DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
1.2. Maksud dan Tujuan
1.3. Output
1.4. Metode
BAB II KAJIAN TEORETIS DAN EXISTING CONDITION SEKRETARIAT
BAWASLU DAN PANWASLU
2.1. Gambaran Umum Pengawasan Pemilu
2.2. Tinjauan Normatif
2.3. Kondisi Kelembagaan
BAB III ANALISIS KELEMBAGAAN SEKRETARIAT JENDERAL
BAWASLU, SEKRETARIAT BAWASLU PROVINSI, SEKRETARIAT
PANWASLU, DAN SEKRETARIAT DKPP BERDASARKAN UU No. 15
TAHUN 2011
3.1 Tugas dan Wewenang Bawaslu dan Jajarannya
3.2 Sekretariat sebagai Pendukung Pelaksanaan Tugas dan Wewenang
Bawaslu dan jajarannya
3.3 Sekretariat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
3.4 Desain Struktur Organisasi
BAB IV MATERI MUATAN PERATURAN
4.1. Materi Penyempurnaan
4.2. Susunan Peraturan Presiden yang Baru
BAB V PENUTUP
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang:
Inisiatif DPR dan Pemerintah untuk memperbaiki kelemahan aspek kelembagaan
penyelenggara Pemilu tertuang pada Naskah Akademik RUU tentang revisi UU
Nomor 22 Tahun 2007. Dalam naskah tersebut disebutkan bahwa penyelenggara
pemilihan umum mendapatkan kritik dalam menyelenggarakan Pemilihan Umum
tahun 2009, baik Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD maupun
Pemilihan Umum Presiden/ Wakil Presiden, khususnya yang ditujukan kepada
KPU. Kritik tajam tersebut disebabkan oleh penyelenggaraan Pemilu tahun 2009
diwarnai oleh sejumlah persoalan serius, terutama dalam proses penyelenggaraan
tahap pemutakhiran data pemilih timbul masalah seputar akurasi DP4, DPS dan
Daftar Pemilih Tetap (DPT), hingga akurasi penghitungan dan rekapitulasi suara.
KPU dan jajarannya dianggap sebagai pihak yang paling bertanggungjawab
terhadap masalah-masalah tersebut. Hal yang seperti itu mengakibatkan kualitas
Pemilu dipertanyakan. Bawaslu juga mendapatkan sorotan yang lebih disebabkan
keterbatasan wewenang yang pada pelaksanaannya berdampak pada fungsi
pengawasan yang tidak optimal. Hasil kerja Bawaslu terkait dengan pelanggaran
pemilu banyak yang tidak bisa ditindaklanjuti. Dalam praktik, penanganan
pelanggaran pemilu dihadapkan pada sejumlah kendala, antara lain yang terkait
dengan dugaan adanya pelanggaran Kode Etik yang dilakukan oleh KPU proses
tindaklanjutnya terhenti karena KPU belum membentuk Dewan Kehormatan.
Menghadapi pelaksanaan Pemilihan Umum Kepala Daerah/Wakil Kepala
(Pemilukada) tahun 2010, Bawaslu juga menghadapi masalah terkait dengan
kesiapan pembentukan jajarannya di tingkat bawah atau Panitia Pengawas Pemilihan
Umum (Panwaslu). Panwaslu harus dibentuk kembali setelah dibubarkan pasca
Pemilu, namun Bawaslu menghadapi keterbatasan waktu. Sementara prosedur
untuk pengisian jabatan di Panwaslu memerlukan waktu yang tidak sebentar sesuai
prosedur yang diamanatkan undang-undang. Ini semua terkait karena posisi
Panwaslu yang bersifat ad hoc, tidak permanen.
Belum lagi soal dukungan sekretariat. Di tingkat pusat sekretariat Bawaslu dipimpin
oleh eselon II, sementara KPU dipimpin oleh eselon I. Di tingkat bawah dukungan
sekretariat juga seringkali menghadapi kendala, baik pada aspek sarana/ prasarana,
anggaran maupun kesiapan sumber daya manusianya (kuantitas maupun kualitas).
Sedikit banyak hal ini tentunya menghambat mobilitas penyelenggara pemilu dalam
melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna
menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila
mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil
dan politik dari warga negara. Penyelenggara pemilu yang lemah berpotensi
menghambat terwujudnya pemilu yang berkualitas.
Secara umum, organisasi yang baik dicirikan oleh beberapa hal. Pertama,
mempunyai visi dan misi yang jelas, yang dielaborasi dalam bentuk program yang
terarah, terukur dan aplikatif, juga didukung oleh strategi pencapaian yang tepat dan
BAB II
Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 22E ayat (5)
mengatur dan menetapkan Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi
pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri. Amanat konstitusi
tersebut untuk memenuhi tuntutan perkembangan kehidupan politik, dinamika
masyarakat dan perkembangan demokrasi yang sejalan dengan pertumbuhan
kehidupan berbangsa dan bernegara. Di samping itu wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sangat luas terdiri dari beribu-ribu pulau, dengan jumlah
penduduk yang banyak dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki
kompleksitas nasional menuntut keberadaan penyelenggara pemilihan umum yang
profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat dipertanggungjawabkan.
Menilik praktik demokrasi di beberapa negara lain, sebetulnya pelaksanaan pemilu
yang demokratis tidak mengharuskan adanya lembaga Pengawas Pemilu tersendiri
untuk menjamin pelaksanaan pemilu yang jujur dan adil, namun para perancang
undang-undang kita menghendaki lembaga Pengawas Pemilu itu eksis karena
karena posisi maupun perannya dinilai strategis dalam upaya pengawasan
pelaksanaan pemilu (Tjiptabudy, 2009). Diperkuat dengan pendapat MK dalam
Putusan MK No. 11/PUU-VIII/2010 yang menyatakan bahwa istilah suatu
komisi pemilihan umum dalam Pasal 22E ayat (5) UUD 1945 tidak merujuk
kepada sebuah nama institusi, akan tetapi menunjuk pada fungsi penyelenggaraan
Pemilu yang tidak hanya dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan
tetapi termasuk juga Bawaslu sebagai satu kesatuan fungsi. Berdasarkan aspek
yuridis tersebut, jelas bahwa konsep pengawasan Pemilu di Indonesia diwujudkan
secara institusi dalam lembaga Bawaslu, yang mana memperkuat aspek pengawasan
partisipatif oleh masyarakat dan pemantau.
Pengawas Pemilu merupakan lembaga yang diberi wewenang melakukan
pengawasan yang hasil pengawasannya dapat menjadi temuan pelanggaran,
menerima laporan pelanggaran pemilu, kemudian melakukan kajian terhadap
laporan atau temuan dugaan pelanggaran pemilu untuk memastikan apakah hal
tersebut benar-benar mengandung pelanggaran. Upaya proaktif Pengawas Pemilu
terlihat dari tugas pengawasan yang mana dapat menjadi daya tangkal (deterrence)
bagi terjadinya pelanggaran Pemilu, selain itu juga dapat menghasilkan temuan
pelanggaran bagi proses penanganan pelanggaran berikutnya. Sementara aspek
partisipasi masyarakat terlihat dari wewenang Bawaslu menerima laporan dugaan
pelanggaran Pemilu.
2.2
Dalam konteks Pemilu di Indonesia, konsep pengawas Pemilu yang ideal dapat
terwujud dalam keberadaan lembaga pengawas yang sesuai (compatible) dengan
sistem penyelenggaraan Pemilu, yang meliputi kesesuaian dengan teknis
penyelenggaraan, institusi penyelenggara Pemilu lainnya, serta kesesuaian dengan
instansi penegak hukum. Kompatibilitas ini menjadi syarat penting bagi terciptanya
pengawasan Pemilu yang efektif dan efisien, yang mana mengeliminasi
kemungkinan adanya blind spot yang tidak terawasi dan tumpang tindih kewenangan.
Konsep yang demikian tersebut harus juga diperkuat dengan prinsip pengawas
Pemilu sebagai berikut:
a. Bersifat Independen dan kredibel dari sisi kelembagaan maupun personal:
Independen berarti mandiri yang tidak memihak kepada partai politik atau
kontestan manapun Keberpihakan penyelenggara Pemilu kepada peserta Pemilu
akan mengakibatkan distrust serta menimbulkan proses dan hasil yang tidak fair,
sehingga menghilangkan makna demokrasi yang berusaha diwujudkan melalui
pemilihan umum yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. Sementara
kredibel berarti memiliki sifat dapat dipercaya.
b. Wewenang mengawasi dan menangani pelanggaran Pemilu:
Dalam konsep pengawas Pemilu ideal, pengawas Pemilu melaksanakan fungsi
pengawasan dan penanganan pelanggaran dengan menghasilkan temuan/menerima
laporan pelanggaran, pengumpulan alat bukti, klarifikasi, pengkajian yang kemudian
akan diklasifikasikan sebagai jenis pelanggaran administrasi, tindak pidana, atau
pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Kewenangan ini harus secara
berkelanjutan didukung oleh pelaksanaan wewenang dari KPU dan DKPP, serta
koordinasi yang kuat dengan kepolisian atau kejaksaan.
c. Transparan
Transaparansi mensyaratkan adanya ketersediaan informasi yang cukup, akurat dan
tepat waktu terkait dengan sebuah pelaksanaan tugas pengawas Pemilu. Dalam
peraturan perundang-undangan, transparansi ditafsirkan sebagai informasi yang
relevan dan tersedia untuk manfaat publik secara umum.
d. Membuka partisipasi masyarakat
Peran partisipatif dari masyarakat yang sadar pada pentingnya penyelenggaraan
Pemilu demokratis harus diakomodasi dalam mekanisme pengawasan Pemilu yang
mana memberi kemudahan turut sertanya pemantau Pemilu dan masyarakat. Salah
satu cara mengakomodasi hal tersebut adalah prosedur pelaporan pelanggaran bagi
masyarakat yang menemukan adanya dugaan pelanggaran. Hal ini tentu harus
ditunjang dengan pengawas Pemilu yang mempunyai prosedur pelaporan yang jelas,
serta penanganan pelanggaran yang kredibel.
2.3
Kondisi Kelembagaan
3)
4)
Bagan struktur Pengawas Pemilu pada Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan
Pemilu Kada menurut UU 22 Tahun 2007 sebelum dicabut adalah sebagai berikut:1
Bawaslu
Panwaslu Provinsi
Panwaslu Kabupaten/Kota
Panwaslu Kabupaten/Kota
Panwaslu Kecamatan
Panwaslu Kecamatan
Pengawas Pemilu Lapangan
Dalam hal di suatu daerah diselenggarakan Pemilu Kada Provinsi dan Pemilu Kada Kabupaten/Kota secara
serentak, maka Panwaslu Kabupaten/Kota tetap bertanggungjawab kepada Panwaslu Provinsi dalam
menjalankan tugas dan wewenangnya untuk penyelenggaraan pengawasan Pemilu Kada Provinsi. Jika
diminta oleh Bawaslu, Panwaslu Provinsi dapat membantu Bawaslu dalam menjalankan supervisi terhadap
Panwaslu Kabupaten/Kota dalam penyelenggaraan Pemilu Kada Kabupaten/Kota sepanjang disertai Surat
Tugas resmi dari Bawaslu.
KKRE
SEKRETARIAT
BAWASLU
BAGIAN
BAGIAN
BAGIAN
BAGIAN
U M U M
SUBBAGIAN
DATA, INFORMASI, DAN
HUBUNGAN MASYARAKAT
SUBBAGIAN
PROGRAM DAN ANGGARAN
SUBBAGIAN
EVALUASI DAN PELAPORAN
KELOMPOK TENAGA
FUNGSIONAL
TIM ASISTENSI
SUBBAGIAN
HUKUM DAN PERUNDANGUNDANGAN
SUBBAGIAN
TEKNIS PENGAWASAN
SUBBAGIAN
TATA USAHA DAN
SUMBER DAYA MANUSIA
SUBBAGIAN
PENANGANAN PELANGGARAN
SUBBAGIAN
KAJIAN PENGAWASAN PEMILU
SUBBAGIAN
KEUANGAN
SUBBAGIAN
TINDAK LANJUT PELANGGARAN
SUBBAGIAN
HUBUNGAN ANTAR LEMBAGA
SUBBAGIAN
PERLENGKAPAN,
RUMAH TANGGA, DAN
PROTOKOL
BAB III
ANALISIS KELEMBAGAAN SEKRETARIAT JENDERAL BAWASLU,
SEKRETARIAT BAWASLU PROVINSI, SEKRETARIAT PANWASLU,
DAN SEKRETARIAT DKPP BERDASARKAN UU No. 15 TAHUN 2011
Setelah berlakunya UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu yang
mencabut keberlakuan UU Nomor 22 Tahun 2007, terdapat perubahan hirarkis
yang dipengaruhi oleh permanenisasi pengawas Pemilu di tingkat provinsi.
Sehingga struktur pengawas Pemilu menjadi sebagai berikut:
Bawaslu seharusnya memiliki struktur yang dapat menopang pelaksanaan tugas dan
fungsi sekretariat DKPP.
Tugas DKPP tersebut yang nantinya dibantu oleh sekretariat menurut Pasal 111
ayat (3) adalah meliputi:
a.
b.
c.
d.
Dalam menjalankan tugas tersebut, DKPP juga mempunyai wewenang yang perlu
difasilitasi oleh sekretariat, antara lain:
a.
b.
c.
Kelompok Jabatan
Fungsional
DKPP
Sekretaris Jenderal/
Ex Officio Sekretaris DKPP
BIRO
BIRO
BIRO
BIRO
BAGIAN
BAGIAN
BAGIAN
BAGIA
BAGIAN
BAGIAN
BAGIA
BAGIAN
BAGIAN
BAGIAN
BAGIAN
SUB BAGIAN
BAGIAN
BAGIAN
SUB BAGIAN
BAGIAN
BAGIAN
Keterangan :
Garis Pimpinan dari Bawaslu kepada Jajaranya
Garis Koordinasi
SUB BAGIAN
BAGIAN
BAGIAN
SUB BAGIAN
BAGIAN
BAGIAN
BAB IV
MATERI MUATAN PERATURAN
4.1. Materi Penyempurnaan
4.1.1. Status Sekretariat
Sekretariat Jenderal Bawaslu adalah aparatur pemerintah yang di dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
Ketua Bawaslu. Sekretariat Jenderal Bawaslu dipimpin oleh Sekretaris Jenderal.
Sekretariat Bawaslu Provinsi/Panwaslu Kabupaten/Kota/Panwaslu Kecamatan
adalah aparatur pemerintah yang di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Bawaslu Provinsi/Panwaslu
Kabupaten/Kota/Panwaslu Kecamatan.
4.1.2. Struktur Organisasi Sekretariat
Sekretariat Jenderal Bawaslu terdiri atas sebanyak-banyaknya 4 (empat) Biro,
masing-masing Biro terdiri atas sebanyak-banyaknya 4 (empat) Bagian, dan masingmasing Bagian terdiri atas sebanyak-banyaknya 3 (tiga) Sub Bagian. Sekretariat
Bawaslu Provinsi terdiri atas sebanyak-banyaknya 3 (tiga) Sub Bagian. Sekretariat
Panwaslu Kabupaten/Kota dan Kecamatan bersifat ad hoc.
4.1.3. Eselonisasi Sekretariat
Eselonisasi jabatan struktural di lingkungan Sekretariat Jenderal Bawaslu, sebagai
berikut:
a. Sekretaris Jenderal Bawaslu adalah Jabatan Struktural Eselon Ib;
b. Kepala Biro adalah Jabatan Struktural Eselon IIa;
c. Kepala Bagian adalah Jabatan Struktural Eselon IIIa; dan
d. Kepala Sub Bagian adalah Jabatan Struktural Eselon IVa.
Eselonisasi jabatan struktural di lingkungan Sekretariat Bawaslu Provinsi, sebagai
berikut:
a. Kepala Sekretariat Bawaslu Provinsi adalah Jabatan Struktural Eselon IIIa; dan
b. Kepala Sub Bagian adalah Jabatan Struktural Eselon IVa.
4.1.4. Pembinaan Sekretariat
Pembinaan kepangkatan Pegawai Negeri Sipil pada Sekretariat Jenderal Bawaslu
dilakukan oleh Sekretaris jenderal Bawaslu. Pembinaan kepangkatan Pegawai Negeri
Sipil pada Sekretariat Bawaslu Provinsi dilakukan oleh Sekretaris Jenderal Bawaslu
atau instansi induknya. Pembinaan kepangkatan Pegawai Negeri Sipil pada
Panwaslu Kabupaten/Kota dan Panwaslu Kecamatan dilakukan oleh instansi
induknya.
KETENTUAN UMUM
KEDUDUKAN, TUGAS, FUNGSI DAN WEWENANG
ORGANISASI
ESELONISASI, PENGANGKATAN, DAN PEMBERHENTIAN
KELOMPOK JABATAN FUNGSIONAL
TATA KERJA
SEKRETARIAT DKPP
PEMBIAYAAN
KETENTUAN PENUTUP
BAB V
PENUTUP
Demikian naskah akademik ini disusun agar dapat dijadikan acuan dalam
perumusan dan pembahasan Rancangan Peraturan Presiden tentang Organisasi,
tugas, fungsi, wewenang dan tata kerja Sekretariat Jenderal Bawaslu, Sekretariat
Bawaslu Provinsi, dan sekretariat Panwaslu Kabupaten/Kota, Sekretariat Panwaslu
Kecamatan, dan Sekretariat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu.
Jakarta,
2012
Badan Pengawas Pemilihan Umum
Ketua,