Anda di halaman 1dari 7

Efektifitas Peran Panwaslu dalam Pilkada

Provinsi di Kabupaten Pohuwato


1.    Pendahuluan
Salah satu variabel ukuran negara demokrasi adalah pemilihan umum. Pemilihan umum
merupakan salah satu bagian dari tata cara untuk melakukan pergantian kekuasaan.
Studi demokrasi dimanapun, akan selalu melibatkan berbagai variabel lain selain pemilihan
umum (Pemilu), seperti keterbukaan, penegakan supremasi hukum (law enforcement),
pergantian kekuasaan, penegakan HAM, pertanggungjawaban pemerintah dan pers yang
bebas. Dalam konteks inilah ukuran suatu negara demokrasi akan sangat ditentukan oleh
variabel-varibel tersebut. Keterkaitan-keterkaitan ini merupakan instrumen penting untuk
melihat sejauh mana nalar negara demokrasi itu berdiri, karena dengan nalar itulah, kita akan
menemukan titik relasi yang menyambungkan hubungan negara demokrasi dengan berbagai
variabel tersebut.
Apabila secara keseluruhan dari variabel itu dikaji satu persatu, akan memakan waktu yang
cukup panjang dengan kajian yang sarat nilai intelektual. Karena itu, penulis hendak
mempersempit kajian pada salah satu variabel demokrasi, yakni pergantian kekuasaan yang
sering disebut sebagai suksesi politik.
Dalam kehidupan bernegara saat ini, mengenai siapa pemegang kekuasaan dan wewenang
tertinggi dalam suatu Negara menjadi suatu hal pokok yang harus diketahui. Negara yang
menganut sistem demokrasi menyatakan bahwa rakyatlah pemegang kekuasaan dan
wewenang tertinggi dalam Negara tersebut. Saat ini hampir disetiap konstitusi berbagai
Negara yang dianggap demokratis selalu mencantumkan kata kedaulatan rakyat didalamnya.
Ini menandakan bahwa kedaulatan rakyat merupakan suatu keniscayaan dalam sistem
bernegara di Negara-negara dunia saat ini, termasuk Negara Indonesia.
Negara Indonesia dalam konstitusinya yakni Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) secara
gamblang menyebutkan bahwa demokrasi merupakan acuan dalam mengembangkan bentuk
pemerintahan Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam pembukaan UUD 1945 :
“……..maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam susunan Negara
republik  Indonesia yang berkedaulatan rakyat………..”
Di kebayakan negara demokrasi, pemilihan umum dianggap lambang, sekaligus tolok ukur,
dari demokrasi itu. Hasil pemilihan umum yang diselenggarakan dalam suasana keterbukaan
dengan kebebasan berpendapat dan berserikat, dianggap mencerminkan dengan agak akurat
partisipasi serta aspirasi masyarakat (Miriam Budiardjo, 2008)
Manifestasi dari kedaulatan rakyat dapat dilihat dari partisipasi rakyat dalam pemilihan
umum dan keterlibatan dalam partai politik. Adanya partai politik, maka dengan sendirinya
pasti ada pemilihan umum baik pemilihan umum legislatif, pemilihan umum presiden dan
wakil presiden, maupun pemilihan umum kepala daerah/pilkada. Pilkada sebagai salah satu
bentuk pelaksanaan demokrasi di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU No.32/2004) yang kemudian untuk pilkadanya
direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 12 tahun 2008. Sedangkan tentang penyelenggara
pemilu diatur dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 2007 (UU No.22/2007). Keberhasilan
penyelenggaraan pilkada lansung di Indonesia, sangat tergantung pada kinerja penyelengara
pemilu dalam hal ini Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) selaku pelaksana dan Panitia
Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu) sebagai lembaga pengawasan yang mengawasi
jalannya tahapan pelaksanaan Pilkada.
Sebagaimana yang dikatakan Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin (2009) dalam Evaluasi
Kritis Penyelenggaraan Pilkada di Indonesia, bahwa Pilkada yang demokratis mengharuskan
adanya lembaga pengawasan yang independen dan otonom. Lembaga ini dibentuk untuk
memperkuat pilar demokrasi, meminimalkan terjadinya kecurangan dalam pilkada sebagai
inti tesis dari pembentukan pemerintahan yang berkarakter. Ciri- ciri utama dari pengawasan
pilkada yang independen adalah (1) dibentuk berdasarkan perintah konstitusi atau undang-
undang, (2) tidak mudah diintervensi oleh kepentingan politik tertentu, (3) bertanggung
jawab kepada parlemen, (4) menjalankan tugas sesuai dengan tahapan Pilkada, (5) memiliki
integritas dan moralitas yang baik dan, (6) memahami tata cara penyelenggaraan Pilkada.
Dengan begitu Panwaslu Pilkada, tidak hanya bertanggungjawab terhadap pembentukan
pemerintahan yang demokratis, tetapi juga ikut andil dalam membuat rakyat memilih
kandidat kepala daerah yang merekah anggap mampu.
Pengaturan yang berkaitan dengan Pilkada langsung di Indonesia, terdapat dua regulasi yang
secara khusus membahas tentang eksistensi pengawas dalam penyelenggaraan Pilkada
diantaranya UU No. 32/ 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan UU No. 22/ 2007 tentang
Penyelenggara Pemilu. Tugas dan Kewenangan Panwaslu dalam UU No. 32/ 2004 diatur
dalam Pasal 66 ayat (4) huruf (a) sampai (e), merupakan acuan Panwaslu dalam mengawasi
pelaksanaan pilkada yang diselenggarakan sebelum tahun 2007. Sedangkan pilkada yang
diselenggarakan setelah tahun 2007 menggunakan UU No. 22/ 2007 tentang Penyelenggara
Pemilu. Di mana tugas  Panwaslu dalam mengawasi penyelenggaraan pilkada diatur dalam
Pasal 78 UU No. 22/ 2007, antara lain:
a.    Mengawasi tahapan penyelenggaraan pemilu di wilayah kabupaten/ kota.
b.    Menerima laporan dugaan pelanggaran terhadap pelaksanaan peraturan perundang-
undangan mengenai pemilu.
c.    Menyelesaikan temuan dan laporan sengketa penyelenggaraan Pemilu yang tidak
mengandung unsur  tindak pidana.
d.    Penyampaian temuan dan laporan kepada KPU Kabupaten/ Kota untuk ditindak lanjuti.
e.    Meneruskan temuan dan laporan yang bukan menjadi kewenangannya kepada instansi
yang berwenang.
f.    Menyampaikan laporan kepada Bawaslu sebagai dasar untuk mengeluarkan rekomendasi
Bawaslu yang berkaitan dengan adanya dugaan tindakan yang mengakibatkan terganggunya
tahapan penyelenggaraan Pemilu oleh penyelenggara Pemilu di tingkat kabupaten/ kota.
g.    Mengawasi pelaksanaan tindak lanjut rekomendasi Bawaslu tentang pengenaan sanksi
kepada anggota KPU Kabupaten/ Kota, sekretaris dan pegawai secretariat KPU Kabupaten/
kota yang terbukti melakukan tindakan yang mengakibatkan terganggunya tahapan
penyelenggaraan Pemilu yang sedang berlangsung.
h.    Mengawasi pelaksanaan sosialisasi penyelenggaraan Pemilu
i.    Melaksanakan tugas dan wewenang lain yang diberikan oleh undang-undang.
Menurut Topo Santoso (2007), Sejauh ini masih banyak yang meyakini, Pemilu bisa berjalan
demokratis jika ada pengawasan yang dilakukan secara terbuka jujur dan adil. Untuk
menciptakan pemilu yang bersih diperlukan pengawasan yang efektif. Efektivitas
pengawasan pemilu ditentukan oleh para pengawas dalam memahami dan mengerti
bagaimana proses pengawasan itu dijalankan dengan baik. Pada sesi ini dibicarakan tentang
hubungan pemilu dan pengawasan pemilu dalam menciptakan pemilu yang bersih.
Dengan demikian, Panwaslu merupakan pilar inti dalam penyelenggaraan Pilkada, karena
Pilkada yang jujur, adil, dan demokratis , sangat tergantung pada sejauhmana Panwaslu
bekerja dengan baik dan menjamin Pilkada berlangsung secara demokratis.
2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan pendahuluan di atas, maka penulis tertarik untuk membahas hal-hal sebagai
berikut:
1.    Faktor-faktor penghambat kinerja Panwaslu dalam Pilkada Provinsi Gorontalo di
Kabupaten Pohuwato?
2.    Upaya-upaya Panwaslu Kabupaten Pohuwato dalam mengefektifkan peran pengawasan
dalam Pilkada Provinsi Gorontalo?
3.    Pembahasan

1.    Faktor-Faktor Penghambat Kinerja Panwaslu


Panwaslu dalam menjalankan peran pengawasan dalam pelaksanaan Pilkada tentunya tidak
terlepas dari regulasi yang ada. Peran pengawasan Panwaslu sesuai dengan tahapan-tahapan
dalam Pilkada  meliputi: (1) Pengawasan pemutakhiran data; (2) Pengawasan tata cara
pencalonan kepala daerah; (3) pengawasan proses penetapan calon pasangan kepala daerah
oleh KPUD; (4) pengawasan penetapan calon pasangan kepala daerah; (5) pengawasan
kampanye; (6) pengawasan perlengkapan pemilu dan pendistribusiannya; (7) pelaksanaan
penghitungan dan pemungutan suara dan penghitungan suara hasil Pemilu; (8) pengawasan
seluruh proses penghitungan suara di wilayah kerjanya; (9) pengawasan proses rekapitulasi
suara dari seluruh kabupaten/kota yang dilakukan oleh KPU Provinsi; (10) pengawasan
pelaksanaan penghitungan dan pemungutan suara ulang, Pemilu lanjutan dan Pemilu susulan;
(11) pengawasan proses penetapan hasil Pilkada Kepala Daerah dan Wakil Daerah Provinsi
(Gregorius Sahdan dan Muhtar Haboddin, 2009).
Dari seluruh tahapan pengawasan di atas dalam hal ini dikaitkan dengan tahapan Pilkada
Provinsi Gorontalo di Kabupaten Pohuwato, terdapat hambatan-hambatan yang dihadapi oleh
Panwaslu Kabupaten maupun Panwaslu Kecamatan dalam menjalankan perannya, yaitu
faktor Sumber Daya Manusia, faktor rekrutmen/ pembentukan Panwaslu dan faktor anggaran.

a.    Faktor Sumber Daya Manusia


Faktor penghambat kinerja Panwaslu yang berhubungan dengan masalah Sumber Daya
Manusia adalah yang pertama,  keanggotaan Panwaslu sebagai di atur dalam UU No.22/ 2007
tentang Penyelenggara Pemilu Pasal 73 ayat (2), bahwa jumlah anggota Panwaslu sebanyak 3
(tiga) orang baik Panwaslu Kabupaten maupun Panwaslu Kecamatan. Sedangkan dalam hal
ini kabupaten Pohuwato yang akan diawasi seluas 4244.31 km² yang terdiri dari 13
kecamatan.
Perbandingan yang sangat signifikan antara pihak Panwaslu dalam hal ini yang melakukan
fungsi atau peran pengawasan  dengan jumlah Daftar Pemilih Tetap (DPT) 90.533 yang
tersebar dari  228 TPS untuk 13 Kecamatan yang akan menjadi objek yang diawasi, dapat
dipastikan bahwa peran pengawasan tidak efektif.
Kedua, Pendidikan anggota Panwaslu dalam hal ini Panwaslu Kecamatan kurang memadai
dalam hal menjalankan tugas dan kewenangannya. Masalah pendidikan atau kapasitas dapat
dilihat dengan banyaknya anggota Panwaslu Kecamatan tidak memahami tugas dan
wewenangnya, dan bahkan di antara anggota Panwaslu Kecamatan tidak berkompeten dalam
melakukan pengawasan Pilkada. Di samping itu, kebanyakan anggota Panwaslu Kecamatan
kurang memahami regulasi yang ada yang berhubungan dengan pengawasan Pilkada.
Redahnya pemahaman para anggota Panwaslu Kecamatan disebabkan karena dalam hal
persyaratan untuk menjadi anggota Panwaslu sebagaimana di atur dalam  Undang-Undang
Nomor 22  Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu Pasal 86 hanya mensyaratkan
berpendidikan paling rendah SLTA atau sederajat. Beberapa anggota Panwaslu kecamatan
yang menggunakan Paket C sebagai persyaratan pendidikan dalam pendaftaran panwaslu
kecamatan dapat dilihat tabel di bawah ini:
Ketiga, Usia anggota Panwaslu. Setiap anggota Panwaslu sebagaimana diamanahkan oleh
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu di atur dalam Pasal
86, bahwa syarat untuk mencadi calon anggota Bawaslu, Panwaslu Provinsi, Panwaslu
Kabupaten/kota, dan Panwaslu Kecamatan, serta Pengawas Pemilu Lapangan adalah berusia
paling rendah 35 (tiga puluh lima tahun).
Tingginya persyaratan usia sebagaimana disyaratkan dalam Pasal 86, bila dikaitkan dengan
keanggotaan Panwaslu dan peran yang akan diemban begitu berat  tidaklah sebanding. Hal
tersebut dikarenakan faktor usia sangatlah berpengaruh terhadap kinerjanya dilapangan.
Apalagi sebagai seorang anggota Panwaslu yang harus melakukan peran pengawasan setiap
waktu.

b.    Faktor Rekrutmen dan Pembentukan Panwaslu


Panwaslu sebagaimana diamanahkan dalam UU No.22 tahun 2007, haruslah terbentuk 1
(satu) bulan sebelum memasuki tahapan Pemilukada. Hal tersebut dikarenakan sifat dari
Panwaslu baik Provinsi maupun Kabupaten adalah Ad hoc (sementara).
Permasalah kemudian timbul karena sifat Ad hoc nya Panwaslu, pembentuk undang-undang
tidak memikirkan bahwa Panwaslu kabupaten memiliki perangkat dibawahnya yaitu
Panwaslu ditingkat kecamtan. Panwaslu ditingkat kecamatan (Panwaslu kecamatan)
mengalami kesulitan karena dalam hal pembentukan tentunya memiliki tahapan dalam hal ini
adalah perekrutan anggota panwalu kecamatan yang terlambat dan sudah memasuki tahapan
Pemilukada. Sehingga peran pengawasan tidaklah optimal karena Panwaslu sendiri belum
terbentuk sampai ketingkat bawah.

c.    Faktor Anggaran


Sebagai lembaga penyelenggara pemilu selain dari pada Komisi Pemilihan Umum (KPU),
Panwaslu juga dalam hal menjalankan tugas dan kewenangannya tentunya membutuhkan
suatu anggaran. Berbeda dengan Pemilihan Umum legislatif, dan Pemilihan Umum Presiden
dan Wakil Presiden anggaran seluruhnya bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) sedangkan untuk anggaran Pemilihan Umum Kepala Daerah baik Provinsi
maupun Kabupaten/Kota bersumber dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD).
Perbedaan sumber anggaran tersebut disebabkan karena Pilkada tidak diatur dalam undang-
undang tersendiri seperti Pemilu Legislatif maupun Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
untuk aturan main dalam Pilkada/Pemilukada diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga mengenai penganggarannya disesuaikan
dengan pendapatan daerah setempat yang tentunya sangatlah berpengaruh juga dalam
memperlancar kinerja Panwaslu.
Anggaran Panwaslu dalam Pilkada Provinsi Gorontalo dianggap sangatlah kurang hal
tersebut didapat lihat dari pemberian gaji bagi Panwaslu kabupaten maupun kecamatan yang
sempat tertunta selama beberapa bulan, padahal tahapan pemilukada sudah mulai
berlangsung.

2.    Upaya-upaya Panwaslu Kabupaten Pohuwato


Adapun langkah-langkah yang diambil oleh anggota Panwaslu Kabupetan dalam hal
mengatasi hambatan di atas, yaitu:

a.    Melaksanakan Bimbingan Teknis (BIMTEK)


Anggota Panwaslu Kabupaten guna memberikan pemahaman lebih mendalam tentang tugas
dan kewenangan panwaslu kecamatan dan Pengawas Pemilu Lapangan. Maka anggota
Panwaslu Kabupaten melakukan Bimbingan teknis untuk anggota Panwaslu Kecamatan dan
Pengawas Pemilu Lapangan se- Kabupaten Pohuwato yang berhubungan dengan peran
pengawasan dan tata cara penerimaan laporan atau pengaduan dari masyarakat.

b.    Pembentukan sentra Gakumdu


Panwaslu Provinsi Gorontalo sebagai salah satu pihak penyelenggara Pemilukada Provinsi
Gorontalo, kemudian melakukan Memoradum of Understanding (MoU) dengan instansi yang
terkait (pihak Kepolisian dan Kejaksaan) dalam hal pembentukan sentra Gakumdu. Sentra
Gakumdu merupakan suatu lembaga yang dibentuk guna menangani atau memeriksa dan
melakukan pengkajian terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terindikasi pelanggaran
tindak pidana pemilukada.

c.    Pengambilan Keputusan Ditingkat Panwaslu Kabupaten


Anggota panwaslu dalam hal menjalankan peran pengawasannya di lapangan  tentunya
kadang mendapatkan indikasi pelanggaran baik yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu
maupun masyarakat. Maka setiap laporan maupun temuan langsung di lapangan yang masuk
ke Panwaslu, tentunya haruslah mengambil sikap dalam hal ini pleno panwaslu untuk
menentukan apakah laporan yang masuk termasuk pelanggaran administrasi ataukah
pelanggaran pidana pemilu.
Panwaslu kabupaten kemudian berinisiatif dengan melihat keterbatasan yang dimiliki oleh
anggota Panwaslu kecamatan yang masih kurang memahami tentang kepemiluan
(pelanggaran-pelanggaran pemilukada) dengan cara mengumpulkan seluruh laporan tentang
terjadinya pelanggaran pemilukada ditingkat kecamatan dan memplenokan secara
keseluruhan ditingkat Panwaslu Kabupaten.

d.    Panitia Pengawas Lapangan Pembantu


Panitia Pengawasan dalam pemilukada memiliki perangkat yaitu Panwaslu Kabupaten,
Panwaslu Kecamatan dan Panitia Pengawas Lapangan. Setiap panwaslu memiliki fungsi dan
ruang lingkup pengawasan yang berbeda-beda. Akan tetapi, tingginya jumlah pemilih juga
sebanding dengan jumlah Tempat Pemungutan Suara (TPS) ditiap-tiap desa. Panitia
Pengawasan Lapangan (PPL) yang ditempatkan ditiap desa tidaklah optimal dalam
menjalankan fungsinya dilapangan karena tiap 1 orang PPL ditempatkan di 1 (satu) desa
tanpa melihat berapa jumlah TPS di desa tersebut. Oleh karena itu Panwaslu kabupaten
kemudian membentuk Panitia Pengawas Lapangan (PPL) Pembantu guna menutupi
kekurangan tersebut. PPL Pembantu hanya bertugas selama 3 (tiga) hari yakni 1 hari sebelum
pemungutan suara sampai 1 hari sesudah pemungutan suara guna melakukan pengawasan di
TPS yang tidak memiliki PPL (lihat tabel 1).

4.    Penutup
Dari apa yang telah dipaparkan di atas dapat disimpulkan bahwa:
1.    Penyelenggara  pemilu oleh Panwaslu tidak bisa berperan secara efektif dalam hal
melakukan pengawasan di setiap tahapan Pemilukada Provinsi Gorontalo di Kabupaten
Pohuwato. Terdapat hambatan-hambatan yang dihadapi oleh Panwaslu Kabupaten maupun
Panwaslu Kecamatan dalam menjalankan perannya, yaitu faktor Sumber Daya Manusia,
faktor rekrutmen/ pembentukan Panwaslu dan faktor anggaran.
2.    Panwaslu Kabupaten Pohuwato dalam hal meminimalisir hambatan-hambatan yang
dimiliki oleh anggota Panwaslu Kecamatan sampai tingkat Panitia Pengawas Lapangan (PPL)
di desa, kemudian melakukan bimbingan teknis tentang bagaimana pelaksanaan fungsi
pengawasan dalam seluruh tahapan Pemilukada Provinisi Gorontalo di Kabupaten Pohuwato 
dan mekanisme penerimaan laporan pelanggaran Pemilukada. Panwaslu kabupaten juga
membentuk PPL Pembantu juga memberikan pengawasan di tiap-tiap desa yang memiliki
jumlah TPS lebih dari satu.
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama.
Putra, Fadillah. 2003. Partai Politik dan Kebijakan Publik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.
Rachim, M. Djufri. 2008. Face Of Local Democracy. Kendari: KOMUNIKA
Sahdan, Gregorius dan Muhtar Haboddin.  2009. Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pilkada di
Indonesia. Yogyakarta.
Santoso, Topo.2006. Tindak Pidana Pemilu. Jakarta: Sinar Grafika.
………………….. 2007. Hukum dan Proses Demokrasi. Jakarta. Kemitraan.

Peraturan Perundang-Undangan :
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Nomor 12 tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Anda mungkin juga menyukai