Anda di halaman 1dari 28

TUGAS MAKALAH KAPITA SELEKTA HUKUM

ADMINISTRASI NEGARA
“PENGISIAN JABATAN PUBLIK MELALUI PEMILU
KEPALA DAERAH”
DOSEN PENGAMPU : DR. SUNARDI M.H

Disusun oleh :
NOOR PRASODJO (201820082) AGUS ULIN NUHA (201820126)
LUQMAN GUNAWAN (201820091) MUHAMMAD BAGUS S. (201820090)
TANTOWI YAHYA (201820086) TAUFIQ AULIA R. (201820116)
YUSUF ARIF (201820080) DWI SETYO H. (201820108)
TEDDY NOR W. (201820040) SYAHRUL GUNAWAN (201820092)

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MURIA KUDUS
TAHUN AJARAN 2020/2021
DAFTAR ISI

Cover .............................................................................................................................. i
DAFTAR ISI ................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah ..................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................................. 3
C. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 4
D. Manfaat Penelitian ............................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................. 5
A. Pengisian Jabatan Kepala Daerah Menurut Undang Undang ............................ 5
B. Mekanisme Pengsian Jabatan Gubernur .......................................................... 12
1. Pemilihan Gubernur Secara Langsung ......................................................... 12
2. Pemilihan Gubernur Secara tak langsung..................................................... 15
C. Kedudukan Wakil Kepala Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang -
Undangan. ........................................................................................................ 17
BAB III PENUTUP ................................................................................................... 23
A. Kesimpulan ...................................................................................................... 23
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 25

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Indonesia sebagai negara demokrasi merupakan wujud pemerintahan yang
berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Konsepsi kedaulatan rakyat
meletakkan kekuasaan tertinggi di tangan rakyat.1 Setiap kebijakan yang dibuat
penguasa suatu negara harus ditujukan untuk kepentingan rakyat. Kedaulatan
rakyat bisa terjadi akibat perikatan individu-individu rakyat yang menyerahkan
kedaulatannya kepada penguasa secara tertulis.2 Rakyat memegang peranandalam
menentukan jalannya pemerintahan yang demokratis. Untuk menyelaraskan
peranpemerintah dan suara rakyat, maka peranan Kepala Daerah yang dipilih
secara langsung olehrakyat sebagai cerminan demokrasi. Untuk terwujudnya
penyusunan tata kehidupan yangdijiwai semangat cita-cita revolusi Kemerdekaan
Republik Indonesia Proklamasi l7 Agustus l945, maka penyusunan tata kehidupan
itu harus dilaksanakan dengan jalan pemilihan umum.3
Pemilihan umum merupakan suatu proses untuk melahirkan pemimpin yang
dapat mewujudkan demokrasi yang merupakan representasi dari rakyat, pemilu
adalah suaturangkaian kegiatan politik yang dapat menampung kepentingan
masyarakat dan dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijaksanaan. Dengan kata
lain, pemilihan umum merupakan saranademokrasi untuk membentuk sistem
kekuasaan negara yang berkedaulatan rakyat dan permusyawaratan perwakilan
yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1
. Pasal 1 Ayat (2), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2
Jimly Asshidiqie, 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi
Pers, Jakarta,hlm 114.
3
H Abu Daud Busroh, 1994, Capita Selecta Hukum Tata Negara, Jakarta: Rineka
Cipta, hlm 42.

1
1945. Kekuasaan yang dilahirkan melalui pemilihan merupakan kekuasaan yang
lahir menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai dengan keinginan rakyat.
Perubahan mendasar terhadap pengaturan pemerintah daerah berdasarkan
hasil amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
adalah terkait dengan pengisian jabatan kepala daerah. Pasal 18 ayat (4)
menyatakan bahwa “Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai
kepala pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis”.
Berarti prinsip dasarnya adalah kepala daerah dipilih secara demokratis, sehingga
apakah kepala daerah dipilih langsung ataukah tidak langsung diatur dengan
undang-undang. Namun harus diakui pemilihan langsung sesungguhnya
merupakan tindak lanjut realisasi prinsip-prinsip demokrasi secara normatif yakni
jaminan atas bekerjanya prinsip kebebasan individu dan persamaan, khususnya
dalam hak politik.4 Ketentuan ini memberi peluang untuk diinterpretasikan bahwa
pemilihan Kepala Daerah harus dilakukan secara demokratis. Sekiranya klausul
“dipilih secara demokratis”
Sesuai ketentuan Pasal 5 ayat (3) Undang-Undang Pemilihan Kepala daerah
maka setelah tahapan pelaksanaan pemungutan suara dilakukan penghitungan
suara dan rekapitulasi hasil penghitungan suara, penetapan calon terpilih,
penyelesaian pelanggaran dan sengketa hasil pemilihan. Tahapan sengketa hasil
merupakan tahapan dimana pasca penetapan hasil rekapitulasi perolehan suara
pemilihan kepala daerah, bagi peserta pemilihan kepala daerah yang merasa tidak
puas dengan penetapan tersebut dapat mengajukan permohonan perkara
perselisihan hasil pemilihan ke Mahkamah Konstitusi. Pada ketentuan
penyelesaian sengketa hasil pemilihan kepala daerah saat sekarang ini seperti
yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan

4
Pratikno, 2005, Demokrasi dalam Pilkada Langsung, Makalah, Sarasehan
Menyongsong Pilkada Langsung,

2
Gubernur, Bupati dan Walikota terdapat syarat ambang batas selisih perolehan
suara untukdapat mengajukan sengketa bagi pasangan calon untuk dapat
mengajukan sengketa hasil ke Mahkamah Konstitusi. Pada penyelenggaraan
pemilihan sebelumnya semua pasangan calon sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus
pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus perselisihan hasil pemilu
sangat diharapkan agar berfungsi sebagai mekanisme kontrol terhadap kinerja
Komisi Pemilihan Umum sebagai penyelenggara pemilu, dan juga untuk
menjamin prinsip keadilan dalam pemilu. Berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat
(1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dapat kita
ketahui bahwa: pertama, muncul sebuah lembaga negara baru, yaitu Mahkamah
Konstitusi dalam struktur ketatanegaraan Indonesia; kedua, salah satu
kewewenang Mahkamah Konstitusi adalah memutus perselisihan tentang hasil
pemilu. Oleh karena itu Mahkamah Konstitusi dalam penyelenggaraan pemilu
memiliki kedudukan sangat strategis karena memiliki kewenangan mengadili
pada tingkat pertama dan terakhir, serta putusannya yang bersifat final, akan
memiliki pengaruh besar terhadap hasil akhir pemilu.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas ditarik rumusan masalah
sebagai berikut:
1 Bagaimana Pengisian Jabatan Kepala Daerah dalam Peraturan Perundang
Undangan tentang Pemerintahan Daerah.
2 Bagaimana Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur.
3 Bagaimana Konstitusionalitas Model Pengisian Jabatan Wakil Kepala Daerah
Berdasarkan UU No. 1/2015 Jo UU No. 8/2015.

3
C. Tujuan Penelitian
1 Untuk menganalisis Pengisian Jabatan Kepala Daerah dalam Peraturan
Perundang Undangan tentang Pemerintahan Daerah.
2 Untuk Mengetahui Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur.
3 Untuk mengetahui Konstitusionalitas Model Pengisian Jabatan Wakil Kepala
Daerah Berdasarkan UU No. 1/2015 Jo UU No. 8/2015.

D. Manfaat Penelitian
1 Mengetahui analisis Pengisian Jabatan Kepala Daerah dalam Peraturan
Perundang Undangan tentang Pemerintahan Daerah.
2 Mengetahui Mekanisme Pengisian Jabatan Gubernur
3 Mengetahui Model Pengisian Jabatan Wakil Kepala Daerah Berdasarkan UU
No. 1/2015 Jo UU No. 8/2015

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengisian Jabatan Kepala Daerah Menurut Undang Undang


Pengisian Jabatan Kepala Daerah Pengisian jabatan kepala daerah adalah
sebuah tata cara dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Pasal 18 Ayat 4 UUD
1945 amandemen II berbunyi: “Gubernur, Bupati, dan walikota masing-masing
sebagai kepala pemerintahan daerah propinsi, kabupaten,dan kota dipilih secara
demokratis.” Ketentuan ini menjadi landasan konstitusional dalam pengisian
jabatan kepala daerah sejak disahkanya perubahan II UUD 1945 tanggal 18
Agustus Tahun 2000 dalam suatu sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Terhadap ketentuan Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 yang merupakan landasan
konstitusional pengisian jabatan kepala daerah tidak disebutkan secara tegas
tentang bagaimana cara berkedaulatan rakyat yang digariskan oleh konstitusi
negara dalam menentukan pengisian jabatan kepala daerah, apakah dengan
demokrasi langsung (direct democracy) atau demokrasi perwakilan (reprecentativ
democracy). Pasal 18 Ayat 4 hanya memberikan syarat bahwa pengisian jabatan
kepala daerah bersifat demokratis.
Pengertian demokratis menimbulkan dua pandangan dalam menentukan
pengisian jabatan kepala daerah, dapat dengan cara demokrasi langsung, atau
melalui demokrasi perwakilan juga dikatakan sebagai cara yang demokratis untuk
memilih kepala daerah. Menurut Jimly Asshidddiqie, pengertian demokratis di
dalam pemilihan kepala daerah dapat dilaksanakan dengan cara pemilihan
langsung maupun dengan cara perwakilan (pemilihan oleh DPRD).5 Dalam proses
pembahasan ketentuan pengisian jabatan kepala daerah, terdapat dua pandangan
yang bebeda.6 Pendapat pertama mengusulkan agar pemilukada dilakukan secara

5
Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar 1945, Rajagrafindo, Jakarta, hlm, 58-59
6
Jenedjri M. Gaffar, Op.Cit, hlm 93.

5
langsung oleh rakyat, tidak melalui sistem perwakilan oleh DPRD.7Pendapat
kedua menghendaki pemilukada tetap dilakukan oleh DPRD.8 Kesepakatan
rumusan “secara demokratis” untuk pemilukada dicapai dengan maksud agar
bersifat fleksibel. Pembuat undang-undang dapat menentukan sistem pemilukada
yang sesuai dengan dengan kondisi daerah tertentu apakah secara langsung atau
melalui perwakilan DPRD.9 hal ini juga dimaksudkan sebagai bentuk
penghargaan konstitusi terhadap keragaman adat istiadat dan budaya masyarakat
antar daerah yang berbeda.10
Pratek pengisian jabatan kepala daerah melalui pemilihan dengan cara
perwakilan (reprecentativ democracy) berdasarkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945
pernah dilakukan dengan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
dimana kepala daerah dipilih oleh DPRD. Sistem perwakilan dalam pemilihan
kepala daerah yang dilakukan berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah telah dianggap gagal untuk menjalankan amanat konstitusi.
Fiat Justisia Jurnal Ilmu Hukum Volume 7 No. 2, Mei-Agustus 2013, ISSN 1978-
5186 144 dalam mewujudkan kedaulatan rakyat dalam pratek ketatanegaraan.
Sistem perwakilan dalam pemilihan kepala daerah sangat rentan terjadi tawar
menawar, politik uang, intervensi politik, dan berbagai penyimpangan lainnya.
Disisi lain dengan pengisian jabatan kepala daerah melalui sistem perwakilan
menyebakan posisi DPRD lebih kuat dari kepala daerah, karena kepala daerah
juga bertanggung jawab kepada DPRD sebagai konsekuensi kepala daerah dipilih
oleh DPRD. Berdasarkan uraian tersebut UU NO. 22 Tahun 1999 diganti dengan
UU No. 22 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Undang-Undang Nomor
32 tahun 2004 tentang Pemerintahan daerah merupakan Undang-Undang yang
mengatur secara gamblang tentang Pemerintahan Daerah terutama pengisian
jabatan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat bukan
7
Ibid.
8
Ibid.
9
Ibid., hlm 94
10
Ibid.

6
melalui perwakilan di DPRD. Munculnya gagasan pengisian jabatan kepala
daerah melalui pemilihan secara langsung merupakan langkah perbaikan
pembentuk undang-undang terhadap tata cara demokrasi perwakilan yang
diterapkan oleh UU No. 22 Tahun 1999. Dimana pengisian jabatan kepala daerah
melalui pemilihan secara langsung oleh rakyat diharapkan dapat menjadi media
pergantian kepemimpinan politik di daerah. Pemilukada secara langsung dapat
melahirkan kepala daerah terpilih berkualitas, aspiratif, dan legitimate yang akan
lebih meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat karena
pemimpin dan pemerintahnya dekat dengan rakyat. Awal penerapannya tata cara
pemilukada mendapakan sambutan yang tinggi dari masyarakat. Sambutan yang
tinggi dari masyarakat ditunjukan dengan tingkat partisipasi masyarakat yang
tinggi dari setiap penyelenggaran pemilukada.
Partipasi yang tinggi dari masyarakat merupakan salah satu ukuran
keberhasilan penyelenggaran pemilukada, termasuk legitimasi calon kepala
daerah terpilih.11
Selanjutnya penyelenggaran pemilukada tingkat partisifasi masyarakat yang
semakin menurun atau berkurang, menurut Mahfud ada 4 (empat) penyebab
turunya partisifasi masyarakat terhadap penyelenggaraan Pemilukada.12:
Pertama, masyarakat secara sadar memang tak mau menggunkan hak pilihnya
karena dilandasi sikap apatis. Bagi mereka menggunakan atau tidak menggunakan
hak suaranya tidak memberikan pengaruh signifikan dalam keseharian hidupnya.
Kedua, Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang amburadul dan tidak akurat
berkontribusi besar melemahkan semangat masyrakat yang semula berniat untuk
berpartisipasi,
Ketiga, masyarakat pemilih cenderung mendahulukan kebutuhan individunya
seperti berkerja, berladang, merantua, ketimbang hadir ke TPS dalam

11
Moh. Mahfud MD, Demokrasi Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta,
2012, hlm. 8
12
Ibid.

7
mengunakan hak pilihnya, keempat, partisipasi dalam pemilukada didorong
semangat pragmatism masyarakat, kalau ada kandidat yang memberi keuntungan
mereka mau berpartisifasi, kalau tidak maka tidak perlu berpartisifasi Setelah
proses percepatan demokrasi secara beruntun tersebut berjalan kurang lebih lima
tahun terhitung 1 Juni 2005, ternyata masih menyisakan banyak persoalan,
bahkan agenda pemilihan kepala daerah secara langsung pun juga berkontribusi
menambah beban politik,   ectar bahkan beban finansial   ectaria ini. Pemilihan
kepala daerah secara langsung terlalu boros, dan tidak seimbang dengan cost
politik yang telah dikorbankannya. Pemilukada langsung yang mengusung calon
kepala daerah/wakil secara berpasangan ternyata juga tidak sepenuhnya mampu
menghadirkan pemimpin daerah yang baik dan bermoral. Pemilukada sebagai
sebuah perwujudan demokrasi terutama prinsip kedaulatan rakyat dalam
pemerintahan daerah, diharapakan dapat menciptakan kedewasan berdemokrasi
dimasyarakat. Implementasi pelaksanaan pemilukada dilapangan masih
menunjukan adanya fenomena yang merusak pemilukada itu sendiri, seperti
money politik, ketidakanetralan aparatur (birokrasi pemerintah daerah)
penyelenggara pemilukada (KPUD), kecurangan berupa pelanggaran kampanye
dan pengelembungan suara, serta penyampaian pesan-pesan poliotik yang
bernuansa   ectarian yang berujung retaknya bingkai kehidupan berbangsa yang
dibangun berdasar prinsip Bhineka Tunggal Ika. Pada sisi lain ketidaksiapan dan
ketidakdewasaan para kandidat dan pendukung untuk mensyukuri kemengan dan
menerima kekalahan yang sering diwujudkan dengan bentuk–bentuk anarkis telah
menimbulkan konflik di berbagai daerah. Banyaknya permasalahan dalam
pemilukada langsung menjadi salah satu alasan mengapa UndangUndang Nomor
32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah telah mengusulkan
koreksi terhadap sistem pemilukada langsung, di antaranya pemilihan gubernur
kembali dilakukan oleh DPRD provinsi, sementara itu pemilihan bupati/wali kota
tetap secara langsung oleh masyarakat. Di samping itu, wakil kepala daerah tidak
lagi dipilih secara berpasangan dengan kepala daerah, untuk menghindari

8
fenomena “pecah kongsi” yang mengakibatkan tidak efektifnya penyelenggaraan
pemerintahan daerah. Indonesia melalui konstitusinya menegaskan sebagi sebuah
negara demokratis Pasal Ayat 2 UUD 1945 : “ Kedaulatan berada di tangan rakyat
dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar”. Kedaulatan rakyat atau
kerakyatan secara harfiah berarti kekuasaan tertinggi ada pada rakyat. Negara
yang menempatkan kekuasaan tertingi pada rakyat, disebut sebagi Negara
demokratis yang sering diartikan atau digambarkan sebagai pemerintahan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dari rakyat, maksudnya bahwa mereka
yang duduk sebagi penyelenggara Negara atau pemerintah harus terdiri dari
seluruh rakyat itu sendiri atau yang disetujui oleh atau didukung oleh rakyat.13
Oleh rakyat maksudnya penyelenggara Negara atau penyelenggara
pemerintah, dilakukan sendiri oleh rakyat atau anas nama rakyat atau yang
mewakili rakyat.14
Dengan demikian dapat dipahami dalam sebuah Negara demokratis rakyatlah
sesungguhnya pemilik Negara dengan segala kewenanganya untuk menjalankan
fungsi kekuasaan Negara, baik dibidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif.
Lembaga-lembag Negara yang melaksanakan fungsi kekuasaan Negara dianggap
melaksankan kedaulatan rakyat. berdasarkan undang-undang dasar. Gagasan
demokrasi langsung adalah gagasan pentingnya partispasi masyarakat secara luas
tentang proses pembuatan keputusan atau kebijakan dan pelaksanaan keputusan
atau kebijakan yang dibuat oleh wakil – wakil yang memiliki otoritas.
Pelaksanaan pemilihan langsung kepala daerah merupakan koreksi atas
penyelenggara pemilihan kepala daerah oleh DPRD berdasarkan UU No. 22 tahun
1999 yang diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah
sebagai landasan yuridis pelaksanaan Pengisian jabatan Kepala daerah melalui

13
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui Pemilihan Umum,
Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Gaya Media Pratama, Jakarta, 1996, hlm,
56
14
Ibid.

9
pemilihan kepala daerah secara langsung. Penerapan demokrasi langsung dalam
pengisian jabatan kepala daerah ini didasarkan atas Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945
yang tidak secara tegas dalam menentukan tata cara pengisian jabatan kepala
daerah apakah mengunakan demokrasi langsung atau demokrasi perwakilan.
Otonomi daerah dipahami sebagai hak, wewenang dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Cara mengatur dan mengurus atau menentukan nasib sendiri berkaitan erat
dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat dalam hal ini perwujudan kedaulatan
rakyat di daerah salah satunya adalah pemilihan langsung kepala daerah.
Pelaksanaan pemilukada banyak menimbulkan permasalah seperti yang ditelah
diuraikan di atas karena itu ada keinginan untuk mengembalikan pemilihan kepala
daerah oleh DPRD.
Dapat dipahami bahwa perubahan yang dilkukan dalam tata cara pemilihan
kepala daerah dilandasi oleh semangat untuk memperbaiki dan menciptakan
situasi yang lebih baik sesuai dengan harapan terpilihnya kepala daerah yang
berkualitas, aspiratif dan bermoral. Tetapi mengembalikan atau merubah tata cara
pemilihan kepala daerah oleh DPRD bukanlah cara yang tepat. Pemilihan oleh
DPRD tidak menjamin dapat mengurangi ongkos politik calon kepala daerah dan
meniadakan politik uang dalam pemilihan kepala daerah serta menghilangkan
pratek korupsi kepala daerah. Menurut Jenedjri M. Gafarr Frasa “ secara
demokratis” dalam Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945 pemilihan kepala daerah dapat
dilakukan secara langsung atau melalui perwakilan keduanya, asalkan dilakukan
secara jujur dan adil serta sesuai dengan prinsipprinsip pemilihan, adalah cara
yang demokratis.15 Lebih demokratis karena melibatkan seluruh rakyat sehingga
dapat menghasilkan pemimpin yang mempunyai legitimasi yang kuat daripada
kepala daerah yang dipilih oleh DPRD. Ketentuan Frasa “secara demokratis”

15
Jenedjri M. Gaffar, Op Cit hlm, 95

10
yang ditafsirkan pemilihan kepala daerah dapat secara langsung atau melalui
perwakilan DPRD menimbulkan ketidakpastian dalam menerapkan model
pengisian jabatan kepala daerah. ketentuan pengisian jabatan kepala daerah
seharusnya lebih tegas seperti ketentuan dalam hal pengisian jabatan presiden dan
wakil presiden dimana dalam Pasal 6A Ayat I UUD 1945 : Presiden dan Wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Ketentuan ini
lebih tegas sehingga tidak menimbulkan banyak penafsiran dan perdebatan.
Sebagai landasan pemilukada alangkah lebih baik ketentuan pasal 18 Ayat 4
mengikuti ketentuan dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden karena
landasan filosofis pelaksanaan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden
mempunyai kesamaan dengan pemilihan kepala daerah yakni pelaksanaan
kedaulatan rakyat sesuai dengan Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 , yang membedakan
hanya ruang lingkup yakni tingkatan nasional dan daerah.16
Sejak penerapan pemilukada berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, masih banyak permasalahan yang perlu adanya perbaikan
dalam hal penyelengaaran pemilukada evaluasi dan perdebatan publik dalam
kerangka koreksi terhadap sistem penyelenggaran pemilukada yang . penuh
dengan permasalahanya memberikan masukan kepada pembuat undang-undang
dapat menilai, memilih serta memutuskan kebijakan yang tepat dalam
merumuskan tata cara yang tepat dalam penyeleggaraan pemilukada.
Penyelenggaran pemillukada yang selama ini dilakukan sudah berada dijalan yang
tepat sebagai sebuah penerapaan nilai-nilai demokrasi dalam hal ini kedaulatan
rakyat dalam penyelenggaran pemerintahan. Demokrasi yang sedang kita
laksanakan sekarang ini (pemilukada) memberikn peluang kebebasan
mengekspresikan aspirasi dan kehendak perseorangan atau kelompok.
Pemilukada dalam tataran demokratisasi ditingkat lokal merupakan
konsekuensi dari pelaksanaan desentralisasi politik. Bahwa penyelenggaraan

16
Wendy Melfa, Op Cit., hlm. 228

11
pemulukada banyak menimbulkan permasalahan bukan berati harus
mengembalikan ke sistem semula yang pernah dianggap gagal dalam
pelaksanaanya (pemilihan oleh DPRD).
Perbaikan Penyelenggaran pemilukada harus memperhatikan berbagai aspek
yakni dari aspek peraturan perundang-undang yang yang menjadi landasan
hukumnya, aspek tingkat kesiapan pelaksanaan terutama penyelenggara pemilu
dalam hal ini KPU dan Bawaslu kedua lembaga ini harus diperkuat terutama
dalam proses rekrumen calon anggota KPU dan Bawaslu sehingga dapat
menghasilkan anggota KPU dan Bawaslu yang dapat dipercaya sehingga
menghasilkan kwalitas Pemilukada yang legitimate, selanjutanya aspek kondisi
sosial masyarakat. Berdasarkan hal tersebut dapat dilihat dari segi mana yang
paling banyak kekurangan yang perlu perbaikan dalam penyelenggaran
pemilkuda. Pemilukada sebagai sebuah media dalam tata pemerintahan kita yang
menjadi penentu keberhasilan sebuah demokrasi di daerah. keberhasilan sebuah
demokrasi di daerah mencerminkan keberhasilan demokrasi di tingkat naisonal.
Sekaligus sebagai penentu kualitas sosok kepala daerah. tujuan utama kita
menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan sistem demokrasi yang
kita anut, tiada lain adalah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat
melalui pemerataan dan perumbuhan ekonomi, walaupun pratek demokrasi itu
sendir sering menghadirkan berbagai tantangan dan permasalahan (pemilukada).

B. Mekanisme Pengsian Jabatan Gubernur


1. Pemilihan Gubernur Secara Langsung
a. Mekanisme yang digunakan pada dasarnya sama sebagaimana diatur
dalam UU No.32 Tahun 2004 Jo. UU No.12 Tahun 2008, hanya saja
yang akan dibahas di sini adalah perbaikan prinsip-prinsip
pengaturannya
b. Undang-undang yang baru harus menentukan apakah pemilihan KDH
secara langsung oleh rakyat statusnya akan ditetapkan sebagai rezim

12
pemilu atau tidak, karena ada konsekuensi dari status tersebut antara
lain; prinsip-prinsip pendanaan dan lembaga peradilan manakah yang
akan menyelesaikan perkara atau sengketa pilkada.
c. Praktik oligarki dalam penjaringan calon KDH yang diatur melalui
mekanisme partai politik dapat dihapuskan dengan membuat aturan
mekanisme penjaringan calon dari partai politik yang diatur dalam
undang-undang. Selama ini mekanisme penjaringan calon KDH dari
partai politik hanya menggunakan mekanisme dan aturan internal
partai sehingga dalam pelaksanaannya justru berlangsung secara
tertutup, tidak transparan, dan tidak akuntabel kepada publik. Dengan
diaturnya mekanisme penjaringan calon KDH dari partai politik dalam
undangundang akan mempersulit pihakpihak yang akan menjual
dukungan dengan imbalan uang.
d. Politik kekerabatan juga berhubungan erat dengan praktik oligarki,
oleh karena itu perlu pembatasan dalam undang-undang untuk
mencegah kerabat KDH yang terdekat untuk maju sebagai pejabat
publik yang dipilih oleh rakyat yang sama dengan rakyat yang
memilih KDH yang bersangkutan. Pembatasan hak warga negara
diperbolehkan dalam undangundang, karena dasar hukumnya adalah
Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan; Dalam
menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud
semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. RechtsVinding
Online

13
e. Besarnya pendanaan pemilukada/pilkada dalam APBD dapat dihemat
dengan mengkaji teknis tahapan pemilihan, seperti; perlu tidaknya
pemilukada serentak dengan pemilu Pilpres dan/atau pemilu legislatif,
provinsi yang tidak mampu mendanai Pemilukada dibuat mekanisme
bantuan pendanaan dari pemerintah pusat dan/atau kabupaten/kota,
efisiensi dalam perbaikan teknis lelang alatalat pemilihan, mengurangi
jumlah TPS secara ekstrim (penggabungan TPS dan penghapusan
TPS), dan disinergikannya badan statistik dan KPU daerah provinsi
sehingga tidak terjadi tumpang tindih terkait pengumpulan data
pemilih dan data sensus penduduk. Sebagai contoh untuk efisiensi
pendanaan melalui pemilukada serentak, Provinsi Daerah Istimewa
Nanggroe Aceh Darussalam telah melakukannya. Pemilihan gubernur
dan 17 bupati/wali kota dilakukan secara serempak. Hasilnya,
anggaran yang bisa dihemat mencapai 50%
(http://m.inilah.com/read/detail/18 92798/biaya-pemilu-untuk-siapa,
2012).
f. Persyaratan bagi seseorang yang akan maju dalam pemilukada/pilkada
harus diperbaiki, agar sistem dan mekanisme dapat menjaring calon
KDH yang berintegritas, kredibel, kapabel, serta memenuhi harapan
dan dapat diterima masyarakat (akseptabilitas). Aspek integritas,
kredibel, dan kapabel sebelumnya tidak diatur dalam UU No.32 Tahun
2004 Jo. UU No.12 Tahun 2008 sehingga calon KDH yang terpilih
lebih banyak dipilih karena statusnya sebagai incumbent/petahana,
popularitas, atau karena praktik politik uang yang dilakukan tim
sukses pasangan calon. Mekanisme yang dapat ditempuh untuk
mendapatkan calon KDH yang berkualitas adalah dengan bakal calon
KDH harus menempuh tes kemampuan, tes bakat kepemimpinan, dan
tes kejujuran, serta psikotes sehingga calon KDH yang terpilih
berbanding lurus dengan harapan rakyat pemilih yaitu mendapatkan

14
atau memilih KDH yang berintegritas, kapabel ,dan kredibel yang
dapat memenuhi amanat rakyat dengan menjalankan pemerintahan
daerah secara transparan dan akuntabel.
g. Tidak jelasnya batas kewenangan KDH sebagai pejabat politik dan
pejabat birokrasi, dapat diatur dalam undang-undang terkait yaitu
undang-undang yang mengatur pemerintahan daerah. Pengaturan
dimaksud adalah dengan mengkaji kembali besaran tugas dan
wewenang KDH dan memperbesar peran sekretaris daerah sebagai
pelaksana kebijakan KDH, pemimpin organisasi dinas dan badan di
daerah, serta berperan sebagai pembina utama para birokrat di
pemerintahan daerah. Besaran tugas dan wewenang KDH dapat
dipangkas dengan mengutamakan tugas dan wewenang untuk
melakukan supervisi/pengawasan pelaksanaan tugas aparatur daerah
dan kinerja dinas/badan daerah dan merumuskan konsep kebijakan
yang diusung dalam kampanye untuk RechtsVinding Online
dilaksanakan oleh aparatur daerah dan dinas/badan dalam lingkup
kewenangannya.
2. Pemilihan Gubernur Secara tak langsung
a. Menurut Bhenyamin Hoessein, konsekuensi dari model integrated
prefectoral system adalah rekruitmen KDH perlu memenuhi unsur criteria
acceptability oleh masyarakat dan capability di mata pemerintah. Dan
ditambahkan pula oleh Jimly Asshidiqie (2010) yang menerangkan bahwa
jabatan negara/pejabat negara yang dipilih dan/atau diangkat secara tidak
langsung tetap memenuhi aspek demokratis apabila lembaga atau pejabat
yang memilihnya berasal dari jabatan yang dipilih langsung oleh rakyat,
contohnya menteri yang diangkat oleh Presiden yang dipilih langsung oleh
rakyat. Dengan dua pendapat tersebut, mekanisme pengisian jabatan KDH
dengan pemilihan secara tidak langsung tetap mungkin dilaksanakan yang
diatur dalam undang-undang.

15
b. Prinsip pemilihan KDH adalah penjaringan bakal calon KDH dilakukan
tim independen yang dibentuk oleh Presiden atau KPU, dan sejumlah
bakal calon yang lolos seleksi dipilih menjadi beberapa orang calon dan
ditetapkan oleh Presiden sebagai calon KDH yang diajukan kepada DPRD
Provinsi untuk dipilih. Dengan dipilih bersama oleh dua jabatan/lembaga
yang dipilih langsung oleh rakyat, maka legitimasi KDH terpenuhi. Agar
calon KDH yang telah dipilih bersama antara Presiden dan DPRD
Provinsi/kabupaten/kota dapat diterima oleh masyarakat, maka calon
KDH terpilih diperkenalkan langsung oleh Pimpinan DPRD dan dilantik
Presiden di hadapan masyarakat secara terbuka, dengan demikian aspek
akseptabilitas dapat dipenuhi. Menurut Irfan Ridwan Maksum (2012),
aspek akseptabilitas atau penerimaan dari masyarakat sangat penting
mengingat agar pemerintahan nantinya bisa berlangsung efektif dan
efisien. Penunjukan KDH oleh presiden itu akan lebih efektif sebab dari
sisi fisik wilayah, provinsi ukurannya lebih besar dan merupakan lapisan
pertama sebelum menyentuh kabupaten dan kota.
c. Setiap orang dapat mengajukan diri sebagai bakal calon KDH. Persyaratan
penjaringan bakal calon KDH pada intinya sama dengan persyaratan untuk
maju dalam pemilihan KDH secara langsung, hanya saja yang akan
dibahas di sini adalah persyaratan tambahannya. Pembatasan seseorang
untuk maju sebagai bakal calon adalah; domisili yang bersangkutan yang
status kependudukannya sebagai penduduk provinsi/kabupaten/kota di
mana diadakan pemilihan, tidak termasuk kerabat dekat dengan pejabat
publik/pejabat negara dari daerah di mana diadakan pemilihan KDH, lolos
tes kemampuan, tes bakat kepemimpinan, dan tes kejujuran. Hasil tes
yang dilakukan independen disampaikan terbuka kepada masyarakat dan
untuk tes tertentu dapat diakses oleh bakal calon yang bersangkutan
dan/atau masyarakat. RechtsVinding Online

16
d. Peran Serta Masyarakat. Masyarakat dapat diberi kesempatan untuk
mengajukan dukungan terhadap seseorang yang dianggap layak sebagai
calon KDH kepada tim independen yang dibentuk Presiden atau Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Dan untuk lolos sebagai calon KDH, bakal
calon yang diajukan harus memenuhi persyaratan umum maupun khusus
yang diatur dalam undang-undang.
e. Tim independen yang dibentuk Presiden atau KPU dapat mengundang
seseorang yang dianggap layak atas usul terbuka dari masyarakat untuk
maju dalam pemilihan KDH dengan memenuhi persyaratan umum
maupun khusus yang diatur dalam undang-undang. Dengan solusi
alternatif yang telah dibahas diatas, diharapkan para pemangku
kepentingan dapat menelaah dan mendapatkan solusi untuk mempercepat
proses pembahasan RUU Pilkada yang sempat terhenti akibat perbedaan
pendapat yang tajam untuk menentukan politik hukumnya

C. Kedudukan Wakil Kepala Daerah Berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan.


Berdasarkan Pasal 1 UUD NRI 1945, Negara indonesia adalah negara
kesatuan, bukan negara serikat atau federal. Negara kesatuan adalah negara yang
bersusun tunggal. Suatu bentuk negara yang didalamnya tidak terdapat suatu
daerah yang bersifat negara.17 Konsekuensi logis bentuk negara kesatuan adalah
adanya pelimpahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dengan
berprinsip bahwa tidak ada negara dalam negara.18
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 Tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Di Daerah (UU No. 5/1974), Undang-Undang Nomor 22 Tahun
1999 Tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 22/1999), maupun Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (UU No. 32/2004), yang
17
Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan (Bumi Aksara 2008).[82]
18
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Admistrasi Indonesia (Gadjah Mada University Press 2008).

17
dimaksud Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan
perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah
Tidak disebutkan secara eksplisit bahwa wakil kepala daerah adalah bagian
dari pemerintah daerah. Dengan kata lain, keberadaan wakil kepala daerah
berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut masih dapat dikatakan
abstrak, mengingat dalam pasal-pasal lain dalam peraturan perundang-undangan
tersebut ada yang memposisikan wakil kepala daerah sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dengan kepala daerah, namun di sisi lain jika merujuk kembali pada
pengertian pemerintah daerah tersebut, seolah-olah keberadaan wakil kepala
daerah bukanlah sebagai unsur yang penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan
UU No. 22/1999 untuk pertama kalinya memberikan landasan hukum bagi
kekuasaan pemerintah daerah yang memberi ruang bagi kehadiran jabatan wakil
kepala daerah. Dalam Pasal 30 UU No. 22/1999 disebutkan bahwa “Setiap daerah
dipimpin oleh seorang kepala daerah sebagai kepala eksekutif yang dibantu oleh
seorang wakil kepala daerah.”
UU No. 32/2004 jo UU No. 12/2008 pun mengisyaratkan hal yang sama,
yaitu mengakui keberadaan wakil kepala daerah dalam satu paket dengan kepala
daerah. Perbedaannya hanya terletak pada proses pemilihannya, dimana kepala
daerah dan wakilnya tidak lagi dipilih oleh DPRD, melainkan dipilih langsung
oleh rakyat. Dalam Pasal 26 UU No. 12/2008, terdapat beberapa poin penting,
yaitu :
a. Jabatan wakil Kepala Daerah sifatnya membantu dan menyukseskan
Kepala Daerah dalam memimpin daerah, melaksanakan tugas tertentu,
menggantikan Kepala Daerah bila berhalangan. Namun perlu di ingat
bahwa keberadaan wakil Kepala Daerah merupakan satu kesatuan yang
tidak terpisahkan dan dipilih berpasangan secara langsung oleh rakyat,
bersama-sama memimpin dan menyelenggarakan pemerintahan daerah;

18
b. Tugas dan wewenang wakil bersifat umum, kekuasaan penuh ada di
Kepala Daerah dan akhirnya ini memunculkan kegamangan wakil Kepala
Daerah dalam bertindak. Ada baiknya Kepala Daerah membina hubungan
dengan wakil Kepala Daerah dan memberikan peluang kepada wakil
Kepala Daerah sesuai dengan kontrak politik yang dibuat ketika mereka
diangkat menjadi satu pasangan calon Kepala Daerah;
c. Tidak terdapat indikator yang mengungkapkan wakil Kepala Daerah
dianggap bekerja efektif atau tidak efektif bekerja.

Lebih lanjut, selain adanya poin-poin argumentasi sebagaimana disebutkan di


atas, sejatinya ada beberapa sisi positif diadakannya jabatan wakil kepala daerah
dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, yaitu sebagai berikut:
1. Beban dan Kerumitan Pekerjaan Kepala Daerah Beratnya beban kepala daerah
bukan saja karena harus berhadapan dengan DPRD yang sangat kuat, tetapi
juga karena meningkatnya keberanian masyarakat untuk melakukan kritik dan
menuntut hak-haknya kepada Pemerintah Daerah dan kondisi ekonomi sosial
masyarakat yang masih rendah. Ditengah keterbatasan kemampuan
Pemerintahan Daerah, kepala daerah harus bisa meningkatkan pelayanan dan
kesejahteraan masyarakat daerahnya, disamping harus tetap menjaga
keserasian hubungan dengan pemerintah pusat, dan pemerintah daerah
lainnya, sekaligus menumbuh kembangkan kehidupan yang demokratis.
2. Kaderisasi Pejabat Publik Adanya jabatan Wakil kepala daerah membuka
peluang adanya proses kaderisasi bagi calon kepala daerah di masa
mendatang. Selama ini kaderisasi pimpinan daerah relatif terbatas, karena
kepala daerah dan Wakil kepala daerah terpilih tanpa latar belakang
pengalaman di bidang pemerintahan yang relatif memadai, padahal posisi
kepala daerah sangat strategis dalam menentukan kemajuan daerah, yang akan
memberi kontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.

19
3. Jumlah Penduduk Persoalan jumlah penduduk tentu berbeda antara satu
daerah dan daerah lainya. Agar pelayanan publik tetap maksimal, maka
daerah-daerah yang memiliki jumlah penduduk yang banyak perlu untuk
meningkatkan pula kinerja pemerintahannya. Problematika yang timbul dari
jumlah penduduk tidak dapat di selesaikan oleh seorang kepala daerah saja,
melainkan dengan bantuan dari Wakil kepala daerah.

Berkaitan dengan konstitusionalitas mekanisme pengisian jabatan kepala


daerah beserta wakilnya melalui metode pilkada langsung dalam satu paket
berdasarkan UU No. 1/2015 jo UU No. 8/2015. Ide dasar tulisan ini bermula dari
adanya perubahan yang muncul dalam UU No. 8/2015 Tentang Mekanisme
Pengisian Jabatan Wakil Kepala Daerah. Jika dalam UU No. 1/2015, pemilihan
393 langsung hanya dilakukan bagi calon gubernur, bupati, dan walikota. Hal itu
dapat dilihat dalam Pasal 1 Angka 1 UU No. 1/2015 yang menyebutkan bahwa
“Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut Pemilihan
adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk
memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara langsung dan demokratis.”
Sedangkan untuk pengisian jabatan wakil gubernur, bupati, dan walikota diatur
dalam Bab XXIII UU No. 1/2015 sebagai berikut:
 Pasal 167
(1). Gubernur, Bupati, dan Walikota dibantu oleh Wakil Gubernur, Wakil
Bupati dan Wakil Walikota;
(2). Wakil Gubernur, Wakil Bupati dan Wakil Walikota menjalankan tugas
membantu Gubernur, Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan mengenai pemerintahan daerah.
 Pasal 168
(1). Penentuan jumlah Wakil Gubernur berlaku ketentuan sebagai berikut:

20
a. Provinsi dengan jumlah penduduk sampai dengan 1.000.000 (satu juta)
jiwa tidak memiliki Wakil Gubernur;
b. Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 1.000.000 (satu juta) jiwa
sampai dengan 3.000.000 (tiga juta) jiwa memiliki 1 (satu) Wakil
Gubernur;
c. Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 3.000.000 (tiga juta) sampai
dengan 10.000.000 (sepuluh juta) jiwa dapat memiliki 2 (dua) Wakil
Gubernur;
d. Provinsi dengan jumlah penduduk di atas 10.000.000 (sepuluh juta)
dapat memiliki 3 (tiga) Wakil Gubernur.
(2). Penentuan jumlah Wakil Bupati/Wakil Walikota berlaku ketentuan
sebagai berikut:
a. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk sampai dengan 100.000
(seratus ribu) jiwa tidak memiliki Wakil Bupati/Wakil Walikota;
b. Kabupaten/Kota dengan jumlah penduduk di atas 100.000 (seratus
ribu) jiwa sampai dengan 250.000 (dua ratus lima puluh ribu) jiwa
memiliki 1 (satu) Wakil Bupati/Wakil Walikot.
 Pasal 171
(1). Gubernur, Bupati, dan Walikota wajib mengusulkan Calon Wakil
Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota dalam waktu paling lambat
15 (lima belas) hari setelah pelantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota;
(2). Wakil Gubernur diangkat oleh Presiden berdasarkan usulan Gubernur
melalui Menteri;
(3). Wakil Bupati/Wakil Walikota diangkat oleh Menteri berdasarkan usulan
Wilda Prihatiningtyas: Konstitusionalitas Model Pengisian 394 Media
Iuris: Vol. 1 No. 2, Juni 2018 Bupati/Walikota melalui Gubernur sebagai
wakil Pemerintah;

21
(4). Gubernur, Bupati, dan Walikota yang tidak mengusulkan Calon Wakil
Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan;
(5). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengusulan dan pengangkatan
Wakil Gubernur, Wakil Bupati, dan Wakil Walikota diatur dengan
Peraturan Pemerintah.

Dari ketentuan pasal diatas, dapat disimpulkan bahwa metode pengisian


jabatan kepala daerah dan wakilnya seperti mengulang kembali pada saat
berlakunya UU No. 5/1974, yang mana pengisian jabatan wakil kepala daerah
merupakan prerogatif kepala daerah dengan mendasarkan pada kriteria luas
wilayah, jumlah penduduk dan beban pekerjaan kepala daerah. Sehingga
jumlah wakil gubernur, bupati, dan walikota di setiap daerah bisa jadi tidak
sama di setiap daerah. Jika ditarik ke konstitusi, maka pengaturan seperti ini
sudahlah tepat mengingat dalam Pasal 18 Ayat 4 UUD NRI 1945 disebutkan
bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala
pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis”.
Artinya model pengisian jabatan pemerintah daerah yang “terpisah” seperti ini
adalah konstitusional. Lebih lanjut, dengan adanya model seperti ini, justru
dapat meredam adanya gesekan antara kepala daerah dan wakilnya yang pada
akhirnya justru mengganggu stabilitas penyelenggaraan pemerintahan daerah
dan penyediaan pelayanan publik yang maksimal bagi masyarakat.

22
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsekuensi logis dari bentuk negara kesatuan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 1 Ayat 1 UUD NRI 1945 adalah adanya pelimpahan kewenangan
dari pemerintah kepada pemerintah daerah yang melahirkan adanya daerahdaerah
otonom. Otonomi daerah mustahil berhasil tanpa didukung semangat
penyelenggara pemerintah daerah. Berdasarkan UU No. 23/2014, yang dimaksud
pemerintah daerah adalah kepala daerah sebagai unsur penyelenggara
Pemerintahan Daerah yang memimpin pelaksanaan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah otonom.
Keberadaan kepala daerah (dan wakilnya) memegang peranan penting dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam konstitusi, secara eksplisit tidak
dikenal adanya nomenklatur wakil kepala daerah (baik Wakil Gubernur, Bupati,
maupun Walikota). Namun, dalam sejarah penyelenggaraan pemerintahan di
Indonesia, sejak lahirnya UU No.5/1974, UU No. 22/1999, UU No. 32/2004 jo
UU No. 12/2008, UU No. 23/2014, maupun dalam UU No. 1/2015 jo UU No.
8/2015, kedudukan wakil kepala daerah senyatanya diakui, walaupun dengan
formulasi yang berbedabeda. Setidaknya ada 2 (dua) model dalam menempatkan
kedudukan wakil kepala daerah. Pertama, bersifat hierarkhis di bawah kepala
daerah dengan argumentasi bahwa wakil kepala daerah diangkat oleh kepala
daerah. Kedua, kedudukan wakil kepala daerah dianggap sejajar dengan kepala
daerah karena keduanya dipilih langsung oleh rakyat dalam satu paket
Berdasarkan Pasal 18 Ayat 4 UUD 1945, Penyelenggaran Pemilukada dapat
dilakukan secara langsung atau melalui perwakilan oleh DPRD. Ketentuan ini
menyebabkan adanya ketidakpastian dalam menentukan model pengisian jabatan
kepala daerah semestinya Undang-Undang Dasar memberikan ketentuan yang
tegas seperti tata cara pemilihan presiden dan wakil Presiden secara atau sesuai

23
atau sejalan dengan Pasal 1 Ayat 2 UUD 1945 dimana prisip kedaulatan rakyat
dengan sistem pemilihan langsung

24
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945


Abdullah Rozali, Pelaksanaan Otonomi Luas Dengan Pemilihan Kepala
Daerah
Secara Langsung (Raja Grafindo Persada 2007).
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia (Revisi,
Konstitusi
Press 2005).
——, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara (Rajawali Pers 2009).
——, Perkembangan Dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi
(Sinar
Grafika 2010).
Kuntana Magnar, Negara Hukum Yang Berkeadilan Suatu Kumpulan
Pemikiran
Dalam Rangka Purnabakti Bagir Manan (PSKN-HTN FH Unpad).
Larry Diammond, Democracy in Developing Countries – Latin Amerika
(1999).
Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Admistrasi Indonesia (Gadjah Mada
University Press 2008).
: Winarno, Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan (Bumi Aksara
2008).
Website
Agus Sutisna, ‘Pemda Tanpa Wakil Kepala Daerah’ (Kompasiana, 2012)
<https://
www.kompasiana.com/www.tisna_1965.com/pemda-tanpa-wakil-kepala-da
erah_550d3b7ba333116e1c2e3a85>.
Rusdianto, ‘Eksistensi Wakil Kepala Daerah Dalam Sistem Penyelenggaraan
Pemerintahan Daerah’ (Blogspot, 2013) <http://wwwpsikologcint.blogspot.

25
com/2013/02/eksistensi-wakil-kepala-daerah-dalam.html>.
Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Mewujudkan Kedaulatan Rakyat Melalui
PemilihaN Umum, Kedaulatan Rakyat,
Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Gaya Media Pratama, Jakarta,
1996, Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar 1945,
Rajagrafindo, Jakarta, 2009-----------------------, Pokok-Pokok
Hukum Tata Negara Indonesia, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 2007
Jenedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta, 2012,
M. Laica Marjuki, Berjalan –Jalan di Ranah Hukum: Otonomi Daerah Dalam
Perspektif Negara Kesatuan, Penerbit Sekretariat Jenderal & Kepaniteraan
Makamah Konstitusi RI, 2006.
Moh. Mahfud MD, Demokrasi Lokal, Evaluasi Pemilukada di Indonesia,
Konstitusi Press, Jakarta, 2012,
Sarundajang, Pemerintahan Daerah di berbagai negara, Tinjauan Khusus
Pemerintahan Daerah di Indonesia: perkembangan kondisi dan tantangan,
Jakarta; Sinar harapan, 2002,
Wendy Melfa, Pemilukada (Demokrasi dan Otonomi Daerah), BE Press,
Lampung,2013

26

Anda mungkin juga menyukai