Anda di halaman 1dari 6

KEW ENANGAN BAW ASLU DALAM PENETAPAN HASIL PEROLEHAN SUARA

1 2 3 4
Sang Alif Prasetyo , Avrilia A ngel , Tri Listya Lukmanda , Suprapto

1 2
prasmanan553@ gmail.com , avriliaangel06@ gmail.com ,
3 4
lukmandacute17@ gmail.com , suprapto@ unim.ac.id

Universitas Islam M ajapahit, M ojokerto


Jl. Raya Jabon KM . 0.7 M ojokerto

Abstrak
Kewenangan Bawaslu berkaitan erat dengan hasil perolehan suara peserta pemilu,
memungkinkan Bawaslu menghasilkan putusan yang berimplikasi pada hasil perolehan suara
peserta pemilu. Kewenangan yang sangat luas tersebut membuka peluang benturan maupun
tumpang tindih putusan antar lembaga negara . M etode yang digunakan dalam kajian ini
adalah pendekatan hukum normatif dengan bahan kepustakaan. Adapun hasil kajian ini
menyebutkan M K selaku lembaga yang berwenang memutuskan perselisihan hasil Pemilu,
terlebih dahulu harus memperhatikan keterangan Bawaslu dalam pemeriksaan perkara PHPU
Presiden dan Wakil Presiden. Bahwa kedudukan dan kewenangan dari Bawaslu dan M K,
secara bersama-sam a kedua lembaga tersebut harus terlibat di dalam proses perselisihan hasil
Pemilu. Bawaslu selaku yang menindaklanjuti laporan pelanggaran Pemilu memiliki
kewenangan terbatas dalam memberikan keterangan perkara PHPU. Selanjutny a, M K yang
memiliki kewenangan memutuskan perkara PHPU, dalam sidangnya harus
mempertimbangkan masukan dan hasil pemeriksaan dari Bawaslu .

Kata Kunci: Kewenangan, Bawaslu, M ahkamah Konstitusi, Pemilu

Pengantar
Pemilu merupakan sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. Dengan
kata lain, pemilu merupakan sarana bagi rakyat Indonesia dalam menjalankan praktik
demokrasi. Sebagai agenda wajib dalam melakukan pergantian kekuasaan di tingkat nasional,
wilayah, dan daerah, dinaungi melalui lembaga penyelenggara pemilu yakni KPU (Komisi
Pemilihan Umum) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum). M elalui
penyelenggaraan pemilu, dalam prosesnya tidak terlepas dari berbagai perselisihan antar
kandidat yang turut ser ta mengisi jabatan pemerintah nasional, wilayah, dan daerah.
Sebagaimana yang telah terjadi pada problematika pemilu dalam perselisihan penetapan
hasil perolehan suara tidak lepas dari tugas dan kewenangan B awaslu. Dalam UU No. 22
tahun 2007 dan UU No. 42 tahun 2008, tugas dan wewenang Bawaslu yakni mengawasi
tahapan pemilu sesuai dengan UU, menerima laporan dan dugaan pelanggaran, serta
memberikan rekomendasi atas temuan pelanggaran kepada KPU atau in stansi berwenang
lainnya.
Secara terperinci terletak pada pasal 95 UU N omor 7 Tahun 2017 menyebutkan
Bawaslu berwenang untuk menerima dan menindaklanjuti laporan yang berkaitan dengan
dugaan adanya pelanggaran terhadap pelaksanaan pemilu. Bawaslu berwenang memeriksa,
mengkaji, dan memutus pelanggaran baik pelanggaran administrasi pemilu maupun
pelanggaran politik uang. Lalu dalam sengketa proses pemilu, Bawaslu berwenang
menerima, memeriksa, memediasi atau mengadjudikasi, dan memutus penyelesaian yang
diajukan peserta pemilu.
Selama penyelenggaraan Pemilu 2019, Bawaslu mencatat terjadi 7.132 pelanggaran
baik terkait P ileg (Pemilihan Legislatif) maupun Pilpres (Pemilihan Presiden) 2019. Jumlah
tersebut berasal dari temuan Bawaslu dan laporan masyarakat hingga 22 April 2019.
Penerimaan laporan dugaan pelanggaran sejumlah 903 laporan, penerimaan temuan dugaan
laporan sejum lah 6.929 laporan. Selanjutnya ditindak oleh M K (M ahkamah Konstitusi)
seperti yang tertera pada PM K No 4 T ahun 2018 yang mana Bawaslu turut mendampingi
terkait gugatan pelapor maupun terlapor untuk menguji perbandingan yang berpotensi pada
kecurangan dalam pemilu tersebut.
Lebih lanjut, pasal 24 pada PM K tersebut, B awaslu dan/atau jajarannya secara
berjenjang bertindak sebagai pemberi keterangan dalam pemeriksaan PHPU (Perselisihan
Hasil Pemilihan Umum) Presiden dan Wakil Presiden yang terkait permohonan yang
diperiksa oleh M ahkamah. Bawaslu sebagai pemberi keterangan pelapor akan memberikan
Rekap Putusan/Ketetapan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum.
Sedangkan pada Pasal 48 PM K tersebut menjelaskan, perkara PHPU P residen dan
Wakil Presiden diputuskan M ahkamah Konstitusi dalam tenggang waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak Permohona n dicatat dalam BRPK (Buku Registrasi Perkara
Konstitusi). Berikutnya, pada kewenangan Bawaslu berkaitan erat dengan hasil perolehan
suara peserta pemilu, memungkinkan Bawaslu menghasilkan putusan yang berimplikasi pada
hasil perolehan suara peserta pemilu. Kewenangan yang sangat luas tersebut membuka
peluang benturan maupun tumpang tindih putusan antar lembaga negara yang menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi pelaksana putu san tersebut baik peserta pemilu maupun
penyelenggara pemilu (KPU).
Metode
M etode pendekatan masalah yang digunakan dalam kajian ini adalah hukum normatif,
yaitu suatu pendekatan dalam bidang hukum yang dilak ukan dengan cara menganalisis bahan
pustaka atau data sekunder (Soekanto dan M amud ji, 1985). Sebagai kajian hukum normatif
yang berbasis pada studi kepustakaan, artikel ini dianalisis melalui berbagai sumber dan
bahan hukum yang terdiri dari UU No. 22 tahun 2007 dan UU N o. 42 tahun 2008, tentang
Penyelenggara Pemilu, U U N omor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, PM K No 4 Tahun 2018,
Peraturan Bawaslu Nom or 4 Tahun 2020, dan Peraturan Bawaslu No 15 Tahun 2020
(M aulana dan M ustikaningsih, 2019).

Hasil dan Pembahasan


Praktik pengawasan pemilu yang dinaungi melalui lembaga Bawaslu menjadi bagian
penting dalam proses pemilu. Pada prakondisi pemilu yang bebas dan adil, terdapat 15
standar yang diakui yakni: (1) Keberadaan kerangka pemilihan, (2) Sistem pemilihan, (3)
Batas daerah pemilihan atau unit pemilihan, (4) H ak untuk memilih dan dipilih, (5)
Penyelenggara KP U, (6) Pendaftaran pemilih, (7) Akses pemungutan suara oleh partai politik
dan kandidat, (8) Kampanye pemilu de mokratis, (9) Akses ke media dan keterbukaan
informasi dan kebebasan berpendapat, (10) Keuangan dan dana kampanye, (11) Ketersediaan
surat suara, (12) Perhitungan dan tabel pemungutan suara, (13) Keterwakilan partai politik
dan calon, (14) Pemerhati pemilu, dan (15) Penegakan hukum dan kepatuhan pemilu
(Surbakti, 2011).
Berdasarkan penuturan M ax Gröm ping, terdapat 3 (tiga) bagian dalam pengawasan
pemilu, yakni: (1) Partisipasi, (2) Ketepatan, (3) Kredibilitas. Sebagaimana tugas pokok
fungsi (tupoksi) yang melekat pada B awaslu, terdapat dua pendekatan yang ideal dan relevan
yakni secara yuridis dan sosiologis. Secara yuridis, didasarkan pada : (1) Peraturan Badan
Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Tata Cara
Pembinaan dan Pengawas Pemilihan Um um; (2) Putusan Bawaslu Nomor
19/LP /PL/A DM /RI/00.00/V/2019 yang dikeluarkan pada tanggal 23 M ei 2019 atau 2 hari
setelah penetapan perolehan suara nasional dan masih masuk ke dalam tenggat waktu
mengajukan sengketa hasil ke MK ; (3) Putusan Bawaslu Nomor
047/LP/PL/ADM /RI/00.00/V/2019; (4) Putusan Bawaslu Nomor 25/K/ADM /BWSL/
PEM ILU/V/2019; (5) Putusan Bawaslu N omor 2/4LP/PL/ADM /RI/00.00/V/2019; (6)
Putusan Bawaslu Nomor 065/LP/PL/ADM /RI/00.00/V/2019; (7) Putusan M ahkamah
Konstitusi N omor 146-02-10/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019; dan (8) Putusan M ahkamah
Konstitusi Nomor 146-02-10/PHPU.DPR-DPRD/XVII/2019.
M elalui peraturan tersebut bahwa terdapat: (1) Laporan hasil pembinaan dan
pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pengawas pemilu; dan (2) Permasalahan dan analisis
hasil pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas pen gawas pemilu. Dengan
demikian Bawaslu dalam kewenangannya melaksanakan ketentuan sebagaimana yang telah
ditetapkan.
Secara sosiologis, berdasarkan pendekatan struktur (structure) dan peran (role),
kedudukan dan wewenang secara hierarkis mengacu pada tatanan struktur formal. M engacu
pada pendekatan fungsional, struktur (organisasi) dijalankan atas fungsi-fungsi untuk
menciptakan keteraturan (Ritzer, 2014; M erton, 1968).
Dalam rangka pengintegrasian hukum pemilu (kodifikasi empat UU pemilu), tim
kemitraan telah mengajukan usulan pembentukan Komisi Penegakan H ukum Pemilu (KPHP)
kepada semua fraksi di DPR dan pemerintah. KPHP ini tentu dengan kualifikasi keanggotaan
dan kewenangan yang berbeda dari Bawaslu. Penyalahgunaan uang dalam pemilu, penegakan
ketentuan dana kampanye pemilu, dan penerimaan pemilu merupakan tiga dari tugas dan
tugas yang diusulkan untuk menjadi tugas KPHP, (Surbakti, 2016).
Dalam penanganan Pemilu pasca penetapan hasil perolehan suara , Bawaslu memiliki
kewenangan yang tertera dalam Peraturan Bawaslu Nomor 7 Tahun 2018 tentang
Penanganan Temuan dan Laporan P elanggaran Pemilihan Umum. Bahw asannya Bawaslu
berhak menindak lanjuti perkara apabila di dalam Pemilu terdapat pelanggaran-pelanggaran.
Dalam penanganan temuan dan laporan dugaan pelanggaran Pemilu, Bawaslu wajib
melakukan penindakan terhadap dugaan pelanggaran Pemilu. Penindakan tersebut merupakan
serangkaian proses penanganan pelanggaran yang berasal dari temuan/laporan untuk
ditindaklanjuti oleh instansi yang berwenang.
M engacu pada teori kekuasaan, didalamnya terdapat kewenangan atau wewenang.
Setiap kewenangan pada kekuasaan diikat pada aturan hukum yang resmi (Veeger, 1985).
Bawaslu sebagai lembaga yang sejak awal mengawal, mengawasi, memeriksa, mengkaji dan
memutuskan pelanggaran-pelanggaran administrasi pada jalannya pemilu memiliki
wewenang yang resmi.
Berikutnya, M K selaku lembaga negara berwenang memutus perselisihan tentang hasil
Pemilu. Sesuai kewenangan tersebut, Bawaslu dan M K selaku lembaga negara yang dalam
hal ini berwenang menyelesaikan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), maka perlu
disusun peraturan yang mengatur kewenangan masing-masing lembaga agar tidak terjadi
tumpang tindih keputusan. Kehadiran Bawaslu masih diperlukan dalam perseli sihan hasil
pemilihan um um didasarkan pada P eraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 7
Tahun 2018 tentang Penanganan Temuan dan Laporan pelanggaran Pemilihan Umum.
Bahwa pada pasal 17 mengenai waktu penanganan pelanggaran Bawaslu memerlukan
keterangan tambahan dan kajian yang dilakukan paling lama 14 hari kerja usai temuan dan
laporan diterima dan diregistrasi.
Tindak lanjut penanganan pelanggaran yang mencakup : (1) Pemberkasan pelanggaran
kode etik penyelenggara Pemilu, (2) tindak pidana pemilu, (3) pelanggaran administratif, (4)
pelanggaran peraturan perundang-undangan lainnya, yang kemudian status penanganan
pelanggaran tersebut diumumkan dan d ilaporkan secara tertulis oleh Sekretariat Jendral
Bawaslu.
M engacu pada wewenang M K sebagaimana yang telah diatur pada peraturan
M ahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018 tentang Tata Beracara dalam Perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, pada pasal 6 permohonan
perkara keputusan hasil Pemilu diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 hari setelah
penetapan perolehan suara hasil Pemilu. Permohonan tersebut mengacu pada jawaban
termohon, keterangan pihak terkait, dan keterangan Bawaslu.
M K selaku lembaga yang berwenang memutuskan perselisihan hasil Pemilu, terlebih
dahulu harus memperhatikan keterangan Bawaslu dalam pemeriksaan perkara PHPU
Presiden dan Wakil Presiden yang berkenaan dengan permohonan yang diperiksa oleh M K.
Dalam hal ini sudah cukup jelas kedudukan dan kewenangan da ri Bawaslu dan M K, maka
secara bersama-sam a kedua lembaga tersebut harus terlibat di dalam proses perselisihan hasil
Pemilu. Secara lebih ringkas Bawaslu selaku yang menindaklanjuti laporan pelanggaran
Pemilu memiliki kewenangan terbatas dalam memberikan keterangan perkara PHPU.
Selanjutnya, M K yang memiliki kewenangan memutuskan perkara PHPU, dalam sidangnya
harus mempertimbangkan masukan dan hasil pemeriksaan dari Bawaslu .

Simpulan dan Rekomendasi


Kewenangan penyelesaian perselisihan hasil pemilu, menimbulkan tumpang tindih
keputusan. Pelaksanaan kewenangan membuktikan adanya benturan kewenangan antara
Bawaslu dengan M ahkamah Konstitusi. Bawaslu selaku yang menindaklanjuti laporan
pelanggaran Pemilu memiliki kewenangan terbatas dalam memberikan keterangan perkara
PHPU. Sedangkan, M K memiliki kewenangan memutuskan perkara PHPU, dalam sidangnya
harus mempertimbangkan masukan dan hasil pemeriksaan dari Bawaslu .
Berdasarkan simpulan tersebut, penulis merekomendasikan sebagai berikut:
1. Perlu penataan ruang lingkup dan batasan kewenangan dalam penyelesaian
persoalan yang menyangkut kepastian hasil pemilu.
2. Perlu pembatasan waktu penanganganan yang jelas, antara kewenangan M K dengan
Bawaslu.
3. Perlu peraturan yang mengatur kewenangan Bawaslu dan M K yang tertuang dalam
satu peraturan tentang wewenang B awaslu dan M K dalam Perselisihan Hasil
Pemilu.

Referensi
M aulana, M . Ihsan; M ustikaningsih, R.M . 2019. Ketidakpastian Hukum Penyelesaian
Pelanggaran Administrasi dalam Proses Rekapitulasi Hasil Pemilu . Journal.kpu.go.id.
M erton, Robert. 1968. M anifest and Latent Functions. O n Theoritical Sociology. NY: The
Free Press.
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Um um Republik Indonesia N omor 15 Tahun 2020.
Tata Cara Peminaan dan Pengawasan terhadap Pelaksanaa n Tugas Pengawas
Pemilihan Umum .
Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum Nomor 7 T ahun 2018. Penanganan Temuan
dan Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum .
Peraturan M ahkamah Konstitusi Nomor 4 Tahun 2018. Tata Beracara dalam Perkara
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Ritzer, George. 2014. Sosiologi Ilmu Berparadigma Ganda. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Soekanto, Soerjono. dan Sri M amudji. 1985. Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan
Singkat). Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Surbakti, Ramlan. 2011. Penanganan Pelanggaran Pemilu. Jakarta: Kemitraan bagi Pembaruan
Tata Pemerintahan.

Surbakti, Ramlan. 2016. Penegakan Hukum dan Pilkada. Kompas edisi 8 M aret 2016.
Veeger, K.J. 1985. Realitas Sosial: Refleksi Filsafat Sosial atas Hubungan Individu -M asyarakat dalam
Cakrawala Sejarah Sosiologi. Jakarta: Gramedia.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 2007. Penyelenggara Pemilihan Umum.


Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008. Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.

Anda mungkin juga menyukai