Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH PENGAWASAN PEMILU

Membicarakan penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) di Indonesia tidak lengkap kalau


tidak membahas Pengawas Pemilu, atau Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwas
Pemilu) atau dalam bahasa sehari-hari biasa cukup disebut Panwas. Menurut undang-undang
pemilu, Panwas Pemilu sebetulnya adalah nama lembaga pengawas pemilu tingkat nasional
atau pusat. Sedang di provinsi disebut Panwas Pemilu Provinsi, di kabupaten/kota disebut
Panwas Pemilu Kabupaten/Kota, dan di kecamatan disebut Panwas Pemilu Kecamatan.
Pengawas Pemilu adalah lembaga adhoc yang dibentuk sebelum tahapan pertama pemilu
(pendaftaran pemilih) dimulai dan dibubarkan setelah calon yang terpilih dalam pemilu
dilantik.Lembaga pengawas pemilu adalah khas Indonesia.
Pengawas Pemilu dibentuk untuk mengawasi pelaksanaan tahapan pemilu,menerima
pengaduan, serta menangani kasus-kasus pelanggaran administrasi dan pelanggaran pidana
pemilu. Proses pelaksanaan Pemilu 1955 sama sekali tidak mengenal lembaga pengawas
pemilu. Lembaga pengawas pemilu baru muncul pada Pemilu 1982, Pembentukan Panwaslak
Pemilu pada Pemilu 1982 dilatari oleh protes-protes atas banyaknya pelanggaran dan
manipulasi penghitungan suara yang dilakukan oleh para petugas pemilu pada Pemilu 1971.
Karena pelanggaran dan kecurangan pemilu yang terjadi pada Pemilu 1977 jauh lebih masif.
Protes-protes ini lantas direspons pemerintah dan DPR yang didominasi Golkar dan ABRI.
Akhirnya muncullah gagasan memperbaiki undang-undang yang bertujuan meningkatkan
kualitas Pemilu 1982.Demi memenuhi tuntutan PPP dan PDI, pemerintah setuju untuk
menempatkan wakil peserta pemilu ke dalam kepanitiaan pemilu. Selain itu, pemerintah juga
mengintroduksi adanya badan baru yang akan terlibat dalam urusan pemilu untuk
mendampingi Lembaga Pemilihan Umum (LPU). Badan baru ini bernama Panitia Pengawas
Pelaksanaan Pemilihan Umum (Panwaslak Pemilu) yang bertugas mengawasi pelaksanaan
pemilu.
Dengan struktur, fungsi, dan mekanisme kerja yang baru, pengawas pemilu tetap diaktifkan
untuk Pemilu 1999. Namanya pun diubah dari Panitia Pengawas Pelaksana Pemilihan Umum
(Panwaslak Pemilu) menjadi Panitia Pengawas Pemilihan Umum (Panwaslu). sPerubahan
terhadap pengawas pemilu baru dilakukan lewat UU No. 12/2003. UU No. 12/2003
menegaskan, untuk melakukan pengawasan Pemilu, dibentuk Panitia Pengawas Pemilu,
Panitia Pengawas Pemilu Provinsi, Panitia Pengawas Pemilu Kabupaten/Kota, dan Panitia
Pengawas Pemilu Kecamatan.

RENCANA STRATEGIS PERATURAN


BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM
REPUBLIK INDONESIA
2010 - 2014

1.1. Kondisi Umum


Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional mengamanatkan Kementerian/Lembaga untuk
menyusun dokumen perencanaan strategis yang mengacu pada Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Dokumen perencanaan strategis Badan Pengawas
Pemilu yang kemudian disebut Rencana Strategis Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) 2010-
2014 disusun mengacu pada RPJMN Tahun 2010-2014 yang merupakan pelaksanaan tahap
kedua dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025.
Rencana Strategis Bawaslu 2010-2014 disusun berdasarkan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum, dan
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2006 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana
Pembangunan Nasional
Rencana Strategis Bawaslu 2010-2014 adalah dokumen perencanaan jangka menengah yang
dihasilkan melalui proses yang melibatkan seluruh Anggota dan Pegawai Sekretariat Badan
Pengawas Pemilu. Proses partisipatif dalam penyusunan dokumen rencana strategis ini
dilakukan atas dasar dua pertimbangan yaitu: Pertama, rencana strategis sebagai dokumen
penting dan menjadi pedoman dalam menggerakkan roda kelembagaan secara langsung
dipahami secara bersama-sama oleh semua yang terlibat dalam pembahasan rencana strategis;
dan Kedua, pembahasan rencana strategis tidak saja menjadi bagian dari proses pembelajaran
bersama bagi seluruh staf, namun juga sebagai entry point membangun konsolidasi lembaga
Bawaslu, khususnya dalam menyepakati common platform kelembagaan dan
mengembangkan interaksi yang produktif.
Penyusunan Rencana Strategis Bawaslu bertujuan untuk merumuskan agenda-agenda jangka
menengah Bawaslu dalam periode Tahun 2010-2014. Program kerja dirumuskan menurut
skala prioritas, jelas dan terukur, sehingga pada gilirannya output dan outcome pelaksanaan
program diharapkan dapat berkontribusi secara nyata dalam mendukung pencapaian
pembangunan nasional secara menyeluruh. Rencana Strategis Bawaslu juga ditujukan sebagai
panduan penyelenggara kegiatan agar tetap dalam koridor visi, misi, tujuan, sasaran, dan
strategi yang akan dicapai oleh Bawaslu.
Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara
Pemilu, Bawaslu adalah lembaga negara yang bertugas untuk mengawasi penyelenggaraan
Pemilu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelembagaan Bawaslu yang
bersifat tetap dibentuk untuk menjamin agar Pemilu benar-benar diselenggarakan berdasarkan
asas-asas Pemilu dan peraturan perundang-undangan. Pengaturan lebih lanjut terkait dengan
kesekretariatan Bawaslu diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 49 Tahun 2008 tentang
Pola Hubungan dan Tata Kerja Sekretariat Badan Pengawas Pemilihan Umum dan sekretariat
Panitia Pengawas Pemilihan Umum, dan Peraturan Bawaslu Nomor 03 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Sekretariat
Panitia Pengawas Pemilihan Umum, sebagaimana diubah melalui. Peraturan Bawaslu Nomor
14 Tahun 2009 tentang Perubahan Peraturan Bawaslu Nomor 03 Tahun 2008 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Sekretariat Badan Pengawas Pemilihan Umum dan Sekretariat
Panitia Pengawas Pemilihan Umum
1.2. Potensi dan Permasalahan
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Badan Pengawas Pemilu menghadapi berbagai
permasalahan dan tantangan yang mencerminkan adanya kelemahan dan sekaligus hambatan
dari luar yang dapat mengganggu bagi kinerja lembaga Bawaslu. Selain itu, Bawaslu juga
mengenali dan memiliki potensi dan peluang yang merupakan kapasitas internal dan kondisi
eksternal yang kondusif bagi kinerja Bawaslu. Hasil analisis dan identifikasi dari hal-hal yang
berkenaan dengan potensi dan peluang serta permasalahan dan tantangan khususnya terkait
dengan penyelenggaraan Pemilu Tahun 2009 menjadi sangat penting bagi Bawaslu dalam
perumusan rencana strategis untuk kurun waktu lima tahun ke depan.

1.2.1. Kekuatan dan Peluang


Kekuatan dan peluang yang dimiliki oleh Bawaslu dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, secara kelembagaan Bawaslu sudah bersifat tetap, sebagaimana diatur dalam Bab IV
Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
Kedua, sifat tetap adalah sangat penting bagi Bawaslu untuk melakukan penataan
kelembagaan, program, dan melakukan pemberdayaan Panwaslu di setiap tingkatan termasuk
pengawas Pemilu di luar negeri.
Ketiga, Bawaslu sudah memiliki struktur organisasi, standard operating procedure (SOP) dan
job description serta aturan internal yang menjangkau hingga pengawas lapangan yang ada di
desa/kelurahan.
Keempat, Bawaslu memiliki sejumlah sumber daya manusia baik yang memiliki kemampuan
dalam mendukung program kerja pengawasan maupun sumber daya manusia yang
mendukung kerja-kerja internal organisasi.
Kelima, pengalaman dalam melakukan pengawasan Pemilu Tahun 2009, yaitu: Pemilu
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, juga telah
mendorong self improvement and learning pada segenap individu yang bekerja dan
mendukung kerja pengawasan Pemilu dalam menanggapi dan menyelesaiakan problem-
problem krusial yang bisa mengganggu pelaksanaan Pemilu yang langsung, umum, bebas,
rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil).
Keenam, tugas dan wewenang yang dimiliki oleh Bawaslu dan Panwaslu sebagaimana diatur
dalam Pasal 74 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.

Ketujuh, hukum dan kebijakan tentang Pemilu berkembang lebih akomodatif, dimana secara
empirik dapat dicermati dari tingkat keberagaman peserta Pemilu secara etnis, agama, dan
jenis kelamin serta meningkatnya kiprah generasi muda dalam pemilihan Kepala Daerah,
DPR, DPD, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota. Realitas politik tersebut semakin
memperkuat legitimasi Pemilu sekaligus menjadi modal penting dalam meningkatkan
kualitas Pemilu dan membangun demokrasi Indonesia.
Kedelapan, Bawaslu telah mulai membangun jaringan komunikasi untuk melakukan
pengawasan Pemilu dengan stakeholders strategis.
Kesembilan, dukungan logistik, sarana dan prasarana serta dukungan lainnya yang diberikan
oleh Pemerintah baik di Pusat maupun di daerah mampu meningkatkan kapasitas Bawaslu
dan Panwaslu dalam menjalankan program-program pengawasan Pemilu sesuai dengan tugas
dan wewenang yang dimiliki.
Kesepuluh, pemikiran dan masukan dari Organisasi Masyarakat Sipil (OMS/CSO) yang
merupakan tulang punggung masyarakat serta masukan dari peserta Pemilu terhadap kinerja
Bawaslu adalah wujud pengawasan partisipatif untuk terlaksananya Pemilu yang langsung,
umum, bebas, rahasia, dan jujur adil.
Kesebelas, berkurangnya tindakan kekerasan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu
dan meningkatnya upaya penyelesaian pelanggaran Pemilu melalui lembaga-lembaga hukum
dan lembaga kompeten lainnya yang dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencari kebenaran
dan keadilan menunjukkan adanya kesadaran hukum yang tinggi. Kondisi ini tentu saja akan
membuka ruang yang kondusif bagi publik yang akan mengembangkan wahana dan wacana
pendidikan politik secara terbuka. Hal ini tentu saja semakin memperkuat posisi kontrol dan
pengawasan terhadap penyelenggaraan Pemilu.

1.2.2. Permasalahan dan Tantangan


Permasalahan dan tantangan yang dimiliki oleh Bawaslu dan Sekretariat dalam menjalankan
tugas, wewenang dan kewajibannya meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, perkembangan kelembagaan dari Panwas Pemilu yang bersifat ad hoc menjadi
Bawaslu yang bersifat tetap belum sepenuhnya mampu menggerakkan seluruh kapasitas
pengawasan Pemilu secara nasional dan berkesinambungan. Salah satu penyebabnya adalah
lembaga pengawasan di bawah Bawaslu masih bersifat sementara atau ad hoc. Dengan
adanya dualisme sifat kelembagaan tersebut banyak kesulitan yang harus dihadapi baik yang
berkenaan dengan organisasi maupun dalam menjalankan program pengawasan Pemilu.
Kedua, pengembangan struktur organisasi, yang dimiliki Bawaslu belum sepenuhnya
mengabdi pada kebutuhan untuk mendukung Bawaslu dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya. Selain itu standard operating procedure (SOP) dan job description masih perlu
pengembangan lebih lanjut. Oleh karena itu upaya memperkuat struktur maupun aturan main
kelembagaan dapat menjadi sebuah pilihan untuk dilakukan.
Ketiga, Permasalahan faktual berkenaan dengan sumber daya manusia yang meliputi
integritas, kredibilitas, soliditas, disparitas kemampuan, rekrutmen pengawas Pemilu yang
cenderung terlambat dan bergantung pada institusi lain (KPU), serta kesiapan dalam
memberdayakan sumber daya manusia yang mampu menjawab permasalahan dan tantangan
yang dihadapi oleh pengawas Pemilu ke depan.
Keempat, penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada)
yang relatif bersamaan waktunya dalam jumlah besar (244 daerah provinsi, kabupaten dan
kota pada tahun 2010). Disatu sisi, uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dalam
rekrutmen Panwaslu Kada Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kada Kabupaten/Kota harus
dilakukan langsung oleh Bawaslu karena ketiadaan Panwas Pemilu Kada Provinsi. Secara
teknis hal ini akan menimbulkan masalah karena jumlah penyelenggaraan Pemilu Kada
cukup banyak, waktu yang sempit, cakupan wilayah yang luas, dan terbatasnya jumlah
anggota Bawaslu. Secara substantif, akan timbul permasalahan karena Panwas Pemilu Kada
harus dibentuk paling lambat 1 bulan sebelum tahapan Pemilu Kada dimulai.
Kelima, berdasarkan pengalaman dalam melakukan pengawasan Pemilu, Bawaslu tidak
memiliki kekuatan untuk mendorong instansi yang berwenang baik KPU (berkenaan dengan
pelanggaran administratif) maupun Kepolisian (berkenaan dengan pelanggaran pidana) untuk
melakukan penegakan hukum Pemilu (election law enforcement).
Keenam, data penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menunjukkan bahwa
dari 690 (enam ratus sembilan puluh) laporan pidana Pemilu (data per tanggal 16 Mei 2009)
yang diteruskan ke penyidik, hanya sebesar 258 (dua ratus lima puluh delapan) laporan
(37,4%) yang diteruskan oleh penyidik ke kejaksaan. Disparitas yang cukup besar antara
jumlah laporan yang masuk dan laporan yang diteruskan dan ditindaklanjuti, mempertegas
adanya perbedaan komitmen antara para aparat penegak hukum (Polri dan Kejaksaan) dan
Bawaslu. Selain itu masih terdapat hal-hal lain yang mempengaruhi lemahnya penegakan
hukum.
Ketujuh, adanya kesenjangan antara semangat dan persepsi Bawaslu dengan semangat dan
persepsi dari penegak hukum yang menempatkan pelanggaran pidana Pemilu seperti
pelanggaran pidana biasa (ordinary crime). Padahal pelanggaran Pemilu memiliki dampak
yang serius terhadap upaya pelaksanaan Pemilu yang luber dan jurdil sebagai prasyarat
mewujudkan Pemilu yang demokratis.
Kedelapan, adanya kasus-kasus pelanggaran Pemilu yang dihentikan oleh penegak hukum
karena alasan hukum dan prosedural dan kurangnya kewenangan dari Bawaslu untuk
mendorong agar penegak hukum melakukan proses hukum hingga tuntas terhadap kasus-
kasus pelanggaran Pemilu, yang menimbulkan lemahnya penegakan hukum Pemilu.
Lemahnya penegakan hukum Pemilu ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi berdampak
pada persepsi dan perilaku semua pihak dalam mentaati asas dan aturan hukum Pemilu.
Sementara itu hal ini juga menimbulkan citra negatif terhadap kinerja Bawaslu. Citra yang
berkembang di masyarakat pada umumnya lebih meletakkan kegagalan penegakan hukum
Pemilu di pundak Bawaslu dibanding menjadi tanggung jawab instansi lain.

Kesembilan, pengalaman empirik Bawaslu berkenaan dengan tugas dan wewenangnya


maupun hal-hal yang bersifat seremonial kenegaraan, sebagai lembaga yang dibentuk oleh
undang-undang belum sepenuhnya memiliki posisi (pengakuan) politik yang proporsional
dari instansi terkait lainnya. Secara faktual proporsionalitas posisi kelembagaan secara politik
sangat penting bagi Bawaslu karena hal itu berpengaruh pada upaya dalam membangun
hubungan dan kerja sama dengan instansi yang terkait yang selanjutnya diyakini berpengaruh
pada peningkatan kualitas pengawasan Pemilu.
Kesepuluh, permasalahan yang harus dihadapi oleh Bawaslu berkenaan dengan
pengembangan konsep partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu yang mana masih
pada tataran uji coba atau trial and error, karena belum adanya model partisipasi
pengawasan Pemilu yang bisa menjadi acuan.
Kesebelas, besarnya harapan masyarakat terhadap peran pengawasan yang dilakukan
Bawaslu yang berbanding terbalik dengan persepsi masyararat akan lemahnya penegakan
hukum, pada akhirnya dapat menimbulkan perilaku yang destruktif.
Kedua belas, kurangnya kemampuan dan kapasitas internal Bawaslu dalam menanggapi dan
mengembangkan model pengawasan yang partisipatif. Terutama berkenaan dengan penyiapan
pedoman dan pengaturan yang akan menjadi acuan pelaksanaan pengawasan partisipatif.
Ketiga belas, jaringan komunikasi pengawasan Pemilu yang dikembangkan oleh Bawaslu
belum optimal. Bawaslu sebagai salah satu sumber berita berkenaan dengan pengawasan
Pemilu masih perlu membangun social capital.
Keempat belas, masih diperlukan dukungan yang lebih besar dari Pemerintah yaitu dukungan
kebijakan dan alokasi anggaran yang memadai berbasis pada kebutuhan.
Kelima belas, adanya gugatan dari peserta Pemilu terhadap beberapa tahapan Pemilu adalah
masalah yang cukup serius. Meskipun upaya hukum yang dilakukan adalah merupakan
tindakan yang konstitusional namun implikasi politiknya tidak dapat dicegah serta dapat
mengganggu akseptabilitas sosial terhadap Pe
Kesembilan, pengalaman empirik Bawaslu berkenaan dengan tugas dan wewenangnya
maupun hal-hal yang bersifat seremonial kenegaraan, sebagai lembaga yang dibentuk oleh
undang-undang belum sepenuhnya memiliki posisi (pengakuan) politik yang proporsional
dari instansi terkait lainnya. Secara faktual proporsionalitas posisi kelembagaan secara politik
sangat penting bagi Bawaslu karena hal itu berpengaruh pada upaya dalam membangun
hubungan dan kerja sama dengan instansi yang terkait yang selanjutnya diyakini berpengaruh
pada peningkatan kualitas pengawasan Pemilu.
Kesepuluh, permasalahan yang harus dihadapi oleh Bawaslu berkenaan dengan
pengembangan konsep partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu yang mana masih
pada tataran uji coba atau trial and error, karena belum adanya model partisipasi
pengawasan Pemilu yang bisa menjadi acuan.
Kesebelas, besarnya harapan masyarakat terhadap peran pengawasan yang dilakukan
Bawaslu yang berbanding terbalik dengan persepsi masyararat akan lemahnya penegakan
hukum, pada akhirnya dapat menimbulkan perilaku yang destruktif.
Kedua belas, kurangnya kemampuan dan kapasitas internal Bawaslu dalam menanggapi dan
mengembangkan model pengawasan yang partisipatif. Terutama berkenaan dengan penyiapan
pedoman dan pengaturan yang akan menjadi acuan pelaksanaan pengawasan partisipatif.
Ketiga belas, jaringan komunikasi pengawasan Pemilu yang dikembangkan oleh Bawaslu
belum optimal. Bawaslu sebagai salah satu sumber berita berkenaan dengan pengawasan
Pemilu masih perlu membangun social capital.
Keempat belas, masih diperlukan dukungan yang lebih besar dari Pemerintah yaitu dukungan
kebijakan dan alokasi anggaran yang memadai berbasis pada kebutuhan.
Kelima belas, adanya gugatan dari peserta Pemilu terhadap beberapa tahapan Pemilu adalah
masalah yang cukup serius. Meskipun upaya hukum yang dilakukan adalah merupakan
tindakan yang konstitusional namun implikasi politiknya tidak dapat dicegah serta dapat
mengganggu akseptabilitas sosial terhadap Pe
1.2. Potensi dan Permasalahan
Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya Badan Pengawas Pemilu menghadapi berbagai
permasalahan dan tantangan yang mencerminkan adanya kelemahan dan sekaligus hambatan
dari luar yang dapat mengganggu bagi kinerja lembaga Bawaslu. Selain itu, Bawaslu juga
mengenali dan memiliki potensi dan peluang yang merupakan kapasitas internal dan kondisi
eksternal yang kondusif bagi kinerja Bawaslu. Hasil analisis dan identifikasi dari hal-hal yang
berkenaan dengan potensi dan peluang serta permasalahan dan tantangan khususnya terkait
dengan penyelenggaraan Pemilu Tahun 2009 menjadi sangat penting bagi Bawaslu dalam
perumusan rencana strategis untuk kurun waktu lima tahun ke depan.

1.2.1. Kekuatan dan Peluang


Kekuatan dan peluang yang dimiliki oleh Bawaslu dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, secara kelembagaan Bawaslu sudah bersifat tetap, sebagaimana diatur dalam Bab IV
Pasal 70 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu.
Kedua, sifat tetap adalah sangat penting bagi Bawaslu untuk melakukan penataan
kelembagaan, program, dan melakukan pemberdayaan Panwaslu di setiap tingkatan termasuk
pengawas Pemilu di luar negeri.
Ketiga, Bawaslu sudah memiliki struktur organisasi, standard operating procedure (SOP) dan
job description serta aturan internal yang menjangkau hingga pengawas lapangan yang ada di
desa/kelurahan.
Keempat, Bawaslu memiliki sejumlah sumber daya manusia baik yang memiliki kemampuan
dalam mendukung program kerja pengawasan maupun sumber daya manusia yang
mendukung kerja-kerja internal organisasi.
Ketujuh, hukum dan kebijakan tentang Pemilu berkembang lebih akomodatif, dimana secara
empirik dapat dicermati dari tingkat keberagaman peserta Pemilu secara etnis, agama, dan
jenis kelamin serta meningkatnya kiprah generasi muda dalam pemilihan Kepala Daerah,
DPR, DPD, DPR Provinsi, DPR Kabupaten/Kota. Realitas politik tersebut semakin
memperkuat legitimasi Pemilu sekaligus menjadi modal penting dalam meningkatkan
kualitas Pemilu dan membangun demokrasi Indonesia.

1.2.2. Permasalahan dan Tantangan


Permasalahan dan tantangan yang dimiliki oleh Bawaslu dan Sekretariat dalam menjalankan
tugas, wewenang dan kewajibannya meliputi hal-hal sebagai berikut:
Pertama, perkembangan kelembagaan dari Panwas Pemilu yang bersifat ad hoc menjadi
Bawaslu yang bersifat tetap belum sepenuhnya mampu menggerakkan seluruh kapasitas
pengawasan Pemilu secara nasional dan berkesinambungan. Salah satu penyebabnya adalah
lembaga pengawasan di bawah Bawaslu masih bersifat sementara atau ad hoc. Dengan
adanya dualisme sifat kelembagaan tersebut banyak kesulitan yang harus dihadapi baik yang
berkenaan dengan organisasi maupun dalam menjalankan program pengawasan Pemilu.
Kedua, pengembangan struktur organisasi, yang dimiliki Bawaslu belum sepenuhnya
mengabdi pada kebutuhan untuk mendukung Bawaslu dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya. Selain itu standard operating procedure (SOP) dan job description masih perlu
pengembangan lebih lanjut. Oleh karena itu upaya memperkuat struktur maupun aturan main
kelembagaan dapat menjadi sebuah pilihan untuk dilakukan.
Ketiga, Permasalahan faktual berkenaan dengan sumber daya manusia yang meliputi
integritas, kredibilitas, soliditas, disparitas kemampuan, rekrutmen pengawas Pemilu yang
cenderung terlambat dan bergantung pada institusi lain (KPU), serta kesiapan dalam
memberdayakan sumber daya manusia yang mampu menjawab permasalahan dan tantangan
yang dihadapi oleh pengawas Pemilu ke depan.
Keempat, penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pemilu Kada)
yang relatif bersamaan waktunya dalam jumlah besar (244 daerah provinsi, kabupaten dan
kota pada tahun 2010). Disatu sisi, uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) dalam
rekrutmen Panwaslu Kada Kabupaten/Kota untuk Pemilu Kada Kabupaten/Kota harus
dilakukan langsung oleh Bawaslu karena ketiadaan Panwas Pemilu Kada Provinsi. Secara
teknis hal ini akan menimbulkan masalah karena jumlah penyelenggaraan Pemilu Kada
cukup banyak, waktu yang sempit, cakupan wilayah yang luas, dan terbatasnya jumlah
anggota Bawaslu. Secara substantif, akan timbul permasalahan karena Panwas Pemilu Kada
harus dibentuk paling lambat 1 bulan sebelum tahapan Pemilu Kada dimulai.
Kelima, berdasarkan pengalaman dalam melakukan pengawasan Pemilu, Bawaslu tidak
memiliki kekuatan untuk mendorong instansi yang berwenang baik KPU (berkenaan dengan
pelanggaran administratif) maupun Kepolisian (berkenaan dengan pelanggaran pidana) untuk
melakukan penegakan hukum Pemilu (election law enforcement).
Keenam, data penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD menunjukkan bahwa
dari 690 (enam ratus sembilan puluh) laporan pidana Pemilu (data per tanggal 16 Mei 2009)
yang diteruskan ke penyidik, hanya sebesar 258 (dua ratus lima puluh delapan) laporan
(37,4%) yang diteruskan oleh penyidik ke kejaksaan. Disparitas yang cukup besar antara
jumlah laporan yang masuk dan laporan yang diteruskan dan ditindaklanjuti, mempertegas
adanya perbedaan komitmen antara para aparat penegak hukum (Polri dan Kejaksaan) dan
Bawaslu. Selain itu masih terdapat hal-hal lain yang mempengaruhi lemahnya penegakan
hukum.
Ketujuh, adanya kesenjangan antara semangat dan persepsi Bawaslu dengan semangat dan
persepsi dari penegak hukum yang menempatkan pelanggaran pidana Pemilu seperti
pelanggaran pidana biasa (ordinary crime). Padahal pelanggaran Pemilu memiliki dampak
yang serius terhadap upaya pelaksanaan Pemilu yang luber dan jurdil sebagai prasyarat
mewujudkan Pemilu yang demokratis.
Kedelapan, adanya kasus-kasus pelanggaran Pemilu yang dihentikan oleh penegak hukum
karena alasan hukum dan prosedural dan kurangnya kewenangan dari Bawaslu untuk
mendorong agar penegak hukum melakukan proses hukum hingga tuntas terhadap kasus-
kasus pelanggaran Pemilu, yang menimbulkan lemahnya penegakan hukum Pemilu.
Lemahnya penegakan hukum Pemilu ibarat pedang bermata dua. Pada satu sisi berdampak
pada persepsi dan perilaku semua pihak dalam mentaati asas dan aturan hukum Pemilu.
Sementara itu hal ini juga menimbulkan citra negatif terhadap kinerja Bawaslu. Citra yang
berkembang di masyarakat pada umumnya lebih meletakkan kegagalan penegakan hukum
Pemilu di pundak Bawaslu dibanding menjadi tanggung jawab instansi lain.

Kesembilan, pengalaman empirik Bawaslu berkenaan dengan tugas dan wewenangnya


maupun hal-hal yang bersifat seremonial kenegaraan, sebagai lembaga yang dibentuk oleh
undang-undang belum sepenuhnya memiliki posisi (pengakuan) politik yang proporsional
dari instansi terkait lainnya. Secara faktual proporsionalitas posisi kelembagaan secara politik
sangat penting bagi Bawaslu karena hal itu berpengaruh pada upaya dalam membangun
hubungan dan kerja sama dengan instansi yang terkait yang selanjutnya diyakini berpengaruh
pada peningkatan kualitas pengawasan Pemilu.
Kesepuluh, permasalahan yang harus dihadapi oleh Bawaslu berkenaan dengan
pengembangan konsep partisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu yang mana masih
pada tataran uji coba atau trial and error, karena belum adanya model partisipasi
pengawasan Pemilu yang bisa menjadi acuan.

BAB ll
VISI, MISI DAN TUJUAN LEMBAGA
2.1. Visi
Visi Badan Pengawas Pemilu 2010-2014 dirumuskan melalui proses analisis secara seksama
dan mendalam terhadap dokumen-dokumen yang menjadi pedoman dasar bagi Badan
Pengawas Pemilu dan kristalisasi pemikiran dari refleksi pengalaman empirik dari masa awal
pembentukan kelembagaan dan selama melakukan pengawasan dalam tahapan
penyelenggaraan Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil
Presiden Tahun 2009. Visi Bawaslu merupakan gambaran pesan dan kondisi yang ingin
diwujudkan oleh Bawaslu dalam lima tahun ke depan, yang sekaligus merupakan upaya
pemantapan dan pengembangan atas capaian pengawasan Pemilu pada periode sebelumnya.
Visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025 yang
merupakan dokumen perencanaan pembangunan nasional jangka panjang dinyatakan dalam
kalimat Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur. Selanjutnya dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahap Ke-2 Tahun 2010-2014
dinyatakan bahwa tujuannya adalah untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di
segala bidang dengan menekankan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia
termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing
perekonomian. Adapun Presiden terpilih 2010-2014 telah menyatakan visinya, yaitu:
Terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang demokratis, berbudaya, bermartabat dan
menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab serta hak asasi manusia.
Dalam mewujudkan Indonesia yang Mandiri, Maju, Adil dan Makmur pada tahun 2025,
(RPJPN 2005-2025), Presiden terpilih telah menetapkan tahapan penting yang harus terlebih
dahulu diwujudkan dalam jangka menengah kedua, yaitu Tahun 2010-2014, yakni
terwujudnya masyarakat, bangsa dan negara yang demokratis, berbudaya, bermartabat dan
menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab serta hak asasi manusia. Secara
substantif rumusan tujuan yang harus dicapai tersebut menyatakan bahwa adanya masyarakat,
bangsa dan negara yang sungguh-sungguh paham substansi demokrasi dan secara konsisten
mempraktekkan demokrasi adalah sebuah pilihan strategis untuk membangun masyarakat
Indonesia ke depan. Dimana upaya mendorong proses demokratisasi tersebut dilakukan
dengan berbasis pada kekuatan budaya, harkat dan martabat serta kebebasan yang
bertanggung jawab dan penghargaan pada nilai-nilai hak asasi manusia.
Dalam upaya mendukung pencapaian Visi Presiden terpilih, Bawaslu harus menterjemahkan
dan mengoperasionalkan sesuai dengan tugas, wewenang dan kewajiban yang dimiliki oleh
Bawaslu sebagai lembaga pengawas Pemilu. Oleh karena itu, dalam mewujudkan
masyarakat, bangsa dan negara demokratis, berbudaya, bermartabat dan menjunjung tinggi
kebebasan yang bertanggung jawab serta hak asasi manusia, salah satu tahap penting yang
harus dilalui adalah terwujudnya Pemilu yang demokratis sebagai salah satu pilar utama
sebuah negara demokrasi.
Dalam upaya mendukung pencapaian Visi presiden terpilih dikaitkan dengan tugas,
wewenang dan kewajiban Bawaslu yang diatur oleh Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007
Tentang Penyelenggara Pemilu, hal-hal yang perlu ditekankan dalam Visi Bawaslu adalah
memperhatikan berbagai prasyarat yang mendukung agar Pemilu demokratis dapat terwujud.
Hal lain yang juga perlu menjadi bahan pertimbangan dalam perumusan Visi Bawaslu adalah
realitas empirik dari proses pembentukan kelembagaan sampai dengan pelaksanaan
pengawasan pada penyelenggaraan Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
Pemilihan Anggota DPR, DPR, dan DPRD, serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang
telah berlangsung. Berbagai permasalahan yang timbul dapat diidentifikasikan mulai dari
substansi hukum dan kebijakan, perilaku aparat baik penegak hukum, penyelenggara Pemilu,
maupun instansi terkait lainnya, peserta Pemilu sampai pada kesadaran masyarakat untuk
berpartisipasi dalam Pemilu.
Dari berbagai persoalan mendasar yang muncul dan berpengaruh pada persiapan, proses dan
hasil Pemilu, yang menjadi persoalan paling fundamental adalah masih belum maksimalnya
pembangunan integritas penyelenggara Pemilu dan penegak hukum Pemilu. Hal ini berangkat
dari pengalaman empirik bahwa integritas penyelenggara Pemilu dan penegak hukum Pemilu
telah memberikan dampak signifikan pada ketaatan semua pihak pada asas dan hukum dan
akseptabilitas publik terhadap proses dan hasil Pemilu. Dengan berbagai pertimbangan
tersebut Bawaslu menetapkan Visi Tahun 2010-2014 adalah:

Gambar 2. Alur Pikir Visi Bawaslu Tahun 2010-2014

Sesuai dengan pertimbangan dalam merumuskan Visi Bawaslu, penekanan pada aspek
integritas dan kredibilitas menjadi substansi yang sangat penting untuk diwujudkan sebagai
prasyarat dalam mewujudkan Pemilu yang demokratis. Oleh karena kata integritas dan
kredibilitas merupakan kata kunci dari Visi Bawaslu, perlu ada pemahaman bersama
(common platform) mengenai substansi integritas dan kredibilitas yang menjadi tekanan
penting dan menjadi bagian dari Visi Bawaslu.
Integritas. Pengertian integritas (wikipedia, the free encyclopedia) sebagai sebuah konsep
memiliki keterkaitan dengan konsistensi (consistency), tindakan (actions), nilai-nilai (value),
metode (methods), ukuran-ukuran (measures), prinsip-prinsip (prinsiciples), harapan
(expectation) dan capaian (outcome). Pada umumnya terminologi integritas digunakan
sebagai konsep yang holistik, memastikan (judging) integritas sebuah sistem dengan
parameter yang dikembangkan sendiri mampu mencapai (ability to acvieve) tujuan (goal)
yang dirumuskan sendiri. Ada juga yang melihat integritas sebagai kualitas (quality) dalam
memiliki sense of honesty dan truthfulness yang memotivasi adanya sebuah tindakan. Kosa
kata yang sering dikontraskan dengan integrity adalah hypocrisy (kepura-puraan). Sedangkan
secara etimologis, kosa kata integritas berasal dari bahasa latin integer yang artinya whole
atau complete (menyeluruh atau lengkap). Dalam konteks ini integritas dapat dibandingkan
dengan personal inner sense dari wholeness sebagai derivasi dari say (perkataan) yang
honest (jujur) dan consistency (konsistensi) dari karakter.
Kredibilitas. Terminologi kredibilitas secara tradisional (wikipedia, the free ensyclopedia),
memiliki dua komponen kunci: trustworthiness (dapat dipercaya) dan expertise (memiliki
keahlian) yang keduanya memiliki komponen subyektif dan obyektif. Trustworthiness lebih
pada faktor subyektif tetapi tetap meletakkan ukuran-ukuran (measurements) yang obyektif
seperti establishes reliability. Expertise dapat berupa penerimaan secara subyektif akan tetapi
juga termasuk karakteritistik obyektif dari sumber daya (source) atau warta (message), seperti
mandat (credentials), keterangan (certification) atau informasi (information) yang berkualitas.
Komponen kedua dari kredilibilitas adalah source dynamism (charisma) and physical
attractiveness.
Dengan menekankan pada upaya pengembangan integritas dan kredibilitas di bidang
pengawasan, diyakini akan melahirkan kinerja pengawasan Pemilu yang semakin dihormati
semua pihak. Dengan demikian akan mendorong semua pihak untuk menghormati semua
lembaga yang terlibat dalam proses penyelenggaraan dan menetapkan hasil Pemilu.
Pemilu yang demokratis. Pemilu adalah salah satu pilar negara demokrasi, selain pilar-pilar
lainnnya seperti adanya peradilan yang bebas dan independent dan dijalankannya trias
politica yakni pemisahan antara kekuasaan antara lembaga eksekutif, legislatif dan yudisial
serta adanya check and balance. Tanpa adanya Pemilu yang demokratis maka adanya negara
demokratis sulit untuk diwujudkan.
Dalam prakteknya, Pemilu yang diselenggarakan oleh sebuah negara demokratis hanya
sekedar memenuhi syarat prosedural. Hal ini juga pernah terjadi di Indonesia pada era rejim
otoritarian Orde Baru. Pada saat ini dalam era transisional menuju sebuah negara demokrasi
maka perbaikan secara substansial terhadap Pemilu perlu dilakukan. Standar yang diakui
secara internasional dan menjadi rujukan untuk melihat apakah sebuah Pemilu sudah
demokratis adalah standar yang dibuat oleh International Institute for Democracy and
Electoral Assistance (International IDEA). Setidaknya ada 15 aspek yang bisa dijadikan
ukuran untuk melihat Pemilu yang demokratis. (International IDEA di dalam Perludem
2007). Ke 15 aspek itu meliputi:
1. Penyusunan Kerangka Hukum. Kerangka hukum Pemilu harus disusun sedemikian rupa
sehingga tidak bermakna ganda, mudah dipahami, dan harus dapat menyoroti semua unsur
sistem Pemilu yang diperlukan untuk memastikan Pemilu yang demokratis. Istilah kerangka
hukum Pemilu mengacu pada semua undang-undang dan dokumen hukum yang terkait
dengan Pemilu. Secara khusus, kerangka hukum Pemilu meliputi ketentuan konstitusional,
undang-undang Pemilu, dan semua undang-undang lain yang berdampak pada Pemilu.
Termasuk kerangka hukum Pemilu adalah peraturan yang dikeluarkan oleh badan
penyelenggara Pemilu dan kode etik. Dalam kerangka hukum itu harus ditegaskan bahwa
kekuasaan badan-badan pelaksana Pemilu dinyatakan secara jelas, dibedakan, dan diuraikan
untuk mencegah terjadinya pertentangan atau tumpang-tindih kekuasaan yang sedang
dijalankan oleh badan-badan lainnya.
2. Pemilihan Sistem Pemilu. Standar internasional menyebutkan, di dalam sistem Pemilu
harus terdapat badan-badan yang dipilih, frekuensi Pemilu, dan lembaga penyelenggara
Pemilu. Sistem Pemilu harus memastikan bahwa pembagian politik masuk dalam kerangka
hukum Pemilu untuk menjamin kepesertaan dan keterwakilan politik sehingga pertentangan
antar-kelompok dapat diakomodasikan. Pemilihan sistem Pemilu terlebih dahulu harus
memperkirakan sistem Pemilu yang dapat memenuhi tujuan-tujuan politik dan sesuai dengan
keadaan sosial, politik, geografis, dan sejarah suatu negara.
3. Penetapan Daerah Pemilihan. Kerangka hukum Pemilu harus memastikan bahwa daerah
pemilihan dibuat sedemikian rupa sehingga setiap suara setara untuk mencapai derajat
keterwakilan yang efektif. Kerangka hukum mesti merumuskan bagaimana merencanakan
dan menetapkan daerah pemilihan agar sejak awal kelompok-kelompok politik menyadari
akan konsekuensi-konsekuensinya.
4. Hak untuk Memilih dan Dipilih. Kerangka hukum harus memastikan semua warga negara
yang memenuhi syarat dijamin bisa ikut dalam pemilihan tanpa diskriminasi. Jaminan bahwa
setiap warga negara bisa menggunakan hak memilih dan hak dipilih sedemikian penting
sehingga di beberapa negara ketentuan tersebut masuk dalam konstitusi.
5. Badan Penyelenggara Pemilu. Badan penyelenggara Pemilu harus dijamin bisa bekerja
secara independen.Hal ini merupakan persoalan penting karena mesin-mesin pelaksana
Pemilu membuat dan melaksanakan keputusan yang dapat mempengaruhi hasil Pemilu. Oleh
karena itu, badan tersebut harus bekerja dalam kerangka waku yang cukup, memiliki
sumberdaya yang mumpuni, dan tersedia dana yang memadai. Kerangka hukum Pemilu harus
mengatur ukuran, komposisi, dan masa kerja anggota badan pelaksana Pemilu. Juga perlu
diatur hubungan antara badan pelaksana Pemilu pusat dan badan-badan Pemilu tingkat yang
lebih rendah serta hubungan antara semua badan Pemilu dengan badan eksekutif. Kerangka
hukum harus membuat ketentuan tentang mekanisme untuk memproses, memutuskan, dan
menangani keluhan dalam Pemilu secara tepat waktu.
6. Pendaftaran Pemilih dan Daftar Pemilih. Kerangka hukum harus mewajibkan penyimpanan
daftar pemilih secara transparan dan akurat, melindungi hak warga negara yang memenuhi
syarat untuk mendaftar, dan mencegah pendaftaran orang secara tidak sah atau curang. Hak
untuk memberikan suara dilanggar apabila kerangka hukum mempersulit seseorang
mendaftar untuk memberikan suara. Hak untuk memberikan suara juga dilanggar apabila
kerangka hukum gagal menjamin akurasi daftar pemilih atau memudahkan pemberian suara
secara curang.
7. Akses Kertas Suara bagi Partai Politik dan Kandidat. Semua partai politik dan kandidat
dijamin dapat bersaing dalam Pemilu atas dasar perlakuan yang adil. Pendaftaran partai
politik dan ketentuan akses kertas suara pada waktu Pemilu perlu diatur secara berbeda.
Prosedur mendapatkan akses kertas suara mungkin sama dengan pendaftaran partai politik,
tetapi kerangka hukum Pemilu dapat membuatnya lebih mudah bagi partai politik yang telah
terdaftar untuk berada di kertas suara. Kerangka hukum Pemilu harus mengatur hak bagi
individu dan kelompok untuk secara bebas mendirikan partai politik mereka sendiri atau
organisasi politik lainnya, dengan jaminan hukum yang memungkinkan mereka bersaing satu
sama lain atas dasar perlakuan yang adil di hadapan hukum.
8. Kampanye Pemilu yang Demokratis. Kerangka hukum harus menjamin setiap partai politik
dan kandidat menikmati kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan berkumpul, serta
memiliki akses terhadap para pemilih dan semua pihak yang terkait (stakeholder) dalam
proses pemilihan. Pemilu adalah alat untuk menerjemahkan kehendak umum para pemilih ke
dalam pemerintahan perwakilan sehingga semua partai dan kandidat harus dapat
menyampaikan program-program, masalah politik, dan pemecahan yang mereka ajukan
secara bebas kepada para pemilih selama masa kampanye. Masa kampanye harus ditetapkan
dan harus dimulai setelah pencalonan yang sah dari partai dan kandidat serta diakhiri satu
atau dua hari sebelum pemberian suara.
9. Akses Media dan Kebebasan Berekspresi. Semua partai politik dan kandidat memiliki
akses ke media. Kerangka hukum harus menjamin mereka diperlakukan secara adil oleh
media yang dimiliki atau dikendalikan oleh negara. Tidak ada pembatasan terhadap
kebebasan berekspresi partai politik dan para kandidat/calon selama kampanye. Dengan
demikian, masyarakat umum dapat mengetahui platform politik, pandangan, dan sasaran dari
semua partai dan kandidat dengan cara yang adil dan tidak bias. Perlakuan yang adil ini harus
ada di semua media cetak maupun elektronik.
10. Pembiayaan dan Pengeluaran. Kerangka hukum harus memastikan semua partai politik
dan kandidat diperlakukan secara adil oleh ketentuan hukum yang mengatur pembiayaan dan
pengeluaran kampanye. Tersedianya alternatif pilihan bagi pemilih tergantung kepada adanya
partai-partai politik kuat. Pada gilirannya, partai-partai politik memerlukan basis dana untuk
membiayai kampanye dan kegiatan operasional partai. Dengan demikian sudah semestinya
kerangka hukum menentukan pembiayaan kampanye partai dan kandidat. Ketentuan yang
berkaitan dengan pembiayaan partai politik dan para kandidat kadangkala tidak terdapat
dalam undang-undang Pemilu tetapi dalam undang-undang yang terpisah. Pada dasarnya ada
dua bentuk pembiayaan partai dan kandidat: pendanaan dari negara dan pendanaan swasta
dalam bentuk sumbangan yang datang dari berbagai sumber.
11. Pemungutan Suara. Kerangka hukum harus memastikan tempat pemungutan suara dapat
diakses semua pemilih. Terdapat pencatatan yang akurat atas kertas suara dan jaminan
kerahasiaan kertas suara. Standar internasional mengharuskan suara diberikan dengan
menggunakan kertas suara yang rahasia atau dengan menggunakan prosedur pemungutan
suara lain yang setara, bebas, dan rahasia. Karenanya, undang-undang Pemilu harus
menjamin kerahasiaan pemungutan suara. Harus pula dipastikan adanya mekanisme lain
untuk mencegah kecurangan atau pemberian suara ganda. Namun prosedur pemberian suara
tidak boleh terlalu rumit atau berbelit-belit sehingga menghambat proses pemberian suara.
12. Penghitungan dan Rekapitulasi Suara. Penghitungan suara yang adil, jujur, dan terbuka
merupakan dasar dari Pemilu yang demokratis. Oleh karena itu, kerangka hukum harus
memastikan agar semua suara dihitung dan ditabulasi atau direkapitulasi dengan akurat,
merata, adil, dan terbuka. Hal ini mengharuskan penghitungan, pentabulasian, dan
pengkonsolidasian suara dihadiri oleh perwakilan partai, kandidat, pemantau, dan masyarakat
umum. Kerangka hukum harus menentukan kehadiran perwakilan partai dan kandidat, serta
pemantau Pemilu selama proses penghitungan, pentabulasian, dan pengkonsolidasian suara.
Undang-undang harus mengatur bahwa setiap gugatan terhadap penghitungan suara oleh
perwakilan partai dan kandidat atau keluhan tentang pengoperasian tempat pemungutan suara
harus dicatat secara tertulis oleh ketua panitia tempat pemungutan suara. Laporan itu
disertakan dalam laporan ketua panitia tempat pemungutan suara tentang pemungutan suara
yang diserahkan kepada badan pelaksana Pemilu.
13. Peranan Wakil Partai dan Kandidat. Guna melindungi integritas dan keterbukaan Pemilu,
perwakilan partai dan kandidat harus dapat mengamati semua proses pemungutan suara.
Kerangka hukum harus menjelaskan hak dan kewajiban perwakilan partai dan kandidat di
tempat pemungutan suara dan penghitungan suara. Harus juga dijelaskan, meskipun
perwakilan partai dan kandidat mempertanyakan keputusan petugas pemungutan dan
penghitungan suara, namun dia tidak boleh mempengaruhi pemilih, mengabaikan petunjuk
petugas, dan mengganggu pemungutan dan penghitungan suara.
14. Pemantau Pemilu. Untuk menjamin transparansi dan meningkatkan kredibilitas, kerangka
hukum harus menetapkan bahwa pemantau Pemilu dapat memantau semua tahapan Pemilu.
Kehadiran pemantau Pemilu dari dalam maupun luar negeri di negara-negara yang
demokrasinya sedang berkembang cenderung menambah kredibilitas dan legitimasi terhadap
proses Pemilu yang dipantau. Pemantauan juga berguna untuk mencegah kecurangan Pemilu,
khususnya pada saat pemungutan suara.
15. Kepatuhan terhadap Hukum dan Penegakan Peraturan Pemilu. Kerangka hukum Pemilu
harus mengatur mekanisme dan penyelesaian hukum yang efektif untuk menjaga kepatuhan
terhadap undangundang Pemilu. Dalam hal ini hak memilih dan dipilih setiap warga harus
dijamin dan pelanggaran terhadap penggunaan hak memilih dan dipilih akan dikenakan
sanksi. Kerangka hukum harus memastikan adanya larangan-larangan dan sanksi-sanksi
terhadap siapa saja yang melanggarnya untuk menjadi pemilu yang damai, tanpa kekerasan,
tidak hanya intervensi penguasa/incumbent terhadap pelanggaran pemilu.

2.2. Misi
Misi (mission statement) sebagai bentuk operasionalisasi dari Visi Bawaslu. Oleh karena itu
substansi strategis yang menjadi kandungan dari Visi harus menjadi pertimbangan dalam
merumuskan misi. Substansi yang harus digarisbawahi dan diterjemahkan adalah integritas,
kredibibiltas dan ukuran-ukuran terwujudnya Pemilu yang demokratis. Berdasarkan
penjelasan yang ada pada Visi maka Misi Bawaslu yang relevan dan mendukung pencapaian
Visi Bawaslu adalah:
1. Memastikan penyelenggaraan Pemilu secara taat asas dan taat aturan.
Ketaatan pada asas dan aturan Pemilu menjadi kewajiban bagi semua pihak yang
menggunakan haknya untuk berpartisipasi dalam Pemilu. baik sebagai penyelenggara, peserta
Pemilu dan bagi siapa saja yang menggunakan hak pilihnya serta semua instansi atau
lembaga yang terlibat dalam proses penyelenggaraan dan penetapan hasil Pemilu. Asas dan
aturan Pemilu adalah koridor yang akan menjadi pedoman secara moral dan hukum untuk
semua pihak untuk mendukung pelaksanaan Pemilu yang luber dan jurdil.
2. Memperkuat integritas pengawas Pemilu.
Ketika Integritas diletakkan sebagai sebuah konsep yang memiliki keterkaitan dengan
konsistensi tindakan, nilai-nilai, metode, ukuran-ukuran, prinsip-prinsip, harapan dan
capaian, maka pengawasan Pemilu yang dilakukan memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap penyelenggaraan dan hasil Pemilu.
3. Mengawal integritas penegakan hukum Pemilu.
Pelanggaran Pemilu dapat terjadi karena sejak awal ada proses pembiaran tanpa ada upaya
yang sungguh-sungguh untuk menyelesaikannya. Salah satu faktor penting yang ikut
menyumbang terjadinya pelanggaran Pemilu adalah Penegakan hukum Pemilu yang masih
bermasalah. Hukum dan kebijakan, serta aparat penegak hukum Pemilu harus sunggguh-
sungguh menjalankan fungsinya sesuai dengan kewenangan dan kapasitas yang dimilikinya.
Penegakan hukum Pemilu memiliki urgensi secara politik, ekonomi dan sosial budaya.
Penegakan hukum Pemilu memiliki korelasi yang kuat dengan kepercayaan masyarakat
terhadap kekuasaan. Substansi dasarnya adalah kapasitas hukum Pemilu bisa berdiri tegak
terhadap semua pihak (justice for all), serta kemandirian dan kapasitas penyelenggara Pemilu
dalam mendorong Pemilu yang luber dan jurdil.
4. Meningkatkan kapasitas kelembagaan pengawas Pemilu.
Dengan didukung adanya kelembagaan yang kuat program Bawaslu akan bisa berjalan on the
right track. Lembaga yang kuat adalah organisasi yang secara manajerial memiliki kapasitas
untuk menggerakkan roda organisasi, didukung oleh perangkat keras (hardware) seperti
struktur kelembagaan yang baku dan mengabdi pada program sebagai jembatan untuk
pencapaian VISI kelembagaan, dimana struktur organisasi dibangun dengan membagi habis
pekerjaan kelembagaan. Sedangkan perangkat lunak (software) yang transparan, dimana
software yang dianggap penting dan prioritas adalah standard operating procedure (SOP) dan
job description yang berbasis pada masalah (kontekstual). Dengan demikian dapat
dimungkinkan semua bagian organisasi bisa bekerja maupun membuat turunan kebijakan
yang lebih rendah seperti juklak dan juknis. Secara kelembagaan, Bawaslu yang diatur secara
permanen juga harus mampu mengatasi masalah relasi secara struktural dengan kelembagaan
Panwaslu yang ad hoc.
5. Mendorong pengawasan partisipatif berbasis masyarakat sipil.
Keterlibatan masyarakat sipil dalam melakukan pengawasan tidak saja akan memperkuat
kapasitas pengawasan Pemilu namun juga mendorong perluasan wilayah pengawasan.
Bahkan akan memperkuat posisi pengawasan Pemilu sebagai lembaga pengawasan yang
berkembang dengan anchor yang kuat karena ada representasi dari lembaga Negara dan
masyarakat sipil. Sekaligus akan menjadi media komunikasi pendidikan politik bagi
masyarakat tentang partisipasi dalam Pemilu terutama berkenaan dengan peran strategis
pengawasan dalam mendorong terwujudnya Pemilu yang luber dan jurdil.

2.3. Tujuan
Penetapan Visi dan Misi Bawaslu memberikan konsekuensi logis pada upaya bagaimana
Bawaslu mengembangkan tujuan dan sasaran, strategi dan rumusan tujuan yang harus
dicapai. Sesuai dengan kesepakatan, tujuan bawaslu yang harus dicapai adalah:
Meningkatkan kualitas pengawasan Pemilu untuk mewujudkan Pemilu yang demokratis
sebagai bagian dari konsolidasi demokrasi

2.4. Sasaran
Dengan tetap mengacu pada substansi yang menjadi tekanan dalam pencapaian tujuan yang
telah ditatapkan, maka sasaran strategis yang relevan dan tepat adalah:
Semakin meningkatnya kemampuan pengawas pemilu dalam mencegah terjadinya
pelanggaran pemilu dan menangani (menindaklanjuti) pelanggaran pemilu
Sasaran lembaga dapat tercapai apabila lembaga mampu mencegah pelanggaran pemilu dan
menangani pelanggaran pemilu serta semakin meluasnya partisipasi masyarakat dalam
pengawasan pemilu, dengan indikator capaian sebagai berikut:
1. Meningkatnya kemampuan pengawas pemilu dalam mencegah terjadinya pelanggaran;
2. Meningkatnya pengawas pemilu dalam menangani pelanggaran pemilu dan,
3. Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengawasan pemilu.

Anda mungkin juga menyukai