Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN AKHIR KULIAH KERJA LAPANGAN

DPRD PROVINSI SUMSEL

IMPLIKASI JUMLAH KURSI DPRD PROVINSI SEBAGAI


SYARAT AMBANG BATAS PENCALONAN GUBERNUR
DAN WAKIL GUBERNUR PADA PEMILIHAN
KEPALA DAERAH TINGKAT PROVINSI

DISUSUN OLEH:

YOVIE AGUSTIAN PRATAMA


02011282025255

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2023

I
II
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena
atas rahmat dan karunia-nya yang pada akhirnya penulis mampu menyelesaikan
rangkaian kegiatan Kuliah Kerja Lapangan (KKL) di DPRD Provinsi Sumatera
Selatan dengan lancar dan juga telah menyelesaikan laporan kegiatan Kuliah
Kerja Lapangan yang berjudul “Implikasi Jumlah Kursi DPRD Provinsi
Sebagai Syarat Ambang Batas Pencalonan Gubernur Dan Wakil Gubernur
Pada Pemilihan Kepala Daerah Tingkat Provinsi”.
Penulis menyadari bahwa dalam melakukan kegiatan KKL sampai dengan
penulisan laporan akhir ini tidak terlepas dari berbagai macam hambatan yang
dihadapi. Namun, atas pengarahan dan motivasi yang diberikan oleh semua pihak,
maka kegiatan KKL dapat diselesaikan sebagaimana yang diharapkan. Oleh
sebab itu, penulis ingin menghaturkan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Agus Ngadino, S.H., M.H., selaku Ketua Laboratorium Fakultas Hukum
Universitas Sriwijaya;
2. Taufani Yunithia Putri, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing KKL;
3. Affrina, S.STP., M.Si., selaku Kasubbag Persidangan Sekretariat DPRD
Provinsi Sumatera Selatan beserta Kabag dan seluruh staf terkait.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan akhir ini masih sangat
jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan
saran yang membangun terhadap laporan akhir yang penulis buat. Demikian
laporan akhir kegiatan kuliah kerja lapangan ini dibuat, semoga dapat bermanfaat
bagi para pembaca dan penulis
Palembang, 18 Juli 2023
Penulis

Yovie Agustian Pratama


NIM. 02011282025255

III
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………i

HALAMAN PENGESAHAN………………………………………………….ii

KATA PENGANTAR………………………………………………………….iii

DAFTAR ISI……………………………………………………………………iv

DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………v

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………1

1.1. Latar Belakang………………………………………………………1

1.2. Kasus Posisi…………………………………………………………5

1.2. Rumusan Masalah……………………………………………………6

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………………..7

2.1. Dasar Pengaturan Syarat Ambang Batas Pencalonan Gubernur dan


Wakil Gubernur di Indonesia…………………………………………7

2.2. Implikasi Jumlah Kursi DPRD Provinsi Sebagai Syarat Pencalonan


Gubernur dan Wakil Gubernur………………………………………11

BAB III PENUTUP…………………………………………………………….15

3.1. Kesimpulan………………………………………………………….15

3.2. Saran…………………………………………………………………16

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………...17

LAMPIRAN……………………………………………………………………..19

IV
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Perolehan kursi DPRD Provinsi Sumsel Periode 2019-2024………..13

Tabel 2.2 Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumsel 2018-2023…14

V
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Negara-negara hukum modern saat ini menjalankan negara dan
pemerintahannya adalah berdasarkan atas hukum (rechstaat) dan tidak
berdasarkan atas kekuasaan (machsstaat).1 Hal ini dilandaskan pada
berkembangnya konsep perlindungan hukum dan memudarnya konsep
absolutisme kekuasaan. Hal ini adalah logis terutama bagi negara yang menganut
paham demokrasi. Pada konsep pemerintahan demokrasi, kekuasaan tertinggi
dalam suatu negara dimiliki oleh rakyat karena pada dasarnya menurut Abraham
Lincoln, konsep pemerintahan demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat. Indonesia selain sebagai negara hukum2, juga adalah
negara demokrasi, sehingga dikenal dengan sebutan negara hukum yang
demokratis atau dalam bentuk konstitusional disebut constitutional democracy.3
Indonesia sebagai negara hukum yang demokratis menurut UUD NRI Tahun 1945
adalah sebagai paham kedaulatan rakyat yang termaktub dalam Pasal 1 Ayat (1)
bahwa “Negara Indonesia ialah negara kesatuan yang berbentuk Republik”,
selanjutnya pada Pasal 1 Ayat (2), “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” dan Pasal 1 Ayat (3), “Negara
Indonesia adalah Negara Hukum”. Konsekuensi yuridis dari negara hukum
demokratis adalah adanya pemilihan umum, baik di tingkat pusat maupun daerah
Menurut Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim dalam paham kedaulatan rakyat
(democracy), rakyat dianggap sebagai pemilik atau pemegang kekuasaan tertinggi

1
Xavier Nugraha et al., Penggunaan Sistem Noken Di Papua Sebagai Wujud Pemilihan
Kepala Daerah yang Demokratis Dalam Persektif UUD 1945, Yogyakarta: Penerbit Harfeey,
Cetakan 1, 2019, hlm. 93.
2
Lihat Pasal 1 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
3
Jimly Asshiddiqie, Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta: Sekretariat Jenderal
Mahkamah Konstitusi, Cetakan 1, 2009, hlm. 690

1
dalam suatu negara.4 Pada suatu negara yang menganut paham kedaulatan rakyat,
maka rakyat lah yang menentukan corak dan bagaimana cara pemrintahan
diselenggarakan serta rakyat juga lah yang menentukan tujuan yang hendak
dicapai oleh suatu negara dengan pemerintahannya.
Pemilihan umum merupakan wujud pengeimplementasian konsep
kedaulatan rakyat atau demokrasi. Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa
rakyatlah yang menentukan tujuan yang hendak dicapai oleh negara dan
pemerintahannya itu.5 Pemilihan umum adalah sarana untuk memilih pejabat
politik dalam pemerintahan sebagai wakil rakyat yang diselenggarakan secara
demokratis dan dilaksanakan secara berkala menurut konstitusi. Dalam sebuah
negara yang menganut paham demokrasi, pemilu adalah sarana aspirasi rakyat
untuk menentukan para calon pemimpin dan menyaring calon-calon tersebut agar
dapat dipandang sebagai wujud partisipasi dalam proses pemerintahan. Joseph
Shumpeter menjelaskan perihal Teori Demokrasi Minimalis bahwa pemilihan
umum merupakan wadah kompetisi antara tokoh politik dengan tujuan meraih
kekuasaan partisipasi politik rakyat dalam menentukan pilihan serta liberalisasi
hak-hak sipil dan politik warga negara.6 Pemilu sebagai wujud konkret dari
demokrasi prosedural sebagai konsekuensi negara dengan pemerintahan yang
demokrasi sehingga penyelenggaraannya diharapkan dengan demokratis.
Pelaksanaan pemilu secara konstitusional sebagaimana tertuang dalam UUD NRI
Tahun 1945. Pada Pasal 22E UUD NRI Tahun 1945 jelas bahwa Pemilihan
Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap
lima tahun sekali. Hal ini merupakan pengejawantahan dalam negara yang
menganut sistem demokrasi. Pemilu di Indonesia diselenggarakan dalam rangka
memilih penguasa yang duduk di eksekutif dan legislatif. Sejarah pemilihan
umum di Indonesia dimulai sejak tahun 1955 yang diselenggarakan untuk

4
Moh. Kusnardi, dan Hannaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara lndonesia, Cetakan
Ke-7. Jakarta, Sinar Bakti, him. 328.
5
Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2009, hlm. 105.
6
Mukhtarrija, M., Handayani, I. G. A. K. R., & Riwanto, A. (2017). Inefektifitas Pengaturan
Presidential Threshold dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan
Umum. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, 24(4), hlm.645

2
memilih Anggota DPR dan Konstituante, kemudian berlanjut pemilu pada masa
Orde Baru di bawah Rezim Soeharto mulai dari Pemilu 1971, 1973, 1977, 1982,
1987, 1992, 1997. Kemudian Pemilu era Reformasi mulai dari tahun 1999, 2004,
2009, 2014, dan 2019. Pemberlakuan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD NRI Tahun 1945) sejak dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 hingga masa berakhirnya masa kepemimpinan Soeharto,
dianggap masih belum dijalankan secara murni maupun konsekuen dalam
menjamin tatanan demokrasi. Hal ini yang menjadi tuntutan terhadap amandemen
UUD NRI Tahun 1945 yang mengemuka sejak Reformasi 1998. Pokok persoalan
penting dalam tuntutan reformasi salah satunya adalah untuk mengubah sistem
pemilu dengan demokrasi perwakilan ke demokrasi langsung. Amandemen
terhadap UUD 1945 membawa perubahan tatanan ketatanegaraan Indonesia dan
demokrasi di Indonesia sebab perubahan inilah yang menjadi pengilhaman nyata
terhadap perwujudan demokrasi yang sebenarnya. Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945
Amandemen Kedua menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-
masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih
secara demokratis.7 Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota
menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU No.8 Tahun 2015) dikatakan
bahwa, “Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta
Walikota dan Wakil Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah
pelaksanaan kedaulatan rakyat di wilayah Provinsi dan Kabupaten/Kota untuk
memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota
dan Wakil Walikota secara langsung dan demokratis.” Ketentuan dalam pasal ini
menyiratkan bahwa dalam suksesi kepemimpinan di daerah haruslah diiringi
dengan regenerasi pemimpin di daerah tersebut dengan cara yang demokratis
dalam rangka menghasilkan kepala daerah yang mampu menjalankan roda

7
Lihat Pasal 18 Ayat (4) UUD NRI Tahun 1945

3
pemerintahan dengan orientasi pada pelaksaanaan pelayanan publik yang baik dan
perwujudan kesejahteraan masyarakat di daerah. Dalam hal pencalonan kepala
daerah, dapat dilakukan melalui jalur partai politik dan jalur independen atau
perseorangan. Berdasarkan ketentuan Pasal 40 ayat (1) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemeritah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-
Undang, bahwa “Partai politik atau gabungan partai politik dapat mendaftarkan
pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20%
(dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau 25%
(dua puluh lima persen) dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan
umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah di daerah yang bersangkutan”.
Banyaknya jumlah partai yang berada di DPRD yang mengikuti pilkada menjadi
sebuah tantangan tersendiri bagi Indonesia sebagai negara yang menganut sistem
multipartai. Sistem multipartai adalah sistem kepartaian yang dalam satu negara
atau badan perwakilan terdapat lebih dari dua partai politik tanpa satu partai yang
memegang mayoritas mutlak.8 Sistem kepartaian diilahmi sebagai representasi
masyarakat Indonesia yang multikultural dengan berbagai macam ideologi
sehingga lahir berbagai partai dengan ideologi yang berbeda. Diberlakukannya
aturan mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah membuat Partai politik
cenderung untuk berkoalisi dengan partai politik lain karena tiap partai memiliki
kekuatan elektoral masing-masing sehingga hasil pemilu legislatif cenderung
hanya menghasilkan satu partai pemegang suara secara mayoritas atau bahkan
tidak ada sama sekali, apalagi persentase ambang batas menyentuh angka 20%
dari jumlah kursi DPRD atau memperoleh 25% dari akumulasi perolehan suara
sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. Kendati
demikian ada satu partai yang dapat secara tunggal tanpa berkoalisi untuk
mengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah, hal itu dirasa tidak
mungkin terjadi karena pada dasarnya koalisi masih tetap diperlukan agar kelak

8
Arman, Z. (2018). Tinjauan Terhadap Sistem Multi Partai Dalam Sistem Pemerintahan
Presidensial Di Indonesia Pada Era Reformasi. Jurnal Cahaya Keadilan, 6(1), hlm. 28

4
kepala daerah dan wakil daerah yang terpilih memiliki legitimasi yang kuat di
kalangan anggota DPRD dalam rangka menjalankan roda pemerintahan. Koalisi
partai politik pada setiap gelaran pilkada senantiasa mengalami perbedaan secara
komposisi karena tidak ada aturan yang mengatur perihal koalisi partai politik
yang permanen. Perbedaan komposisi partai politik dalam koalisi yang terbentuk
seyogyanya diukur melalui parameter kesamaan visi, misi, tujuan serta rencana
strategis yang akan menjadi penentu apakah calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang diusung akan mendulang kemenangan. Semakin kecil persentase
ambang batas pencalonan maka jumlah koalisi partai politik serta pasangan calon
dalam Pilkada semakin banyak dan sebaliknya apabila persentase ambang batas
pencalonan semakin besar maka jumlah koalisi partai politik serta pasangan calon
semakin sedikit.
1.2 Kasus Posisi
Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang sebelumnya
dilakukan oleh DPRD pada tingkat provinsi maupun kabupaten/kota dianggap
sebagai kemunduran demokrasi dan juga memasifkan terjadinya jual beli jabatan
oleh elite partai politik di DPRD. Selain itu, pemimpin daerah yang terpilih pun
dikhawatirkan tidak sepenuhnya mengabdikan diri kepada masyarakat di
daerahnya dan cenderung terlebih dahulu akan memaksimalkan jabatan serta
kewenangannya untuk elit partai politik yang menyokongnya hingga terpilih
sebagai kepala daerah melalui sidang paripurna DPRD. Hingga pada akhirnya,
perubahan mekanisme pilkada berubah seiring dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004. Kendati demikian pelaksanaan Pemilihan Kepala
Daerah di Indonesia yang terhitung sejak tahun 2005 setelah sebelumnya
dilakukan dengan mekanisme pemilihan di DPRD pada tingkat Provinsi maupun
Kabupaten/Kota nyatanya masih menimbulkan berbagai wacana tentang
pengembalian pemilihan kepala daerah tersebut kepada DPRD. Hal ini disinyalir
karena pilkada secara langsung memasifkan terjadinya praktik money politic,
sehingga ada wacana untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah
oleh DPRD. Namun, apabila merujuk pada ketentuan ketentuan Pasal 40 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

5
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemeritah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang, pemilihan kepala daerah secara langsung nyatanya
masih memberikan ruang bagi DPRD yakni dalam ketentuan mengenai ambang
batas capaian kursi partai politik di DPRD sebagai syarat agar calon kepala daerah
dan wakil daerah yang terkait dapat dicalonkan pada saat pemilihan.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana dasar pengaturan ambang batas pencalonan Gubernur dan Wakil
Gubernur di Indonesia?
2. Bagaimana implikasi Ambang Batas Kursi DPRD Provinsi Sebagai Syarat
Pencalonan Terhadap Jumlah Pasangan Calon Dalam Pemilihan Gubernur
Dan Wakil Gubernur?

6
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Dasar Pengaturan Syarat Ambang Batas Pencalonan Gubernur dan


Wakil Gubernur di Indonesia
Demokrasi pasca reformasi di Indonesia mengalami perkembangan yang
cukup pesat. Peningkatan partisipasi publik dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara kemudian disalurkan melalui mekanisme yang mencerminkan prinsip
keterbukaan dan persamaan bagi tiap warga negara. Salah satu bentuknya adalah
dengan melalui penyelenggaraan pemilihan umum baik pemilihan presiden dan
wakil presiden, pemilihan legislatif, serta pemilihan kepala daerah dan wakil
kepala daerah.9 Pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah
perwujudan dari penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan prinsip otonomi daerah sebagaimana termaktub dalan UUD
NRI Tahun 1945. Pada penyelenggaraan otonomi daerah, dipandang perlu untuk
lebih menekankan pada prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan
dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Perlu
adanya penyelenggaraan otonomi dengan kewenangan yang luas, nyata dan
bertanggungjawab kepada daerah secara proporsional. UUD 1945 tepatnya pada
Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal tersebut menimbulkan
konsekuensi terhadap perubahan peraturan perundang-undangan terkait dengan
praktik pengisian jabatan kepala daerah. Sejak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 merupakan babak awal dalam proses demokrasi lokal di
Indonesia. Kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dipilih secara langsung
oleh rakyat menunjukkan demokratisasi yang memiliki orientasi jelas sebagai
penempatan kepentingan rakyat selaku pemegang kedaulatan sebagaimaan
dimaksud dalam konstitusi. Pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung

9
Respationo, HM Soerya. Pemilihan Kepala Daerah Dalam Demokrasi Electoral.,Jurnal
Masalah-Masalah Hukum , 42 (3), 2013, hlm. 357

7
oleh penduduk yang berada pada daerah administratif tersebut. Pemilihan kepala
daerah dilakukan untuk memilih gubernur dan wakil gubernur untuk provinsi,
walikota dan wakil walikota untuk kota, lalu bupati dan wakil bupati untuk
kabupaten.
Dasar konstitusional pilkada diatur dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI
Tahun 1945 yang berbunyi “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing
kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara
demokratis”. Meskipun UUD NRI Tahun 1945 telah mengamantkan bahwa
pemilihan kepala daerah harus dilaksanakan secara demokratis, namun tidak
terdapat penjelasan lebih lanjut mengenai pemilihan yang secara demokratis
tersebut. Secara historis, pemilihan kepala daerah yang dimaksud demokratis
tersebut memiliki mekanisme dan perwujudan yang berbeda. Pada awalnya,
menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok
Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih oleh presiden atas dasar rekomendasi
DPRD. Namun, setelah berakhirnya zaman orde baru, diadakan pengundangan
beberapa undang-undang, antara lain Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan daerah. Jika sebelumnya DPRD hanya merekomendasikan
nama kandidat kepala daerah kepada presiden untuk selanjutnya diputuskan
apakah diterima atau tidak diterima rekomendasi tersebut, namun kali ini DPRD
mempunyai wewenang untuk memilih kepala daerah melalui sidang paripurna.
Hal ini didasarkan atas anggapan bahwa DPRD dianggap sebagai wakil rakyat di
daerah sehingga pemimpin daerah yang dipilih bukanlah boneka semata seorang
presiden. Namun, sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat
melalui Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah atau disingkat
Pilkada. Pemberlakuan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang
Penyelenggara Pemilihan Umum, pilkada dimasukkan dalam rezim pemilu,
sehingga disebut sebagai Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah (Pemilukada). Namun, apabila merujuk pada Pasal 22 E UUD NRI Tahun
1945, teknis pelaksanaan pemilihan kepala daerah tidak diatur dalam pasal
tersebut, melainkan diatur pada pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang

8
masuk dalam Bab IV tentang Pemerintahan Daerah. Pengisian jabatan kepala
daerah di Indonesia mengalami perubahan secara teknis dari pemilihan tidak
langsung melalui DPRD hingga pemilihan langsung oleh rakyat. Pasal 24 Ayat (5)
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berbunyi “Kepala Daerah
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) dipilih dalam satu pasangan
secara langsung oleh rakyat di daerah yang bersangkutan.”, menyiratkan bahwa
pemilukada dilaksanakan secara langsung.
Praktik pilkada secara langsung nyatanya menimbulkan wacana agar
pemilihan kepala daerah kembali dilakukan oleh DPRD dengan pertimbangan
bahwa ternyata pemilihan secara langsung digunakan sebagai money politic begitu
masif. Wacana ini kemudian terealisasi dengan disahkannya Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2014 tentang pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.
Namun, terdapat penolakan juga dari masyarakat karena dianggap sebagai
kemunduran demokrasi, sehingga presiden menerbitkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota. Peraturan Pemerintah ini kemudian disahkan melalui
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang. Undnag-Undang tersebut
mengalami perubahan kedua tepatnya pada tahun 2016 dengan diundangkannya
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang.
Electoral Reform yang telah berlangsung sejak 1999 berimplikasi terhadap
penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis. Pemilihan kepala daerah
secara langsung dianggap mampu menghadirkan pemimpin dengan pola
kepemimpinan yang ideal. Namun, pola pemilihan secara langsung nyatanya tidak
sepenuhnya berbeda dengan pemilihan secara tidak langsung melalui DPRD. Hal
ini terlihat dari timbulnya suatu problematika terkait dengan akuntabilitas kepala
daerah itu sendiri karena kendati dipilih secara langsung oleh rakyat, calon kepala

9
daerah dan wakil kepala daerah tersebut masih memiliki keterikatan dengan partai
politik sebagai pengusung dan pendukungnya untuk memenangkan kontestasi
pemilukada. Kepala daerah dan wakil kepala daerah tersebut tak lain adalah
wakil-wakil dari partai politik sehingga campur tangan partai politik di DPRD
masih terlihat dalam pemenuhan syarat bagi seorang calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang akan mengikuti pemilukada.
Syarat pencalonan kepala daerah diatur dalam Pasal 40 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang, yang berbunyi “Partai politik atau gabungan
partai politik dapat mendaftarkan pasangan calon jika telah memenuhi persyaratan
perolehan paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah atau 25% (dua puluh lima persen) dari akumulasi
perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah di daerah yang bersangkutan.10 Pasal ini secara eksplisit menunjukkan
bahwa tiket pencalonan kepala daerah dan wakil kepala daerah terlebih dahulu
harus mendapat rekomendasi dan persetujuan dari partai politik atau gabungan
partai politik di DPRD. Adanya ketentuan ini jelas menimbulkan suatu sebab
timbulnya koalisi-koalisi partai politik yang timbul akibat tidak terpenuhinya
ketentuan 20% kursi partai politik di DPRD sebagai salah satu syarat agar dapat
mampu mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah.

10
Lihat Pasal 40 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan
Kedua Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang

10
2.2 Implikasi Jumlah Kursi DPRD Provinsi Sebagai Syarat Pencalonan
Gubernur dan Wakil Gubernur
Demokrasi saat ini adalah konsep negara dan pemerintahan yang utama
pada negara-negara modern.11 Istilah demokrasi memunculkan berbagai
pemaknaan, antara lain demokrasi elektoral dan demokrasi perwakilan.
Demokrasi elektoral dan demokrasi perwakilan memiliki keterkaitan sebab proses
demokrasi elektoral turut melibatkan demokrasi perwakilan sebagai syarat
mekanisme pencalonan pada demokrasi elektoral, baik di tingkat pusat maupun
daerah. Salah satu indikator yang dipakai untuk melihat koherensi hubungan
antara demokrasi elektoral dan demokrasi perwakilan adalah terkait dengan
ditetapkannya ketentuan perihal ambang batas pencalonan kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang ditentukan berdasarkan perolehan jumlah kursi partai
politik di DPRD. Jumlah kursi wakil rakyat di DPRD dipilih melalui pemilihan
umum legislatif yang diselenggarakan negara secara demokratis. Pasal 18 Ayat (3)
UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa DPRD merupakan salah satu unsur
dalam pemerintahan daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan
umum.12 Sehingga dapat dipahami bahwa DPRD adalah representasi dari rakyat di
daerah. Representasi secara sederhana diartikan sebagai upaya menghadirkan
yang tidak hadir. Hanna F. Pitkin mengemukakan gagasan/teori representasi
politik yang melibatkan ‘election’ atau pemilihan sebagai lembaga utama dalam
pemerintahan dengan sistem perwakilan.13
Kilas balik pada awal pemberlakuan pilkada langsung menurut Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004, setidaknya memuat beberapa alasan terkait
perubahan mekanisme pilkada yang sebelumnya dipilih oleh DPRD menjadi
dipilih oleh rakyat secara langsung. Pertama adalah urgensi untuk mendapatkan
pemimpin daerah yang mempunyai akuntabilitas publik di tingkat lokal. Kedua,
diharapkan calon-calon pemimpin daerah tersebut bukan hanya sebatas dipilih

11
Janedri M. Gaffar, Demokrasi dan pemilu di Indonesia, (Jakarta: KONPress, 2013),
hlm.1
12
Lihat Pasal 18 Ayat (3) UUD NRI Tahun 1945
13
Esty Ekawati. (2014). Dari Representasi Politik Formal ke Representasi Politik Non-
Elektoral, Jurnal Penelitian Politik, 11 (2), hlm. 130

11
oleh elite partai politik, namun juga dipilih oleh rakyat secara langsung bahkan
diharapkan partisipasi masyarakat semakin bertambah dalam menentukan pejabat
pemerintah. Ketiga, pilkada dimaksudkan untuk mengembangkan kepemimpinan
dari bawah yang berarti bahwa pelaksanaan pilkada ini dapat mengembalikan hak
rakyat untuk menentukan langsung pemimpinnya. Keempat, pilkada diharapkan
mampu membuat masyarakat lebih banyak berpartisipasi dalam urusan politik di
tingkat daerah agar proses demokratisasi dapat semakin tumbuh di masyarakat14.
DPRD dalam hal ini adalah wujud dari perwakilan rakyat sebagai lembaga
penyalur aspirasi kepada pemerintah daerah. Kendati pemilihan kepala daerah dan
wakil kepala daerah sejak tahun 2005 adalah langsung oleh rakyat, namun campur
tangan partai politik dalam menyiapkan calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang potensial itulah yang saat ini jelas diatur dalam undang-undang,
yakni terkait dengan diberlakukannya ambang batas pencalonan kepala daerah dan
wakil kepala daerah untuk tingkat provinsi maupun kabupaten/kota berdasarkan
perolehan kursi DPRD.
Pemberlakuan ambang batas pencalonan kepala daerah dan wakil kepala
daerah sebesar 20% dari jumlah kursi partai politik di DPRD memiliki implikasi
yang terlihat dalam ikut lahirnya pula koalisi-koalisi partai politik pengusung
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Sebagai contoh, pemilihan
gubernur dan wakil gubernur Provinsi Sumatera Selatan Tahun 2018
Sebagaimana jumlah komposisi keanggotaan DPRD Provinsi Sumatera Selatan
Periode 2014-2019 yakni sebagai berikut:15

Nama Partai Jumlah


Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 13
Partai Demokrat 11

14
Prianto, B. (2016). Partai Politik, Fenomena Dinasti Politik dalam Pemilihan Kepala
Daerah, dan Desentralisasi. Publisia: Jurnal Ilmu Administrasi Publik, 1(2).Hlm. 107
15
Website DPRD Provinsi Sumsel, diakses 14 Juli 2023

12
Partai Golkar 10
Partai Gerindra 10
Partai Kebangkitan Bangsa 6
Partai Nasional Demokrat 6
Partai Amanat Nasional 5
Partai Keadilan Sejahtera 5
Partai Hati Nurani Rakyat 5
Partai Bulan Bintang 2
Partai Persatuan Pembangunan 2
Total 75

Tabel 2.1 Perolehan kursi DPRD Provinsi Sumsel Periode 2019-2024


Komposisi keanggotaan DPRD Provinsi Sumsel yang berjumlah 75 orang
apabila dikonversikan sebesar 20% maka jumlah minimal kursi yang harus
dipenuhi oleh partai politik atau gabungan partai politik agar dapat memenuhi
syarat mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah sejumlah 15
kursi. Apabila partai politik yang tidak mencapai 15 kursi, maka dapat berkoalisi
dengan partai politik lainnya sehingga jumlah Pemilihan Gubernur Sumatera
Selatan Tahun 2018 diikuti oleh empat pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur sebagai berikut:16

Calon Wakil Koalisi Partai


No Calon Gubernur
Gubernur Politik

1 H. Herman Deru, S.H., M.M Ir. H.Mawardi Yahya Nasdem, PAN,


Hanura

2 H.Saifudin Aswari Riva’I, S.E H.M. Irwansyah, Gerindra dan


S.Sos., M.Si PKS

Antara, KPU Tetapkan Empat Cagub/Cawagub Sumsel,


16

https://www.antaranews.com/berita/685318/kpu-tetapkan-empat-pasang-cagub-cawagub-
sumsel, diakses 15 Juli 2023

13
3 Ir.H.Ishak Mekki, S.E Yudha Pratomo, S.T., Demokrat, PPP,
M.Sc., Ph.D PBB

4 Dr. H. Dodi Reza Alex H.M. Giri Ramanda PDI Perjuangan,


Noerdin, Lic.Econ., M.B.A N. Kiemas, S.E., Partai Golkar,
M.M dan PKB

Tabel 2.2 Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sumsel 2018-2023

Pada tabel di atas terlihat bahwa koalisi yang dibangun oleh partai politik
guna mencukupkan perolehan ambang batas 20% atau 15 kursi dari total 75 kursi
anggota DPRD Provinsi Sumatera Selatan. Koalisi pengusung Herman Deru dan
Mawardi Yahya yang diusung oleh Partai Nasdem, PAN, Hanura memenuhi
21,3% atau 16 kursi dari 75 kursi anggota DPRD Provinsi Sumatera Selatan.
Pasangan Aswari Rivai - Irwansyah yang diusung oleh Partai Gerindra dan PKS
memenuhi 20,0% atau setara dengan 15 kursi DPRD Provinsi Sumsel, lalu Ishak
Mekki - Yudha Mahyudin yang diusung oleh Partai Demokrat, PPP, dan PBB
memenuhi 20,0% suara atau setara 15 kursi DPRD Provinsi Sumatera Selatan.
Kemudian pasangan Dodi Reza Alex Noerdin - Giri Ramanda yang diusung oleh
Partai Golkar, PDIP, dan PKB memenuhi 38,7% atau setara 29 kursi DPRD
Provinsi Sumatera Selatan. Komposisi pasangan calon gubernur dan wakil
gubernur serta partai politik pengusung pada Pilgub Sumsel 2018 menandakan
bahwa perubahan mekanisme pemilihan gubernur Sumsel dari yang sebelumnya
dipilih oleh anggota DPRD Provinsi Sumsel berdasarkan suara terbanyak menjadi
dipilih secara langsung oleh rakyat, masih memiliki pola yang sama terutama
dalam hal proses pengajuan bakal calon gubernur dan wakil gubernur tersebut
harus disokong oleh dukungan partai yang duduk pada kursi DPRD Provinsi
Sumatera Selatan dengan akumulasi sebesar 20% dari jumlah total kursi yang ada.
Hal ini juga menunjukkan bahwa pada Pilgub secara langsung di Sumatera
Selatan juga masih mengikutsertakan unsur keanggotaan dan partai politik DPRD
Provinsi Sumatera Selatan sebagai syarat pencalonan gubernur agar dapat

14
melenggang ke kontestasi lima tahunan. Tidak permanennya koalisi partai politik
di Indonesia baik pada tingkat pusat maupun lokal membuat pola koalisi partai
politik pengusung calon kepala daerah dan wakil kepala daerah senatiasa berubah
pada tiap pelaksanaan pilkada lima tahun sekali sebagai upaya agar mampu
mencalonkan kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan diusung. Koalisi
partai politik pengusung pada Pilkada sebelumnya dan Pilkada yang akan datang
berpotensi berubah mengikuti dinamika politik yang akan terjadi. Ketentuan
tentang ambang batas pencalonan kepala daerah ini memperjelas bahwa kendati
pilkada di Indonesia saat ini dilaksanakan secara langsung oleh rakyat, namun
tetap saja masih ada campur tangan DPRD dalam proses pengajuan bakal calon
kepala daerah dan wakil kepala daerah yang akan diikutsertakan dalam pilkada.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian yang telah dikemukakan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai
berikut:
1. Pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) adalah salah satu bentuk
pengimplementasian dari negara hukum demokratis dengan paham
kedaulatan rakyat. Praktik penyelenggaraan Pemilihan kepala daerah
demokratis di Indonesia telah dijalankan, baik secara tidak langsung
(perwakilan) atau langsung. Adanya perubahan dalam mekanisme pemilihan
kepala daerah (pilkada) dari yang sebelumnya dipilih oleh wakil rakyat
hingga sekarang dipilih oleh rakyat secara langsung adalah kemajuan
demokrasi, namun masih terdapat pola yang sama dalam hal pengajuan bakal
calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang dimaksud, yakni
diberlakukannya ambang batas pencalonan berdasarkan jumlah perolehan
kursi di DPRD.

15
2. Adanya ketentuan mengenai ambang batas pencalonan kepala daerah ini
berimplikasi terhadap adanya pola koalisi partai politik yang turut
menghasilkan beberapa poros calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Selain itu, hal ini juga memperjelas bahwa kendati pilkada dilaksanakan
secara langsung oleh rakyat, namun tetap saja masih ada campur tangan
DPRD dalam proses pengajuan bakal calon kepala daerah dan wakil kepala
daerah yang akan diikutsertakan dalam pilkada

3.2. Saran
Berdasarkan uraian terhadap permasalahan di atas, maka saran yang dapat
penulis ajukan adalah agar pemilihan kepala daerah di Indonesia senantiasa
mengedepankan pada prinsip demokrasi yang memposisikan rakyat sebagai
penentu pemimpin yang terbaik untuk daerahnya. Kendati seperti yang telah
dianalisis di atas bahwa calon kepala daerah yang akan maju ke kontestasi pilkada
harus memenuhi persyaratan yakni minimal 20% kursi dari total kesleuruhan kursi
di DPRD, hal ini menasbihkan bahwa memang berdasarkan Pasal 40 Ayat (1)
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota Menjadi Undang-Undang, partai politik di DPRD masih memiliki
pengaruh dalam mengajukan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Oleh
sebab itu, diharapkan kepa elite partai politik pemilik kursi di DPRD untuk
senantiasa mempertimbangkan calon-calon kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang benar-benar sesuai dengan kehendak rakyat.

16
DAFTAR PUSTAKA

Buku
Asshiddiqie, Jimly. (2009). Menuju Negara Hukum Yang Demokratis, Jakarta:
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi.

_______________. (2009). Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jakarta: Raja


Grafindo Persada
Gaffar, Janedri M. (2013). Demokrasi dan Pemilu di Indonesia, Jakarta:
KONPress
Kusnardi, Moh dan Hannaily Ibrahim. (1988). Pengantar Hukum Tata Negara
lndonesia. Cetakan Ke-7. Jakarta, Sinar Bakti.

Nugraha, Xavier et al., (2019). Penggunaan Sistem Noken Di Papua Sebagai


Wujud Pemilihan Kepala Daerah yang Demokratis Dalam Persektif UUD
1945. Cetakan Ke-1. Yogyakarta: Penerbit Harfeey

Peraturan Perundang-Undangan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang

Jurnal
Mukhtarrija, M., Handayani, I. G. A. K. R., & Riwanto, A. (2017). Inefektifitas
Pengaturan Presidential Threshold dalam Undang-Undang Nomor 7
Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum,
Volume 24, Nomor 4, 2017

Respationo, HM Soerya. Pemilihan Kepala Daerah Dalam Demokrasi Electoral.


Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Volume 42, Nomor 3, 2013

17
Prianto, B. Partai Politik, Fenomena Dinasti Politik dalam Pemilihan Kepala
Daerah, dan Desentralisasi. Publisia: Jurnal Ilmu Administrasi Publik,
Volume 1, Nomor 2, 2016

Arman, Z. Tinjauan Terhadap Sistem Multi Partai Dalam Sistem Pemerintahan


Presidensial Di Indonesia Pada Era Reformasi. Jurnal Cahaya Keadilan,
Volume 6, Nomor 1 , 2018

Esty Ekawati. Dari Representasi Politik Formal ke Representasi Politik Non-


Elektoral. Jurnal Penelitian Politik, Volume 11, Nomor 2, Desember 2014

Berita Online
Antara, KPU Tetapkan Empat Cagub/Cawagub Sumsel,
https://www.antaranews.com/berita/685318/kpu-tetapkan-empat-pasang-
cagub-cawagub-sumsel, diakses 15 Juli 2023

Website Resmi
Website DPRD Provinsi Sumatera Selatan

18
Surat Pengantar KKL
Kartu Tanda Bimbingan
Daftar Hadir di Instansi KKL
Daftar Hadir di Instansi KKL
Daftar Hadir di Instansi KKL
Daftar Hadir di Instansi KKL
Daftar Hadir di Instansi KKL
Jadwal Kegiatan KKL
Jadwal Kegiatan KKL
Jadwal Kegiatan KKL
Jadwal Kegiatan KKL
Jadwal Kegiatan KKL
Jadwal Kegiatan KKL
Jadwal Kegiatan KKL
Foto Kegiatan KKL

Foto 1. Pengantaran ke instansi KKL oleh dosen pembimbing

Foto 2. Membuat Risalah Sidang Rapat Badan Anggaran

Foto 3. Mengikuti Apel pagi sebelum beraktivitas


Foto Kegiatan KKL

Foto 4. Briefing sebelum merapikan Ruang Rapat Banggar

Foto 5. Menyusun papan nama anggota rapat

Foto 6. Merapikan Ruang Rapat Banggar


Foto Kegiatan KKL

Foto 7. Diskusi bersama Tenaga Ahli DPRD Provinsi Sumsel

Foto 8. Menyusun dan melipat Surat Undangan Rapat

Foto 9. Menyicil Laporan Akhir dan Majalah


Foto Kegiatan KKL

Foto 10. Mengantarkan surat undangan rapat ke Fraksi PKB

Foto 11. Visitasi ke Fraksi Gerindra


Foto Kegiatan KKL

Foto 12. Persiapan mengikuti Sidang Paripurna

Foto 13. Mengondisikan meja resepsionis sidang paripurna

Foto 14. Mengikuti Sidang Paripurna LXIV


Foto Kegiatan KKL

Foto 15. Mengklasifikasikan berkas risalah rapat

Foto 16. Melabeli berkas risalah rapat

Foto 17. Mempelajari berkas risalah rapat


Foto Kegiatan KKL

Foto 18. Koordinasi dokumen rapat dengan staf pimpinan

Foto 19. Membuat risalah rapat Badan Anggaran

Foto 20. Perpisahan dengan Kabag Risalah & Persidangan

Anda mungkin juga menyukai