Anda di halaman 1dari 13

1

Aspek Hukum Penggunaan Teknologi Informasi


dalam Pemilu dan Pemilihan
Oleh:
Rendy V. J. Suawa
(Anggota KPU Kab. Minahasa;
Divisi Hukum dan Pengawasan)

Introduksi: Pemilu di Era Teknologi Informasi


Setiap aktivitas dipengaruhi oleh kondisi perkembangan zaman.
Demikian juga dengan aktivitas demokrasi elektoral yaitu pemilihan umum
(pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pemilihan; popular juga dengan
sebutan pilkada). Indonesia telah beberapa kali melaksanakan pemilu dan
pemilihan secara langsung. Negara kita telah mengalami berbagai
dinamika pasang surut momentum demokrasi elektoral tersebut.
Dalam perjalanan historis penyelenggaraan pemilu, aspek-aspek
teknis penyelenggaraan pemilu atau tata kelola kepemiluan kita selalu
mengikuti perkembangan zaman. Tak terkecuali, event demokrasi
elektoral yang telah dan akan kita hadapi yaitu Pemilu dan Pemilihan
Serentak Tahun 2024. Pesta demokrasi lima tahunan tersebut
dilaksanakan dalam sebuah konteks zaman yang dominan yaitu:
perkembangan teknologi informasi yang semakin pesat.
Dengan kondisi ini, penyelenggara pemilu perlu memikirkan
langkah-langkah atau strategi adaptasi menghadapi perkembangan
teknologi informasi. Karena pemilu dan pemilihan dilaksanakan
berdasarkan kerangka hukum yang mengatur dan membatasinya, maka
strategi adaptasi tersebut harus memiliki dasar hukum yang jelas.
Seperti apa langkah-langkah adaptasi penyelenggara pemilu,
khususnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) dalam menata dan mengelola
penyelenggaraan pemilu di era perkembangan teknologi informasi?

jdih.kpu.go.id/sulut
2

Bagaimana aspek hukumnya? Dua pertanyaan tersebut yang coba


dibahas dalam tulisan ini.

Kerangka Hukum dan Tahapan Pemilu dan Pemilihan


Tulisan ini membahas terkait dua agenda demokrasi elektoral yang
hari pemungutan suaranya jatuh di tahun yang sama, yaitu tahun 2024.
Dua agenda tersebut adalah pemilu dan pemilihan/pilkada. Pemilihan
umum atau pemilu, dan pemilihan kepala daerah (gubernur dan wakil
gubernur, bupati dan wakil bupati serta wali kota dan wakil wali kota) atau
menurut undang-undang pemilihan disebut singkat dengan kata
“pemilihan”, merupakan dua hal yang memiliki sifat substantif dan teknis-
operasional yang sama, namun kedudukan normatif dan rejim yang
berbeda.
Secara substantif memiliki kesamaan, karena baik pemilu maupun
pemilihan adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia untuk memilih para pemimpin bangsa.
Secara operasional sama, karena keduanya dilaksanakan dengan
tahapan-tahapan teknis-operasional yang relatif sama.
Namun demikian, dalam perspektif normatif-konstitusional, pemilu
dan pemilihan dipandang sebagai 2 rejim yang berbeda. Konstitusi negara
kita, UUD NRI 1945 memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan
pemilu hanyalah pemilu anggota DPR, DPD dan DPRD (pemilu
legislatif/pileg) dan pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres).
Pemilihan kepala daerah tidak termasuk dalam rejim pemilu
menurut konstitusi kita, karenanya wadah kedaulatan rakyat untuk memilih
pemimpin daerah gubernur dan wakil gubenur, bupati/walikota dan wakil
bupai/wakil walikota tidak menggunakan nomenklatur pemilihan umum
melainkan (hanya) ‘pemilihan’.
Dari aspek kerangka hukum, untuk Pemilu 2024, masih tetap
menggunakan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum. Undang-undang tersebut secara umum mengatur tentang

jdih.kpu.go.id/sulut
3

penyelenggara pemilu, pelaksanaan pemilu presiden dan wakil presiden,


serta pemilu anggota legislatif yakni: DPR, DPD dan DPRD. Pelaksanaan
pemungutan suara pemilu serentak akan dilaksanakan pada Rabu, 14
Februari 2024 berdasarkan Keputusan KPU Nomor 21 tahun 2022 tentang
Hari dan Tanggal Pemungutan Suara Pemilu Tahun 2024
Sedangkan untuk penyelenggaraan pemilihan/pilkada, kita masih
menggunakan UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang
Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota Menjadi Undang-Undang.
Undang-Undang tersebut telah mengalami tiga kali perubahan yaitu
melalui UU 8/2015, UU 10/ 2016 dan UU 6/2020. UU 1/2015 dan tiga UU
sebagai perubahan tersebut harus dipahami sebagai satu kesatuan.
Sebelum Perpu 1/2014 ditetapkan dengan UU 1/2015, sebelumnya
pelaksanaan pemilihan mengacu pada UU 22/2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota yang mengatur mekanisme pemilihan
kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD.
Namun regulasi tersebut mendapat penolakan yang luas oleh
rakyat dan proses pengambilan keputusannya telah menimbulkan
persoalan serta kepentingan yang memaksa sebagaimana disinggung
dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 138/PUU-VII/2009, dimana
kedaulatan rakyat dan demokrasi sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD
NRI 1945, wajib dihormati sebagai syarat utama pelaksanaan pemilihan
gubernur, bupati dan walikota.
Ditegaskan pula pada Pasal 201 ayat (8) UU 10/2016 bahwa
pemungutan suara serentak nasional dalam pemilihan gubernur dan wakil
gubernur, bupati dan wakil bupati, serta walikota dan wakil walikota di
seluruh wilayah NKRI dilaksanakan pada bulan November 2024.
Terkait tahapan pemilu, ketentuan Pasal 167 ayat (4) UU 7/2017
mengatur adanya tahapan pemilu yang harus dilaksanakan oleh
penyelenggara pemilu dalam hal ini KPU yaitu: perencanaan program dan
anggaran serta penyusunan peraturan pelaksanaan penyelenggaraan

jdih.kpu.go.id/sulut
4

pemilu, pemutahiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih,


pendaftaran dan verifikasi peserta pemilu, penetapan peserta pemilu,
penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan, pencalonan
presiden dan wakil presiden serta anggota DPR, DPD, DPRD provinsi,
dan DPRD kabupaten/kota, masa kampanye pemilu, masa tenang,
pemungutan dan penghitungan suara, penetapan hasil pemilu, dan
pengucapan sumpah/janji presiden dan wakil presiden serta anggota
DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
Sedangkan tahapan penyelenggaraan pemilihan diatur dalam Pasal
5 ayat (3) UU 8/2015 meliputi: pengumuman pendaftaran pasangan calon,
pendaftaran pasangan calon, penelitian persyaratan calon, penetapan
pasangan calon, pelaksanaan kampanye, pelaksanaan pemungutan
suara, penghitungan suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara,
penetapan calon terpilih, penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil
pemilihan, dan pengusulan pengesahan pengangkatan calon terpilih.
Pelaksanaan setiap tahapan diatur melalui Peraturan KPU
sebagaimana dalam Pasal 75 ayat (1) dan (2) UU 7/2017 yang
menyatakan bahwa untuk menyelenggarakan pemilu sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini, KPU membentuk Peraturan KPU dan
Keputusan KPU. Peraturan KPU merupakan pelaksanaan peraturan
perundang-undangan. Diatur juga dalam ketentuan Pasal 5 ayat (4)
bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai rincian tahapan persiapan dan
penyelenggaraan pemilihan diatur dengan Peraturan KPU.
Untuk penyelenggaran Pemilu 2024, KPU telah menerbitkan
Peraturan KPU Nomor 4 Tahun 2022 tentang Tahapan dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2024. Peraturan KPU tersebut mengatur
tahapan dan jadwal secara umum. Untuk setiap tahapan penyelenggaraan
akan memiliki Peraturan KPU tersendiri yang akan mengatur lebih detail
teknis pelaksanaan serta jadwal penyelenggaraan tahapan pemilu. Semua
Peraturan KPU merupakan bagian dari kerangka hukum pemilu, di mana

jdih.kpu.go.id/sulut
5

kerangka hukum pemilu itu pulalah yang akan menjadi dasar penerapan
teknologi informasi pemilu.

Prinsip Penggunaan Teknologi Informasi Pemilu


Teknologi informasi bisa dimanfaatkan diberbagai proses pemilu
dan pemilihan termasuk untuk kebutuhan KPU sebagai lembaga yang
melaksanakan proes elektoral. Juga bisa dimanfaatkan oleh peserta
pemilu atau masyarakat umumnya.
Administration and Cost of Election (ACE) Project menyarankan
setiap penyelenggara Pemilu untuk memperhatikan 12 prinsip
penggunaan teknologi dalam pemilu, yaitu:
1. Penilaian yang holistik terhadap kemajuan teknologi. Sebagai
sebuah instrumen atau alat bantu, penggunaan teknologi
memerlukan kajian dan pertimbangan pilihan teknologi apa yang
akan digunakan, untuk kebutuhan apa, dan pada tahapan pemilu
apa. Selain itu penting juga meninjau kerangka hukum yang berlaku;
2. Mempertimbangkan dampak dari penerapan teknologi. Saat
teknologi akan diterapkan atau sebuah sistem baru akan
diimplementasikan untuk mengganti sistem lain, evaluasi terhadap
sistim sebelumnya sangatlah dibutuhkan dalam rangka mengukur
dampak dan nilai perubahan, termasuk apakah tujuan dari
penggunaan teknologi akan tercapai atau tidak;
3. Menjaga transparasi dan etika. Pertanyaan kunci yang harus dijawab
sebelum menerapkan teknologi informasi dalam pemilu ialah sejauh
mana sistem yang dibangun mampu menghasilkan keterbukaan dan
mudah diakses oleh publik. Hal ini penting guna membangun
kepercayaan publik terhadap sistim informasi tersebut;
4. Memperhatikan dan memastikan keamanan Teknologi. Tingkat
keamanan harus menjadi proriotas utama dari teknologi pemilu yang
digunakan, sistem keamanan wajib diuji dan ditunjukan kepada
publik agar sistem tersebut dapat dipercaya;

jdih.kpu.go.id/sulut
6

5. Mengukur akurasi yang dihasilkan. Pengukuran teknologi harus diuji


seberapa jauh tingkat akurasinya dalam rangka meminimalisir
manipulasi;
6. Memastikan kerahasiaan. Asas pemilu rahasia pada tahapan
pemungutan suara haruslah tercapai ketika pilihan terhadap
teknologi tertentu diterapkan. Data-data pribadi pemilih termasuk
hasil pilihan pemilih di bilik suara harus terjaga dengan baik dan
dapat dipastikan tidak dapat dilihat oleh pihak manapun;
7. Memastikan inklusifitas. Penggunaan teknologi haruslah aksesibel
dan mudah digunakan oleh siapapun. Untuk itu konsultasi dengan
semua pemangku kepentingan seperti pemilih sangat penting dalam
rangka memastikan tidak ada yang dirugikan dan kesulitan dalam
penggunaan teknologi pemilu;
8. Mempertimbangkan efektivitas biaya. Sebelum memutuskan
penggunaan teknologi salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan
ialah besaran biaya yang aaka dikeluarkan. Pertimbangan daya
jangkau penggunaan dan masa waktu pemanfaatn dapat dijadikan
indikator apakah besaran biaya yang dikeluarkan sepandan dengan
penggunaan teknologi tersebut;
9. Salah satu tujuan utama dari penggunaan teknologi ialah untuk
menciptakan efisiensi. Pertanyaan ini harus terjawab secara baik
ketika menjatuhkan pilihan pada teknologi tertentu. Untuk itu,
menjadi penting untuk memastikan apakah sistem teknologi yang
digunakan lebih efisien dibandingkan dengan sistem sebelumnya;
10. Evaluasi berkelanjutan teknologi. Apakah teknologi tersebut memiliki
masa waktu penggunaan yang lama? Atau justru sekali pakai? Dua
pertanyaan ini penting untuk diajukan karena menyangkut prinsip
efisiensi dan juga besaran biaya yang dikeluarkan. Jika sebuah
teknologi dapat digunakan secara berkelanjutan dari satu pemilu ke
pemilu berikutnya, maka teknologi tersebut dapat dikatakn efisien
dan efektif untuk diterapkan dalam jangka panjang;

jdih.kpu.go.id/sulut
7

11. Fleksibilitas teknologi dengan regulasi pemilu. Pemilihan teknologi


yang akan diterapkan harus dapat menyesuaikan/fleksibel dengan
konteks regulasi pemilu yang diterapkan di suatu negara di tengah
situasi regulasi pemilu yang sering kali dinamis atau dapat berubah-
ubah dari pemilu ke pemilu;
12. Mudah digunakan dan dipercaya masyarakat. Cara kerja teknologi
haruslah mudah dipahami dan mudah digunakan oleh pemilih.
Kemudahan ini akan mendorong kepercayaan pemilu terhadap
sistem teknologi yang dibangun oleh penyelenggara pemilu.
Sehingga harapannya tidak ada resistensi atau penolakan terhadap
sistem yang digunakan.
Kemajuan teknologi informasi dan komunikasi yang sangat pesat
memberi peluang pengelolaan data dan informasi yang cepat dan akurat
sehingga perlu dimanfaatkan oleh KPU dalam menjalankan tugas dan
fungsinya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat atau
pemangku kepentingan lainnya.
Penerapan teknologi informasi pemilu pada masa reformasi
menggunakan teknologi dalam menunjang aktivitas penyelenggara
pemilu. Kita masih ingat ketika hasil Pemilu 1999 mulai didigitalisasi
dengan cara dientri ke komputer pada tingkat KPU Kabupaten/Kota. Pada
Pemilu 2004, penggunaan teknologi tidak hanya untuk menyimpan data
hasil pemilu, tetapi juga dimasudkan untuk efektivitas proses rekapitulasi.
Sehingga harapannya masyarakat terutama peserta pemilu dapat
mengetahui hasil pemilu dengan cepat. Formulir C1 IT disediakan di
tingkat kecamatan untuk dientri oleh operator untuk dikirim ke data center
KPU, data ini kemudian ditabulasi di Pusat Tabulasi Nasional Pemilu dan
ditampilkan di website sehingga masyarakat dapat melihat secara
langsung real count hasil pemilu.
Dalam perjalanannya pengembangan teknologi informasi tidak
hanya sebatas pada tahapan pemungutan dan penghitungan suara,
namun lebih jauh pada penggunaan teknologi sejak Pemilu 2014 masif

jdih.kpu.go.id/sulut
8

digunakan di setiap tahapan yang salah satu tujuan utamanya ialah untuk
efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemilu, memberikan
transparansi proses pemilu, memberikan pendidikan politik, dan
membangun kepercayaan publik.
Beberapa teknologi informasi yang digunakan dalam pemilu dan
pemilihan pada tahapan penyelenggaraan terakhir yakni Pemilu 2019 dan
Pemilihan Tahun 2020, diantaranya: Sistem Informasi Partai Politik (Sipol),
Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih), Sistem Informasi Penghitungan
Suara (Situng), Sistem Informasi Pencalonan (Silon), Sistem Informasi
Rekapilulasi Suara (Sirekap), dan Sistem Informasi Logistik (Silog).

Aspek Hukum Penggunaan Teknologi


Perubahan dalam masyarakat merupakan sesuatu yang tidak
dapat ditolak dalam aspek kehidupan bermasyarakat baik itu dalam
bidang teknologi, politik maupun hukum. Teknologi informasi yang
berkembang pesat berdampak pada perubahan masyarakat yang sangat
signifikan yang membuat hukum harus beradaptasi dengan perubahan
masyarakat itu sendiri. Perkembangan teknologi informasi yang begitu
pesat tidak selalu langsung dapat diakomodir oleh hukum, seringkali
masalah hukum telah terjadi terlebih dahulu baru kemudian dapat
dirumuskan regulasi yang mengatur masalah yang ada. Teknologi
informasi sangat berguna dalam kehidupan masyarakat tetapi juga jika
tidak diakomodir oleh ketentuan-ketentuan hukum maka penyalah
gunaan teknologi informasi dapat menggangu ketertiban dalam
kehidupan bermasyarakat.
Penggunaan teknologi informasi yang lebih mempermudah
kehidupan dalam masyarakan dan bermasyarakat dapat juga dipakai
untuk menjadi alat Penyelenggara Pemilu dan Pemilihan untuk membuat
proses Pemilu dan Pemilihan lebih efisien dan transparan sehingga
meningkatkan kepercayaan Publik pada Penyelenggara Pemilu dan
Pemilihan. Oleh karena itu sebagai instrumen demokrasi, Pemilu dan

jdih.kpu.go.id/sulut
9

Pemilihan dalam penyelenggaraannya diperlukan alat bantu teknologi


informasi yang menjadi sarana penunjang kerja-kerja penyelenggara.
Sebagai alat bantu untuk menunjang kerja-kerja penyelenggara maka
teknologi informasi yang digunakan oleh penyelanggara sudah
seharusnya diperlukan instrumen hukum yang menjadi dasar legitimasi
penggunaan teknologi informasi dalam penyelenggaraan tahapan Pemilu
dan Pemilihan.
Roscoue Pound, menyatakan bahwa hukum adalah alat untuk
memperbaharui atau merekayasa masyarakat (law a tool of social
enginering ). Dalam makna di atas, Pound menjelaskan bahwa
perancang peraturan haruslah menempatkan hukum sebagai instrumen
untuk mendorong perubahan sosial ke arah yang lebih baik. Hukum
harus dipandang sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Untuk
dapat memenuhi peranan hukum sebagaimana pandangan Pound di
atas, maka dibuat penggolongan atas kepentingan-kepentingan yang
harus dilindungi oleh hukum, yakni : pertama, kepentingan umum atau
(public interest) dimana ada kepentingan negara sebagai badan hukum
dan kepentingan negara sebagai penjaga kepentingan masyarakat.
Penggolongan Kedua. adalah kepentingan masyarakat atau
(social interest) yaitu kepentingan akan kedamaian dan
ketertiban.perlindungan lembaga lembaga sosial dan pencegahan
kemorosotan moral serta pencegahan pelanggaran hak. Penggolongan
ketiga, adalah kepentingan pribadi yakni kepentingan individu, keluarga
dan hak milik. Perkembangan teknologi informasi telah mengubah
sistem kehidupan politik dan demokrasi suatu negara. Perkembangan
tersebut juga turut merubah kebijakan hukum suatu negara hukum
demokrasi. Sesuai ajaran Roscoe Pound tentang hukum yang berfungsi
sebagai rekayasa sosial masyarakat atau sebagai alat pengontrol
masyakarat, maka hukum harus selalu menjamin keamanan setiap
perkembangan masyarakat termasuk teknologi informasi.

jdih.kpu.go.id/sulut
10

Penerapan sistem informasi digitalisasi pemilu pada pemilu 2014


dan pemilu 2019 seperti Sipol dan Situng serta Sidalih telah berdampak
pada masalah hukum. Partai politik dan masyarakat memprotes bahkan
mempermasalahkan dalam sengketa administrasi dan sengketa proses
pada Badan Pengawas Pemilu. Pada Pemilu 2014 dan Pemilu 2019
sejumlah parpol yang tidak lolos verifikasi administrasi menolak
keberadaan Sipol yang dijadikan syarat sah dalam verifikasi partai politik.
Tantangan aspek hukum atau regulasi terhadap aplikasi sistem
digitaliasi pemilu perlu dikaji lebih mendalam. Suatu kebijakan perlu
diatur melalui regulasi sehingga memiliki legitimasi yang kuat dalam
pelaksanaannya.
Dalam mendesain perencanaan teknologi informasi pemilu,
penyelenggara pemilu perlu mempersiapkan dengan baik terhadap
penggunaan teknologi informasi serta kebijakan teknologi informasi yang
digunakan dalam setiap tahapan pemilu sehingga pengguna teknologi
dapat memahaminya dengan baik. Akselarasi teknologi informasi
sebagai transformasi digitalisasi pemilu perlu jaminan yuridis yang kuat
dari aspek hukum agar pemilu dapat terpercaya dan memiliki kepastian
hukum.
Di samping itu, penyelenggara pemilu perlu memastikan atas
jaminan keamanan terhadap penggunaan teknologi informasi yang
diterapkan dalam pemilu. Penerapan teknologi informasi pemilu oleh
KPU sebaiknya memperhatikan prinsip prisip dasar antara lain: menjaga
transparansi dan etika, memastikan keamanan (security) yang akan
diterapkan, memastikan akurasi data yang dihasilkan oleh teknologi,
efektifitas dan efisiesi biaya, keberlanjutan teknologi, fleksibilitas dan
muda digunakan serta dipercaya masyarakat.
Penerapan dan adopsi teknologi informasi sangat tepat
dilaksanakan untuk negara kepulauan seperti di Indonesia karena hal ini
akan sangat menghemat waktu dan biaya tidak terlepas dari pentingnya
kerahasiaan dan keamanan. Jika kerahasiaan dan keamanan terpenuhi,

jdih.kpu.go.id/sulut
11

maka penerapan teknologi informasi sangatlah tepat untuk digunakan.


Penerapan teknologi informasi, terkait dengan hasil yang lebih tepat dan
akurat serta minimalisasi terjadinya kasus human error selama sistem
yang dibangun terjamin dari berbagai ancaman kejahatan.
Untuk memperkuat kerangka hukum sebagai dasar penerapan
teknologi informasi pemilu, maka selain pengaturan dalam UU Pemilu
dan UU Pemilihan/Pilkada, serta Peraturan KPU yang mengatur teknis
pelaksanaan setiap tahapan, maka salah satu instrumen hukum yang
menjadi dasar penerapan teknologi informasi oleh KPU adalah dengan
diundangkannya Peraturan KPU Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik Komisi
Pemilihan Umum. Peraturan KPU ini diterbitkan sebagai pelaksanaan
dari Pasal 60 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 95 Tahun 2018 tentang
Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik.
Dalam PKPU 5/2021 tersebut diatur mengenai: tata kelola SPBE,
manajemen SPBE, audit teknologi informasi dan komunikasi,
penyelenggara SPBE, dan pemantauan serta evaluasi SPBE. Dijelaskan
bahwa Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE) adalah
penyelenggaraan pemerintahan yang memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk memberikan layanan kepada Pengguna SPBE.
Sedangkan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) adalah suatu
teknik berbasis elektronik yang digunakan oleh KPU untuk pengumpulan,
pengolahan dan pengamanan, penyebarluasan, dan penggunaan data
dan informasi.
Untuk melaksanakan ketentuan dalam PKPU 5/2021 tersebut KPU
RI telah menetapkan beberapa keputusan yaitu: 1) Keputusan KPU RI
Nomor 13/TIK.03/14/2022 tentang Peta Rencana Sistem Pemerintahan
Berbasis Elektronik Komisi Pemilihan Umum Tahun 2021-2025; 2)
Keputusan KPU RI Nomor 12/TIK.03/14/2022 tentang Arsitektur Sistem
Pemerintahan Berbasis Elektronik Komisi Pemilihan Umum Tahun 2021-
2025.

jdih.kpu.go.id/sulut
12

Selain keputusan tentang peta rencana dan arsitektur SPBE,


beberapa aplikasi teknologi informasi telah ditetapkan sebagai aplikasi
khusus KPU dengan Keputusan KPU RI. Aplikasi-aplikasi tersebut
diantaranya: Sistem Informasi Data Pemilih Berkelanjutan (Sidalihjut) dan
portal Lindungihakmu yang ditetapkan dengan Keputusan KPU Nomor
81 Tahun 2022 tentang Penetapan Aplikasi Sistem Informasi Data
Pemilih Berkelanjutan dan Portal Lindungihakmu Sebagai Aplikasi
Khusus Komisi Pemilihan Umum. Kemudian aplikasi Sistem Informasi
Partai Politik (Sipol) yang ditetapkan sebagai aplikasi khusus KPU
dengan Keputusan KPU Nomor 195 Tahun 2022.
Peraturan KPU dan Keputusan KPU terkait SPBE di atas, menjadi
landasan hukum penerapan teknologi informasi oleh KPU. Dengan
demikian, dari aspek kerangka hukum, penerapan teknologi informasi
KPU semakin mendapat jaminan hukum dalam implementasinya.

Penutup
Penyelenggaraan pemilu dan pemilihan/pilkada harus
menyesuaikan dengan perkembangan teknologi informasi. Penyesuaian
tersebut diantaranya dimaksudkan agar supaya teknis penyelenggaraan
pemilu/pemilihan dapat semakin efektif dan efisien. Namun demikian dari
aspek hukum, penggunaan teknologi informasi harus dilindungi atau
memiliki dasar hukum dalam pemanfaatannya. Tanpa memerhatikan
aspek hukum, maka penerapan teknologi informasi berpotensi
menimbulkan masalah hukum yang dapat mengganggu jalannya sebuah
tahapan pemilu.
Selain UU Pemilu dan UU Pemilihan/Pilkada serta Peraturan KPU
yang mengatur teknis penyelenggaraan tahapan pemilu/pemilihan, kini
KPU memiliki dasar hukum lainnya yang dapat menjadi dasar penerapan
teknologi informasi yaitu PKPU Nomor 5 Tahun 2021 tentang
Penyelenggaraan SPBE di lingkungan KPU. Produk hukum lainnya
seperti Keputusan KPU sebagai pelaksanaan PKPU tersebut juga telah

jdih.kpu.go.id/sulut
13

semakin menguatkan penerapan aplikasi teknologi informasi yang


digunakan KPU.
Dengan perkembangan kerangka hukum tersebut di atas maka
penerapan teknologi informasi pemilu oleh KPU telah memperkuat
pengamanan dari aspek hukum. Karena memang seharusnya demikian,
bahwa pemilu yang demokratis dalam sebuah negara hukum, haruslah
mendasarkan diri pada kerangka hukum pemilu (electoral legal
framework).

Artikel ini merupakan bagian dari Program Menulis dan Berbagi Artikel Hukum
Kepemiluan Populer yang digagas JDIH KPU Sulut sebagai upaya untuk: melakukan
telaah dan evaluasi kerangka hukum Pemilu, mendokumentasikan hasil telaah dan
evaluasi serta opini hukum, membagikan konten dokumen hukum kepada pengguna
JDIH, menambah koleksi dokumen hukum (artikel dan buku hukum) JDIH KPU Sulut,
serta untuk menstimulus minat literasi hukum di kalangan penyelenggara pemilu
(komisioner dan sekretariat).

Artikel yang merupakan opini penulis, diterbitkan di fitur monografi pada laman JDIH
KPU Sulut dan dipromosikan di akun medsos. Isi artikel sepenuhnya adalah tanggung
jawab penulis.

Pengguna JDIH diberikan ijin mengutip dan/atau memuat kembali artikel ini di media
massa cetak/daring dengan mencantumkan nama penulis dan penerbit JDIH KPU Sulut

jdih.kpu.go.id/sulut

Anda mungkin juga menyukai