Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

TINDAK PIDANA TERTENTU DILUAR KUHP

“ PENYIMPANGAN MATERIL DAN FORMIL TINDAK PIDANA PEMILIHAN


UMUM”

Kelompok 7

1. Zefanya Tahalele ( 201921033 )


2. Muttaqien Heluth ( 201921052 )
3. Josefina Asri Lasamahu ( 201921064 )
4. Aquinta W Wenno ( 201921047 )
5. Evi Pradita ismail ( 201921016 )

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2021
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat dan
karunia-Nya,.sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini.

Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Mata Kuliah
Tindak pidana tertentu diluar KUHP tentang Penyimpangan Materil Dan Formil
Tindak Pidana Pemilihan Umum Selain itu, makalah ini juga bertujuan untuk menambah
wawasan bagi para pembaca dan juga bagi kami sebagai penyusun sekaligus penulis.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah ini.

ii
DAFTAR ISI

Cover ……………………………………………....…………………………….… i
Kata Pengantar …………………………………..…………………………….…... ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………..… iii

BAB I Pendahuluan
A. Latar Belakang ………………………………………………………..….. 1
B. Rumusan Masalah …………………………………………….....……….. 4
C. Tujuan Penulisan ………………………………………………………… 4

BAB II Pembahasan
A. Pengertian tindak pidana pemilihan umum …………..……………….. 5
B. Dasar hukum tindak pidana pemilihan umum….……………………... 5
C. Jenis- jenis tindak pidana pemilihan umum …………..………………. 6
D. Penyimpangan formil dan materi
tindak pidana pemilihan umum l …………………………...…………. 9

BAB III Penutup


Kesimpulan ………………………………………………………..…. 11
Daftar Pustaka ……………………………………………………..… 13

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang (Tindak Pidana Pemilihan Umum)

Rumusan pembukaan dan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 amandemen, menyatakan bahwa
negara Indonesia adalah negara demokrasi dengan konsep kedaulatan rakyat di identik- kan
pada konsep demokrasi. Sebagai negara demokrasi maka setiap warga negara dapat
menggunakan hak politik untuk turut serta menentukan berjalannya negara. Hal ini di-
sebabkan karena demokrasi diartikan sebagai pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan
untuk rakyat. Oleh karena itu dalam negara demokrasi diharuskan adanya keikutsertaan
rakyat dalam pembuatan dan pengambilan keputusan.

Agar kedaulatan rakyat atau demokrasi dapat terjamin, dan pemerintahan yang sungguh-
sungguh mengabdi kepada kepen- tingan seluruh rakyat dapat benar-benar efek- tif dan
efisien, maka untuk menjamin siklus kekuasaan yang bersifat teratur itu diperlukan
mekanisme pemilihan umum (pemilu) yang diselenggarakan secara berkala. Hal ini
disebabkan karena pada prinsipnya dalam kedaulatan rakyat, dimana rakyatlah yang
berdaulat, maka semua aspek penyelengga- raan Pemilu harus dikembalikan kepada rak- yat
untuk menentukannya.

Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara lang- sung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dengan menjamin prinsip-prinsip keterwa- kilan,
akuntabilitas dan legitimasi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berda- sarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pemilu
merupakan sarana pelaksana kedau- latan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD), serta Presiden dan Wakil Presiden. Sebagai amanat reformasi kualitas
penyelenggaraan pemilu harus diting- katkan agar lebih menjamin kompetisi yang sehat,
partisipasif yang dinamis, derajat keter- wakilan yang lebih tinggi dan mekanisme serta
pertanggungjawaban yang jelas.

Terkait dengan tujuan pemilu sebagai sarana pelaksana prinsip hak asasi warga negara,
Majda El Muhtaj berpendapat bahwa pemilu merupakan realisasi dari pemenuhan hak-hak
sipil dan politik. Hak ini selain dijamin dalam hukum HAM internasional, sebagaimana
ketentuan Pasal 21 DUHAM PBB dan Pasal 25 ICCPR, juga dijamin secara konstitusional
melalui ketentuan Pasal 22E dan Pasal 28D ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, UU No. 12
Tahun 2005 tentang Penge- sahan ICCPR dan ketentuan Pasal 23 ayat (1) UU No. 39 Tahun
1999 tentang HAM. Menu- rutnya, pemilu berkorelasi positif dengan HAM pada tiga aspek
penting, yakni:

1
1. hak untuk ambil bagian dalam pemerin- tahan (the right to take part in govern- ment);

2. hak memilih dan dipilih (the right to vote and to be elected); dan

3. hak akses yang setara untuk pelayanan publik (the right to equal access to public service).

Dengan dasar pikir ini maka pemilu wajib dijalankan sesuai dengan standar-standar
internasional dan sesu- ngguhnya secara normatif hal itu ditegas- kan melalui Perpres No. 6
Tahun 2013 tentang Pengesahan Statuta Internasional Untuk Demokrasi dan Perbantuan
Pemilu.

Dalam peraturan perundang-undangan telah dijamin pelaksanaan Pemilu dilakukan dengan


Jujur dan adil, namun faktanya masih ditemukan praktek-praktek sengketa hukum dan
pelanggaran dalam pemilu yang terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia. Walaupun
dalam ketentuan peraturan per- undang-undangan telah jelas dijelaskan ma- cam-macam
perilaku yang boleh untuk dila- kukan dan perilaku yang disertai dengan sanksi-sanksi bagi
siapa saja yang melanggar, akan tetapi kejahatan masih terus mewarnai kehidupan manusia.
Hal ini sangatlah wajar karena dalam diri manusia ada 2 (dua) unsur yang saling
bertentangan, yakni manusia memiliki akal yang lebih cenderung pada kebaikan, serta nafsu
yang lebih berat kepada kejahatan. Akan tetapi tidak jarang manusia tidak kuat menahan
kehendak syahwatnya, sehingga akal dapat dikalahkan oleh hawa nafsunya, kemudian
lahirlah apa yang di- namakan tindak pidana.3

Sengketa hukum dan pelanggaran dalam Pemilu dapat terjadi karena adanya unsur
kesengajaan maupun karena kelalaian. Pelanggaran pemilu dapat dilakukan oleh banyak
pihak, bahkan dapat dikatakan semua orang memiliki potensi untuk menjadi pelaku pela-
nggaran pemilu. Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU No. 8 tahun 2012 antara lain:

1. penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabu-
paten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Pan-
was Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;

2. peserta pemilu yaitu pengurus partai poli- tik, calon anggota DPR, DPD, DPRD,
tim kampanye

3. pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD,
Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang
anggarannya bersumber dari keuangan negara;

4. profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;

5. pemantau dalam negeri maupun asing;

6. masyarakat pemilih, pelaksana survey/ hitungan cepat, dan umum yang disebut
sebagai “setiap orang”.

2
Sengketa hukum dalam penyelenggaraan

Pemilu menurut UU No. 8 Tahun 2012 meliputi sengketa hukum, sengketa tata usaha negara
Pemilu, dan Perselisihan Hasil Pemilu. Menurut Pasal 257 UU No. 8 tahun 2012 yang
dimaksud dengan sengketa Pemilu ada- lah sengketa yang terjadi antar peserta Pemilu dan
sengketa peserta pemilu dengan penye- lenggara Pemilu sebagai akibat dikeluarkan- nya
keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.

Sementara itu menurut UU No. 8 tahun 2012 Pasal 271 ayat (1) menyatakan per- selisihan
hasil Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah
perolehan suara hasil pe- milu secara nasional. Sedangkan dalam Pasal 271 ayat (2) UU No. 8
tahun 2012 disebutkan bahwa perselisihan penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara
nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah perselisihan penetapan perolehan suara
yang dapat mem- pengaruhi perolehan kursi peserta Pemilu.

Selain sengketa hukum, dalam pelaksanaan pemilu juga banyak terjadi pelanggaran-
pelanggaran baik yang dilakukan oleh penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu maupun
masyarakat. Bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu secara garis besar dapat
dibagi menjadi tiga kategori, yaitu:

Pertama, pelanggaran kode etik penyelenggara Pemilu. Kedua, Pelanggaran administrasi


pemilu. Ketiga, pelanggaran pidana pemilu. Ketentuan Pasal 252 Undang-Undang Pemilu
mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur
pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam Undang- Undang Pemilu diancam
dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu, antara lain sengaja
menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan
merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak
pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan,
dan pengadilan.

Topo Santoso memberikan pengertian Tindak Pidana Pemilu yakni: Semua tindak pidana
yang berkaitan dengan penyelengga- raan pemilu yang diatur dalam Undang- Undang Pemilu
maupun di dalam Undang- Undang Tindak Pidana Pemilu.4 Pengertian tentang tindak pidana
Pemilu di atas dikemukakan dengan membandingkan penga- turan tentang tindak pidana
Pemilu di Indonesia dengan tindak pidana Pemilu yang ada di negara lain yang juga mengatur
tentang tindak pidana Pemilu.5

Namun karena di Indonesia tidak pernah ada Undang-Undang Tindak Pidana Pemilu,
melainkan tindak pidana Pemilu juga diatur dalam Undang- Undang Pemilu maka ruang
lingkup tindak pidana Pemilu kita dibatasi yang diatur dalam Undang-Undang Pemilu saja.

KUHP sebagai hukum umum (lex gene- ralis) sebenarnya bisa dipakai sebagai dasar hukum
untuk menindak pelanggaran yang berkaitan dengan pemilihan umum. Dasar hukum tersebut
dimuat dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP. Namun demikian, pembuat

3
undang-undang rupanya punya paradigma dan pola pikir (frame of mind) yang intinya bahwa
KUHP tidak cukup potensial sebagai jerat untuk menindak pelaku.

B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas maka rumusan masalah yang dapat diambil adalah sebagai
beriku
1. Pengertian tindak pidana pemilihan umum
2. Dasar hukum tindak pidana pemilihan umum
3. Jenis-jenis tindak pidana pemilahan umum
4. Penyimpangan materil dan formil

C. Tujuan Penulisan

Makalah ini dibuat agar pembaca dapat memahami, mengetahui, dan dapat bermanfaat juga
untuk menambah wawasan tentang tindak pidana dari “Pemilihan Umum”. Terkait dengan
Pengertian dari pemilihan umum (Pemilu itu sendiri), juga dasar- dasar hukum yang
mengatur, Sampai pada bentuk- bentuk dari tindak pidana tersebut.

4
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tindak Pidana Pemilu

Definisi tindak pidana pemilu baru muncul pertama kali setelah dibuatkannya UU. No. 8
Tahun 2012. Hal ini dikarenakan sebelumnya dalam UU. No. 10 tahun 2008 tidak
menggunakan istilah tindak pidana pemilu melainkan pelanggaran pidana pemilu.

Dalam hal ini Djoko Prakoso mendefinisikan tindak pidana pemilu sebagai perbuatan yang
dilakukan oleh setiap individu, instansi/badan hukum, atau organisasi yang bertujuan untuk
mengacaukan, mengganggu, ataupun menghambat proses pemilihan umum yang sudah sesuai
prosedur undang-undang. sedangkan menurut Topo Santoso, ada tiga kemungkinan
pengertian dan cakupan dari tindak pidana pemilu,yaitu:

a. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur
dalam undang-undang pemilu.
b. Semua tindak pidana yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemilu yang diatur baik
di dalam maupun di luar undang-undang pemilu (misalnya dalam UU Partai Politik
ataupun di dalam KUHP)
c. Semua tindak pidana yang terjadi pada saat pemilu (termasuk pelanggaran lalu lintas,
penganiayaan (kekerasan), perusakan, dan sebagainya).

Pengertian tindak pidana pemilu tersebut dikemukakan oleh Topo Santoso dengan
membandingkan pengaturan tindak pidana pemilu di Indonesia dengan pengaturan tindak
pidana pemilu di negara lain yang juga mengatur tentang tindak pidana pemilu. Aturan tindak
pidana pemilu di Indonesia masih tercantum dalam UU pemilu, sedangkan di beberapa
yurisdiksi seperti Malaysia berbeda dengan Indonesia, tindak pidana pemilu di Malaysia
diatur terpisah dengan UU Pemilu yakni di dalam UU Tindak Pidana Pemilu. Malaysia
dikenal dengan adanya Election Offences Ordinance 1959, Indian Elections Offences and
Inquiries Act 1920,dan sebagainya.

B. Dasar Hukum Tindak Pidana Pemilihan Umum

KUHP sebagai hukum umum (lex generalis) sebenarnya bisa dipakai sebagai dasar hukum
untuk menindak pelanggaran yang berkaitan dengan pemilihan umum. Dasar hukum tersebut
dimuat dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP. Tindak Pidana pemilihan umum
termasuk kedalam tindak pidana khusus sehingga pengaturannya juga terdapat diluar KUHP,
yaitu dalam Undang-udang No 17 Tahun 2017 Tentang Pemilihan umum. Dalam Undang-
undang No 17 tahun 2017, pengaturan mengenai tindak pidana pemilihan umum terdapat
dalam buku kelima mulai dari Pasal 476 sampai dengan Pasal 558.Selain Undang-undang No
17 tahun 2017 pengaturan mengenai tindak pidana Pemilihan umum juga terdapat dalam
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak
Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum

5
Tindak pidana Pemilihan Umum (“Pemilu”) menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan
Pemilihan Umum sebagai berikut:

Tindak Pidana Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Tindak Pidana Pemilu adalah
tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Sedangkan yang dimaksud dengan Pemilu menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU 7/2017”) adalah sarana kedaulatan rakyat
untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah,
Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.

C. Jenis-Jenis Tindak Pidana Pemilu

1) Dilarang memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih;

Dasar hukumnya Pasal 488 UU Pemilu, berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan yang tidak benar mengenai diri
sendiri atau diri orang lain terutang suatu hal yang diperlukan untuk pengisian daftar Pemilih
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203, dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1
(satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”

2) Kepala desa dilarang yang melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan


perserta pemilu;

Dasar hukumnya Pasal 490 UU Pemilu, berbunyi:

“Setiap kepala desa atau sebutan lain yang dengan sengaja membuat keputusan dan/atau
melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Peserta Pemilu dalam
masa Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling
banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”

3) Setiap orang dilarang mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya


kampanye pemilu;

Dasar hukumnya Pasal 491 UU Pemilu, berbunyi:

“Setiap orang yang mengacaukan, menghalangi, atau mengganggu jalannya Kampanye


Pemilu dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak
Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”

6
4) Setiap orang dilarang melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah
ditetapkan KPU;

Dasar hukumnya Pasal 492 UU Pemilu, berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Kampanye Pemilu di luar jadwal yang telah
ditetapkan oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota untuk setiap Peserta Pemilu
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (2), dipidana dengan pidana kurungan paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”

5) Pelaksana kampanye pemilu dilarang melakukan pelanggaran larangan kampanye;

Dasar hukumnyaPasal 493 UU Pemilu, berbunyi:

“Setiap pelaksana dan/atau tim Kampanye Pemilu yang melanggar larangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 280 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu)
tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah).”

6) Dilarang memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu;

Dasar hukumnya Pasal 496 dan Pasal 497 UU Pemilu, berbunyi:

Pasal 496

“Peserta Pemilu yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan
dana Kampanye Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 334 ayat (1), ayat (2), dan/atau
ayat (3) serta Pasal 335 ayat (1), ayat (2), dan/atau ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).”

Pasal 497

“Setiap orang yang dengan sengaja memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana
Kampanye, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling
banyak Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”

7) Majikan yang tidak membolehkan pekerjanya untuk memilih;

Dasar hukumnya 498 UU Pemilu, berbunyi:

“Seorang majikan/atasan yang tidak memberikan kesempatan kepada seorang


pekerja/karyawan untuk memberikan suaranya pada hari pemungutan suara, kecuali dengan
alasan bahwa pekerjaan tersebut tidak bisa ditinggalkan, dipidana dengan pidana kurungan
paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta
rupiah).”

7
8) Dilarang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya;

Dasar hukumnya Pasal 510 UU Pemilu, berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp24.000.000,00 (dua puluh empat juta rupiah).”

9) Orang yang baik ancaman, baik kekerasan atau kekuasaan yang ada padanya
menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai Pemilih dalam Pemilu;

Dasar hukumnya Pasal 511 UU Pemilu, berbunyi:

“Setiap orang yang dengan kekerasan, dengan ancaman kekerasan, atau dengan
menggunakan kekuasaan yang ada padanya pada saat pendaftaran Pemilih menghalangi
seseorang untuk terdaftar sebagai Pemilih dalam Pemilu menurut Undang-Undang ini
dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”

10) Dilarang menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang
ditentukan;

Dasar hukumnya Pasal 514, berbunyi:

“Ketua KPU yang dengan sengaja menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi
jumlah yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 344 ayat (2), ayat (3), dan ayat
(4), dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak
Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).”

11) Dilarang menjanjikan atau memberikan uang kepada Pemilih;

Dasar hukumnya Pasal 515 UU Pemilu, berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau
memberikan uang atau materi lainnya kepada Pemilih supaya tidak menggunakan hak
pilihnya atau memilih Peserta Pemilu tertentu atau menggunakan hak pilihnya dengan cara
tertentu sehingga surat suaranya tidak sah, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan denda paling banyak Rp36.000.000,00 (tiga puluh enam juta rupiah).”

12) Dilarang memberikan suaranya lebih dari satu kali.

Dasar hukumnya Pasal 516 UU Pemilu, berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja pada waktu pemungutan suara memberikan suaranya
lebih dari satu kali di satu TPS/TPSLN atau lebih, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 18 (delapan belas) bulan dan denda paling banyak Rp18.000.000,00 (delapan belas juta
rupiah).”

8
D. Penyimpangan Materil dan Formill dari Undang-undang Tindak Pidana
Pemilihan Umum

1. Penyimpangan Materil

a) Subjek Hukum

Subjek Hukum dalam KUHP adalah orang, sedangkan dalam Undang-undang tindak pidana
Pemilihan umum yaitu Undang-Undang No 7 Tahun 2017 selain orang, terdapat Korporasi
sebagai sujek hukum. Korporasi merupakan badan hukum privat

yang memiliki entitas sendiri dan memiliki keleluasaan dalam bertindak atas dan untuk nama
korporasi tersebut. Korporasi ini Termasuk dalam hal peluang kecurangan yang terjadi pada
pemilihan umum. Bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi diatur oleh beberapa
undangundang yang masih berlaku di Indonesia.

Dalam Pasal 525 ayat (1) Undang-undang No 17 tahun 2017 terdapat ketentuan mengenai
larangan memberikan dana kampanye melebihi batas, dimana dalam pasal tersebut secara
eksplisit menyebutkan Korporasi. Pasal 525 ayat (1) menyebutkan bahwa Setiap orang,
kelompok, perusahan, dan/atau badan usaha nonpemerintah yang memberikan dana
Kampanye Pemilu. melebihi batas yang ditentukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 327
ayat (1) dan Pasal 331 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan
denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

b) Percobaan tindak Pidana

dalam KUHP terdapat yang dinamakan percobaan tindak pidana, yang dimuat dalam Pasal 53
KUHP, Pasal 53 ayat (1) menyebutkan bahwa Mencoba melakukan kejahatan dipidana, jika
niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya
pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri. Perumusan
mengenai Percobaan ini tidak terdapat dalam Undang-undang tindak Pidana Pemilu yakni
Undang-undang No 17 tahun 2017. Tindak pidana pemilu dalam undang-undang ini berkaitan
dengan tindak pidana yang telah terjadi.

2. Penyimpangan Formil

a) Laporan tindak pidana Pemilu kepada Bawaslu

Dalam KUHAP, salah satu wewenang dari penyelidik dan penyidik adalah menerima laporan
dan pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. Hal ini terdapat dalam pasal 5 ayat
(1) dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Jadi jika terjadi tindak pidana maka orang akan melapor
kepada Pihak kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik. Sedangkan dalam Undang-undang
tindak pidana Pemilu jika terjadi dugaan Tindak Pidana pemilu, maka seorang akan melapor
kepada Bawaslu, kemudian laporan tersebut akan diteruskan kepada pihak kepolisian. Hal
terdapat dalam pasal Pasal 476 ayat (1) Undang-undanh No 17 Tahun 2017, dimana pasal
246 ayat (1) menyebutkan bahwa Laporan dugaan tindak pidana Pemilu diteruskan oleh
Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan kepada

9
Kepolisian Negara Republik Indonesia paling lama 1 x 24 (satu kali dua puluh empat) jam
sejak Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota, dan/atau Panwaslu Kecamatan
menyatakan bahwa perbuatan atau tindakan yang diduga. merupakan tindak pidana Pemilu.

b) Majelis Khusus

Dalam Undang-undang No 17 tahun 2017 Sidang pemeriksaan perkara tindak pidana Pemilu
dilakukan oleh majelis khusus. Hal ini tertuang dalam Pasal 481 ayat (2). Majelis khusus
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 481 ayat (2) terdiri atas hakim khusus yang merupakan
hakim karier pada pengadilan negeri dan pengadilan tinggi yang ditetapkan secara khusus
untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana Pemilu.Ketentuan
Mengenai Majelis Khusus tidak terdapat dalam KUHAP, dalam KUHAP, Sidang
pemeriksaan perkara dilakukan oleh Hakim Pengadilan Negeri

c) Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu)

Dalam KUHAP, untuk menangani tindak pidana, Kepolisian dan kejaksaan melakukan
tugasnya masing-masing yaitu kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan dan
kejaksaan melakukan Penuntutan, sedangkan dalam Undang-undang tindak Pidana Pemilihan
umum, dalam melakukan penanganan terhadap tindak pidana pemilu maka dibentuk
Gakkumdu. Dalam Pasal 486 Ayat (3) menyebutkan Gakkumdu terdiri atas penyidik yang
berasal dari Kepolisian Negara Republik Indonesia dan penuntut yang berasal dari Kejaksaan
Agung Republik Indonesia.

Tujuan dibentuknya Gakkumdu yaitu Untuk menyamakan pemahaman dan pola penanganan
tindak pidana Pemilu, Bawaslu, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Kejaksaan
Agung Republik Indonesia.

d) Syarat menjadi Penyidik dan Penyelidik

Dalam KUHAP pengaturan mengenai Penyidik dan penyelidik diatur dalam pasal 4 sampai
dengan pasal 12, dalam pasal-pas tersebut tidak ada syarat agar dapat ditetapkan sebagai
penyelidik dan penyidik. Artinya setiap Anggota Kepolisian RI dapat dijadikan sebagai
penyelidik dan penyidik yang merupakan tugasnya Sedangkan Dalam Undang-undang No 17
tahun 2017, terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi Keposian untuk dapat menjadi
Penyidik dan penyelidik dalam tindak pidana Pemilihan Umum, syarat-syarat tersebut
terdapat dalam Pasal 478, dimana pasal tersebut menyebutkan bahwa Untuk dapat ditetapkan
sebagai penyelidik dan penyidik tindak pidana Pemilu harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:

a. Telah mengikuti pelatihan khusus mengenai penyelidikan dan penyidikan tindak


pidana Pemilu
b. Cakap dan memiliki integritas moral yang tinggi selama menjalankan tugasnya dan
c. Tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin.

10
BAB III

PENUTUP

D. Kesimpulan

Sebagaimana terdapat pada bagian keempat pasa 260 UU. No. 8 Tahun 2012, “Tindak
pidana Pemilu adalah tindak pidana pelanggaran dan/atau kejahatan terhadap ketentuan
tindak pidana Pemilu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini’.

Dalam hal ini Djoko Prakoso mendefinisikan tindak pidana pemilu sebagai perbuatan yang
dilakukan oleh setiap individu, instansi/badan hukum, atau organisasi yang bertujuan untuk
mengacaukan, mengganggu, ataupun menghambat proses pemilihan umum yang sudah sesuai
prosedur undang-undang.

Pengertian tindak pidana pemilu tersebut dikemukakan oleh Topo Santoso dengan
membandingkan pengaturan tindak pidana pemilu di Indonesia dengan pengaturan tindak
pidana pemilu di negara lain yang juga mengatur tentang tindak pidana pemilu. Aturan tindak
pidana pemilu di Indonesia masih tercantum dalam UU pemilu, sedangkan di beberapa
yurisdiksi seperti Malaysia berbeda dengan Indonesia, tindak pidana pemilu di Malaysia
diatur terpisah dengan UU Pemilu yakni di dalam UU Tindak Pidana Pemilu.

Dasar hukum tersebut dimuat dalam Pasal 148 sampai dengan Pasal 153 KUHP. Tindak
Pidana pemilihan umum termasuk kedalam tindak pidana khusus sehingga pengaturannya
juga terdapat diluar KUHP, yaitu dalam Undang-udang No 17 Tahun 2017 Tentang
Pemilihan umum. Dalam Undang-undang No 17 tahun 2017, pengaturan mengenai tindak
pidana pemilihan umum terdapat dalam buku kelima mulai dari Pasal 476 sampai dengan
Pasal 558.Selain Undang-undang No 17 tahun 2017 pengaturan mengenai tindak pidana
Pemilihan umum juga terdapat dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2018
tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan Pemilihan Umum

Tindak pidana Pemilihan Umum (“Pemilu”) menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Mahkamah
Agung Nomor 1 Tahun 2018 tentang Tata Cara Penyelesaian Tindak Pidana Pemilihan dan
Pemilihan Umum

Terdapat 12 jenis tindak pidana Pemilu :

1. Dilarang memberikan keterangan tidak benar dalam pengisian data diri daftar pemilih
2. Kepala desa dilarang yang melakukan tindakan menguntungkan atau merugikan
perserta pemilu;
3. Setiap orang dilarang mengacaukan, menghalangi atau mengganggu jalannya
kampanye pemilu;
4. Setiap orang dilarang melakukan kampanye pemilu di luar jadwal yang telah
ditetapkan KPU;
5. Pelaksana kampanye pemilu dilarang melakukan pelanggaran larangan kampanye;

11
6. Dilarang memberikan keterangan tidak benar dalam laporan dana kampanye pemilu;
7. Majikan yang tidak membolehkan pekerjanya untuk memilih;
8. Dilarang menyebabkan orang lain kehilangan hak pilihnya;
9. Orang yang baik ancaman, baik kekerasan atau kekuasaan yang ada padanya
menghalangi seseorang untuk terdaftar sebagai Pemilih dalam Pemilu;
10. Dilarang menetapkan jumlah surat suara yang dicetak melebihi jumlah yang
ditentukan;
11. Dilarang menjanjikan atau memberikan uang kepada Pemilih;
12. Dilarang memberikan suaranya lebih dari satu kali.

Penyimpangan Materil dalam pemilu, Subjek Hukum dalam KUHP adalah orang,
sedangkan dalam Undang-undang tindak pidana Pemilihan umum yaitu Undang-Undang No
7 Tahun 2017 selain orang, terdapat Korporasi sebagai sujek hukum. Korporasi merupakan
badan hukum privat yang memiliki entitas sendiri dan memiliki keleluasaan dalam bertindak
atas dan untuk nama korporasi tersebut. Korporasi ini Termasuk dalam hal peluang
kecurangan yang terjadi pada pemilihan umum. Bentuk pertanggungjawaban pidana
korporasi diatur oleh beberapa undang-undang yang masih berlaku di Indonesia. Percobaan
tindak Pidana dalam KUHP terdapat yang dinamakan percobaan tindak pidana, yang dimuat
dalam Pasal 53 KUHP, Pasal 53 ayat (1) menyebutkan bahwa Mencoba melakukan kejahatan
dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dan adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak
selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

Penyimpangan Formil dalam pemilu, Laporan tindak pidana Pemilu kepada Bawaslu
dalam KUHAP, salah satu wewenang dari penyelidik dan penyidik adalah menerima laporan
dan pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana. Hal ini terdapat dalam pasal 5 ayat
(1) dan Pasal 7 ayat (1) KUHAP. Jadi jika terjadi tindak pidana maka orang akan melapor
kepada Pihak kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik. Majelis Khusus Dalam Undang-
undang No 17 tahun 2017 Sidang pemeriksaan perkara tindak pidana Pemilu dilakukan oleh
majelis khusus. Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakkumdu) dalam KUHAP, untuk
menangani tindak pidana, Kepolisian dan kejaksaan melakukan tugasnya masing-masing
yaitu kepolisian melakukan penyelidikan dan penyidikan dan kejaksaan melakukan
Penuntutan, sedangkan dalam Undang-undang tindak Pidana Pemilihan umum, dalam
melakukan penanganan terhadap tindak pidana pemilu maka dibentuk Gakkumdu. Syarat
menjadi Penyidik dan Penyelidik dalam KUHAP pengaturan mengenai Penyidik dan
penyelidik diatur dalam pasal 4 sampai dengan pasal 12, dalam pasal-pas tersebut tidak ada
syarat agar dapat ditetapkan sebagai penyelidik dan penyidik. Artinya setiap Anggota
Kepolisian RI dapat dijadikan sebagai penyelidik dan penyidik yang merupakan tugasnya
Sedangkan Dalam Undang-undang No 17 tahun 2017.

12
E. Daftar Pustaka

Suko Wiyono, Pemilu Multi Partai dan Stabilitas Pemerintahan Presidensial di


Indonesia, dalam Sirajuddin, dkk (Editor), Konstitusionalisme Demokrasi, InTrans
Publishing, Malang, 2010, hlm. 65.

El-Muhtaj, Majda, Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia, Prenada Media
Group, Jakarta, 2007.

Tb. Rony R Nitibaskara, Konflik Sosial, (Bandung: Ghalia Indonesia, 2010), hlm, 14

Undang-Undang No 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan umum

Basrofi dan Sudikun, Teori-Teori Perlawanan dan Kekerasan Kolektif, Insan


Cendekia, Surabaya, 2003, hlm, 34-36.

Djoko Prakoso, Tindak Pidana Pemilu, Sinar Harapan, Jakarta, 1987, hlm. 148.

13
Pengerjaan Makalah dilakukan secara online (Grup wa) dengan membagi tugas masing-
masing untuk dikerjakan sebagai berikut

1. Zefanya Tahalele: Latar Belakang, rumusan masalah tujuan Penulisan

2. Muttaqien Heluth :Pengertian tindak pidana pemilihan umum

3. Josefina Asri Lasamahu : Dasar hukum tindak pidana pemilihan umum

4. Aquinta W Wenno : jenis-jenis tindak pidana pemilahan umum, Kesimpulan

5. Evi Pradita ismail : Penyimpangan materil dan formil undang-undang tindak pidana
pemilu

14

Anda mungkin juga menyukai