Anda di halaman 1dari 19

PENYELESAIAN SENGKETA PILKADA DAN REZIM PEMILU

Disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Pemerintah Daerah


Dosen Pengampu: Lukman Fahmi M.H.

Disusun Oleh:
Ahmat Rofiq Pujiyanto 33030210080
Muhammad Novian Ramadhan 33030210087
Ihdini Inas Mirza Maulina Putri 33030210123

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS SYARIAH

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SALATIGA

2023

i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan segala rahmat, hidayah, serta inayah-Nya yang tidak dapat dihitung jumlahnya
sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktu yang telah ditentukan.

Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita, baginda
Nabi Muhammad SAW, yang kita nanti-nantikan syafa’atnya di yaumul akhir kelak.

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hukum Pemerintah Daerah. Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah pengetahuan
dan keilmuan tentang “Penyelesaian Sengketa Pilkada dan Rezim Pemilu” bagi pembacanya.

Kami ucapkan terima kasih kepada bapak Lukman Fahmi .M.H. selaku dosen pengampu
mata kuliah Hukum Pemerintah Daerah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat
menambah pengetahuan dan wawasan bagi kami maupun para pembaca. Kami menyadari
makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun
sangat kami nutuhkan demi kesempurnaan makalah ini.

Salatiga, 25 April 2023

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

BAB I .........................................................................................................1
PENDAHULUAN .....................................................................................1
Latar Belakang Masalah............................................................................ 1
Rumusan Masalah ...................................................................................... 4
Tujuan Penulisan ........................................................................................ 5
BAB II .......................................................................................................6
PEMBAHASAN ........................................................................................6
Definisi Rezim Pemilu .............................................................................. 6
Proses Penyelesaian Sengketa Pilkada dan urutan penyelesaian ........ 8
Siapa Saja Yang Terlibat Dalam Penyelesaian Sengketa Pilkada....... 9
BAB III ....................................................................................................12
PENUTUP ...............................................................................................12
Kesimpulan ............................................................................................... 12
Saran .......................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................14

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Banyaknya lembaga peradilan yang memiliki kewenangan menyelesaikan persoalan


pemilu tentunya menjadikan tidak efektif mengingat bahwa setiap lembaga peradilan
memiliki waktu penyelesaian yang tidak sedikit maka perlu dibentuk sebuah lembaga
peradilan yang menyelesaikan semua perkara pemilu khususnya sengketa dan
pelanggaran pemilu. Terkait penyelesaian persoalan yang muncul dalam pelaksanaan
pemilu baik itu pelanggaran, sengketa maupun perselisihan hasil secara normativ telah
diatur dalam berbagai peraturan perundang undangan. Setidaknya ada 5 lembaga yang
memiliki kewenangan menyelesaikan persoalan (pelanggaran, sengketa dan perselisihan
)pemilu yaitu Bawaslu, Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri, Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP), Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Mahkamah
Konstitusi. Mekanisme penyelesaian sengketa penetapan calon peserta Pilkada oleh
Bawaslu Provinsi/Panitia Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yaitu: penyelesaian
sengketa pencalonan yang berjenjang dari jajaran Bawaslu RI/Provinsi maupun Panwaslu
Kab/Kota, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) hingga upaya hukum kasasi ke
Mahkamah Agung, mengakibatkan mekanisme penyelesaian sengketa penetapan peserta
Pemilu menjadi panjang dan berlapis-lapis.4 Berikut Penegakan Hukum penyelesaian
sengketa pemilu.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana definisi rezim pemilu?
2. Bagaimana proses penyelesaian sengketa pilkada dan urutanya?
3. Siapa saja yang terlibat dalam penyelesaian sengketa pilkada?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa itu definisi rezim pemilu?
2. Untuk mengetahui bagaimana cara penyelesaian dan urutan sengketa pilkada?
3. Untuk mengetahui siapa saja yang terlibat dalam penyelesaian sengketa pilkada?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi Rezim Pemilu

Rezim pemilu adalah pemilihan ketua atau kepala salah satunya yaitu kepala daerah
(pilkada). Dalam perdebatan menyusul lahirnya pemilihan kepala daerah (gubernur, bupati
dan walikota) secara langsung oleh rakyat kala itu, sempat diwacanakan agar pemilihan
lokal tersebut juga menjadi bagian dari pemilihan umum. Dalam praktiknya, pelaksanaan
pemilu di berbagai negara, pada umumnya diselenggarakan sekali dalam empat tahun atau
lima tahun. Misalnya, Indonesia menyelenggarakan pemilihan umum sekali dalam lima
tahun. Sedangkan Amerika Serikat menyelenggarakan pemilu sekali dalam empat tahun.
Dalam negara demokrasi, pemilu adalah merupakan salah satu hak asasi manusia yang
sangat prinsipil. Prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat juga dapat menjamin peran serta
masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-
undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan
masyarakat. Salah satu ciri utama dari negara yang menganut sistem demokrasi dalam
pemerintahannya adalah diselenggarakannya pemilihan umum secara periodik.
Sebagaimana diketahui bahwa konsep dasar dalam negara demokrasi adalah rakyatlah
yang mempunyai kekuasaan tertinggi. Demokrasi menempatkan manusia dalam posisi dan
kapasitas sebagai pemilik sekaligus pemegang kedaulatan yang kemudian dikenal dengan
prinsip kedaulatan rakyat. Sebagai pemegang kedaulatan, maka rakyat yang menentukan
corak dan cara serta tujuan apa yang hendak dicapai dalam kehidupan kenegaraan. Hal ini
menunjukkan bahwa rakyat berkuasa secara independen atas dirinya sendiri. Sedangkan
terkait dengan unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu negara demokrasi, Lymant
Tower Sargent19 mengemukakan beberapa unsur, diantaranya: citizen involvement in
political decision making, some degree of equality among citizens, some degree of liberty
or freedom granted to or retained by citizens, a system of reprentation, dan an electoral
system majority rule. Hanya saja, untuk mewujudkan konsep dasar dalam negara
demokrasi itu bukanlah pekerjaan mudah.

2
B. Proses Penyelesaian Sengketa pilkada
Mekanisme penyelesaian sengketa proses Pemilu yang terjadi antarPeserta Pemilu
dilakukan dengan cara salah satu tahapan mekanisme penyelesaian sengketa proses adalah
melakukan mediasi antarpihak yang dilakukan dengan acara cepat khusus untuk sengketa
antar peserta Pemilu dan Pemilihan. Durasi waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan
sengketa tersebut paling lama 3 (tiga) hari terhitung sejak permohonan diajukan ke
pengawas Pemilu, namun apabila tidak ada kondisi emergensi, harus dituntaskan pada hari
kejadian (tempus delicti) dan di tempat kejadian (locus delicti). terkait Penyelesaian
persoalan (pelanggaran, sengketa dan hasil) pemilihan umum yang terpisah pisah
menjadikan sebuah persoalan yang kompleks. Penggunaan istilah persengketaan dalam
pelaksanaan pemilu maknanya lebih luas, dibanding dengan perselisihan pemilu misalnya
istilah perselisihan hasil pemilu yang disampaikan oleh 3 pendapat atau usulan dari
Pataniari Siahaan, Ramlan Surbakti, dan I Dewa Gede Palguna. Yang pada intinya
menyatakan bahwa istilah perselisihan sering digunakan pada konteks hasil pemilihan.
Sedangkan persengketaan paling banyak digunakan pada saat pembahasan perubahan UUD
1945, antara lain digunakan oleh Soetijipto, Jimly Asshidiqie dan Asnawi Latief.
Menurutnya, penggunaan istilah sengketa dapat dimaknai bahwa ruang lingkupnya
meliputi semua jenis sengketa yang muncul dalam proses dan tahapan pemilihan. Terkait
penyelesaian persoalan yang muncul dalam pelaksanaan pemilu baik itu pelanggaran,
sengketa maupun perselisihan hasil secara normativ telah diatur dalam berbagai peraturan
perundang undangan. Setidaknya ada 5 lembaga yang memiliki kewenangan
menyelesaikan persoalan (pelanggaran, sengketa dan perselisihan )pemilu yaitu Bawaslu,
Mahkamah Agung, Pengadilan Negeri, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
(DKPP), Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Mahkamah Konstitusi. Mekanisme
penyelesaian sengketa penetapan calon peserta Pilkada oleh Bawaslu Provinsi/Panitia
Pengawas Pemilihan Kabupaten/Kota yaitu: penyelesaian sengketa pencalonan yang
berjenjang dari jajaran Bawaslu RI/Provinsi maupun Panwaslu Kab/Kota, Pengadilan Tata
Usaha Negara (PTUN) hingga upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung, mengakibatkan

3
mekanisme penyelesaian sengketa penetapan peserta Pemilu menjadi panjang dan berlapis-
lapis. Berikut Penegakan Hukum penyelesaian sengketa pemilu Banyaknya lembaga
peradilan yang memiliki kewenangan menyelesaikan persoalan pemilu tentunya
menjadikan tidak efektif mengingat bahwa setiap lembaga peradilan memiliki waktu
penyelesaian yang tidak sedikit maka perlu dibentuk sebuah lembaga peradilan yang
menyelesaikan semua perkara pemilu khususnya sengketa dan pelanggaran pemilu.

1. Problem pola penyelesaian persoalan pemilu di beberapa lembaga


a. Penyelesaian sengketa PTUN
Sengketa tata usaha negara Pemilihan merupakan sengketa yang timbul dalam bidang
tata usaha negara antara Pasangan Calon dengan KPU Provinsi/KIP Aceh atau
KPU/KIP Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU penetapan
Pasangan Calon peserta Pemilihan. Tata cara penyelesaian sengketa tata usaha
sebagai berikut:
1) Penyelesaian sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal
92 diselesaikan melalui upaya administrasi di Bawaslu Provinsi atau Panwas
Kabupaten/Kota.
2) Dalam hal masih terdapat keberatan atas putusan Bawaslu, dapat diajukan
gugatan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
3) Tata cara penyelesaian sengketa tata usaha negara sebagaimana dimaksud
dalam undang-undang tentang Pemilihan. Untuk lebih jelasnya Berikut akan
digambarkan pola/alur penyelesaian sengketa di PTUN.

4
Alur Penyelesaian Sengketa PTUN
3 hari setelah
dikeluarkan Sengketa Pilkada
putusan
Keputusan KPU
Sepakat
Bawaslu (12 Mediasi
hari)
Tidak sepakat

Menerima

Adjudikasi/persida
ngan,
Tidak mau menerima
3 hari setelah
dikeluarkan putusan
Bawaslu
Yang bisa diajukan ke PTUN hanya terkait
PTTUN (15 hari )
Sengketa tentang pencalonan
5 hari sejak
diterbitkanya putusan
MA (20 hari)

Berdasarkan alur diatas bahwa Penyelesaian sengketa pemilu pertama kali diselesaikan
di Bawaslu, Bawaslu melakukan mediasi, hasil mediasi diadapat kata sepakat dan tidak
sepakat. Jikalau terjadi kata sepakat maka dikeluarkan Putusan Bawaslu dan jika tidak
sepakat maka dilakukan adjudikasi. Pada sidang adjudikasi terkait putusan akhir bagi peserta
pemilihan yang mengajukan permohonan menerima maka selesai, dan jika tidak mau
menerima maka peserta pemilihan bisa mengajukan permohonan ke PTUN (khusus terkait
sengketa pencalonan), terkait putusan PTUN jika tidak menerima maka bisa mengajukan

5
kasasi ke Mahkamah Agung. Putusan Mahkamah Agung bersifat final dan mengikat.
Penyelesaian sengketa pemilu yang bermuara di MA memiliki 3 lapis penyelesaian yaitu di
Bawaslu, PTTUN dan MA.

2. Penyelesaian Pelanggaran Pidana di Pengadilan Negeri (PN)

Pengadilan Negeri merupakan sebuah lembaga yang salah satu kewenanganya


menyelesaikan pelanggaran tindak pidana pemilihan. Tindak pidana pemilihan
merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan pemilihan.

Tindak pidana pemilihan merupakan pelanggaran atau kejahatan terhadap ketentuan


pemilihan sebagaimana diatur dalam undang undang ini. 1 Untuk menyamakan
pemahaman dan pola penanganan tindak pidana Pemilu, Bawaslu bersama Kepolisian
dan Kejaksaan Agung membentuk sentra penegakan hukum terpadu 2 atau Sentra
Gakumdu, termasuk untuk tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Penyidik dan penuntut
untuk tindak pidana Pemilu sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Bawaslu.
Dengan demikian, penyidik kepolisian dan penuntut umum dari kejaksaan akan bertindak
sebagai penyidik dan penuntut secara adhoc di Bawaslu. Di mana tugas dan
tanggungjawabnya sebagai penyidik dan penuntut sepenuhnya berada di bawah tanggung
jawab Bawaslu. Dengan demikian, terkait penegakan hukum pidana pemilu, Bawaslu,
Bawaslu Propinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota akan bertindak sebagai penyidik
sekaligus penuntut untuk dugaan tindak pidana pemilu dan pilkada. Untuk lebih jelasnya
berikut akan digambarkan alur/pola penyelesaian pelanggaran pidana pemilu.

1
Undang Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu
2
Pasal 152 Undang UndangNo.10 Tahun 2016

6
Alur Penyelesaian Pelanggaran Pidana

Pelanggaran pidana Bawaslu (3 hari kerja)


Kepolisian(14
(gakumdu )
hari)

3 hari
7 hari kerja sejak ditemukan pelanggaran

Putusanya bersifat PN (7 Jaksa (14 hari)


PT hari)
final dan mengikat

Pelanggaran dibagi menjadi dua yaitu pelanggaran pidana dan pelanggaran


administrasi. Penyelesaian pelanggaran pidana seperti alur diatas, yang mana muara
penyelesaian ada di Pengadilan Tinggi. Sedangkan pelanggaran administrasi terbagi
menjadi dua yaitu pelanggaran administrasi biasa dan pelanggaran administrasi luar
biasa. Pelanggaran administrasi biasa, penyelesaianya bermuara pada keputusan KPU
sedangkan pelanggaran administrasi luar biasa merupakan pelanggaran yang terstruktur,
sistemasis dan Masif (TSM) yaitu Money Politik. Pelanggaran TSM ini penyelesaianya
bermuara pada PTUN. Lebih jelasnya maka alur/pola digambarkan sebagai berikut.
7
Alur Penyelesaian Pelanggaran Pemilu

Pelanggaran administrasi Pilkada

Bawaslu

Biasa Luar Biasa (TSM)/Money politik ( 30 hari)

Putusan Bawaslu Putusan pembatalan calon oleh Bawaslu

Ditindaklanjuti KPU Ditindaklanjuti KPU (3 hari)

Ptusan KPU
Keputusan KPU berupa
(pemberian sanksi
Tidak diterima Diterima

MA PTUN

8
Berdasarkan alur penyelesaian pelanggaran administrasi diatas, bahwa pelanggaran
administrasi ada 2 yaitu pelanggaran administrasi biasa dan pelanggaran administrasi luar
biasa. Pelanggran administrasi biasa pertama kali diselesaikan di Bawaslu, kemudian
bawaslu mengeluarkan putusan bawaslu dan merekomendasikan ke KPU. Selanjutnya
KPU mengeluarkan Keputusanya terkait pelanggaran administrasi dan memberikan
sanksi. Sedangkan pelanggaran administrasi luar biasa merupakan pelanggaran yang
dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) yaitu money politik.
Penyelesaian diawal di selesaikan oleh Bawaslu, Bawaslu mengeluarkan putusan
pembatalan calon jika ternyata terbukti melakukan pelanggaran. Terkait putusan Bawaslu
ditindaklanjuti oleh KPU dan selanjutnya KPU mengeluarkan keputusan. Jika para pihak
merasa dirugikan oleh keputusan KPU maka bisa mengajukan permohonan ke PTTUN.
Masih belum bisa menerima terkait putusan PTTUN maka bisa mengajukan ke MA.
Putusan Mahkamah Agung (MA) bersifat final dan mengikat. Terkait alur pelanggaran
diatas bahwa pelanggaran terdiri dari dua dan proses penyelesaian berbeda beda dengan
waktu yang berbeda tentunya ini akan menjadikan panjang proses penyelesaian
pelanggaran pilkada.

3. Penyelesaiaan di Mahkamah Agung (MA)

Mahkamah Agung merupakan salah satu pelaku kekuasaan kehakiman selain


Mahkamah Konstitusi. 3Mahkamah Agung sebagai cabang kekuasaan yudikatif mengadili
perkara perkara tertentu yang menjadi kewenangannya berdasarkan ketentuan Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Pasal 24A ayat (1) Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia4 ditegaskan kembali dalam Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun
1985 tentang Mahkamah Agung, kewenangan Mahkamah Agung adalah mengadili pada
tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang

3
Pasal 24 Ayat (2) Undang Undang Dasar NRI Tahun 1945
4
Pasal 24 A Ayat (1) Undang UndangNRI Tahun 1945 merupakan perubahan ketiga Undang UndangNRI Tahun 1945 yang
berbunyi Mahkamah Agung berwenang mengadilli pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang undangan dibawah Undang
Undangterhadap Undang Undang, dan mempunyai wewenang lainya yang diberikan oleh Undang Undang.

9
terhadap undangundang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang. Dalam hal ini MA mengadili persoalan pemilu pada tingkat kasasi

4. Penyelesaian di Bawaslu
Penyelesaian pelanggaran administrasi di selesaikan oleh Bawaslu melalui
musyawarah berdasarkan prinsip cepat dan tanpa biaya. 5 Pasal 73 Undang Undang No.
15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilu, tugas Bawaslu yaitu mengawasi
penyelenggaraan pemilu dalam rangka pencegahan dan penindakan pelanggaran untuk
terwujudnya pemilu demokratis. Tata cara Penyelesaian perselisihan administrasi
sebagai berikut:6
1) Laporan pelanggaran pemilihan disampaikan kepada Bawaslu paling lama 7
(tujuh) hari sejak diketahui dan ditemukanya pelanggaran pemilihan.
2) Terkait laporan pelanggaran pemilihan,terbukti kebenaranya maka Bawaslu
Provinsi menindaklanjuti laporan dengan cara menerima, memeriksa dan
memutus pelanggaran administrasi dalam jangka waktu paling lama 14
(empat belas) hari kerja.
3) Pemeriksaan dilakukan secara terbuka, dari hasil pemeriksaa tersebut,
Bawaslu mengeluarkan sebuah rekomendasi/putusan.
4) KPU Provinsi/Kabupaten wajib menindaklanjuti putusan Bawaslu dengan
menerbitkan keputusan KPU
i. Provinsi/Kabupaten dalam jangka waktu 3 hari kerja terhitung sejak
diterbitkanya putusan Bawaslu. Keputusan KPU dapat berupa pembatalan
pasangan calon dan penyempurnaan.

5) Jika Pasangan calon yang mendapatkan sanksi pembatalan pasangan calon


merasa belum puas, dapat mengajukan upaya hukum ke Mahkamah Agung
dalam jangka waktu 3 hari kerja terhitung sejak keputusan KPU
Provinsi/Kabupaten.

5
Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Bawaslu No.15 Tahun 2017 tentang Penyelesaian sengketa Pemilihan
Gubernur, Bupati dan Wakil Walikota
6
Pasal 135 Undang-Undang No.10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang UndangNo.1 Tahun 2015 tentan
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang UndangNomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota menjadi Undang Undang.

10
6) Mahkamah Agung memutus upaya hukum pelanggaran administrasi dalam
jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak berkas perkara
diterima Mahkamah Agung.

C. Siapa saja yang terlibat dalam penyelesaian sengketa rezim pemilu

Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memberikan atau menyelesaikan sengketa


hasil pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah, itu harus ditempatkan pada struktur
peraturan perundang-undangan terendah, yang mencerminkan sila-sila Pancasila yang ada
pada Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Hal ini disampaikan oleh
Muhammad Mukhtasar yang menjadi Ahli Pemohon pengujian pengujian UU
Pemerintahan Daerah dan UU Kekuasaan Kehakiman pada Rabu (5/3) di Ruang Sidang
Pleno. Sejauh ini kami tidak dapat memberikan pertimbangan sejauh mana manfaat
keadilan, kesejahteraan yang dapat diperoleh oleh rakyat dengan kewenangan yang
diberikan kepada Mahkamah Konstitusi oleh undang-undang itu. Tetapi berdasarkan
struktur pembuatan dan pemberlakuan undang-undang, ini masih tidak dapat dikatakan
sudah konsisten dalam mengamalkan atau menjadikan Pancasila sebagai rechtsidee itu,”
ungkap Mukhtasar di hadapan majelis hakim yang dipimpin oleh Ketua MK Hamdan
Zoelva.

Mukhtasar mengungkapkan bahwa kewenangan MK dalam menyelesaikan sengketa hasil


Pilkada itu dapat dikatakan untuk selama ini tidak sesuai dengan peraturan perundang-
undangan yang menunjukkan bahwa rezim Pemilu itu sudah diatur pada satu bab tertentu,
tetapi penyelesaian hasil sengketa Pilkada itu masuk pada bagian pemerintahan daerah.
“Sehingga ini perlu kita tinjau kembali dan memberikan keterangan bahwa rezim Pemilu
yang diatur adalah pemilihan umum secara umum,” ungkapnya. Dalam sidang sebelumnya,
merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK)

11
menyelesaikan sengketa Pemilukada, beberapa mahasiswa yang tergabung dalam Forum
Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) sebagai Pemohon I, Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Hukum Universitas Esa Unggul (BEM FH UEU) sebagai Pemohon II, Joko
Widarto sebagai Pemohon III, dan Achmad Saifudin Firdaus sebagai Pemohon IV
mengajukan judicial review. Para Pemohon perkara yang teregistrasi Kepaniteraan MK
dengan Nomor 97/PUU-XI/2013 merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan
berlakunya Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan
Daerah (UU Pemda) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman). Pasal 236C UU Pemda.7
menyatakan“Penanganan sengketa hasil penghitungan suara pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah oleh Mahkamah agung dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling
lama 18 (delapan belas) bulan sejak Undang-Undang ini diundangkan. Sementara itu, Pasal
29 ayat (1) huruf e UU Kekuasaan Kehakiman menjelaskan “salah satu kewenangan
konstitusional Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar”.

Pemohon mengungkapkan dirinya merasa hak konstitusionalnya terlanggar dengan adanya


penambahan kewenangan kepada MK untuk mengadili sengketa pemilihan kepala daerah.
Pemohon menilai kewenangan tersebut mengalihkan tugas pokok Mahkamah sebagai
penjaga konstitusi. Dalam permohonan dijelaskan bahwa pelaksanaan kedua ketentuan
tersebut telah bertentangan dengan konstitusi, yaitu melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945
karena tidak mengindahkan dan memenuhi kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang
berlaku dalam sebuah norma hukum. Selain itu juga bertentangan dengan Pasal 24C ayat
(1) UUD 1945 karena hanya membatasi ruang lingkup kewenangan Mahkamah sebatas
penanganan pemilihan umum saja dan sengketa yang dimaksud ketentuan tersebut tidak
termasuk. Kedua pasal tersebut juga menurut Para Pemohon juga tidak sejalan dengan
Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 karena tidak mengatur dan memberikan kewajiban kepada
norma yang lebih rendah untuk memberikan kewenangan penyelesaian sengketa Pilkada

7Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman).

12
pada MK. Untuk itulah, Para Pemohon meminta agar kedua pasal tersebut dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Pelaksanaan pemilu yang dilakukan secara serentak, tentunya akan berdampak pada
pola dan sistem penyelesaian persoalan pemilu saat ini. Penyelesaian persoalan pemilihan
Umum yang diselesaikan di beberapa lemabaga saat ini meninggalkan beberapa persoalan
dalam penegakan hukum pemilu. persoalan tersebut yaitu penyelesaian persoalan pemilu
menjadikan tidak efektif mengingat bahwa setiap lembaga memiliki sistem penyelesaian
tersendiri dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Sementara itu, tuntutan pelaksanaan
pemilu dilakukan secara serentak baik itu pemilihan Presiden maupun DPR dimungkinkan
terjadinya persoalan baik itu pelanggaran, sengketa maupun perselisihan secara bersamaan
Masyarakat akan menjadi binggung terait pola penyelesaian di beberapa lembaga, ini
disebabkan karena sistem penyelesaian di beberapa lembaga berbeda beda dan berlapis.
Tentunya dari Penjelasan tersebut dalam penyelesaian pemilihan umum munculnya
beberapa kewenangan penyelesaian pemilu di beberapa lembaga memunculkan problem
yang harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Tidak serta merta itu saja, terkait jadwal
tahapan pemilihan umum sudah terjadwalkan dengan rigid. Sehingga pada penyelesaian
persoalan pemilu dituntut untuk menyelesaikan dengan cepat dan mudak. Faktanya selama
ini beberapa lembaga memiliki waktu penyelesaian yang cukup panjang. ini menyebabkan

13
terganggunya pelaksanaan pemilu. Maka penting sekali untuk dibuat sebuah lembaga yang
memiliki kewenangan untuk menyelesaikan semua persoalan pemilu baik itu sengketa,
perselisihan maupun pelanggaran. Pemerintah harus mendesain lembaga tersebut dengan
berdasar pada asas cepat, mudah dan murah. Asas cepat pada lembaga tersebut diharapkan
dapat menyelesaian persoalan dengan cepat dan tepat waktu. Mudah disini memiliki
maksud tidak berbelit belit. Serta murah, artinya bahwa biaya penyelesaian persoalan
pemilu dapat dijangkau oleh masyarakat.

B. Saran
Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat menambah
khasanah keilmuan dan bermanfaat bagi kita semua. Dalam makalah ini pasti ada
kekurangan, maka dari itu penulis mengharapkan jika ada kritikan dan asaran yang
dapat membangun guna perbaikan makalah ini.

14
DAFTAR PUSTAKA

Undang Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu


Pasal 152 Undang UndangNo.10 Tahun 2016
Pasal 24 Ayat (2) Undang Undang Dasar NRI Tahun 1945

Pasal 24 A Ayat (1) Undang UndangNRI Tahun 1945 merupakan perubahan ketiga
Undang UndangNRI Tahun 1945 yang berbunyi Mahkamah Agung berwenang
mengadilli pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang undangan dibawah
Undang Undangterhadap Undang Undang, dan mempunyai wewenang lainya
yang diberikan oleh Undang Undang.

Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Bawaslu No.15 Tahun 2017 tentang Penyelesaian
sengketa Pemilihan Gubernur, Bupati dan Wakil Walikota
Pasal 135 Undang-Undang No.10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas
Undang UndangNo.1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang UndangNomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota menjadi Undang Undang.

Pasal 236 C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah


(UU Pemda) dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman).

15
16

Anda mungkin juga menyukai