OLEH :
WIKRADIANSYAH
NIM : 201130505
FAKULTAS HUKUM
KOLAKA
2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI...............................................................................................................i
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................3
A. Kesimpulan ........................................................................................................15
B. Saran ..................................................................................................................15
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................16
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara umum demokrasi diartikan sebagai pemerintahan yang berasal dari rakyat
oleh rakyat dan untuk rakyat. Salah satu prinsip demokrasi yang penting adalah adanya
Pemilihan Umum, yang mana pemilihan umum tersebut sebagai perwujudan nyata
kedaulatan rakyat atas keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seperti kita ketahui sistem politik di Indonesia dewasa ini sedang mengalami proses
demokratisasi yang membawa berbagai konsekuensi tidak hanya terhadap dinamika
kehidupan politik nasional, namun juga terhadap dinamika sistem-sistem lain yang
menunjang penyelenggaraan kehidupan kenegaraan. Pembangun sistem politik yang
demokratis diarahkan agar mampu mempertahankan keutuhan wilayah Republik
Indonesia dan makin mempererat pers.
Aturan dan kesatuan Indonesia yang akan memberikan ruang yang semakin luas
bagi terwujudnya keadilan sosial dan kesejahteraan yang merata bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Kegiatan pemilihan umum merupakan salah satu sarana penyaluran hak asasi
warga negara yang sangat prinsipil. Oleh karena itu, dalam rangka pelaksanaan hak-hak
asasi warga negara adalah keharusan bagi pemerintah untuk menjamin terlaksananya
penyelenggaraan pemilihan umum sesuai dengan jadwal ketatanegaraan yang telah
ditentukan. Sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat dimana rakyatlah yang berdaulat,
maka semua aspek penyelenggaraan pemilihan umum itu sendiri pun harus juga
dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya. Adalah pelanggaran terhadap hak-hak
asasi apabila pemerintah tidak menjamin terselenggaranya pemilihan umum,
memperlambat penyelenggaraan pemilihan umum tanpa persetujuan para wakil rakyat,
ataupun tidak melakukan apa-apa sehingga pemilihan umum tidak terselenggara
sebagaimana mestinya.
Maka dalam makalah kali ini kami akan membahas lebih lanjut tentang pemilihan
umum, sistem pemilihan umum, penyelenggara pemilihan umum, dan pelanggaran serta
penyelesaian sengketa dalam pemilihan umum.
B. Rumusan Masalah
Dari pemaran diatas, maka kami dapat merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
PEMBAHASAN
Pemilihan umum atau sering disebut pemilu merupakan suatu kata yang yang begitu
akrab dikalangan politik dan pergantian pemimpin. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), kata pemilihan berasal dari kata pilih yang artinya “dengan teliti memilih” tidak
dengan sembarangan, dan kata umum berarti “mengenai seluruhnya atau semuanya”,
tidak menyangkut yang khusus (tertentu) saja. Kata pemilihan umum adalah memilih
dengan cermat, teliti, seksama sesuai dengan hati dengan hati nurani seorang wakil yang
dapat membawa amanah dan dapat menjalankan kehendak pemilih.
Menurut Ali Moertopo, pemilihan umum adalah sarana yang tersedia bagi rakyat
umtuk ,emjalankan kedaulatannya dan merupakan lembaga demokrasi. Secara teoritis
pemilu dianggap tahap paling awal rangkaian kehidupan ketatanegaraan yang demokratis,
sehingga pemilu menjadi motor penggerak mekanisme sistem politik demokrasi. Pemilu
merupakan tanda kehendak rakyat dalam suatu demokrasi, jadi setiap warga Negara
berhak ikut aktif dalam proses politik termasuk dalam pemilu. Pemilu menjadi salah satu
sarana utama untuk menegakkan tatanan demokrasi yang berkedaulatan rakyat. Di
kebanyakan Negara demokrasi, pemilu dianggap lambang skaligus tolok ukur demokrasi
tersebut.
Dipandang dari sudut pandang Hukum Tata Negara, pemilu merupakan proses politik
dalam kehidupan ketatanegaraan sebagai sarana pembentukan lembaga-lembaga
perwakilan yang mengemban amanat rakyat. Menurut Sri Soemantri, sebagai syarat
mutlak berlakunya demokrasi yaitu pemilu yang dilaksanakan harus bebas, dan bisa
dihubungkan dengan kenyataan, dimana nilai suatu pemerintahan untuk sebagian besar
bergantung pada orang-orang yang duduk di dalamnya.
Pemilu itu terkait dengan hak asasi manusia, karena manusia mempunyai hak
kebebasan atau kemerdekaan. Berikut ini merupakan aspek-aspek manusia:
Kebebasan berserikat dan mengeluarkan pendapat dijamin UUD 1945 yang dapat
dilakukan dengan pemberian suara dalam pemilihan umum. “Pemilihan umum
merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang pada hakikatnya merupakan
pengakuan dan perwujudan hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan
pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepaa wakil-wakilnya untuk menjalankan
pemerintahan”. Pemilu juga merupakan upaya mewujudkan cita-cita Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia untuk tetap harus dalam penyelenggaraan pemerintah
sebagaimana ditetapkan dalam UUD 1945. “Pada hakikatnya pemilihan umum, di Negara
manapun mempunyai esensi yang sama. Pemilihan umum berarti rakyat melakukan
kegiatan memilih orang atau kelompok orang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin
Negara, pemimpin yang dipilih itu akan menjalankan kehendak rakyat”.
Sarana politik untuk mewujudkan kehendak rkyat kepada Negara dalam sistem
Demokrasi Pancasila adalah pemilihan umum. Rakyat sebagai pemegang kkedaulatan
berhak menentukan warna dan bentuk dan bentuk pemerintahan serta tujuan yang hendak
dicapai, sesuai dengan konsitusi yang berlaku.
Selain lndasan umum dan asas, pemilihan umum juga mempunyai tujuan yang harus
dicapai. Seperti yang telah kita ketahui bahwa pemilihan umum atau pemilu digelar
sebanyak satu kali dalam lima tahun untuk memilih Presiden dan wakilnya merupakan
salah satu tujuan pemilihan umum yang sangat penting.
Tujuan kedua yaitu, untuk melaksanakan kedulatan rakyat, seperti bahwa kedaulatan
berada ditangan rakyat. Maka rkyat mewakili kepada wakil-wakilnya yang duduk dalam
badan perwakilan rakyat untuk melaksanakan kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat.
Pemilihan umum harus dilakukan secara berkala, karena mempunyai fungsi sebagai
sarana pengawasan bagi rakyat terhadap wakilnya. Wakil tidak akan dipiliha jika sejalan
dengan para pemilihnya, dalam melaksanakan fungsinya. Begitu juga “penunjukan wakil-
wakil rakyat diselenggarakan melalui suatu pemilihan umum, harus memberikan jaminan
sebesar-besarnya, bahwa wakil-wakil yang terpilih itu memang sungguh memenuhi
syarat-syarat tertentu, yaitu mereka yang dipercayai oleh pemilih sebagai orang yang
jujur dan sanggup memperjuangkan kepentingan mereka”.
Tujuan ketiga yaitu, dalam rangka melaksanakan hak-hak asas warga dalam arti
seluruh warga negara indonesia mempunyai hak yang sama dengan tidak membeda-
bedakan suku bangsa, agama, usia, jenis kelamin, sosial, dan lain sebagainya. Hal ini
karena kedaulatan rakyat berisi pengakuan akan harkat dan martabat manusia, sedangkan
pengakuan martabat manusia berarti menghormati dan menjunjung tinggi segala hak-hak
asas yang melekat padanya. Kedaulatan rakyat akan terwujud dalam bentuk hak asasi
manusia disegala bidang. Rakyat pemilih diberi kebebasan untuk menentukan pilihannya
masing-masing sesuai dengan hati nuraninya.
C. Sistem Pemilihan Umum
Sistem pemilu merupakan permasalahan yang utama dalam tatanan pemilihan dalam
pelaksanaannya, dikarenakan sitem pemilu akan sangat berpengaruh dengan tahapan dan
pelaksanaan pemilu selanjutnya. Begitu juga sistem pemilu akan menentukan demokratis
dan tidaknyapemilu dilaksanakan. Setiap sistem pemilihan memiliki nilai-nilai tertentu,
masing-masing pun memiliki kekurangan dan kelebihan. Hal ini pun terlihat disetiap
pemilihan Negara mana pun yang memang sama-sama tidak ada ke idealisasian dalam
sistem pemilu, namun semua sistem itu memiliki persamaan yaitu suatu proses
pengembangan atau reformasi sistem pemilu agar pemilu itu sendiri memiliki legitimasi
dan demokratis.
Metode pemilihan umum ini dibentuk berdasarkan budaya dan adat suatu daerah,
dimana budaya tersebut tidak akan terganggu oleh kedatangan metode atau reformasi
baru mengenai pemilu. Diantara sistem pemilu yang perlu diketahui ada beberapa
diantaranya :
a) Legitimasi sistem politik dan pemerintah, yang terdiri dari satu partai atau koalisi
partai lain
b) Pemindahan kepercayaan kepada orang atau partai polotik
Sistem-sistem yang ada terhadap sistem yang lainnya dalam pemilihan ini berkembang
dan menunjukkan variasi lain yang sistem tersebut dapat dikelompokkan menjadi 3
kelompok besar diantaranya ;
1. Sistem pluralitas-mayoritas
Sitem pluralitas :
1) First past the post, yakni pemilihan diselenggarakan dalam satu distrik dan
pemenangnya adalah kandidat yang meraih jumlah suara terbanyak dan tidak harus
meraih suatu mayoritas
2) Suara blok (block vote, BV), yakni sitem yang merupakan penerapan FPTP pada
suara banyak pada tingkat, dengan sistem dimana pemilih memilih partai bukan calon,
dengan partai yang meraih suara terbanyak memperoleh semua kursi distrik
Sitem mayoritas:
2) Sistem dua babak yakni pemilihan dalam dua babak, yang mana jika seseorang
memperoleh mayoritas suara absolute, dia langsung terpilih tanpa pemilihan kedua, dan
bilamana tidak ada kandidat yang memperoleh suara terbanyak maka babak kedua
pemungutan dilakukan
Sistem ini didasarkan pada terjemahan jumlah suara yang diperoleh menjadi kursi yang
dimenangkan dengan cara-cara yang proporsional juga, sistem ini terdiri dari :
1) Suara tunggal yang tidak dapat dialihkan yakni pemilih berhak atas satu suara,
namun karena ada beberapa kursi yang masih kosong mak kandidat terbanyaklah yang
mengambil alih
Sistem ini didesain untuk mengurangi ketimpangan antara jatah suara nasional suatu
partai dengan jatah kursi parlemen
1. Pelanggaran Pemilu
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD,
Undang – Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden,
dan Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah (pemilukada)
mengatur tentang penyelesaian sengketa pemilu, baik karena pelanggaran kode etik,
pelanggaran administrasi, sengketa tata usaha negara, tindak pidana pemilu, maupun
sengketa hasil pemilu.
Ketentuan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu pertama kali diatur dalam
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012. Kode Etik Penyelenggara Pemilu berlaku bagi
semua yang dapat menyelenggarakan pemilu yakni KPU dan Bawaslu, baik untuk pemilu
legislatif maupun pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilihan Umum Kepala
Daerah. Dan adapun penjelasan tersebut terdapat dalam Pasal 251 dan 252 Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 2012.
2. Sengketa Pemilu
Pasal 257 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 menyatakan bahwa yang
dimaksud dengan sengketa peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu, sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten / Kota. Jadi,
sengketa pemilu itu terjadi, karena perselisihan atau sengketa antarpeserta pemilu atau
peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu (KPU). Undang – Undang Nomor 8 Tahun
2012 memberikan kewenangan kepada Bawaslu dalam menyelesaikan sengketa pemilu.
Dalam Pasal 258 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 yang beri kewenangan kepada
Bawaslu. Yaitu :
3) Bawaslu memeriksa dan memutuskan sengketa Pemilu paling lama 12 (dua belas)
hari sejak diterimanya laproan tau temuan
Berdasarkan ketentuan Pasal 257, Pasal 258, dan Pasal 259, Bawaslu hanya memiliki
kewenangan menyelesaikan sengketa dalam hal sengketa pemilihan umum anggota DPR,
DPD, dan DPRD, dan tidak memiliki kewenangan untuk menyelesaikan sengketa
pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilihan Umum Kepala Daerah.
Dalam hal Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, maka Bawaslu hanya
menerima laporan pelanggaran pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Apabila menerima
laporan pelanggaran administrasi, maka Bawaslu meneruskan kepada KPU, dan apabila
pelanggaran yang terjadi adalah pelanggaran pidana, maka Bawaslu meneruskan kepada
penyidik Polri. Begitu juga dalam pemilihan umum Kepala Daerah, Bawaslu tidak
memiliki kewenangan dalam penyelesaian sengketa pemilihan umum Kepala Daerah.
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 mengatur tentang sengketa tata usaha
negara yang sebelumnya tidak diatur. Ketentuan ini muncul karena pengalaman pemilu
sebelumnya yang memerlukan penyelesaian hukum yang adil. Penyelenggara pemilu
(KPU dan Bawaslu) sebagai penyelenggara negara yang keputusannya dapat saja
melampaui kewenangan yang diberikan Undang – Undang, sehingga keputusan dapat
digugat ke pengadilan. Dengan demikian, diperlukan mekanisme hukum untuk
menyelesaikannya.
Sengketa tata usaha negara Pemilu adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata
usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten
/ Kota, atau partai Politik calon Peserta Pemilu dengan KPU, KPU Provinsi dan KPU
Kabupaten/ Kota (Pasal 268 ayat [1] Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012). Sengketa
tata usaha negara Pemilu merupakan sengketa yang timbul antara :
1. KPU da Partai Politik calon Pesera Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat
dikeluarkannya Keputusan KPU tentang penetapan Partai Politik Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dan
2. KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten / Kota dengan calon Anggota DPR, DPD,
DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota yang dicoret dari daftar calon tetap sebagai
akibat dikeluarkannya Keputusan KPU, tentang penetapan daftar calon tetap sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 65 dan Pasal 75 (Pasal 268 ayat [2] Undang – Undang Nomor
8 Tahun 2012).
Sebagai upaya penyelesaian sengketa tata usaha negara, maka Pasal 269 Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 2012 menjelaskan proses berita acara pengajuan gugatan
sengketa tata usaha negara pemilu. Yaitu dalam Pasal 269 dan 270.
Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 mengenai tindak pidana, dan yang
dimaksud dengan tindak pidana adalah pelanggaran pidana dan kejahatan. Undang –
Undang Nomor 8 Tahun 2012 lebih mempertegas tentang tindak pidana, yang menurut
Undang – Undang lama hanya karena pelanggaran pidana pemilu. Pasal 260 Undang –
Undang Nomor 8 Tahun mengatur demikian, yaitu : “ Tindak pidana Pemilu adalah
tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan tindak pidana Pemilu
sebagaimana diatur dalam Undang – Undang ini”.
Hal ini karena “sengketa pemilu atau perselisihan antara dua pihak atau lebih yang
ditimbulkan oleh karena adanya perbedaan penafsiran antara para pihak atau
ketidaksepakatan tertentu yang berhubungan dengan fakta kegiatan dan peristiwa hukum
atau kebijakan”. Oleh karena KPU sebagai “Badan Penyelenggara Pemilu diberi tugas
berat untuk melaksanakan pemilu, sehingga keputusannya kadang – kadang menjadi
obyek keberatan atau gugatan.
Di Indonesia, tidak ada institusi yang berwenang dapat membatalkan hasil pemilihan
umum, tetapi hanya ada institusi atau lembaga yang menangani sengketa hasil pemilu.
Sebagaimana dijelaskan bahwa penyelesaian sengketa pemilu dapat diselesaikan, baik
melalui lembaga peradilan maupun Bawaslu, sedangkan Mahkamah Konsitusi hanya
berwenang memutus perselisihan hasil pemilu antara peserta pemilu dengan
penyelenggara Pemilu (KPU).
UUD 1945 tidak menegaskan tentang pengertian dan ruang lingkup mengenai apa
yang dimaksud dengan “perselisihan hasil pemilihan umum” yang tercantum dalam Pasal
24C ayat [1]. Sehingga Undang – Undang- Lah yang kemudian mengaturnya. Pasal 24C
ayat [2] huruf a dan c Undang – Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konsitusi yang diubah dengan Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2011 memberikan
pengertian bahwa penetapan hasil pemilihan umum yang dilakukan secara nasional oleh
Komisi Pemilihan Umum yang mempengaruhi : “terpilihnya calon Anggota DPD” dan
“peroleh kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan’.
Selanjutnya Pasal 271 dan Pasal 272 Undang – Undang Nomor 8 Tahun 2012 mengatur
penyelesaian perselisihan hasil pemilu.
Demikian halnya dengan pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilu kepada
daerah sama sebagaimana penyelesaian sengketa hasil pemilu anggota DPR, DPD, dan
DPRD. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden serta Pemilukada penyelesaian sengketa
hasil pemilu dilakukan oleh Mahkamah Konsitusi. Undang – Undang Nomor 42 Tahun
2008 memberikan landasan hukum mengenai penyelesaian perselisihan hasil pemilu
Presiden dan Wakil Presiden. Yang dijelaskan dalam Pasal 201 Undang – Undang Nomor
42 Tahun 2008.
Pada mulanya yang dimaksudkan pemilu adalah pemilu untuk memilih anggota DPR,
DPD, dan DPRD, serta pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pembentuk Undang –
Undang pada saat itu melihat pemilihan kepala daerah dan wakil daerah bukan merupaka
rezim pemilu, sehingga wewenang untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilihan kepala
daerah dan wakil daerah diberikan kepad Mahkamah Agung.
UUD 1945 hanya menenutukan kepala daerah dipilih secara demokratis, sehingga
pemilihan kepada daerah tidak dimasukkan dalam penyelenggaraan pemilu sebagaimana
telah diatur dalam pasal 22E ayat 2 UUD 1945. Selanjutnya melalui Undang-Undang
nomor 22 tahun 2007, bahwa pemilihan kepala daerah dimasukkan ke dalam rezim
pemilu. Dengan demikian, wewenang memutus perselisihan hasil pemilihan kepala
daerah juga dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi, dengan alas an UUD 1945
menentukan lembaga yang berwenang memutus perselisihan hasil pemilu adalah
Mahkamah Konstitusi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pemilihan umum merupakan sarana pelaksanaan asas kedaulatan rakyat yang pada
hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan hak-hak politik rakyat dan sekaligus
merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepaa wakil-wakilnya untuk
menjalankan pemerintahan.
4. Penyelenggara pemilihan umum ada tiga yaitu Komisi Pemilihan Umum, Badan
Pengawas Pemilu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu
5. Pelaksanaan Pemilu di Indonesia telah terjadi sebanyak sebelas kali yaitu dari tahun
1955 sampai 2014 yang tiga diantaranya dilakukan secara langsung yaitu tahun 2004,
2009, dan 2014.
B. Penutup
saya menyadari bahwa makalah saya masih jauh dari kata sempurna, oleh
karenanya saya mohon kritikan dan saran yang bersift membangun demi perbaikan
makalah ini agar lebih baik lagi kedepannya.
DAFTAR PUSTAKA