Anda di halaman 1dari 35

REGULASI POLITIK HUKUM DALAM PEMILIHAN UMUM DI

INDONESIA

MATA KULIAH : POLITIK HUKUM


DOSEN PENGAMPU : PROF. DR. SATYA ARINANTO, S.H., M.H.

DISUSUN OLEH:
FARHANA NABILA HANIFAH -2006495284
NO PRESENSI - 05
SISTEM PERADILAN DAN HUKUM PIDANA

PROGRAM PASCASARJANA
ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS INDONESIA
TAHUN 2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................2
BAB 1................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.............................................................................................................3
1.1. Latar Belakang.................................................................................................3
1.2. Rumusan Masalah............................................................................................5
1.3. Tujuan...............................................................................................................6
BAB 2................................................................................................................................7
TINJAUAN PUSTAKA...................................................................................................7
2.1. Politik Hukum..................................................................................................7
2.2. Demokrasi.........................................................................................................8
2.3. Pemilihan Umum (Pemilu)............................................................................10
BAB 3..............................................................................................................................13
ISI PEMBAHASAN.......................................................................................................13
3.1. Perkembangan Politik hukum dalam pemilihan Umum di Indonesia.......13
A. Sebelum Masa Orde Baru..............................................................................13
B. Masa Orde Baru.............................................................................................14
C. Setelah Masa Orde Baru................................................................................17
3.2. Permasalahan Politik hukum dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 19
A. presidential threshold;.....................................................................................24
B. Parliamentary Threshold................................................................................26
C. Sistem Pemilu.................................................................................................27
D. Daerah Pemilihan Magnitude........................................................................28
E. Metode Konversi Suara.................................................................................29
3.3. Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Mengawal Demokrasi Melalui
Putusan Sengketa Hasil Pemilu.................................................................................30
BAB 4..............................................................................................................................33
PENUTUP.......................................................................................................................33
4.1. Kesimpulan.....................................................................................................33
4.2. Saran...............................................................................................................34
DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................35
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Politik hukum dalam pemilihan umum (Pemilu) sebagai bagian dari sistem
politik hukum ketatanegaraan Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga sekarang
telah mengalami proses penataan sesuai tuntutan masyarakat dan perkembangan
konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dalam catatan sejarah, politik
hukum pemilihan umum telah mengatur beberapa sistem pemilihan kepala
pemerintah dari kepala desa, Bupati, Gubrenur, Walikota dan Pemilihan anggota
DPR hingga pemilihan Presiden , yakni sistem penunjukan atau pengangkatan
yang diterapkan pada masa orde lama dibawah sistem demokrasi liberal dan
demokrasi terpimpin, sistem pemilihan perwakilan semu yang diterapkan pada
masa orde baru hingga masa transisi menuju demokrasi melalui pemilihan secara
langsung oleh rakyat.

Pemilihan Umum atau Pemilu merupakan pesta demokrasi yang harus


diselenggarakan oleh negara demokrasi. Indonesia sebagai negara demokrasi telah
melaksanakan Pemilu sebagai kegiatan rutin yang diadakan setiap lima tahun
sekali. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia selalu diikuti dengan pembuatan
instrumen hukum tentang Pemilu. Menjelang pelaksanaan Pemilu tahun 2019,
Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR dan Pemerintah tidak luput untuk membuat
instrumen hukum baru terkait dengan Pemilu tahun 2019. Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum merupakan instrumen hukum baru yang
dikeluarkan untuk mengatur terkait dengan Pemilu tahun 2019. Pengaturan pada
Pemilu tahun 2019 berbeda dengan pengaturan Pemilu sebelumnya khususnya
sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2014. Pemilu tahun 2004 sampai dengan
Pemilu tahun 2014 selalui mempunyai dua intrumen hukum. Instrumen hukum
pertama mengatur tentang Pemilu Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Instrumen hukum kedua
mengatur tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
Ada lima isu penting sesungguhnya yang terdapat dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Lima isu tersebut diantaranya
yaitu ambang batas parlemen atau electoral threshold, ambang batas presiden atau
presidential threshold, sistem pemilihan umum, daerah pemilihan magnitude, dan
metode konversi suara1. Lima isu tersebut jika tidak segera diklarifikasi dan
dijelaskan secara gamblang kepada masyarakat luas akan menyebabkan
permasalahan. Permasalahan tersebut akan berujung pada permasalahan Pemilu
tahun 2019. Permasalahan lain yang ada dalam Undang- Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum seperti (1) rumusan pasal dalam undang-undang
kurang jelas; (2) tidak ada persamaan kedudukan partai politik atau diskriminasi
terhadap partai politik; (3) penerapan aturan yang berbeda-beda; (4) persyaratan
juga berbeda-beda kepada partai politik lama dengan partai politik baru (5)
Adanya perbedaan dalam mekanisme prosedur. Adanya permasalahan-
permasalahan seperti yang disebutkan membuat masyarakat mengajukan judicial
review ke Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang sarat


akan isu dan permasalahan menarik untuk diulas lebih lanjut. Perlu diketahui
tujuan sesungguhnya dari Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum. Hal tersebut dilakukan untuk menjawab terkait dengan
permasalahan yang ada dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum. Isu dan permasalahan yang cukup banyak tersebut hanya akan
mengulas lima isu atau masalah.

Makalah ini akan membahas lima isu stau permasalahan yang ada dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yaitu terkait
dengan ambang batas parlemen atau electoral threshold, ambang batas presiden
atau presidential threshold, sistem pemilihan umum, daerah pemilihan magnitude,
dan metode konversi suara. Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Mengawal
Demokrasi Melalui Putusan Sengketa Hasil Pemilu serta bagaiaman terobosan
Hukum Menegakkan Konstitusi dalam Wewujudkan Masyarakat yang Berbudaya
dan Cerdas Hukum Berdasarkan Pancasila.
Bagi negara demokrasi modern pemilihan umum merupakan mekanisme
utama yang harus ada dalam tahapan penyelenggaraan negara dan pembentukan
pemerintahan, Pemilu dipandang sebagai bentuk nyata dari kedaulatan rakyat
serta wujud paling konkrit partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan negara. Oleh
karena itu sistem dan penyelenggaraan pemilu selalu menjadi perhatian utama,
pemerintahan dari oleh dan untuk rakyat melalui penataan sistem dan kualitas 5
penyelenggaraan pemilu. Moh. Mahfud MD mengatakan bahwa mengkaitkan
pemilu dengan demokrasi sebenarnya dapat dilihat dari hubungan rumusan yang
sederhana sehingga ada yang mengatakan bahwa pemilu merupakan salah satu
bentuk dan cara paling nyata untuk melaksanakan demokrasi, jika demokrasi
diartikan sebagai pemerintahan dari, oleh dan unttuk rakyat maka cara rakyat
untuk menentukan pemerintahan itu 6 dilakukan dengan pemilu. Lebih lanjut

Moh.Mahfud MD mengatakan bahwa hal tersebut bermakna pula, pertama,


pengakuan prinsip supremasi hukum dan konstitusi, kedua dianutnya prinsip
pemisahan dan pembatasan kekuasan menurut sistem konstitusional yang diatur
dalam Undang-Undang Dasar, ketiga adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia,
keempat adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak, yang menjamin
persamaan setiap warga negara dalam hukum, dan kelima jaminan keadilan bagi
setiap orang, termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang 7
berkuasa oleh pihak yang berkuasa. Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peran
Mahkamah konstitusi yang oleh UUD 1945 diberi wewenang untuk memutus
sengketa hasil pemilu

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis merumuskan menjadi :

1. Bagaimana perkembangan politik hukum dalam perkembangan pemilihan


umum di Indonesia
2. Bagaimana lima isu atau permasalahan yang ada dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
3. Bagaimana peran Mahkamah Konstitusi dalam mengawal demokrasi melalui
putusan Sengketa hasil pemilu
1.3. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas maka tujuan dari penulisan buku ini yaitu :

1. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pemilihan umum di Indonesia


yang terintergrasi oleh politik hukum
2. Untuk mengetahun permasalahan yang ada dalam Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
3. Untuk mengetahui peran Mahkamah Konstitusi dalam mengawal
demokrasi melalui putusan Sengketa hasil pemilu
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Politik Hukum

Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa


Indonesia dari Istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan
dua kata recht dan Politiek. Dalam kamus bahasa Indonesia kata recht berarti
hukum dan dalam kamus Bahasa Belanda yang ditulis oleh Van der Tas, kata
Politiek mengandung arti beleid. Kata belied sendiri dalam bahasa indonesia
berarti kebijakan (policy). (Imam Syaukani Dan A.Ahsin Thohari,2015:21) Dari
penjelasan itu bisa dikatakan bahwa politik hukum secara singkat berarti
kebijakan hukum. Adapun kebijakan sendiri dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia bearti rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan kepemimpinan dan cara bertindak.
Dengan kata lain , politik hukum adalah serangkaian konsep dan asas yang
menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan
kepemimpinan, dan cara bertindak dalam bidang hukum.

Pengertian politik hukum yang dikemukakan Soedarto atas mencakup


pengertian yang sangat luas. Pernyataan “mengekspresikan apa yang terkandung
dalam masyarakat”bisa ditafsirkan sangat luas sekali dan dapat memasukkan
pengertian di luar hukum, yakni politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam.
Sedangkan pernyataan “untuk mencapai apa yang dicita–citakan “memberikan
pengertian bahwa politik hukum berkaitan dengan hukum yang dicita – citakan
(Ius Constituendum). Satjipto Rahardjo dalam buku (Mohammad Mahfud MD
“Politik Hukum Di Indonesia”,2014; 2)mendifinisikan politik hukum adalah
aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan
sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat dan menurut Satjipto Rahardjo,
terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang muncul dalam studi politik hukum,
yaitu
1. Proses penggalian nilai – nilai dan aspirasi yang berkembang dalam
masyarakat oleh penyelenggara negara yang berwenang merumuskan politik
hukum.
2. Proses perdebatan dan perumusan nilai – nilai dan aspirasi tersebut ke dalam
bentuk sebuah rancangan perundang – undangan oleh penyelenggara negara
yang berwenang merumuskan politik hukum.
3. Penyelenggara negara yang berwenang merumuskan dan menetapkan politik
hukum.
4. Peraturan perundang – undangan yang memuat politik hukum.
5. Faktor – faktor yang mempengaruhi dan menentukan suatu politik hukum,
baik yang akan datang dan telah ditetapkan.
6. Pelaksananaan dari peraturan perundang – undangan yang merupakan
implementasi dari politik hukum suatu negara.

Politik hukum secara umum bermanfaat untuk mengetahui bagaimana proses –


proses yang tercakup enam wilayah kajian itu dan menghasilkan sebuah legal
Policy yang sesuai dengan kebutuhan dan rasa keadilan Masyarakat dan enam
wilayah kajian itu bersifat integral satu sama lain.

2.2. Demokrasi

Demokrasi merupakan sebuah konsep yang berarti pemerintahan di mana


kekuasaan tertinggi (atau kedaulatan) ada di tangan rakyat atau sering juga
dikatakan bahwa demokrasi adalah pemerintahan oleh rakyat atau pemerintahan
mayoritas. Salah satu defenisi demokrasi yang paling umum, bahwa demokrasi
adalah pemerintahan oleh rakyat di mana kekuasaan tertinggi di tangan rakyat dan
dijalankan langsung oleh mereka atau oleh wakil-wakil yang mereka pilih di
bawah sistem pemilihan bebas. Dari batasan ini, tampak beberapa unsur penting
ciri demokrasi, di antaranya adanya unsur kekuasaan yang dilaksanakan secara
langsung atau melalui perwakilan, kedaulan di tangan rakyat, sistem pemilihan
yang bebas. Prinsip kedaulatan rakyat dan kebebasan sangat penting dalam
konsepsi tersebut di atas. Selain prinsip-prinsip maka demokrasi juga
mengandung unsur seperangkat praktek dan prosedur dari sebuah proses
pelembagaan kebebasan yang panjang dan berliku
Pengertian tentang demokrasi dapat dilihat dari tinjauan bahasa (etimologis)
dan istilah (terminologis). Secara etimologis, "demokrasi" berasal dari dua kata
yang berasal dari bahasa Yunani Kuno, yaitu demos yang berarti rakyat, dan
cratos atau cratein yang berarti pemerintahan, sehingga dapat disimpulkan sebagai
pemerintahan rakyat. Demokrasi adalah bentuk atau mekanisme sistem
pemerintahan suatu negara sebagai upaya mewujudkan kedaulatan rakyat
(kekuasaan warga negara) atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara
tersebut. Demokrasi bila ditinjau dari terminologis, sebagaimana dikemukakan
beberapa para ahli, misalnya :

1. Joseph A. Schmeter, bahwa demokrasi adalah suatu perencanaan institusional


untuk mencapai keputusan politik dimana individu-individu memperoleh
kekuasaan untuk memutuskan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.
2. Sidney Hook, bahwa demokrasi merupakan bentuk pemerintahan dimana
keputusan-keputusan pemerintah yang penting secara langsung atau tidak
langsung didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas
dari rakyat dewasa.
3. Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl yang menyatakan bahwa demokrasi
sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah dimintai tanggung
jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh warga negara
yang bertindak secara tidak langsung melalui kompetisi dan kerja sama
dengan para wakil mereka yang telah terpilih.
4. Henry B. Mayo, bahwa demokrasi merupakan suatu sistem politik yang
menunjukkan bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh
wakil-wakil yang diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-
pemilihan berkala yang didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan
diselenggarakan dalam suasana terjaminnya kebebasan politik.
5. Affan Gaffar, bahwa demokrasi terbagi dalam dua bentuk yaitu pemaknaan
secara normatif, ialah demokrasi yang secara ideal hendak dilakukan oleh
suatu negara, dan pemaknaan secara empirik, yaitu demokrasi dalam
perwujudannya pada dunia politik praktis.

Berdasarkan berbagai pendapat di atas, maka dapat ditarik suatu pengertian


dasar bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dimana kekuasaan
berada di tangan rakyat, yang mengandung tiga unsur, yaitu pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Pemerintahan dari rakyat mengandung
pengertian bahwa pemerintah yang berdaulat adalah pemerintah yang mendapat
pengakuan dan didukung oleh rakyat. Legitimasi suatu pemerintahan sangat
penting karena dengan legitimasi tersebut, pemerintahan yang berdaulat dapat
menjalankan pemerintahannya serta program-program sebagai wujud dari amanat
dari rakyat yang diberikan kepadanya.

Demokrasi dalam arti sempit menurut Joseph Schumpeter, adalahsebuah


metode politik dan sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik.Warga
negara diberikan kesempatan untuk memilih salah satu di antara pemimpin-
pemimpin politik yang bersaing meraih suara dan pada pemilihan berikutnya,
warga negara dapat mengganti wakil mereka yang dipilih sebelumnya.
Kemampuan untuk memilih di antara pemimpin- pemimpin pada masa pemilihan
inilah yang disebut demokrasi .

Menurut Robert A.Dahl, demokrasi adalah satu sistem politik yangmemberi


peluang kepada rakyat jelata membuat keputusan-keputusan secara umum dan
menekankan responsifitas pemerintah terhadap preferensi warga negaranya yang
setara secara politis sebagai sifat dasardemokrasi.

Sedangkan menurut Abraham Lincoln, demokrasi adalah suatu bentuk


pemerintahan dimana kekuasaan politik tertinggi (supreme political authority) dan
kedaulatan (soverignity) ada di tangan rakyat yang berhak untuk memerintah4 .
Pemahaman demokrasi ini telah dipahami secara universal dimanademokrasi tidak
lagi dipahami dari segi substantifnya saja dengan memberikan apa yang menjadi
hak-hak rakyat, namun juga dilihat dari segi proseduralnya, yaitu bagaimana
mekanisme penyampaian hak-hak tersebut. Dengan demikian, demokrasi tidak
berarti rakyat sendiri yang harus menyampaikan hak-haknya tersebut, tetapi juga
dapat mewakilkannya kepada pihak lain melalui suatu mekanisme tertentu. Oleh
karena itu cukup beralasan jika kemudian demokrasi diartikan sebagaigovernment
by the people, either directly or through representative.
2.3. Pemilihan Umum (Pemilu)

Pemilu adalah salah satu ciri yang harus ada pada negara demokrasi.Dengan
demikian pemilu merupakan sarana yang penting untuk rakyat dalam kehidupan
bernegara, yaitu dengan jalan memilihwakil-wakilnya yang pada gilirannya akan
mengendalikan roda pemerintahan.Hasil pemilihan umum yang diselengarakan
dalam suasana keterbukaan dengan kebebasan berpendapat dan kebebasan
berserikat, dianggap mencerminkan dengan cukup akurat mencerminkan aspirasi
dan partisipasi masyarakat .

Menurut Harris G.Warren, pemilu adalah kesempatan bagi para warga


negara untuk memilih pejabat-pejabat pemerintah dan memutuskan apakah yang
mereka inginkan untuk dikerjakan oleh pemerintah. Dan dalam membuat
keputusannya itu para warga negara menentukan apakah sebenarnyayang mereka
inginkan untuk dimiliki. Sedangkan menurut A.Sudiharto,pemilu adalah sarana
demokrasi yang penting dan merupakan perwujudan yang nyata untuk keikut
sertaan rakyat dalam kehidupan kenegaraan.

Berdasarkan pendapat tersebut maka dapat dikatakan bahwa pemilu


merupakan suatu cara menentukan wakil-wakil yang akan menjalankan roda
pemerintahan dimana pelaksanaan pemilu harusdisertai dengan kebebasan dalam
arti tidak mendapat pengaruh maupuntekanan dari pihak manapun juga. Semakin
tinggi tingkat kebebasan dalam pelaksanaan pemilu maka semakin baik pula
penyelenggaraan pemilu. Demikian juga sebaliknya, semakin rendah tingkat
kebebasan maka semakin buruk pula penyelenggaraan pemilu. Hal ini
menimbulkan anggapan yang menyatakan bahwa semakin banyak rakyat yang
ikut pemilu maka dapat dikatakan pula semakin tinggi kadar demokrasi yang
terdapat dalam menyelenggarakan pemilu

Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan


secara langsung, umum bebas, rahasia, jujur dan adil dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) berdasarkan pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD
adalah Pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan, Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Kabupaten / Kota dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No 10 tahun 2008)

Pemilu di Indonesia merupakan mekanisme penentuan pendapat rakyat


melalui sistem yang bersifat langsung. Pemilu bertujuan memilih orang atau partai
politik untuk menduduki suatu jabatan di lembaga perwakilan rakyat atau lembaga
eksekutif, seperti presiden dan wakil presiden, anggota DPR dan MPR, anggota
DPD dan MPR, anggota DPRD Provinsi, anggota DPRD Kabupaten, dan anggota
DPD Kota.
BAB 3

ISI PEMBAHASAN

3.1. Perkembangan Politik hukum dalam pemilihan Umum di Indonesia

Pemilu diselenggarakan berdasarkan undang-undang pemilu yang tidak hanya


berisi penjabaran prinsip-prinsip pemilu demokratis, tetapi juga harus
mengandung adanya kepastian hukum. Kepastian hukum dalam pengaturan
pemilu akan terwujud apabila:

1. Semua aspek mengenai pemilu diatur secara komprehensif sehingga tidak


terjadi kekosongan hukum;
2. Semua ketentuan yang mengatur pemilu harus konsisten satu sama lain,
sehingga tidak terjadi kontradiksi antar-ketentuan atau antar peraturan;
3. Semua ketentuan harus mengandung arti yang jelas dan bermakna tunggal,
sehingga tidak terjadi ketentuan yang menimbulkan multitafsir; dan
4. Semua ketentuan yang dibentuk harus dapat dilaksanakan.

A. Sebelum Masa Orde Baru


Setelah proklamasi kemerdekaanpada 17 Agustus 1945, Presiden Soekarno
dan Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan keinginannya untuk bisa
menyelenggarakan pemilu pada awal tahun 1946. Hal itu dicantumkan dalam
Maklumat Wakil Presiden Nomor X tanggal 3 Nopember 1945, yang berisi
anjuran tentang pembentukan partai-partai politik. Maklumat tersebut
menyebutkan, Pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan
diselenggarakan bulan Januari 1946.

Pemilu pertama diselenggarakan pada tahun 1955. Penyelenggaraan pemilu


baru terselenggara hampir sepuluh tahun setelah proklamasi kemerdekaan.
Banyak kendala yang bersumber dari dalam negeri dan ada pula yang berasal dari
faktor luar negeri. Sumber penyebab dari dalam antara lain ketidaksiapan
pemerintah menyelenggarakan pemilu, baik karena belum tersedianya perangkat
perundang-undangan untuk mengatur penyelenggaraan pemilu maupun akibat
rendahnya stabilitas keamanan negara. Penyebab yang tidak kalah pentingnya
adalah sikap pemerintah yang enggan menyelenggarakan perkisaran (sirkulasi)
kekuasaan secara teratur dan kompetitif. Penyebab dari luar antara lain serbuan
kekuatan asing yang mengharuskan negara ini terlibat peperangan.

Pemilu pertama di Indonesia pada masa pemerintahan Soekarno adalah untuk


memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Konstituante. Pada pemilu
pertama pemungutan suara dilaksanakan 2 kali yaitu tahap I untuk memilih
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dilaksanakan pada tanggal 29
September 1955 dan tahap II dilaksanakan pada tanggal 15 Desember 1955 yaitu
untuk memilih anggota konstituante. Sistem yang diterapkan pada pemilu ini
adalah sistem pemilu proporsional dengan memperkenalkan asas jujur dan
kebersamaan, langsung, umum, bebas, dan rahasia.

Pelaksanaan pemilu pertama dilaksanakan secara aman, lancar, jujur dan adil
serta sangat demokratis. Pemilu 1955 bahkan mendapat pujian dari berbagai
pihak, termasuk dari negara-negara asing demokratis. Tidak ada pembatasan
partai politik dan tidak ada upaya dari pemerintah mengadakan intervensi dan atau
campur tangan terhadap partai politik. Pada pemilu tahap I diikuti oleh 118
peserta yang tediri dari 36 partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48
perorangan, sedangkan untuk tahap II diikuti oleh 91 peserta yang terdiri dari 39
partai politik, 23 organisasi kemasyarakatan, dan 29 perorangan.

B. Masa Orde Baru


Orde Baru merupakan istilah bagi pemerintahan yang dijalankan Presiden
Soeharto karena pada masa ini hanya Soeharto yang menduduki jabatan sebagai
presiden. Orde Baru pernah sangat sentralistik dalam fase waktu terpanjang
sejarah Republik Indonesia yang berawal dari perjalanan karier politik Jenderal
Soeharto yang secar resmi dimulai dari tanggal 11 Maret 1966, ketika Presiden
Soekarno menandatangani Surat Perintah Sebelas Maret selanjutnya dikenal
dengan Supersemar (Manan Abdul, 2018:40).

Pada masa orde baru rakyat berharap bisa merasakan sebuah sistem politik
yang demokratis dan stabil.Dikeluarkannya Undang-Undang Pemilihan Umum
pada tahun 1969 merupakan upaya yang ditempuh untuk mencapai keinginan
tersebut diantaranya melakukan berbagai forum diskusi yang membicarakan
tentang sistem distrik yang terdengar baru di telinga bangsa Indonesia. Sistim
distrik dapat menekan jumlah partai politik secara alamiah tanpa paksaan, dengan
tujuan partai-partai kecil akan merasa berkepentingan untuk bekerjasama dalam
upaya meraih kursi dalam sebuah distrik.

Pelaksanaan pemilihan umum ke-2 yang diselenggarakan pada tanggal 9 Juli


1971 berdasarkan Ketetapan MPRS No. XLII/1968 yang penjabarannya
dituangkan dalam UU No. 16/1969 tentang maksud, tujuan dan tata cara
pelaksanaan pemilu; dan UU No. 16/1969 tentang susunan dan kedudukan MPR,
DPR dan DPRD. Pemilu diikuti oleh 10 partai politik, antara lain : PNI, NU,
Parmusi, Murba, IPKI, Parkindo, Partai Katolik, PSII, Perti, Golkar. Sistem
Pemilu 1971 menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
sistem stelsel daftar, artinya besarnya kekuatan perwakilan organisasi dalam DPR
dan DPRD, berimbang dengan besarnya dukungan pemilih karena pemilih
memberikan suaranya kepada Organisasi Peserta Pemilu. Asas yang dianut pada
pemilu ke-2 ini adalah asas Luber (langsung, umum, bebas, dan rahasia).Karena
gagal menyederhanakan jumlah partai politik melalui sistem pemilihan umum,
Presiden Soeharto melakukan beberapa tindakan untuk menguasai kehidupan
kepartaian. Tindakan pertama yang dijalankan adalah mengadakan fusi atau
penggabungan diantara partai politik, mengelompokkan partai-partai menjadi tiga
golongan yakni Golongan Karya (Golkar), Golongan Nasional (PDI) dan
Golongan Spiritual (PPP).

Pemilihan Umum ke-3 diselenggarakan pada tanggal 2 Mei 1977. Pelaksanaan


pemilu diatur dengan UU No. 14/1975 tentang perubahan UU No. 16/1969.
Undang-undang pemilu keluar setelah sebelumnya pemerintah bersamasama
dengan DPR berusaha menyederhanakan jumlah partai dengan membuat UU No.
3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar. Kedua partai itu adalah Partai
Persatuan Pembangunan atau PPP, dan Partai Demokrasi Indonesia atau PDI, dan
satu Golongan Karya atau Golkar. Sama halnya dengan Pemilu 1971, pada Pemilu
1977 juga menggunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
stelsel daftar.Pemilu 1977 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan
rahasia.
Pemilihan Umum ke-4 yang diselenggarakan pada tanggal 4 Mei 1982. Sistem
Pemilu 1982 tidak berbeda dengan sistem yang digunakan dalam Pemilu 1971 dan
Pemilu 1977, yaitu masih menggunakan sistem perwakilan berimbang
(proporsional). Pemilu 1982 dilaksanakan dengan asas Langsung, Umum, Bebas,
dan Rahasia.

Pemilihan Umum ke-5 yang diselenggarakan pada tanggal 23 April


1987berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1983 tentang GBHN dan
Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1983 tentang Pemilihan Umum, UU Nomor 1
Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969 se-bagaimana
telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2 Tahun 1980.
Sistem pemilu yang dipergunakansama dengan sistem yang digunakan dalam
Pemilu 1982, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
stelsel daftar. Adapun asas yang dianut dalam pemilu ke-5 ini adalah asas
Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia.

Pemilihan Umum ke-6 yang diselenggarakan pada tanggal 09Juni 1992.


Sistem Pemilu yang digunakan pada tahun 1992 masih sama dengan sistem yang
digunakan dalam Pemilu 1987, yaitu menganut sistem perwakilan berimbang
(proporsional) dengan stelsel daftar dengan asas langsung, umum, bebas, dan
rahasia. Pemilu dilaksanakan berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1988
tentang GBHN dan Ketetapan MPR Nomor III/ MPR/1988 tentang Pemilu dan
UU Nomor 1 Tahun 1980 tentang Perubahan Atas UU Nomor 15 Tahun 1969
sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 4 Tahun 1975 dan UU Nomor 2
Tahun 1980.

Pemilihan Umum ke-7 yang dilaksanakan pada tanggal 29 Mei 1997


berdasarkan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1993 tentang GBHN dan Ketetapan
MPR Nomor III/ MPR/1993 tentang Pemilu serta Undang-undang Nomor 5
Tahun 1996 tentang Pemilihan Umum. Peserta Pemiluadalah partai politik yang
sama dengan sebelumnya yaitu 3 partai politik besar yakni Partai Persatuan
Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan Partai Golongan
Karya (Golkar).menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan
stelsel daftar. Pemilu 1997 dilaksanakan dengan asas langsung, umum, bebas, dan
rahasia.

C. Setelah Masa Orde Baru

Pemilihan Umum ke-8 merupakan pemilu pertama yang diselenggarakan


setelah masa orde baru. Pemilu yang dilaksanakan pada tanggal 7 Juni 1999
diikuti oleh 48 partai politik dari 180 partai politik yang terdata hingga akhir
bulan Maret 1999. Banyaknya partai politik yang mendaftar sebagai konsekwensi
dari dikeluarkannya UU No. 2 Tahun 1999 tentang partai politik yang
memberikan kebebasan berpolitik yaitu kebebasan mendirikan partai politik.

Pemilu tahun 1999 diselenggarakan secara demokratis dan transparan


berdasarkan asas jujur, adil, langsung, umum, bebas, dan rahasia melalui sistem
perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar seperti halnya pemilu
yang dilaksanakan pada tahun 1997. Pemilu 1999 dilaksanakan oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU) yang dibentuk oleh Presiden beranggotakan 48 orang
dari unsur partai politik dan 5 orang wakil pemerintah. Meskipun hasil pemilu
jauh dari sempurna dapat dikatakan sebagai pemilu yang demokratis, jujur dan
adil. Hal ini dikarenakan jumlah peserta yang banyak sehingga hampir sama
dengan penyelenggaraan pemilu tahun 1955.

Penyelenggaraan pemilu pada masa orde baru adalah untuk memilih anggota
lembaga perwakilan, yaitu DPR, DPRD, dan Utusan Daerah. Akan tetapi setelah
amandemen ke-IV UUD 1945 pada 2002, pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
(Pilpres), yang semula dilakukan oleh MPR, disepakati untuk dilakukan langsung
oleh rakyat sehingga Pilpres pun dimasukan ke dalam rezim pemilu.

Dalam menghadapi pemilu 2004 (sebagai konsekuensi amandemen UUD


1945) pemerintah bersama DPR menghasilkan UU bidang politik yang baru,
yaitu:

1. UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik;


2. UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Anggota DPR, DPD, dan DPRD; 3
3. UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden;

Penyelenggaraan pemilu ke-9 Tahun 2004, yaitu untuk memilih Presiden dan
Wakil Presiden, DPR, DPRD, dan DPD yang dipilih secara langsung oleh rakyat
pada waktu yang terpisah, yaitu 5 April 2004 (Tahap I) untuk memilih anggota
DPR, DPD dan DPRD, kemudian tanggal 5 Juli 2004 (Tahap II) untuk memilih
Presiden dan Wakil Presiden. Penyelenggaraan pemilu diikuti oleh 24 partai
politik.

Politik hukum undang-undang ini menghendaki dihasilkannya sistem


multipartai sederhana dengan tujuan agar supaya diwujudkan kerja sama partai-
partai politik menuju sinergi nasional.

Pemilhan Umum ke-10, tanggal 9 April 2009 untuk memilih anggota DPR,
DPD, dan DPRD yang diikuti oleh 38 partai politik nasional dan 6 partai politik
lokal Aceh.

Pemilu dilaksanakan dengan sistem perwakilan berimbang (proporsional)


dengan sistem daftar calon terbuka. Kursi yang dimenangkan setiap partai politik
mencerminkan proporsi total suara yang didapat setiap parpol. Mekanisme sistem
ini memberikan peran besar kepada pemilih untuk menentukan sendiri wakilnya
yang akan duduk di lembaga perwakilan. Calon terpilih adalah mereka yang
memperoleh suara terbanyak. Untuk memilih Anggota DPD dilaksanakan dengan
sistem distrik berwakil banyak. Distrik disini adalah provinsi, dimana setiap
provinsi memiliki 4 (empat) perwakilan. Pemilu 2009 dilaksanakan dengan asas
langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Amandemen UUD 1945 menyebutkan bahwa Pemilihan Umum dilaksanakan


oleh suatu Komisi Pemilihan Umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.
Penyelenggara pemilu ditingkat nasional dilaksanakan oleh KPU, ditingkat
provinsi dilaksanakan oleh KPU Provinsi, ditingkat kabupaten/kota dilaksanakan
oleh KPU Kabupaten/Kota.

Pemilihan Umum ke-11, dilaksanakan secara serentak di seluruh wilayah


Indonesia pada tanggal 9 April 2014. Pelaksanaan pemilu terlebih dahulu untuk
memilih angota DPR, DPD dan DPRD, selanjutnya pada waktu yang berbeda
dilaksanakan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Terdapat perbedaan dalam
penyelenggaraanya dibandingkan dengan sistem pemilu tahun 2009. Dalam UU
No.10 Tahun 2008 besaran ambang batas atau Parliamentary Threshold (PT)
adalah 2,5 %, tetapi pada pemilu 2014 ditambah menjadi 3,5 %. Sistem pemilu
proporsional terbuka tetap dipertahankan dengan tetap mempertahankan kuota
kursi dari masing-masing daerah pemilihan dan sistem perhitungan pemilu masih
sama seperti pemilu tahun 2009.

Pada proses pemilihan umum 2014 ini diikuti oleh 15 partai politik (termasuk
3 partai lokal di Aceh). Pemilu diadakan untuk memilih anggota DPR, DPD, dan
DPRD serta pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Peserta pemilihan umum
anggota DPRD adalah partai politik yang sama dengan peserta pemilihan umum
anggota DPR, kecuali khusus untuk Provinsi Aceh ditambah dengan partai politik
lokal.

Pemilu 2014 mengacu pada undang-undang pemilihan umum terbaru yaitu


UU Nomor 8 Tahun Tahun 2012 dimana mewajibkan kuota minimal 30% calon
perempuan untuk menjadikan daftar calon pemilu, dan apabila ketentuan ini tidak
terpenuhi maka akan ada sanksi yaitu berupa akan dicabutnya hak sebagai anggota
pemilu di daerah pemilihan dimana kuota 30% tersebut tidak terpenuhi.

Pemilihan Umum ke-12 akan dilaksanakan pada tanggal 17 April 2019. Untuk
pertama kalinya di Indonesia akan dilaksanakan pemilu serentak yaitu untuk
memilih Presiden dan Wakil Presiden, serta para anggota DPR, DPD, dan DPRD
secara serentak pada waktu yang bersamaan di seluruh wilayah Indonesia.
Berbagai macam undang-undang pemilu telah dibentuk di Indonesia.
UndangUndang Nomor 7 Tahun 2017 tentang pemilu yang menjadi dasar hukum
penyelenggaraan pemilu dengan menganut asas langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dengan sistem proporsional terbuka untuk memilih anggota DPR
dan DPRD serta sistem distrik berwakil banyak untuk memilih anggota DPD.

1.
3.2. Permasalahan Politik hukum dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017

Politik Hukum Regulasi Pemilihan Umum di Indonesia Perspektif Undang-


Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum . Perjalanan pemilihan
umum di Indonesia sejak bangsa Indonesia merdeka bukan tanpa masalah dan
tantangan. Permasalahan setiap pemilihan umum di Indonesia terus ada, baik
skala besar maupun kecil. Meskipun regulasi terkait dengan pemilihan umum
terus dievaluasi dan diperbaiki. Lahirnya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum merupakan instrumen baru dalam melaksanakan
pemilihan umum di Indonesia. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum bukan tanpa problem dan tantangan ke depan. Telah disinggung
sebelumnya bahwa sebelum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 disahkan,
banyak isu atau permasalahan yang sangat kompleks yang bisa menyebabkan
terjadinya permasalahan dalam pemilihan umum. Problem tersebut telah masuk ke
dalam masyarakat sehingga menyebabkan pro dan kontra di masyarakat. Hal itu
merupakan tantangan bagi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum untuk menyelesaikan problem yang ada. Artinya Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum selain mempunyai
problem juga mempunyai tantangan.
Pembahasan mengenai politik hukum tentu tidak akan lepas dari pembahasan
mengenai definisi politik hukum. Sampai dengan saat ini belum ada definisi yang
satu terkait dengan politik hukum. Hampir setiap pakar yang fokus pada kajian
politik hukum mempunyai definisi masing-masing tentang pengertian politik
hukum. Moh. Mahfud MD yang merupakan salah satu pakar politik hukum
terkenal di Indonesia mempunyai definsisi tersendiri terkait dngan pengertian
politik hukum. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa:
“Politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi tentang
hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun
dengan penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan negara.
Dengan demikian politik hukum merupakan pilihan tentang hukum-hukum
yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan
dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk
mencapai tujuan negara seperti yang tercantum di dalam pembukaan UUD
1945”5.(Mahfud, 2009: 1).

Definisi atau pengertian tentang politik hukum seperti yang diuraikan oleh Moh.
Mahfud MD pada intinya menyatakan bahwa politik hukum tidak akan lepas dari
cita-cita nasional Negara Indonesia yang diwujudkan melalui kebijakan hukum6.
Moh. Mahfud MD selain mengemukakan terkait dengan politik hukum, juga
membuat kriteria terkait dengan politik hukum. Ada tiga kriteria tentang politik
hukum yaitu:
1. Kebijakan negara dalam memberlakukan hukum untuk mewujudkan cita-
cita negara;
2. Latar belakang dibuatnya kebijakan hukum yang diberlakukan;
3. Penegakan hukum dari kebijakan hukum yang diberlakukan.
Tiga kriteria politik hukum yang disampaikan oleh Moh. Mahfud MD
sesunggunya merupakan cara untuk mengidentifikasi politik hukum dalam setiap
kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh negara. Artinya tiga kriteria tersebut
dapat dijadikan untuk mengidentifkasi politik hukum regulasi pemilihan umum
dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum. Pembahasan politik hukum peilihan umum di Indonesia perspektif
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum akan dibatasi
dengan membahas mengenai
1. Kebijakan negara dalam memberlakukan hukum untuk mewujudkan cita-cita
negara;
Kebijakan terkait dengan pemilihan umum akan berubah kembali setelah
adanya Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013. Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut pada intinya harus dilaksanakan pemilihan
serentak pada tahun 2019. Konsekuensi dari adanya Putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut negara harus mengeluarkan kebijakan hukum baru dalam
rangka mewujudkan pemilihan umum yang dilaksanakan serentak8. Oleh
karena itu pemerintah bersama dengan parlemen dalam hal ini DPR
mengeluarkan satu kebijakan hukum untuk merespon putusan Mahkamah
Konstitusi tersebut. Kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh negara
(Pemerintah bersama dengan DPR) adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum. Undang-undang tersebut merupakan
kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh negara untuk merespon putusan
Mahkamah Konstitusi. Selain itu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum juga dibuat untuk memperbaiki dan
mengintegrasikan sistem pemilihan umum di Indonesia.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
merupakan kebijakan hukum yang dikeluarkan oleh negara dalam hal ini
Pemerintah bersama DPR. Kebijakan hukum tersebut dikeluarkan untuk
mewujudkan tujuan negara. Tujuan negara yang dimaksud yaitu terciptanya
sistem pemilihan umum di Indonesia yang kuat, demokratis, adil, terintegrasi,
terjamin, berkepastian hukum, serta efektif dan efisien. Tujuan tersebut yang
harus diwujudkan oleh Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang
Pemilihan Umum. Oleh karena itu pelaksanaan dan penegakan hukum
terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
ahrus dilakukan dengan benar dan baik sehingga cita-cita sistem pemilihan
umum di Indonesia dapat terwujud.
2. Latar belakang dibuatnya kebijakan hukum yang diberlakukan;
Kriteria kedua mengetahui politik hukum sistem pemilihan umum di
Indonesia dengan mengetahui latar belakang dibuatnya kebijakan hukum.
Kebijakan hukum yang dimaksud dalam hal ini adalah Undang- Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak lahir tanpa sebab. Banyak latar
belakang yang mengilhami lahirnya Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan
Umum. Melihat konsideran dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 maka
akan terdapat beberapa alasan dibuatnya Undang-Undang tersebut. Pertama,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dikeluarkan
untuk mencapai tujuan negara. Kedua, memperkuat sistem ketatanegaraan
yang demokratis. Ketiga, undang-undang tersebut dibuat agar dapat
mewujudkan pemilihan umum yang adil dan berintegrasi. Keempat, undang-
undang tersebut disahkan sebagai instrumen yang menjamin pengaturan
sistem pemilihan umum. Selain empat hal tersebut, konsideran juga masih
memberikan dua alasan yang melatarbelakangi dibuatnya Undang- Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Kelima yaitu, undang-
undang tersebut mempunyai tujuan untuk memberikan kepastian hukum
terhadap penyelenggaraan pemilihan umum. Selain itu dapat dijadikan sebagai
instrumen untuk mencegah duplikasi dalam pengaturan pemilihan umum.
Keenam, yaitu alasan terakhir yang tertuang dalam konsideran adalah untuk
menciptakan pemilihan umum yang efektif dan efisien.
Ditinjau dari Naskah Akademik Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017.
terdapat satu hal fundamental yang melatarbelakangi lahirnya Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Amanat Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 14/ PUU-XI/2013 tertanggal 23 Januari 2014 yang pada
intinya harus diselenggarakan Pemilu secara serentak merupakan alasan
mendasar lahirnya Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum. Setidaknya ada tiga konsekuensi yang harus dilaksanakan pasca
adanya putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Pertama, pelaksanaan putusan
Mahkamah Konstitusi untuk menyelenggarakan Pemilu serentak, artinya
pembuatan regulasi Pemilu serentak harus dilakukan. Kedua, melakukan
harmonisasi peraturan perundang-undangan terkait Pemilu untuk merumuskan
regulasi tentang Pemilu serentak. Ketiga, membuat desain regulasi Pemilu
serentak yang tadinya dilakukan secara terpisah, kemudian digabungkan
menjadi satu secara terintegrasi.
3. Penegakan hukum dari kebijakan hukum yang diberlakukan.
Berbicara tentang penegakan hukum dari kebijakan yang diberlakukan
tidak lepas dari penegakan hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum. Hal itu karena yang dimaksud dengan kebijakan
hukum yang diberlakukan dalam hal ini adalah Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Penegakan hukum hal yang sangat
penting, karena tanpa adanya penegakan hukum maka kebijakan hukum yang
dikeluarkan tidak dapat dijalankan dengan baik. Satjipto Rahardjo
mengemukakan bahwa penegakan hukum dapat terjadi apabila hukum tersebut
telah mencapai tujuannya11. Artinya Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum dapat dikatakan telah ditegakkan apabila tujuan dari
undang-undang tersebut telah tercapai. Tujuan Pemilu secara umum adalah
peralihan
1) kekuasaan secara konstitusional;
2) melaksanakan kedaulatan rakyat sesuai amanat konstitusi; dan (
3) memenuhi hak asas rakyat.
Adapun tujuan dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum yaitu:
a) memperkuat sistem ketatanegaraan yang demokratis;
b) mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas;
c) menjamin konsistensi pengaturan sistem pemilu;
d) memberikan kepastian hukum dan mencegah duplikasi dalam pengaturan
pemilu; dan
e) mewujudkan pemilu yang efektif dan efisien.
Lebih jauh tujuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum adalah untuk mewujudkan tujuan nasional sesuai dengan Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945. Artinya untuk saat ini belum daat dilihat penegakan
hukum Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2019 tentang Pemilihan Umum.
Penegakan hukum dapat dilihat secara menyeluruh apabila penyelenggaraan
Pemilu telah selesai. Hasil penyelenggaraan Pemilu dapat dilihat apakah sudah
sesuai dengan tujuan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum atau belum. Jika sudah maka penegakan hukum sudah dapat dikatakan
tercapai. Adapun jika belum, maka penegakan hukum belum dapat dikatakan
tercapai. Sejauh ini penyelenggaraan Pemilu sudah pada tahap penetapan Daftar
Calon Tetap untuk calon legislatif serta penetapan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden15. Artinya penegakan hukum sampai saat ini masih belum
menyentuh titik akhir, walaupun hasilnya sudah baik sampai dengan saat ini.
Adanya dinamika dan pro kontra terkait penyelenggaraan Pemilu adalah hal yang
wajar dalam negara demokrasi. Terpenting dinamika dan pro kontra tersebut tidak
menyebabkan penghilangan tujuan Pemilu.
Ada lima isu dan permasalahan serta tantangan yang harus dihadapi dalam
sistem pemilihan umum di Indonesia pasca lahirnya Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Lima isu tersebut meliputi
A. presidential threshold;
Presidential threshold merupakan isu krusial dalam sistem pemilihan umum di
Indonesia khususnya pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun
2017 tentang Pemilihan Umum. Perlu diketahui bahwa yang dimaksud dengan
presidential threshold adalah ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil
Presiden. Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum menyatakan bahwa Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau
Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan
kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau
memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada
Pemilu anggota DPR sebelumnya. Pasangan calon yang dimaksud yaitu Calon
Presiden dan Calon Wakil Presiden sesuai Pasal 221 yang berbunyi Calon
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan dalam 1 (satu) pasangan oleh Partai
Politik atau Gabungan Partai Politik.
Adanya syarat pencalonan Presiden dan Wakil Presiden seperti Pasal 222 di atas
tentu akan menimbulkan pro dan kontra apalagi setelah adanya putusan
Mahkamah Konstitusi. Putusan mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013
yang pada intinya memutuskan untuk menyelenggarakan pemilihan umum
serentak di tahun 2019 telah menyebabkan tafsir yang berbeda18. Mahkamah
Konstitusi tidak membatalkan tentang syarat ambang batas pencalonan Presiden
dan Wakil Presiden. Mahkamah Konstitusi mendelegasikan kepada legislatif
untuk mengatur terkait ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden.
Ada pendapat bahwa ketika pemilihan umum dilakukan secara serentak maka
ambang batas atau presidential threshold tidak diperlukan. Hal tersebut tertuang
dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-XI/201319. Keadaan
tersebut dapat dipahami karena bila menggunakan presidential threshold maka
yang dipakai adalah pemilihan umum kapan? Karena tidak mungkin pemilihan
umum 2019. Jika yang dipakai pemilihan umum 2014 tentu sudah tidak relevan
dengan kondisi saat ini. Selain itu presidential threshold tidak diatur secara
eksplisit dalam Undang-Undang Dasar 1945. Namum kenyataannya presidential
threshold tetap ada di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum. Presidential threshold sudah tidak relevan lagi jika dilaksanakan dalam
pemilihan serentak. Tetapi di sisi lain presidential threshold bertujuan untuk
menguatkan sistem presidensial yang dipakai dalam sistem pemerintahan di
Indonesia.
Konsekuensi dari ditetapkannya presidential threshold 20% suara di DPR dan
25% suara sah secara nasional dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017
tentang Pemilihan Umum berdasarkan hasil pemilihan umum tahun 2014 hanya
akan ada maksimal dua pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Keadaan
tersebut dapat dilihat dari peta dan kekuatan politik sebelum penetapan calon
Presiden dan Wakil Presiden. Partai-partai koalisi pemerintah jika terus solid
sampai tahun 2019 untuk mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden maka sudah ada satu pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Partai-partai oposisi pemerintah juga jika solid maka dapat mengusung satu
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden. Adapun PD yang merupakan partai
penyeimbang dapat ikut koalisi pendukung pemerintah atau sebaliknya. Keadaan
akan menjadi lain jika partai-partai oposisi tidak solid dan pecah maka sudah
dapat dipastikan hanya akan ada satu pasangan calon Presiden dan Wakil
Presiden. Karena pada pemilihan umum 2014 tidak ada partai yang memperoleh
suara 20% atau lebih.
B. Parliamentary Threshold
Isu, permasalahan, dan tantangan yang selanjutnya yaitu terkait dengan
parliamentary threshold atau ambang batas parlemen bagi partai-partai politik.
Parliamentary threshold juga dapat dikatakan sebagai electoral threshold. Partai-
partai politik yang bisa masuk ke parlemen atau DPR harus mempunyai minimal
4%. Pasal 414 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 menyatakan bahwa
partai politik peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara
paling sedikit 4% (empat persen) dari jumlah suara sah secara nasional untuk
diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR23. Konsekuensi dari
jumlah ambang batas parlemen tersebut yaitu partai politik yang tidak mempunyai
suara sah secara nasional 4% atau lebih maka dapat dipastikan tidak dapat
mendapatkan kursi anggota DPR walaupun ada calon anggota DPR dari partai
tersebut yang mempunyai suara banyak

Tujuan diadakannya parliamentary threshold tidak lain adalah untuk


menyederhanakan partai-partai politik. Penyederhanaan partai politik melalui
parliamentary threshold perlu dilakukan sebagai konsekuensi penerapan sistem
presidensial di Indonesia. Adanya penyederhanaan partai politik dapat
memperkuat kelembagaan sistem perseidensial. Hal tersebut dikarenakan
parlemen lebih kondusif dan efektif dengan jumlah partai yang sederhana,
sehingga dapat berkesinambungan dengan Presiden sebagai kepala negara dan
pemerintahan. Ketentuan tentang parliamentary threshold juga sebagai salah satu
bagian untuk membatasi pembentukan partai politik. Pembatasan pembentukan
partai politik melalui parliamentary threshold adalah konstitusional. Mahkamah
Konstitusi menyatakan bahwa parliamentary threshold merupakan legal policy
atau kebijakan hukum dari pembuat undang-undang.

Artinya, penerapan terkait dengan parliamentary threshold tidak lain adalah


untuk menyederhanakan partai politik dalam rangka memperkuat sistem
presidensial. Walaupun tujuan dari parliamentary threshold sangat baik tetapi
penerapannya harus sesuai dengan keadaan rakyat Indonesia dalam rangka
menentukan pilihan. Keragaman yang ada di Indonesia membuat pertumbuhan
partai politik dengan latar belakang yang berbeda adalah suatu kewajaran. Hal
tersebut mengingat salah satu fungsi partai politik adalah menyerap, menampung,
dan menyalurkan aspirasi dari rakyat atau kelompok. Oleh karena itu penerapan
parliamentary threshold harus realistis dan tidak memaksakan pilihan masyarakat
dengan mengeliminasi hak dan kepentingan masyarakat mayoritas atau minoritas.

C. Sistem Pemilu
Sistem pemilu merupakan bagian dari isu, permasalahan, dan tantangan dalam
Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Di dunia
sebenarnya terdapat banyak sistem Pemilu. Jika dikelompokan akan terdapat
empat sistem Pemilu yang ada pada umumnya. Empat sistem Pemilu tersebut
yaitu pluralitas/mayoritas, campuran, proporsional, dan lainnya. Masing-masing
sistem tersebut masih mempunyai sub sistem lagi26. Sistem Pemilu yang dipakai
dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yaitu
sistem proporsional terbuka. Sistem Pemilu secara proporsional terbuka artinya
pemilih dapat memilih secara langsung calon yang dipilih pada kertas suara yang
terdapat nama calon dan partainya. Adapun penentuan calon terpilih yaitu
menurut suara tertinggi dan kursi anggota DPR yang di dapat oleh partai akan
diberikan kepada calon anggota DPR yang memperoleh suara tertinggi.

Konsekuensi sistem proporsional terbuka jika dikaitkan dengan Pemilu


serentak akan menimbulkan permasalahan. Permasalahan yang terjadi yaitu
apabila pemilih memilih calon Presiden dan Wakil Presiden yang berbeda dengan
partai politik yang berbeda. Keaadaan tersebut merupakan split voters karena
pemilih cenderung memilih calon legislatif yang dikenal walaupun berbeda partai
dengan calon Presiden dan Wakil Presiden. Konsekuensi yang mungkin terjadi
yaitu Presiden dan Wakil Presiden terpilih tetapi partai dari Presiden dan Wakil
Presiden tidak mayoritas di parlemen bahkan tidak ada sama sekali. Keadaan
tersebut tentu akan menyebabkan melemahnya sistem presidensial karena kita
tahu bahwa dalam berbagai program kebijakan presiden membutuhkan dukungan
dan persetujuan dari parlemen.

D. Daerah Pemilihan Magnitude


Isu dan permasalahan keempat yang harus dihadapi setelah lahirnya Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 yaitu daerah pemilihan magnitude. Daerah
pemilihan magnitude atau biasa disebut sebagai alokasi kursi anggota DPR per
daerah pemilihan merupakan rentang jumlah kursi anggota DPR pada setiap
daerah pemilihan. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum menerapkan daerah pemilihan magnitude untuk pemilihan umum 2019
sama dengan pemilihan umum 2014 yaitu 3 sampai 10 kursi anggota DPR.
Adapun untuk DPRD pada setiap provinsi dan kabupaten/ kota menurut Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yaitu 3 sampai dengan 12
kursi.

Jumlah daerah pemilihan umum pada tahun 2019 mengalami peningkatan dari
pemilihan umum tahun 2014. Jika pada pemilihan umum tahun 2014 hanya
terdapat 77 daerah pemilihan, pemilihan umum tahun 2019 akan ada 98 daerah
pemilihan. Sebenarnya dulu terjadi usulan untuk merubah jumlah daerah
pemilihan magnitude menjadi 3 sampai dengan 8 kursi. Jika hal tersebut terjadi
maka akan ada 98 daerah pemilihan. Usulan tersebut datang dari partai-partai
besar. Jumlah kursi anggota DPR juga bertambah dari 560 pada pemilihan umum
2014 menjadi 575 pada pemilihan umum 2019.

Hal yang menarik yaitu walaupun jumlah daerah pemilihan magnitude tidak
diperkecil tetapi jumlah daerah pemilihan tetap naik. Artinya ada dugaan bahwa
telah terjadi kompromi antara partai-partai besar dengan partai-partai kecil di
parlemen. Partai-partai besar mempunyai ambisi untuk memperkecil daerah
pemilihan magnitude dengan kepentingan bertambahnya jumlah daerah pemilihan
sehingga dapat menguntungkan. Sedangkan partai-partai kecil akan dirugikan jika
terjadi pengecilan daerah pemilihan magnitude sehingga partai-partai kecil tetap
berambisi untuk tetap pada daerah pemilihan magnitude 3 sampai dengan 10
kursi. Titik atau kondisi tersebut jelas sekali dapat diduga terjadi kompromi antara
partai-partai besar dengan partai-partai kecil. Hasil kompromi tersebut dapat
dilihat dari adanya daerah pemilihan magnitude tetap pada angka 3 sampai dengan
10 sedangkan jumlah daerah pemilihan akan naik dari 77 menjadi 98 daerah
pemilihan. Karena logikanya jika daerah pemilihan magnitude tetap maka daerah
pemilihan juga harus tetap. Tetapi justru sebaliknya yang terjadi yaitu daerah
pemilihan magnitude tetap tetapi jumlah daerah pemilihan naik. Keadaan tersebut
tentu sangat menarik jika dikaji lebih lanjut..

Sebenarnya daerah pemilihan magnitude merupakan salah satu bentuk solusi


untuk mendekatkan pemilih dengan calon anggota legislatif. Namun daerah
pemilihan magnitude juga harus diperkecil agar calon anggota legislatif bisa lebih
dekat lagi dengan pemilih. Daerah pemilihan magnitude yang relatif moderat yaitu
3 sampai dengan 8 kursi untuk masing-masing daerah pemilihan. Adanya jumlah
tersebut diharapkan dapat menata kembali daerah pemilihan baik dari segi
administratif dan dari segi politis. Segi administratif yaitu menata kembali dengan
berdasar pada jumlah penduduk. Adapun dari segi politis yaitu mengurangi
manipulasi jumlah kursi di daerah pemilihan.

E. Metode Konversi Suara


Isu, permasalahan, dan tantangan yang terakhir dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yaitu terkait dengan metode konversi suara.
Jika pada pemilihan umum 2014 menggunakan metode Bilangan Pembagi
Pemilih atau BPP. Pemilihan umum tahun 2019 akan menggunakan metode
konversi suara dengan metode devisor Sainte Lague Murni. Metode devisor Saint
Lague Murni berbeda dengan metode Bilangan Pembagi Pemilih atau BPP. Jika
pada metode Bilangan Pembagi Pemilih adalah pembagian jumlah suara yang sah
dari semua partai politik yang ikut dalam pemilihan umum di suatu daerah
pemilihan dibagi dengan jumlah kursi anggota legislatif di satu daerah pemilihan.
Partai politik yang dimaksud yaitu partai politik yang memenuhi ambang batas
tertentu berdasarkan suara sah secara nasional di suatu daerah pemilihan.
Penggunaan metode tersebut untuk menyatakan jumlah perolehan kursi anggota
legislatif dai partai politik peserta Pemilu. Metode Bilangan Pembagi Pemilih
tersebut digunakan untuk menentukan anggota DPR yang berhak mendapatkan
kursi.

Jika di bandingkan antara metode Saint Lague Murni dengan metode Bilangan
Pembagi Pemilih atau BPP maka BPP sulit untuk menyederhanakan jumlah partai
politik. Hal itu karena BPP menguntungkan partai-partai kecil. Tujuan
penyederhanaan partai sangat penting dalam rangka melakukan stabilitas politik
dan memperkuat sistem presidensial. Metode Sainte Lague Murni berbeda dengan
metode Bilangan Pembagi Pemilih. Metode Sainte Lague Murni secara teoritis
akan mampu menyederhanakan partai-partai sehingga jumlah partai politik akan
menurun dan lebih sederhana. Oleh karena itu tujuan Undang- Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang salah satunya adalah
menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilihan umum agar tercipta
sistem presidensial yang kuat. Penggunaan metode konversi suara dengan metode
Sainte Lague Murni sudah tepat dan mampu mewujudkan tujuan tersebut. Selain
itu, penyederhanaan partai politik melalui metode Saint Lague Murni adalah
konstitusional.

3.3. Peran Mahkamah Konstitusi Dalam Mengawal Demokrasi


Melalui Putusan Sengketa Hasil Pemilu

Mahkamah konstitusi adalah lembaga negara yang merupakan salah satu anak
kandung reformasi, Karena kelahirannya di dorong oleh gerakan reformasi yang
berhasil memasukkannya kedalam UUD 1945 yang di amandemen dalam kurun
waktu 1999-2002, yang melatarbelakangi dilahirkannya Mahkamah Konstitusi
adalah banyaknya pelanggaran atau kecurangan pemilu di masa lalu yang perlu
diadili secara khusus diluar pengadilan umum, itulah sebabnya salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan langsung oleh UUD 1945
melalui Pasal 24 C adalah memutus sengketa hasil pemilihan umum.
Fakta dari 1500 kasus diadili di Mahkamah Konstitusi sampai saat ini lebih
dari 65% diantaranya adalah sengketa hasil pemilu dan pemilu kepala daerah. Itu
menunjukkan bahwa pemilu-pem terjadi pada awal reformasi yakni pemilu 1999,
Pemilu merupakan mekanisme bagi rakyat untuk memilih wakil-wakilnya, pemilu
juga dapat dilihat sebagai evaluasi dan pembentukan kembali kontrak sosial,
pemilu menyediakan ruang terjadinya proses diskusi antara pemilih dengan calon-
calon wakil rakyat baik sendiri-sendiri maupun melalui partai politik
Mahkamah Konstitusi sebagai pengawal konstitusi (the guardian of
constitution), sejak awal pendiriannya, tidak hanya dirancang untuk mengawal
dan menjaga konstitusi sebagai hukum tertinggi (supreme law of the land), tetapi
juga mengawal Pancasila sebagai pengawal ideologi negara (the guardian of
ideology). Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, namun sifat itu tidak
dengan sendirinya memposisikan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga super-
organ.
Ketentuan UUD 1945 yang menyatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi
bersifat final merupakan amanat kepada semua lembaga negara dan warga negara,
dengan demikian lembaga tersebut tidak berada di bawah Mahkamah Konstitusi
melainkan tunduk pada UUD 1945. Keberadaan dan wewenang Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga peradilan selalu terkait dengan konstitusi tidak hanya
dalam arti sebagai dokumen hukum tetapi meliputi arti dalam latar belakang
pembentukan dan wewenangnya itu menempatkan Mahkamah Konstitusi sebagai
salah satu lembaga negara yang menjalankan lima fungsi:
A. Sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution). Fungsi ini
sesuai denga latar belakang keberadaan MK UUntuk menjamin pelaksanaan
dan penegakan konstitusi dalam penyelenggaraan Negara. Fungsi ini mewujud
dalam semua kewajiban MK memutus perkaraperkara penting dan mendasar
yang terkait dengn isu konstitusi terutama perkara pengujian undang-undang,
sengketa kewenangan kembaga Negara, pembubaran partai politik dan
impeachment presiden dan wakil presiden.
B. Sebagai penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of the constitution).
Konstitusi sebagai hukum dasar megikat dan harus dilaksanakn oleh semua
penyelenggaran Negara, meskipun dalam melaksanakan wewenang
konstitusionalnya setiap penyelenggara Negara pada prinsipnya melakukan
penafsiran terhadap ketentuan UUD.
C. Sebagai pelindung hak konstitusional warga Negara (the protector of citizen's
constitutional right), fungsi ini terkait dengan materi muatan yang utama dari
konstitusi yaitu memberikan jaminan terhadap constitutional warga Negara,
hak constitutional tidak hanya dihormati tetapi juga dijamin perlindunganm
pemenuhan dan pemajuan oleh Negara. Ketentuan undang-undang tidak boleh
melanggar hak konstitusional warga Negara.
D. Sebagai pelindung hak asasi manusia (the protector of human right.
E. Sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democracy) hal ini terkait
dengan cita Negara demokrasi yang tertuang dalam UUD 1945. Demokrasi
harus senantiasa dikawal tidak semata-mata agar dilaksanakan sebagai suatu
mekanisme, tetapi juga agar benar-benar mampu mewujudkan prinsip
kedaulatan rakyat yang dilaksanakn berdasarkan ketentuan hukum
Putusan Mahkamah Konstitusi menentukan pembangunan sistem hukum dan
ketatanegaraan, oleh karena itu putusan-putusan Mahkamah Konstitusi tidak
hanya berdasarkan segi hukum tertentu tetapi senantiasa mempertimbangkan
semua aspek kehidupan dan mengutamakan 9 kepentingan seluruh bangsa.
BAB 4
PENUTUP
4.1. Kesimpulan

Sistem Pemilu di Indonesia khususnya untuk Pemilu tahun 2019 akan


berpedoman pada Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum. Masih terdapat problem dan tantangan yang harus dihadapi setelah
lahirnya Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Oleh
karena itu pelaksanaan dan penegakan hukum terhadap Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum harus sesuai dengan aturan dan ditegakan
dengan benar. Terhadap pihak yang merasa kecewa dan tidak puas dengan adanya
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dapat
melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dilakukan agar
tidak ada pihak yang dirugikan dalam pelaksanaan sistem pemilihan umum yang
menggunakan Undang- Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Mengingat Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum
masih mempunyai tantangan kedepan yang harus dihadapi.

Mahkamah konstitusi adalah lembaga negara kelahirannya di dorong oleh gerakan


reformasi yang berhasil memasukkannya kedalam UUD 1945 yang di amandemen
dalam kurun waktu 1999-2002, yang melatarbelakangi berdirinya Mahkamah
Konstitusi adalah banyaknya pelanggaran atau kecurangan pemilu di masa lalu
yang perlu diadili secara khusus diluar pengadilan umum, itulah sebabnya salah
satu kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diberikan langsung oleh UUD 1945
melalui Pasal 24 C adalah memutus sengketa hasil pemilihan umum. Sebagai
penafsir akhir konstitusi (the final interpreter of the constitution),dalam
melaksanakan wewenang konstitusionalnya setiap penyelenggara negara pada
prinsipnya melakukan penafsiran terhadap ketentuan UUD, Sebagai pelindung
hak konstitusional warga negara (the protector of citizen's constitutional right),
Sebagai pengawal demokrasi (the guardian of democracy) hal ini terkait dengan
cita negara demokrasi yang tertuang dalam UUD 1945 demokrasi harus senantiasa
dikawal tidak semata-mata agar dilaksanakan sebagai suatu mekanisme, tetapi
juga agar benar-benar mampu mewujudkan prinsip kedaulatan rakyat yang
dilaksanakan berdasarkan ketentuan hukum

4.2. Saran

Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah ini


akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun dari para pembaca diharapkan sebagai
bahan evaluasi untuk kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA

Diniyanto Ayon.2019. MEMBANGUN POLITIK HUKUM PEMILU YANG


DEMOKRATIS DENGAN MEMBUMIKAN KONSEP NEGARA
HUKUM PANCASILA. Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang

Noviawati Evi.2019. PERKEMBANGAN POLITIK HUKUM PEMILIHAN


UMUM DI INDONESIA. Jurnal p Fakultas Hukum Universitas
Galuh.7(1).

Putra Ganda Surya Satya Johni Arifin.2019. MEMBANGUN POLITIK HUKUM


PEMILU YANG DEMOKRATIS DENGAN MEMBUMIKAN KONSEP
NEGARA HUKUM PANCASILA. Mahasiswa Program Doktor Ilmu
Hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang

Hidayat, Arief, 2013, Membumikan Konsep Hukum Pancasila. Seminar Pancasila


Sebagai Philosophice Gronslag), Universitas Diponogoro, Semarang.

Sodikin. (2014). Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif dengan pemilu Presiden dan
Wakil Presiden) dan Penguatan sistem Presidential. Jurnal RechtVinding,
Vol. 3 No. 1, April 2014. hlm. 19-31.

Anda mungkin juga menyukai