang sudah ada, langsung kami scan yang
memudahkan semua jajaran di Mahkamah Konstitusi," tandas Guntur.
Ijtima Ulama MUI: Masa Jabatan Presiden 2 Kali, Pemilu Bebas Dinasti Politik
Karin Nur Secha - detikNews
Kamis, 11 Nov 2021 20:18 WIB

Jakarta - Ijtima Ulama Majelis Ulama Indonesia (MUI) turut membahas perihal pemilu.
Dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VII itu, diputuskan bahwa masa
jabatan presiden maksimal dua periode.
"Pembatasan masa jabatan kepemimpinan maksimum dua kali sebagaimana diatur dalam
Konstitusi dan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku wajib untuk diikuti
guna mewujudkan kemaslahatan serta mencegah mafsadah," ujar Ketua Fatwa MUI
Asrorum Niam Soleh di Hotel Sultan, Jakarta Pusat, Kamis (11/11/2021).
Dalam Ijtima Ulama MUI juga diputuskan bahwa pemilu harus dilaksanakan dengan
langsung, bebas, jujur, adil, dan rahasia. Selain itu, pemilu harus bebas dari oligarki dan
dinasti politik.
Berikut ini ketentuan pelaksanaan pemilu:

a. Dilaksanakan dengan langsung, bebas, jujur, adil, dan rahasia;


b. Pilihan didasarkan atas keimanan, ketakwaan kepada Allah SWT, kejujuran, amanah,
kompetensi, dan integritas;
c. Bebas dari suap (risywah), politik uang (money politic), kecurangan (khida'), korupsi
(ghulul), oligarki, dinasti politik, dan hal-hal yang terlarang secara syar'i.

Berikut ini panduan lengkap pemilu dan pemilukada yang lebih maslahat hasil Ijtima Ulama
MUI:
1. Dalam masalah mu'amalah, termasuk di dalamnya masalah politik, Islam memberikan
keleluasaan berdasarkan kesepakatan untuk mewujudkan kemaslahatan dan menghindari
kerusakan atau bahaya (jalb al-mashalih wa dar'u al-mafasid), sepanjang kesepakatan
tersebut tidak mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
2. Pemilihan umum dalam pandangan Islam adalah upaya untuk memilih pemimpin atau
wakil yang memenuhi syarat-syarat ideal bagi terwujudnya cita-cita bersama sesuai dengan
aspirasi umat dan kepentingan bangsa.
3. Memilih pemimpin (nashbu al-imam) dalam Islam adalah kewajiban untuk menegakkan
imamah dan imarah dalam kehidupan bersama. Oleh karena itu, keterlibatan umat Islam
dalam Pemilu hukumnya wajib.
4. Pemilu dilaksanakan dengan ketentuan:
a. Dilaksanakan dengan langsung, bebas, jujur, adil, dan rahasia;
b. Pilihan didasarkan atas keimanan, ketaqwaan kepada Allah SWT, kejujuran, Amanah,
kompetensi, dan integritas;
c. Bebas dari suap (risywah), politik uang (money politics), kecurangan (khida'), korupsi
(ghulul), oligarki, dinasti politik, dan hal-hal yang terlarang secara syar'i.
5. Pembatasan masa jabatan kepemimpinan maksimum dua kali sebagaimana diatur dalam
Konstitusi dan Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku wajib untuk diikuti
guna mewujudkan kemaslahatan serta mencegah mafsadah;
6. Proses pemilihan dan pengangkatan kepala daerah dapat dilakukan dengan beberapa
alternatif metode yang disepakati bersama sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip
syariah. Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah yang berlaku saat ini dinilai lebih besar
mafsadatnya daripada maslahatnya, antara lain: menajamnya konflik horizontal di tengah
masyarakat, menyebabkan disharmoni, mengancam integrasi nasional, dan merusak moral
akibat maraknya praktik politik uang.
Bawaslu Ingatkan Jual Beli Data Penduduk Berpotensi Kecurangan Pemilu
Nahda Rizki Utami - detikNews
Kamis, 11 Nov 2021 18:53 WIB

Jakarta - Jual-beli data pribadi penduduk belakangan ini marak terjadi di masyarakat. Badan
Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mengingatkan adanya potensi kecurangan pemilu dari jual-
beli data penduduk tersebut.
"Sebagaimana yang kalian tahu sekarang kita agak heboh soal data warga negara yang
diperjualbelikan banyak data-data penduduk yang bisa dijual," kata Koordinator Divisi Hukum,
Humas, Data, dan Informasi Bawaslu, Fritz Edward Siregar di Kantor Bawaslu Kota Cilegon, Kamis
(11/11/2021).

"Bawaslu melihat itu menjadi concern kita karena itu bisa mungkin dipergunakan," sambungnya.

Fritz juga mengatakan data pribadi milik warga negara dapat dipakai saat pendaftaran partai politik
dan calon independen, baik untuk kepala daerah maupun provinsi. Menurut Firtz, harus ada verifikasi
terlebih dahulu melalui sensus untuk memastikan kebenaran data.

"Pendaftaran politik kan ada 1/1.000, dari jumlah penduduk untuk memasukkan jumlah anggota partai
politiknya. Itu kan bisa saja, data tersebut dipakai. Harus ada verifikasi yang by sensus. Nggak bisa
secara acak yang selama ini dilakukan," jelas Firtz.

"Kedua data tersebut bisa digunakan untuk calon independen. Baik untuk kepala daerah atau
provinsi. Harus ada proses verifikasi yg lebih detail oleh KPU dan Bawaslu, diberikan kesempatan
untuk melihat hasil verifikasi tersebut," imbuhnya.

Firtz mengimbau agar data-data pribadi milik warga negara yang selama ini telah beredar tidak
dipergunakan untuk dukungan partai politik atau calon kepala daerah. Firtz menegaskan hal itu
merupakan pelanggaran pidana.

"Ini juga menjadi warning bagi para pihak yang ingin mempergunakan data-data yang beredar selama
ini untuk dukungan partai politik atau calon kepala daerah mereka akan digunakan pelanggaran
pidana," tutur Firtz.

Selanjutnya, Firtz menjelaskan, khususnya untuk proses pemilu atau pilkada 2024 nanti, tidak ada
para pihak yang melakukan kecurangan seperti mempergunakan data pribadi warga dan juga
memalsukan tanda-tangan.

"Misalnya memalsukan tanda tangan (salah satu pelanggaran saat pemilu atau pilkada). Itu salah
satu yang kami sebagai Bawaslu perlu mengingatkan kepada para pihak untuk tidak mempergunakan
data tersebut dalam proses pemilu atau Pilkada 2024," jelas Firtz.

Terakhir, Firtz menjelaskan, saat ini Bawaslu tetap melakukan perbaikan sistem informasi dan sistem
pelanggaran untuk memaksimalkan Pemilu 2024.

"Terkait apa yang dilakukan oleh Bawaslu sekarang kami tetap melakukan perbaikan sistem informasi
kemudian sistem pelanggaran," tutur Firtz.
Komisi II Sebut Penetapan Tanggal Pemilu 2024 Berpotensi Molor
Rolando Fransiscus Sihombing - detikNews
Selasa, 02 Nov 2021 18:32 WIB

Jakarta - Komisi II DPR RI menyebut penetapan tanggal Pemilu 2024 berpotensi molor.
Pasalnya, hingga kini belum ada kesepakatan tanggal Pemilu 2024 antara pemerintah dan
penyelenggara pemilu.
"Kalau kita nggak bisa tetapkan sekarang, di masa sidang ini, pasti akan molor. Karena kan
gini, DPR sudah reses lagi (Desember), ketika masuk Januari, itu masa KPU lama kan habis
di Februari, kita sudah mau akan seleksi KPU baru di Januari-Februari. Makanya kita juga
ingin KPU yang mendatang tidak terbebani urusan-urusan teknis menyangkut soal ini," kata
Wakil Ketua Komisi II Saan Mustopa di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta (2/11/2021).

Pemerintah diketahui ingin Pemilu 2024 digelar pada 15 Mei, sementara KPU mengajukan
tanggal 21 Februari. Hingga kini, kata Saan, belu

"Kita lagi meminta agar pemerintah dan penyelenggara untuk sepakat dululah, karena gini
kalau selama pemerintah dan penyelenggara itu belum sepakat terkait soal jadwal, maka di
DPR pasti tidak akan pernah ada kata sepakat juga, pasti akan ada beda pilihan. Kita tidak
mau untuk sebuah agenda besar, agenda politik, agenda demokrasi, itu dimulai dengan
awalan yang tadi, tidak bulat," ujar Saan.

"Nanti nuansanya sudah politis, masa sih untuk urusan jadwal saja harus kita voting, suara
terbanyak di Komisi II. Kita nggak mau seperti itu, karena ini agenda besar kita, agenda
demokrasi kita, yang akan menentukan 5 tahun ke depan, baik buat demokrasi,
pemerintahan, dan terutama buat rakyat," sambungnya.

Menurut Saan, lebih cepat lebih baik untuk kesepakatan tanggal Pemilu 2024 antara
pemerintah dan KPU. Namun publik bagi Saan perlu tahu kepastian soal tanggal Pemilu
2024.

Diakui Saan, memang tidak ada dampak jika penetapan tanggal Pemilu 2024 molor. Namun,
ada pergeseran waktu memulai tahapan pemilu jika ada dua opsi tanggal Pemilu 2024.

"Secara dampak nggak ada, jadi kalau bisa gini. Kalau penyelenggara ditentukan,
pelaksanaan Februari, itu kan masih di Juni 2022 tahapan itu dimulai. Kalaupun pemilu Mei,
tahapan di bulan September, jadi secara benernya itu tidak terganggu. Kalau batas waktu
untuk penentuan tanggal pemilu ditetapkan oleh KPU baru juga sebenarnya tidak terlalu
berpengaruh pada tahapan. Kalau Februari pun sekali lagi tahapan dimulai bulan Juni.
Kalau Mei tahapan September, jadi sekali lagi tidak ada," imbuhnya.
KPK Harap Pemilu 2024 Tak Jadi Ladang Korupsi
Fachrur Rozie
18 Nov 2021, 08:55 WIB

Perbesar
KPK mengingatkan agar Pemilu 2024 tidak menjadi ajang melakukan tindak pidana korupsi. (Liputan6/Fachrur Rozie)

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mulai mengingatkan kepada semua
pihak untuk tidak menjadikan Pemilihan Umum atau Pemilu 2024 sebagai ajang melakukan
tindak pidana korupsi. KPK berharap pemilu 2024 mendatang bersih dari perilaku koruptif.

"Pemilu masih lama. Pemilu tugasnya KPU dan Bawaslu, kenapa KPK sibuk ngurusi? Kita tidak
bisa bicara lama atau tidak. Karena gejolak dan riak terus terjadi. Korupsi pun terus berlangsung,"
ujar Direktur Pembinaan Peran Serta Masyarakat (Permas) KPK Kumbul Kusdwidjanto Sudjadi
dalam keterangannya, Kamis (18/11/2021).

Kumbul mewanti-wandi hal tersebut lantaran banyak politikus maupun kepala daerah sudah
mulai mencari dana demi melancarkan pelaksanaan Pemilu 2024. Menurut Kumbul, sudah
menjadi kewajiban KPK untuk mengingatkan adanya potensi korupsi.

"Makanya perlu kita ingatkan. Karena sekali lagi kami ingatkan (tidak) korupsi adalah pilihan
hidup. Hari ini enggak korupsi, besok belum tentu," ujar Kumbul.

Politik Uang Masih Kental di Indonesia


Kumbul tak memungkiri politik uang masih kental di Indonesia. Mahar politik yang besar
membuat banyak pihak menghalalkan segala cara demi mendapatkan kemenangan dari ajang
pemilu.

Atas dasar itu lah, KPK harus memberikan edukasi antikorupsi untuk Pemilu 2024 dari sekarang.
Jika tidak dimulai saat ini, KPK bisa kebobolan.

"KPK berkepentingan untuk terus memberikan edukasi mengingat banyaknya pelaku korupsi
yang ditangani KPK adalah kader partai politik yang notabene melalui sistem politik," kata
Kumbul.
Marak Curi Start Kampanye, PKB Desak KPU Segera
Tetapkan Tanggal Pemilu 2024
Delvira Hutabarat
12 Nov 2021, 16:54 WIB

Tiga seniman egrang membawa poster Kampanye Aman Untuk Anak pada acara Deklarasi Pemilu Ramah Anak di Gedung
Bawaslu, Jakarta, Minggu (17/3). KPU melarang anak-anak untuk terlibat dalam aktivitas kampanye
politik. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, Luqman Hakim
mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) agar segera menetapkan tanggal Pemilu 2024.
Menurutnya, semakin cepat jadwal Pemilu ditetapkan, maka akan semakin baik.

"Saya berharap KPU tegak lurus sebagai pelaksana undang-undang, yang di antaranya diberi


tugas konstitusional untuk menetapkan waktu pemungutan suara Pemilu. Kewenangan ini diatur
Pasal 347 ayat (2) UU nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu yang mengamanatkan," kata Luqman
dalam keterangan tertulisnya, Jumat (12/11/2021).

Menurut Luqman, berdasarkan undang-undang, KPU berwenang menetapkan tanggal


pelaksanaan Pemilu. "Hari, tanggal, dan waktu pemungutan suara Pemilu ditetapkan dengan
keputusan KPU. Jelas dan terang perintah undang-undang ini. Karena itu, KPU tidak perlu ragu
sedikitpun," kata dia.

Ia mengingatkan bahwa usulan KPU Pemilu 2024 diselenggarakan 21 Februari 2024 bukan hanya


keputusan KPU, melainkan hasil berkonsultasi tim dengan pemerintah dan DPR.

"Penting saya ingatkan, bahwa rencana pemungutan suara Pemilu tanggal 21 Februari 2024
bukanlah semata-mata usulan KPU. Tanggal itu merupakan keputusan rapat Tim Kerja Bersama
yang terdiri dari Komisi II DPR RI, Kemendagri, KPU, Bawaslu dan DKPP," ujar dia.

Selain itu, politikus PKB ini menyebut usulan tanggal 15 Mei 2024 dari pemerintah belum
mempertimbangkan potensi terpotong ibadah puasa di bulan Ramadhan.

"Saya percaya, setelah mendapatkan informasi yang lengkap mengenai kompleksitas Pemilu dan
Pilkada Serentak 2024, pemerintah akan memahami keputusan Tim Kerja Bersama yang
menetapkan tanggal 21 Februari 2024 sebagai hari pemungutan suara Pemilu 2024," ujarnya.
Bawaslu Soroti Politik Uang yang Masih Marak
Saat Pemilu
Nanda Perdana Putra
12 Nov 2021, 13:52 WIB

Perbesar

Ketua Bawaslu RI Abhan (kiri) saat menyampaikan keterangan pers di Kantor Bawaslu RI, Jakarta, Selasa (14/7/2020). Dari
pengawasan verifikasi faktual bakal calon perseorangan, pengawas pemilihan menemukan 6.492 dokumen beridentitaskan
ASN. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan menyampaikan,


pihaknya terus berupaya keras mengawasi berbagai pelanggaran yang terus terjadi selama
penyelenggaraan Pemilihan Umum atau Pemilu. Salah satunya soal maraknya politik uang
atau money politic.

"Kami menyadari demokrasi yang sedang dijalankan ini ada beberapa yang harus diperbaiki.
Misalnya bahwa apakah demokrasi itu langsung menghasilkan money politic? Karena begitu
proses demokrasi, pemilu banyak pelanggaran money politic," tutur Abhan di Anyer, Banten,
Jumat (12/11/2021).

Menurut Abhan, setiap pesta demokrasi berlangsung selalu praktik politik uang terpantau


meningkat. Tidak hanya itu, terjadi juga politisasi suku agama ras dan antargolongan atau SARA.

"Bahwa demokrasi langsung ini banyak melahirkan politisasi sara, ujaran kebencian, dan lain
sebagainya. Itu kita tidak mungkin mengada, tetapi kewajiban kita bagaimana potensi
pelanggaran itu yang harus kita minimalisir," jelas dia.

Abhan menegaskan, Bawaslu tidak tinggal diam dalam melakukan pengawasan agar potensi
pelanggaran selama Pemilu tidak terjadi. Penindakan pun turut mengikuti dan dilaksanakan
dengan tegas.

"Kalau melakukan pelanggaran, diawasi, setelah diawasi harus ditegakkan aturan. Fungsi
berikutnya yaitu penindakan baik itu pidana maupun yang sifatnya administrasi," Abhan
menandaskan.

 
Bawaslu: Kami Siap Lakukan Tahapan Pemilu Apapun
Pilihannya
Liputan6.com
10 Okt 2021, 03:19 WIB

"Kami melaksanakan tahapan pemilu apapun pilihannya kami siap, mau 21 Februari kami siap,
apabila kami tanggal 15 Mei kami siap," ujar Anggota Bawaslu Fridz Edward Siregar dalam
diskusi virtual, Sabtu (9/10/2021)

Fridz mengatakan, Bawaslu hanya memberikan pandangan soal potensi tumpang tindih
jika pemilu dan pilkada dilakukan di tahun yang sama. Terutama soal proses sengketa pemilu.

Hal tersebut juga kata dia seperti pada Pemilu Serentak 2019, tercatat 260 perkara digugat di
Mahkamah Konstitusi yang proses penyelesaiannya membutuhkan waktu. Dia membeberkan
pada tahun 2019 ada 260 perkara yang masuk ke MK dan 260 yang masuk perkara ke MK yang
dikabulkan MK itu ada 12.

"Dari 12 ada 6 yang penetapan langsung dan ada 5 yang perhitungan suara ulang dan 1
pemungutan suara ulang," pungkasnya.

 Belum Sepakat
Ketua Komisi II DPR RI Ahmad Doli Kurnia menyatakan, pihaknya belum mendapatkan satu
suara terkait tanggal Pemilu 2024. Meski demikian, Doli memastikan keputusan nantinya tidak
akan diambil melalui voting, melainkan musyawarah.

"Kita menghindari voting, kemarin (6 Oktober 2021) kalaupun paksa ambil keputusan bisa saja,
tapi kita sudah sepakat pemilu ini kan menentukan nasib bangsa, tentu kita harus betul-betul hasil
konsensus, bukan menang-menangan," kata Doli di Kompleks Parlemen Senayan, Kamis
(7/10/2021).

Doli menyatakan alasan tidak pengambil keputusan tanggal Pemilu 2024 pada 6 Oktober


2021. "Karena masih ada perbedaan pandangan dan waktunya juga masih cukup. Kami
berkomitmen masa sidang November itu rapat kerja pertama akan menindaklanjuti (tanggal
Pemilu)," papar dia.

Selain itu Doli mengklaim, mayoritas parpol mendukung usulan pemerintah yaitu Pemilu 2024
digelar pada 15 Mei.

"Golkar, NasDem, Gerindra, PAN secara jelas mendukung 15 Mei. Setuju 21 Februari PDIP,
PKS dan PAN," kata dia.

Sementara Demokrat dan PKB menurut Doli menyerahkan keputusan pada kesepakatan KPU dan
Pemerintah mengenai tanggal Pemilu 2024.
KPU Jaksel Gelar Pendidikan Pemilih Pemula Virtual Meski Tak
Ada Pilkada Jakarta
Liputan6.com
25 Okt 2020, 19:29 WIB

Liputan6.com, Jakarta - Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Jakarta Selatan menggelar
pendidikan pemilih secara virtual bagi siswa SMA/ SMK dalam rangka menumbuhkan kesadaran
pemilih pemula agar bisa berpartisipasi saat Pemilu atau Pilkada.

"Kita memanfaatkan momentum 2020 ini tidak ada Pilkada di DKI untuk memberikan
pendidikan pemilih kepada siswa SMA/SMK ini karena mereka pemilih potensial sebagai
pemilih pemula," kata Ketua KPU Kota Jakarta Selatan Agus Sudono saat dikonfirmasi di
Jakarta, seperti dilansir Antara, Minggu (25/10/2020).

Agus menyebutkan, pihaknya telah membuat kelas pendidikan pemilih angkatan pertama yang
diikuti sekitar 600 peserta pada Jumat, 23 Oktober 2020.

"Pendidikan pemilih ini merupakan kerja sama KPU dengan Suku Dinas Pendidikan Kota Jakarta
Selatan, dalam mengisi mata pelajaran PPKN di sekolah," papar dia.

Agus menjelaskan, peserta pendidikan pemilih angkatan pertama barasal dari Suku Dinas atau
Sudin Pendidikan Wilayah II terdiri dari enam kecamatan, yakni Kebayoran Baru, Pasar Minggu,
Mampang Prapatan, Pancoran, Tebet, dan Setibudi.

"Setelah angkatan pertama, akan dilanjut angkatan kedua, jadwalnya Senin, 26 Oktober 2020,"
kata dia.

Menurut Agus, targetnya pendidikan pemilih  pemula dalam Pemilu atau Pilkada ini akan dibuat
hingga lima angkatan ini akan dibuat hingga lima angkatan.

Setelah jenjang SMA/SMK, kata dia, KPU Kota Jakarta Selatan selanjutnya bekerja sama dengan
Madrasah Aliyah/ MAN dibawah naungan Kementerian Agama untuk kegiatan serupa.
DKPP Gelar Sidang Dugaan Pelanggaran Kode Etik Anggota
Bawaslu Sragen
Fajar Abrori

19 Sep 2020, 01:00 WIB

Liputan6.com, Solo - Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memeriksa lima anggota Bawaslu
Kabupaten Sragen dalam sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu (KEPP)
perkara nomor 87-PKE-DKPP/IX/2020 pada Jumat, 18 September 2020.

Lima anggota Bawaslu Kabupaten Sragen tersebut antara lain, yaitu Dwi Budhi Prasetya, Edy Suprapto,
Widodo, Raras Mulatsih DK, dan Khoirul Huda sebagai teradu I-V. Kelimanya diadukan oleh Mei Dwi
Yuliana.

Dalam dugaan kasus pelanggaran itu, pengadu mendalilkan teradu I sampai V tidak profesional dan tidak
cermat dalam melantik Panwas Kecamatan Tanon terpilih Setyo Murniati. Diketahui yang bersangkutan
masih tercatat sebagau pengurus Partai PKB periode 2013-2018 dan 2018-2023.

Selain itu, Setyo Murniati diketahui pernah mencalonkan diri sebagai anggota DPRD Sragen pada Pemilu
2014. Dalam perkara ini, Setyo Murniati duduk sebagai pihak terkait.

Sidang kode etik penyelenggara pemilu itu dipimpin ketua majelis sidang, Alfitra Salamm. Sidang tersebut
digelar untuk mendengarkan keterangan pengadu dan teradu serta saksi-saksi atau pihak terkait yang
dihadirkan.

"Kita barusan melakukan sidang pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran etik anggota Panwascam
Kecamatan Tanon, Kabupaten Sragen yang diduga anggota partai politik," kata Alfitra usai memimpin
sidang di Kantor KPU Solo, Jumat (18/9/2020).
Gelar Sidang Kedua
Selanjutnya, dia menjelaskan dalam sidang pemeriksaan itu pihaknya sudah minta penjelasan dari pihak
terkait maupun saksi. Namun, berdasarkan rapat pimpinan majelis memutuskan untuk menggelar sidang
kedua.

"Dengan harapan sidang kedua itu kita akan menghadirkan KPU karena data dari partai politiknya dua
versi, satu versi dicoret, satu versi tidak dicoret," ungkapnya.

Selain KPU, lanjut dia, DKPP juga akan mengundang KPU Sragen untuk meminta penjelasan terkait status
keanggotaan partai apakah dicoret atau tidak ketika digunakan sebaga syarat untuk mendaftar anggota
Panwascam.

"Ketika pencalonan yang dipakai adalah daftar yang dicoret tetapi tadi mengirim dua kali ada juga yang
tidak dicoret. Jadi kita akan mengundang KPU Sragen, KPU RI dan parpol yang bersangkutan PKB,"
ujarnya.

Lantas, Alfitra mengungkapkan tujuan digelar sidang tersebut jangan sampai tidak mendengar semua
pihak. Ia pun menginginkan keputusan DKPP itu seadil-adilnya dengan mendengarkan pihak-pihak yang
belum dipanggil.

"Kami minta ke KPU RI, KPU Sragen dan partai politik untuk menjelaskan dalam persidangan kedua,"
ucapnya.

Anda mungkin juga menyukai