Anda di halaman 1dari 25

1

A. Latar Belakang
Pemilihan Umum yang bisa disebut juga dengan “Political Market”
merupakan pasar politik tempat individu atau masyarakat berinteraksi
untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara peserta
pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki
hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan aktifitas politik.1
Pemilihan umum merupakan sebuah sarana bagi rakyat untuk
berpartisipasi dalam menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan.
Pelaksanaan pemilu disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat,
berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 hasil amandemen berbunyi
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD“.
konsekuensi dari Pasal 1 ayat (2) ini adalah bahwa MPR sudah tidak lagi
memiliki kedudukan yang eksklusif sebagai satu-satunya instansi pelaku
pelaksana kedaulatan rakyat.
Pelaksanaan kedaulatan rakyat adalah rakyat itu sendiri yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan UUD. Dengan demikian, antara
kedaulatan rakyat dengan hukum ditempatkan sejajar dan berdampingan
sehingga menegaskan dianutnya prinsip “constitutional democracy” yang
pada pokoknya tidak lain adalah negara hukum yang demokratis. Maka
untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan
secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
NRI Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama
pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sehingga
pelaksanaan demokrasi konstitusional dapat terselenggara sesuai dengan
prinsip demokrasi yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 2
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang
berbunyi:
“Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.”3

1 Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h.56.
2 Silalahi Wilma, Demokrasi, Pilkada, dan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi (Depok:
Rajawalin Pers, 2020), h.9.
3Undang-Undang No 15 Tahun 2011 Tentang Penyelengara Pemilu Pasal 1 ayat (1).
3

Pelaksanaan pemilihan umum dianggap sebagai tonggak bagi tegaknya sistem


demokrasi yang dilaksanakan dengan konsep demokrasi perwakilan atau
demokrasi tidak langsung (indect democracy), yang artinya keikutsertaan rakyat
didalam pemerintahan dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang dipilih sendiri
oleh rakyat secara langsung, bebas, sehingga hasil pemilihan kepala daerah
haruslah mencerminkan konfigurasi aliran-aliran dan aspirasi politik yang hidup
di tengah-tengah rakyat. Dengan demikian pemilihan kepala daerah
dimaksudkan untuk mengukur tingkat dukungan dan kepercayaan masyarakat
terhadap seseorang pemimpin. Oleh karena itu, alasan mengapa pemilu menjadi
penting bagi sebuah negara demokrasi terutama berkaitan dengan pelaksanaan
pemilihan kepala daerah secara langsung, yaitu pemilihan kepala daerah secara
langsung memungkinkan terwujudnya penguatan demokrasi ditingkat lokal,
khususnya pembangunan legitimasi politik. Ini didasarkan pada asumsi bahwa
kepala daerah terpilih memiliki mandat dan legitimasi yang kuat, karena
mendapat dukungan suara oleh rakyat secara langsung.4 Pemilihan kepala
daerah langsung merupakan perluasan paritsipasi partai politik rakyat dalam
menentukan figur pemimpinya sebagai perwujudan kedaulatan rakyat sehingga
lahir pemimpin daerah yang sesuai dengan harapan dan aspirasi rakyat serta
memiliki legitimasi politik yang kuat. Itu sebabnya, diperlukan figur kepala
daerah wakil kepala daerah yang mampu membawa daerahnya ke arah
perkembangan yang inovatif, berwawasan ke depan, dan siap melaksanakan
perubahan yang lebih baik bagi kepentingan daerah yang dipimpinnya.5
Pelaksanaan pilkada masih sering menimbulkan sengeketa dengan adanya
pelanggaran yang merusak sistem dan tatanan demokrasi yang menimbulkan
perselisihan hasil pemilu. Sengketa pemilu merupakan rangkaian penyelesaian
dan pemulihan atas terjadinya pelanggaran pemilu dan pelanggaran pemilu
dapat terjadi sejak perencanaan, persiapan, tahapan hingga perhitungan suara
hasil pemilu. Pelanggaran dapat berupa pelanggaran administrasi dan
pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi berlangsung di seputar
pemenuhan hak setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pemilu baik
sebagai pemilih maupun untuk dipilih, baik calon perorangan maupun partai
politik.6
Rangkaian pelanggaran, baik pelanggaran administrasi, maupun
pelanggaran pidana memiliki derajat kesalahan dan implikasi yang berbeda dari
penyelenggaraan pemilu. Berbagai bentuk pelanggaran yang terjadi dalam
pelaksanaan pemilukada antara lain berupa manipulasi suara, praktik politik
uang (membayar pemilih/membeli suara) intimidasi fisik/non fisik, politisasi
birokrasi (mobilisasi pejabat birokrasi dan PNS), keberpihakan dan kelalaian
penyelenggara, dan lain-lain. Masalah fundamental yang paling berbahaya
adalah ketika

4 Silalahi Wilma ,Op.Cit., h.9.


5 Janpatar Simamora, Eksistentsi Pemilukada Dalam Rangka Mewujudkan Pemerintahan Daerah Yang Demokratis, Jurnal
Mimbar Hukum Volume 23, Nomor 1, Februari 2011, h.1-236.
6 Firdaus, Penyelesaian Sengketa Pemilu Sebagai Upaya Memulihkan Kepercayaan Dan Memperkuat Legitimasi
Pemerintahan Demokrasi, Jurnal Univeritas Sultan Ageng Tirtayasa , Ilmu Hukum Volume 8 No 2, April-Juni 2014
4

publik meragukan hasil pemilu. Selain dapat mendeligitimasi juga dapat


menimbulkan sikap antipati terhadap pemerintahan yang terpilih. Bahkan lebih
jauh dapat mengganggu stabilitas sosial, politik, dan pemerintahan. 7 Hal inilah
yang bisa timbul dalam perselisihan hasil pemilu atau pemilukada, sehingga
diperlukanlah mekanisme untuk menyelesaikan sengketa pemilu tersebut.
Perselisihan hasil pemilu masih sering terjadi di berbagai daerah, seperti
halnya terjadi perselisihan hasil pemilu pada pilkada di provinsi Kalimantan
Selatan yang diputuskan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
124/PHP.GUB-XIX/2021 dimana putusan tersebut berisi keputusan Mahkamah
Konstitusi,dengan adanya beberapa pelanggaran pada pilkada yang dilakukan
oleh pertahana.
Pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan
dimulai sejak tanggal 15 Juni 2020, dengan berpedoman pada Peraturan Komisi
Pemilihan Umum yang mengatur tentang Tahapan, Program dan Jadwal
Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil
Bupati, dan/atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2020. Dicalonkannya 2
kandidat yaitu H. Sahbirin Noor, S.Sos dan H. Muhidin, dengan pasangan calon
nomor urut 1, dan pasangan calon nomor urut 2 yaitu Prof. H. Denny Indrayana,
S.H., LL.M., Ph.D dan Ph.D. – Drs. H. Difriadi . Setelah diumumkannya hasil
pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Pemohon (Pasangan calon nomor urut
2 Denny Indrayana- Difriadi) merasa tidak puas atas hasil yang dikeluarkan oleh
KPU dan merasa ada kecurangan yang dilakukan oleh pihak terkait (Pasangan
calon nomor 1 Sahbirin Noor-Muidin), maka dari itu pemohon mengajukan
permohonan ke Mahkamah Konstitusi pada hari Selasa, 22 Desember 2020.
Dalam putusan Mahkamah Konstitusi nomor 124/PHP.GUB-XIX/2021,
pemohon mengajukan keberatan atas hasil pemilihan umum Gubernur dan
Wakil Gubernur karena ada pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh Paslon 1 ,
dan Pemohon dalam permohonannya mendalilkan pada pokoknya yaitu:
1. Penyalahgunaan program tandon air covid-19 untuk kampanye.
2. Penyalahgunaan tagline “Bergerak” pada program-program Pemerintah
Provinsi Kalimantan Selatan yang kemudian menjadi tagline kampanye
Pihak Terkait.
3. Penyalahgunaan bantuan sosial covid-19 untuk kampanye Pihak Terkait.
4. Adanya politik uang yang dilakukan dengan strategi tandem dengan
Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Banjar.
5. Kehadiran Pemilih 100% di24 TPS diKecamatan Binuang, Kabupaten Tapin.
6. Adanya pembukaan kotak surat oleh PPK di Kecamatan Banjarmasin Selatan,
Kota Banjarmasin.
7. Adanya penggelembungan suara di Kabupaten Banjar.

7 Hamdan Zoelva, Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi,
Volume 10, Nomor 3, September 2013
5

Untuk mengatasi persoalan perselisihan hasil pemilukada tersebut maka


sesuai dengan Pasal 24C ayat (1) UUD NRI 1945 disebutkan bahwa Mahkamah
Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final yang salah satunya adalah untuk menyelesaikan
sengketa hasil Pemilu.
Setelah melalui proses di Mahkamah Konstitusi maka terhadap perselisihan
hasil pemilukada Kalimantan Selatan keluar putusan Mahkamah Kontitusi
Nomor 124/PHP.GUB-XIX/2021 tentang perselisihan hasil pemilihan
Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimatan Selatan yang isinya adalah Pemohon
menggugat terkait hasil perhitungan suara yang telah ditetapkan oleh KPU
dalam Pemilihan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan
dengan tujuan untuk membuktikan adanya kecurangan pemilukada yang
dilakukan. Yang pada akhrinya diselesaikan oleh Mahkamah Kontitusi dengan
melakukan Pemungutan Suara Ulang di 6 Kecamatan yaitu Kecamatan
Banjarmasin, Kecamatan Sambung Makmur, Kecamatan Aluh-Aluh, Kecamatan
Martapura, Kecamatan Mataraman, dan Kecamatan Astambul (Kabupaten
Banjar) dan di 24 TPS di Kecamatan Binuang di Kabupaten Tapin, yaitu TPS 1,
TPS 2, TPS 3, TPS 6, TPS 8 Desa
Tungkap, TPS 1, TPS 6, TPS 8, TPS 12, TPS 13, TPS 14, TPS 16, TPS
18 Desa Binuang, TPS 5, TPS 7, TPS 10 Desa Raya Belanti, TPS 1,
TPS 2, TPS 3, TPS 4, TPS 5 Desa Pualam Sari, TPS 2 Padang Sari, TPS 1 dan TPS 3
Desa Mekarsari.

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dibuat rumusah
masalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi pokok perselisihan pemilukada Kalimantan Selatan secara
yuridis berdasarkan putusan nomor 124/PHP.GUB- XIX/2021?

C. Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsional adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep
satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka
konsep ini gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang
lebar tentang suatu topik yang akan dibahas, maka diperlukan definisi
operasional mengenai istilah-istilah berikut:
1. Pemilu
Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.15

14 Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Buku Pedoman Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa, (Jakarta: Universitas
Trisakti, 2015), h. 9.
6

2. Pemilukada
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.16
3. Gubernur
Gubernur adalah penyelenggara pemerintahan daerah provinsi berkedudukan
sebagai kepala daerah provinsi dan wakil pemerintah pusat di daerah dan
bertanggung jawab kepada presiden.
4. Wakil gubernur
Wakil Gubernur adalah jabatan politik pasangan dari Gubernur yang berada di
wilayah otonomi provinsi dan merupakan wakil dari pemerintah pusat.
5. Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut
Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara
langsung dan demokratis.17
6. Calon Gubernur adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik,
gabungan partai politik, atau perseorangan yang mendaftar atau didaftarkan
di Komisi Pemilihan Umum Provinsi.18
7. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 19
8. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu Lembaga tinggi negara pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
diberikan kewenangan untuk megadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusaanya bersifat final dan mengikat untuk menguji Undang- Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara kewenangannya
diberika oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.20
9. Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga
penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri
yang bertugas melaksanakan pemilihan umum.21
10. Badan Pengawas Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Bawaslu adalah
lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bertugas mengawasi
penyelenggaraan pemilihan umum di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. 22

15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pasal 1 Angka 1.
16 Ibid, Pasal 1 angka 2.
17 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Pasal 1
angka 1.
18 Ibid, Pasal 1 angka 3
7

11. Sengketa (perselisihan) hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan serta
Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
Dalam hal terjadi sengketa hasil pemilu, maka lembaga yang berwenang
menyelesaikannya adalah Mahkamah Konstitusi (MK).
12. Penyelenggaraan Pemilu adalah pelaksanaan tahapan Pemilu yang
dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu.

19 Ibid., Pasal 1 angka 5.


20 Samsul Wahidin, Mengawasi Pemilihan Umum Kepala Daerah, (Yogyakarta: 2008), h.57.
21Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015, Op.Cit., Pasal 1 angka 8.
22 Ibid, Pasal 1 angka
8

BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Pokok Perselisihan Pemilukada Kalimantan Selatan secara Yuridis
Berdasarkan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 124/ PHP.GUB-
XIX/202.
Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu bentuk nyata perwujudan
demokrasi dalam pemerintahan di daerah. Namun demikian, implementasi di
lapangan masih sering menunjukkan adanya fenomena yang merusak citra
pemilihan kepala daerah itu sendiri seperti money politics, ketidaknetralan
aparatur dan penyelenggara, kecurangan berupa pelanggaran kampanye dan
penggelembungan suara, serta penyampaian pesan-pesan politik yang
bernuansa sektarian yang berujung pada retaknya bingkai harmonisasi
kehidupan masyarakat. Ketidaksiapan dan ketidakdewasaan para kandidat dan
pendukungnya untuk mensyukuri kemenangan dan menerima kekalahan yang
sering diwujudkan dalam bentuk aksi-aksi yang menghalalkan segala cara, telah
memicu konflik dan anarkisme massa di berbagai daerah.70
Penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menurut A.
Hafidz Anshary, terdapat cukup banyak masalah yang sering kali memengaruhi
proses penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota tersebut.
Masalah-masalah tersebut antara lain: pertama, masalah regulasi. Ada beberapa
Pasal didalam UU yang tidak mudah dilaksankan. Disamping itu, ada pula Pasal-
Pasal yang tidak sinkron antara UU yang satu dengan UU yang lain. Misal,
masalah sumber pemutakhiran data pemilih. UU 32/2004 jo. UU 12/2008
berbeda dengan UU 22/2007.
Kedua, masalah anggaran. Anggaran pemilukada yang bersumber dari APBD
banyak menimbulkan masalah dan sangat memengaruhi proses pelaksanaan
pemilukada di beberapa daerah, bahkan jadwal tahapan terpaksa harus berubah
karena problem ini. Masalah yang umum terjadi terkait dengan anggaran ini
antara lain: keterlambatan persetujuan, jumlah yang tidak sesuai dengan
kebutuhan, dan kesulitan pencairan dengan berbagai alasan.

70 Silalahi Wilma, Op.Cit., h.113


9

tahapan terpaksa harus berubah karena problem ini. Masalah yang umum
terjadi terkait dengan anggaran ini antara lain: keterlambatan persetujuan,
jumlah yang tidak sesuai dengan kebutuhan, dan kesulitan pencairan dengan
berbagai alasan.
Ketiga, masalah partai politik. Problem yang terjadi antara lain adalah
kepengurusan partai yang lebih dari satu, pemecatan pengurus daerah,
pengusulan calon yang lebih dari satu, perbedaan pasangan calon yang diusung
antara pengurus parpol di daerah dengan pengurus pusatnya, pergantian
pasangan calon yang diusung di detik- detik terakhir masa pendaftaran atau di
penghujung masa penyerahan perbaikan kelas.
Keempat, masalah persyaratan calon. Problem yang ditemukan antara lain
adalah ijazah yang tidak benar atau palsu, pemeriksaan kesehatan yang
dipersoalkan, dukungan ganda untuk calon perseorangan, dan dukungan fiktif.
Kelima, masalah integritas penyelenggara pemilu. Masalah yang dilaporkan
antara lain adalah penyelenggara yang tidak netral, penyelenggara yang tidak
profesional, dan penyelenggara yang terlibat dalam konflik kepentingan.
Keenam, masalah putusan peradilan yang berbeda atau melewati tahapan.
Misal, perbedaan antara putusan PTUN dengan MK, putusan Pengadilan Negeri
atau PTUN sesudah semua proses tahapan pemilukada berakhir dan calon
terpilih sudah dilantik. Tidak hanya penyelenggaraan pemilukada saja yang
terdapat cukup banyak masalah, perselisihan hasil pemilukada pun masih
sering terjadi yaitu perselisihan antara pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah terhadap KPU Provinsi dan atau/ KPU Kabupaten/Kota dan
peserta pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan. 71
Perselisihan hasil dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah tidak dapat
dihindarkan, walaupun regulasi yang mengatur mulai dari pendaftaran hingga
pemungutan hasil secara nasional oleh KPU. Umumnya Perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah disebabkan oleh faktor-faktor:
1. Peserta pemilihan kepala daerah memperoleh kewenangan dengan tidak
sehat, sehingga menghasilkan pemimpin yang mempunyai political greed,
pemimpin yang tidak bertanggung jawab, lebih mengutamakan kepentingan
pribadi, kelompok, atau partai di atas kepentingan masyarakat;
2. Moral pragmatisme yang dimiliki oleh penyelenggara pemilihan kepala
daerah, peserta pemilihan kepala daerah, aparataur dan masyarakat;
3. Politisasi birokarsi, melibatkan ASN, mempergunakan kekuasaan atau
jabatannya sebagai peserta pemilihan kepala daerah;
4. Radikalisme dan anarkisme
5. Mental tidak siap kalah, sehingga berusaha mencari jalan penyelesaian;
6. Calon petahana (incumbent) menyalahgunakan kekuasaan, intimidasi
terhadap pendukung pesaingnya, melakukan mutase jabatan terhadap ASN
yang tidak mendukung.

71 Ibid., h. 100
10

Perselisihan Hasil Pemilu masih sering terjadi dibeberapa daerah seperti


pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur diKalimantan Selatan. Dalam hal
ini Pemohon telah mengajukan gugatan dengan mengajukan berbagai bukti
mengenai pelanggaran- pelanggaran yang dilakukan oleh pihak terkait dan
disanggah oleh Pihak Termohon dan Pihak Terkait, dengan melaporkan 7
(tujuh) laporan ke Mahkamah Konstitusi , dengan laporan sebagai berikut:
1. Penyalahgunaan Program Tandon Air Covid-19 Untuk Kampanye.
Pada laporan pertama, Pemohon melaporkan bahwa pihak terkait telah
memanfaatkan pengadaan tandon air untuk cuci tangan dengan cara
mempolitisasi bantuan Covid-19 dengan modus penyematan citra diri
pada tandon-tandon air berupa Foto Pihak Terkait , Identitas politik Pihak
Terkait dan Alat Peraga Kampanye Pihak Terkait yang berasal dari dana
APBD Provinsi Kalimantan.
Jika dilihat dari uraian laporan permohonan Pemohon diatas bahwa
penyalahgunaan program tandon air covid-19 merupakan pelanggaran
terhadap Pasal 71 ayat (3) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang
mengatur sebagai berikut:
“(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan
Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan,
program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah
satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain
dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan
calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih”.72

Tindakan di atas telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 71 ayat (3)


yaitu:
1) Gubernur atau Wakil Gubernur: H. Sahbirin Noor (Petahana)
2) Dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan:
Petahana menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan berupa
tandon air Covid-19 dengan dilekatkan citra diri pribadi pada
tandon-tandon air berupa Foto Pihak Terkait, Identitas politik Pihak
Terkait dan Alat Peraga Kampanye Pihak Terkait.

3) Menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon: Pemohon


menggunakan tandon air covid-19 dengan modus penyematan citra
diri pada tandon-tandon air berupa Foto Pihak Terkait , Identitas
politik Pihak Terkait dan Alat Peraga
Kampanye Pihak.

72 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Pasal 71 ayat (3).
11

Jika fakta hukum tersebut benar terjadi maka sudah seharusnya Petahana
(Paslon 1) mendapatkan sanksi pembatalan (diskualifikasi) sebagai Paslon
Pilgub Kalsel 2020, seperti yang ditegaskan pada pasal 71 ayat (5) yaitu: “(5)
Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur Bupati atau Wakil Bupati, dan
Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut
dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau
Kabupaten/Kota.
Dalam dalil Pemohon tersebut Termohon memberi sanggahan bahwa
Termohon belum pernah menerima laporan atau rekomendasi dari Bawaslu
Provinsi Kalimantan Selatan terkait dengan tuduhan penyalahgunaan
penyediaan tandon air. Seharusnya kalau benar Pihak Terkait melakukan
penyalahgunaan program tandon air Covid-19, Pemohon seharusnya
mengajukan permasalahan tersebut ke Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan
dan meminta agar Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan menerapkan
penanganan laporan berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan
Umum Nomor 8 Tahun 2020. Apabila laporan Pemohon memenuhi syarat
formil dan materiil, seperti yang ditegaskan pada pada pasal 9 ayat (4) dan
(5) Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2020 yaitu:
(4) “Syarat formil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. Identitas pelapor;
b. Nama dan alamat/domisili terlapor;
c. Waktu penyampaian pelaporan tidak melebihi ketentuan paling
lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak diketahuinya dan/atau
ditemukannya dugaan pelanggaran; dan
d. Kesesuaian tanda tangan dalam formulir Laporan dengan kartu
identitas.
(5) Syarat materil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf meliputi:
a. Waktu dan tempat kejadian dugaan pelanggaran;
b. Uraian kejadian dugaan pelanggaran; dan
c. Bukti.73”

Tindakan selanjutnya adalah membentuk tim kajian yang di bentuk oleh


Bawaslu Kalimantan Selatan dengan melakukan klarifikasi terhadap saksi-
saksi dan meminta keterangan ahli yang berkaitan dengan pokok perkara.
Dan hasil kajian tersebut akan menjadi rekomendasi bagi KPU untuk
memeriksa dan memutus dugaan pelanggaran pemilihan sebagaimana
diatur dalam Pasal 140 ayat (1) Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2014
tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang menegaskan bahwa
“ KPU provinsi dan/atau KPUKabupaten/Kota memeriksa dan memutus
pelanggaran administrasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 139 ayat (2)
paling lama 7 (tujuh) hari sejak rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau
Panwaslu Kabupaten/Kota diterima.
Apabila laporan Pemohon tidak ditindaklanjuti oleh Bawaslu Kalimantan
Selatan artinya permohonan Pemohon tidak memenuhi syarat formil dan
materiil dalam pengajuan laporan, jika memang permasalahannya karena
12

laporan tersebut tidak memenuhi syarat formil dan materiil, maka Pemohon
sebaiknya melengkapi persyaratan pengajuan laporan dan tidak berusaha
untuk menyalahkan pihak lain. Akan tetapi sebaliknya apabila persyaratan
pengajuan laporan sudah lengkap dan tidak dilanjuti oleh Bawaslu maka
patut diduga adanya pelanggaran kode etik oleh Bawaslu Kalimantan
Selatan. Maka dari itu Termohon tidak bisa dilibatkan karena keterlibatan
Termohon baru timbul apabila ada rekomendasi pelanggaran administrasi
pemilihan dari Bawaslu Kalimantan Selatan berdasarkan mekanisme
Peraturan Badan Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2020 Tentang
Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali kota.
Pihak Terkait menguatkan sanggahan Termohon kalau pemberian
tandon air tersebut bukan berasal dari dana APBD Provinsi Kalimantan
Selatan sebagaimana yang dituduhkan oleh Pemohon, melainkan CSR dari
perusahaan-perusahaan yang beroperasi dan berproduksi di wilayah
Kalimantan Selatan, sebagaimana laporan tersebut disampaikan oleh PT.
Wahana Baratama Mining dalam Surat No. 3255/KTT/WBM/III/2020
tertanggal 28 Maret 2020 tentang Pemberitahuan Penyampaian Tindak
Lanjut Pelaksanaan Aksi Tanggap Darurat Penanganan Covid-19. Pada
tanggal 8 Januari 2021.
Setelah dilakukan berbagai proses verifikasi dan klarifikasi serta kajian-
kajian mendalam, Bawaslu RI telah memutuskan bahwa Laporan Pemohon
dengan nomor register 025/Reg/LP/PG/RI/ 00.00/I/2021, tidak dapat
ditindaklanjuti, dengan alasan pelanggaran Terlapor (Pihak Terkait) tidak
terbukti. Maka dari itu sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (3) UU
10/2016 tentang Pilkada yang berbunyi “ (3) Gubernur atau Wakil
Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota
dilarang menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah
sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal
penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon
terpilih” adalah tidak terbukti.
Jika disimpulkan apabila terjadi pelanggaran pada pasal 71 ayat (3)
terkait laporan atas dugaan penyalahgunaan tandon air covid-19, hal ini
seharusnya dilaporkan dahulu oleh pihak bawaslu, lalu Pemohon harus
memenuhi syarat formil materil, sesuai yang di

73 Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota, Pasal 9 ayat (4) dan (5).
13

tegaskan dalam pasal pasal 9 ayat (4) dan (5) Perbawaslu Nomor 8 Tahun
2020 dan setelah itu laporan tersebut akan ditindaklanjuti oleh KPU yang
berwenang karena keterlibatan Termohon baru timbul apabila ada
rekomendasi pelanggaran administrasi pemilihan dari Bawaslu Kalimantan.
Bahwa memang nyatanya laporan tandon air ini tidak dilaporkan ke
Bawaslu oleh Pemohon terkait dugaan penyalahgunaan tandon air covid-19
dengan menggunakan dana APBD, dan Setelah dilakukan berbagai proses
verifikasi dan klarifikasi serta kajian-kajian mendalam Permohonan
Pemohon tidak dapat ditindaklanjuti karena permohonannya tidak
berdasar/tidak terbukti.

2. Penyalahgunaan Tagline “Bergerak” Pada Program-Program


Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan Yang Kemudian Menjadi
Tagline Kampanye Pihak Terkait.
Laporan pelanggaran Kedua oleh Pemohon yaitu mengenai penggunaan
kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan pasangan calon
nomor urut 1 yaitu Pihak Terkait melalui publikasi penyalahgunaan tagline
“Bergerak”. Menurut Pemohon Pihak Terkait melakukan penyalahgunaan
tagline “Bergerak” pada program-program Pemerintah Provinsi Kalimantan
Selatan yang kemudian menjadi tagline kampanye Pihak terkait dan
seringkali disandingkan dengan “Paman Birin”. Sehingga menurut Pemohon
benar-benar secara spesifik mengarah ke citra diri Petahana sebagai upaya
persiapan kampanye.
Hal ini sama saja seperti dalil laporan Pemohon terkait dugaan mengenai
penyalahgunaan tandon air Covid-19 bahwa jika benar terbukti
penyalahgunaan tagline “Bergerak” dilakukan oleh Pihak Terkait
sebagaimana ditunjukkan dalam uraian di atas, dalam hal ini juga merupakan
pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat (3) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang
Pilkada yang mengatur sebagai berikut:“(3) Gubernur atau Wakil Gubernur,
Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang
menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan
atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di
daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan
pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih”.74

Tindakan-tindakan di atas telah memenuhi unsur-unsur dalam Pasal 71


ayat (3) sebagai berikut:
1) Gubernur atau Wakil Gubernur: H. Sahbirin Noor (Petahana)
2) Dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan:
Petahana menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan untuk
menyisipkan tagline kampanye “Bergerak” dalam program dan
kegiatan Humas Pemprov Kalsel yang dilakukan secara terstruktur,
sistematis, dan masif. Tagline “Bergerak” seringkali disandingkan
dengan “Paman Birin”, sehingga benar-benar secara spesifik
mengarah ke citra diri Petahana sebagai upaya persiapan kampanye.
3) Yang merugikan atau menguntungkan salah satu pasangan calon:
Dan Pemohon menyatakan bukan hanya tersebar di seluruh
wilayah Kalsel, tagline “Bergerak” juga menggunakan semua media
14

sebagai alat kampanye seperti baliho, spanduk, billboard,


kendaraan, topi, kaos, gapura, posko siskamling, bahkan tangki air
Covid-19 tidak lepas dari tagline “Bergerak”.
Jika fakta hukum mengenai penyalahgunaan tagline tersebut benar terjadi
maka sudah seharusnya Petahana (Paslon 1) mendapatkan sanksi
pembatalan (diskualifikasi) sebagai Paslon Pilgub Kalsel 2020, seperti yang
ditegaskan pada pasal 71 ayat (5) yaitu: “(5) Dalam hal Gubernur atau Wakil
Gubernur Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota
selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh
KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Mengenai dalil Laporan Penyalahgunaan tagline “Bergerak” menurut
sanggahan Termohon, hal ini sama saja seperti dalil laporan Pemohon terkait
dugaan mengenai penyalahgunaan tandon air Covid-19 yaitu tidak diajukan
oleh Pemohon ke Bawaslu, karena Termohon tidak pernah menerima laporan
maupun rekomendasi dari Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan terkait
adanya dugaan penyalahgunaan tagline ‘Bergerak’. Maka dari itu seharusnya
Jika terbukti Pihak Terkait melakukan penyalahgunaan wewenang,
seharusnya Pemohon mengajukan kepada Bawaslu Provinsi Kalimantan
Selatan atas dugaan pelanggaran administrasi Pemilihan.
Jika laporan Pemohon yang diajukan oleh Bawaslu memenuhi syarat
formil dan materiil dalam pengajuan laporan maka laporan tersebut akan
menjadi rekomendasi bagi Termohon/KPU untuk memeriksa dan memutus
dugaan pelanggaran pemilihan sebagaimana diatur dalam Pasal 140 ayat (1)
Undang-undang RI Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur,
Bupati, dan Walikota, yang menegaskan bahwa “ KPU provinsi dan/atau
KPUKabupaten/Kota memeriksa dan memutus pelanggaran administrasi
sebagaimana dimaksud dalam pasal 139 ayat (2) paling lama 7 (tujuh) hari
sejak rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau Panwaslu Kabupaten/Kota
diterima”.
Menurut Pihak Terkait pada faktanya secara resmi Pihak Terkait tidak
pernah menggunakan kata “bergerak” dalam setiap Alat Peraga Kampanye
yang digunakan. pada faktanya media yang disebutkan Pemohon berupa
baliho, spanduk, billboard, kendaraan, topi, kaos, gapura, posko siskamling,
bahkan tangki air Covid-19 bukanlah Alat Peraga Kampanye milik Pihak
Terkait. Semua media yang disebutkan tersebut murni milik Pemerintah
Provinsi

74 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Op.Cit., Pasal 71 ayat (3).


15

Kalimantan Selatan sehingga wajar apabila pengadaannya menggunakan


APBD Provinsi Kalimantan Selatan. Terlebih lagi Pihak Terkait selaku
Gubernur tidak pernah memerintahkan apalagi sampai menyalahgunakan
kewenangan untuk mengadakan media atau alat-alat sebagaimana
dimaksud.
Jika disimpulkan sama seperti penyalahgunaan tandon air covid- 19
apabila terjadi pelanggaran pada pasal 71 ayat (3) terkait laporan atas
dugaan penyalahgunaan tagline “Bergerak” , hal ini seharusnya dilaporkan
dahulu oleh pihak bawaslu, yang selanjutnya Pemohon harus memenuhi
syarat formil materil dan setelah itu laporan tersebut akan ditindaklanjuti
oleh KPU yang berwenang karena keterlibatan Termohon baru timbul
apabila ada rekomendasi pelanggaran administrasi pemilihan dari Bawaslu
Kalimantan. Dan Pihak Terkait bisa juga memberikan bukti kepada pihak
Bawaslu bahwa apa yang dituduhkan Pemohon adalah tidak benar karena
Alat Peraga Kampanye milik Pihak Terkait. Semua media yang disebutkan
tersebut murni milik Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan sehingga
wajar apabila pengaaannya menggunakan APBD Provinsi Kalimantan
Selatan

3. Penyalahgunaan Bantuan Sosial Covid-19 Untuk Kampanye Pihak


Terkait.
Laporan ketiga yang didalilkan Pemohon yaitu bahwa Penyebaran
politisasi bansos oleh Pihak Terkait dengan cara melakukan modus
pelekatan citra diri pada beras sembako, berupa foto petahana yang mirip
dengan alat peraga kampanye, identitas politik petahana berupa nama
sapaan “Paman Birin” yang ada pada stiker bungkus beras maupun di
banyak bakul sembako tersebut, dan Tagline “Banua Bergerak” yang identik
dengan Alat Peraga, Bahan, dan Media Sosial Kampanye.
Hal ini sama saja seperti dalil laporan permohonan Pemohon terkait
dugaan mengenai penyalahgunaan tandon air Covid-19, dan penyalahgunaan
tagline “Bergerak” , bahwa jika benar terbukti Pihak Terkait melakukan
penyalahgunaan bansos covid-19 sebagaimana ditunjukkan dalam uraian di
atas, maka dalam hal ini juga merupakan pelanggaran terhadap Pasal 71 ayat
(3) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur sebagai
berikut:
“(3) Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan
Walikota atau Wakil Walikota dilarang menggunakan kewenangan,
program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah
satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain
dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal penetapan pasangan
calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih”.75

Dengan unsur-unsur dalam Pasal 71 ayat (3) sebagai berikut:


1) Gubernur atau Wakil Gubernur: H. Sahbirin Noor (Petahana)
2) Dilarang menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan:
Petahana menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan dengan
cara melakukan modus pelekatan citra diri pada beras sembako,
berupa foto petahana yang mirip dengan alat peraga kampanye,
16

identitas politik petahana berupa nama sapaan “Paman Birin” yang


ada pada stiker bungkus beras maupun di banyak bakul sembako
tersebut, dan Tagline “Banua Bergerak” yang identik dengan Alat
Peraga, Bahan, dan Media Sosial Kampanye.
3) Yang merugikan atau menguntungkan salah satu pasangan calon:
Bansos tersebut dibungkus yang diembel-embeli dengan jargon-
jargon atau simbol-simbol politik dan Pemberian bansos tidak
mengatasnamakan pemerintah, tetapi atas nama langsung
pribadinya.

Jika fakta hukum mengenai penyalahgunaan bansos covid-19 tersebut


benar terjadi maka sudah seharusnya Petahana (Paslon 1) mendapatkan
sanksi pembatalan (diskualifikasi) sebagai Paslon Pilgub Kalsel 2020,
seperti yang ditegaskan pada pasal 71 ayat (5) yaitu: “(5) Dalam hal
Gubernur atau Wakil Gubernur Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota
atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut dikenai sanksi
pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau Kabupaten/Kota.
Mengenai dalil Laporan terkait penyalahgunaan bansos covid-19
menurut sanggahan Termohon, hal ini sama saja seperti dalil laporan
Pemohon terkait dugaan mengenai penyalahgunaan tandon air Covid-19
dan penyalahgunaan tagline “Bergerak” yaitu tidak diajukan oleh Pemohon
kepada pihak Bawaslu, karena Termohon tidak pernah menerima laporan
maupun yaitu tidak diajukan oleh Pemohon ke Bawaslu, tetapi langsung
mengajukan permasalahan ini ke Mahkamah Konstitusi. Seharusnya jika
memang terjadi pelanggaran Pemohon melaporkan dahulu ke Bawaslu,
seperti yang di jelaskan pada Pasal 5 ayat (1) dan (2) Perbawaslu Nomor 8
Tahun
2020 yaitu:
Pasal 5
(1) Laporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 disampaikan dengan
cara:
1. Menyampaikan Laporan di kantor Sekretariat Jenderal Bawaslu,
Sekretariat Bawaslu Provinsi, Sekretariat Bawaslu
Kabupaten/Kota, dan Sekretariat Panwaslu Kecamatan sesuai
dengan tempat terjadinya dugaan pelanggaran; atau

2. Menyampaikan Laporan melalui sarana teknologi informasi


Laporan dugaan pelanggaran Pemilihan.
Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a disampaikan
secara langsung kepada Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu
Kabupaten/Kota, atau Panwaslu Kecamatan.76

75 Ibid., Pasal 71 ayat (3)


76 Peraturan Badan Pengawas Pemilu, Op.Cit., Pasal 5 ayat (1) dan (2).
17

Apabila Bawaslu tidak melaksanakan tugasnya yang bertentangan


dengan peraturan perundang-undangan, tentunya hal itu adalah bentuk
pelanggaran kode etik yang harus diperiksa dan diadili oleh Dewan
Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Faktanya juga perolehan suara
Pemohon lebih tinggi dari Pihak Terkait di 8 Kabupaten/Kota dari 13
Kabupaten/kota yang ada di Kalimantan Selatan dengan total perolehan
suara Pihak Terkait 443.465, dan Pemohon dengan total perolehan suara
543.748.
Tetapi Pihak terkait memberi sanggahan mengenai Penyalahgunaan
bantuan sosial covid-19 untuk kampanye yang dikemukakan Pemohon.
Bahwa menurut Pihak Terkait Pemohon tidak dapat membedakan antara
bantuan pribadi yang sudah lama dilakukan sejak sebelum menjadi
gubernur dengan bantuan resmi pemerintahan, yang keduanya pun
dilakukan untuk bantuan akibat pandemi di luar tahapan kampanye.
Bantuan sosial merupakan program Pemerintah Provinsi Kalimantan
Selatan berdasarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara Dan Stabilitas
Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019
(COVID-19) Dan/Atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang
Membahayakan Perekonomian Nasional Dan/Atau Stabilitas Sistem
Keuangan (“Perppu 1/2020”), Peraturan Menteri Keuangan Nomor
38/PMK.02/2020, Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2020
tentang Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 Di Lingkungan
Pemerintah Daerah (“Permendagri 20/2020”). Bahwa bantuan yang
disalurkan oleh Dinas Sosial Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan, pada
faktanya adalah bantuan sosial resmi Pemerintah Daerah yang memiliki
kemasan resmi dari Bakul Purun yang bertuliskan “DINAS SOSIAL PROVINSI
KAL-SEL”.

Tetapi pada kenyataanya diberas tersebut terbukti sangat identik dengan


data diri pribadi Pihak Terkait sebagai berikut :

Yang artinya Pihak Terkait menggunakan kesempatan memegang


jabatnya untuk memanfaatkan moment dalam pembagian bansos yang
dijadikan alat pencitraan kampanye oleh Petahan itu untuk kepentingan
pribadi.
Jika disimpulkan sama seperti penyalahgunaan tandon air covid-
18

19 dan penyalahgunaan tagline “Bergerak” yaitu apabila terjadi pelanggaran


pada pasal 71 ayat (3) terkait laporan atas dugaan penyalahgunaan bansos
covid-19 , hal ini seharusnya dilaporkan dahulu oleh pihak bawaslu, yang
selanjutnya Pemohon harus memenuhi syarat formil materil dan setelah itu
laporan tersebut akan ditindaklanjuti oleh KPU yang berwenang karena
keterlibatan Termohon baru timbul apabila ada rekomendasi pelanggaran
administrasi pemilihan dari Bawaslu Kalimantan.

4. Politik Uang (Money Politic) Yang Di Tuduhkan Kepada Pihak Terkait


Dengan Tujuan Untuk Mempengaruhi Pemilih.
Laporan keempat , Adanya praktik money politic yang dilakukan dengan
strategi tandem dengan Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten
Banjar. Pemohon melaporkan adanya tindakan money politics yang
dilakukan dengan strategi tandem antara Pihak Terkait dengan Pasangan
Calon Bupati Banjar nomor urut 01 dan nomor urut 03.
Jika dilihat dari uraian laporan permohonan Pemohon jika benar Pihak
Terkait melakukan perbuatan money politic dengan tujuan mempengaruhi
pemilih, maka Pihak Terkait telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 73
ayat (1) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang mengatur sebagai
berikut:
“(1) Calon dan/atau tim Kampanye, dilarang menjanjikan dan/atau
memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi
Pemilihan dan/atau Pemilih”77
Jika dijabarkan sesuai dengan unsur-unsur dalam Pasal 73 ayat
(1) yaitu:
1. Gubernur atau Wakil Gubernur: H. Sahbirin Noor (Petahana)
2. menjanjikan atau memberikan uang:
Paslon Bupati Banjar Nomor Urut 1 melalui timnya memberikan uang
kepada pemilih agar memilih dirinya dan Paslon 1. Begitu juga
dengan Paslon Bupati Banjar Nomor Urut 3 juga memberikan uang
kepada pemilih agar memilih dirinya dan Paslon 1.

Jika fakta hukum mengenai praktik money politic tersebut benar terbukti
dan terjadi maka Petahana (Paslon 1) dapat dikenakan sanksi administrasi
sesuai yang ditegaskan pada Pasal 73 ayat (2) yaitu:

“Calon yang terbukti melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud


pada ayat (1) berdasarkan putusan Bawaslu Provinsi dapat dikenai
sanksi administrasi pembatalan sebagai pasangan calon oleh KPU
Provinisi atau KPU Kabupaten/Kota”
Termohon memberi sanggahan bahwa sama seperti permohonan
Pemohon mengenai penyalahgunaan penyalahgunaan tandon air,
penyalahgunaan tagline “Bergerak”, dan

77 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, Op.Cit.,Pasal 73 ayat (2)


19

penyalahgunaan bansos covid-19, yaitu Termohon tidak pernah menerima


laporan atau rekomendasi dari Bawaslu Kabupaten Banjar mengenai adanya
pelanggaran money politic dengan strategi tandem dan adanya spanduk yang
menunjukkan tandem Pihak Terkait dengan Paslon Bupati Banjar Nomor
urut 1 dan Pihak Terkait dengan Paslon Bupati Banjar Nomor Urut 3.
Sedangkan money politic adalah suatu pelanggaran yang seharusnya
dilaporkan kepada Bawaslu, namun terhadap dalil Pemohon tersebut,
Termohon tidak pernah mendapatkan rekomendasi dari Bawaslu Provinsi
Kalimantan Selatan yang membuktikan adanya dugaan pelanggaran
sebagimana yang didalilkan Pemohon terkait adanya money politic.
Seharusnya untuk menguatkan bukti terjadinya money politic oleh Pihak
Terkait, Pemohon pun harus memenuhi syarat materil sebagaimana
dimaksud pada ayat Pasal 9 ayat (5) UU Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2020
yang meliputi:
a. Waktu dan tempat kejadian dugaan pelanggaran;
b. Uraian kejadian dugaan pelanggaran; dan
b. Bukti.78
Pemohon dalam hal ini harus membuktikan waktu dan tempat kejadian
terjadinya money politic, uraian kejadinya seperti apa, dan bukti yang kuat
berupa uang atau materi terhadap dugaan money politic yang di tuduhkan
kepada Pihak Terkait dengan tujuan untuk memengaruhi Pemilih.
Menurut Pihak Terkait untuk menguatkan sanggahan Termohon, Pemohon
dalam dalil tersebut mengakui sendiri tidak dapat menguraikan secara detail
di mana, kapan, kepada siapa tim para Paslon tersebut melakukan money
politic sebagaimana yang dituduhkan oleh Pemohon. Hal demikian menjadi
bukti bahwa dalil pemohon tersebut hanya berdasarkan pada asumsi
semata dan merupakan dalil yang tidak berdasar yang serta-merta
menyimpulkan bahwa Pihak Terkait telah melakukan money politic tanpa
dasar bukti yang jelas.
Faktanya selama penyelenggaraan pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Kalimantan Selatan, tidak terdapat rekomendasi Bawaslu Provinsi
Kalimantan Selatan yang berkaitan dengan pelanggaran money politic.
Dengan demikian, dalil Pemohon mengenai dugaan pelanggaran Pasal 73
ayat (1) UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada yang berbunyi” (1) Calon
dan/atau tim Kampanye, dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang
atau materi lainnya untuk mempengaruhi Pemilihan dan/atau Pemilih ”.
adalah tidak berdasar dan tidak beralasan menurut hukum oleh karenanya
harus dikesampingkan.
Jika disimpulkan, praktik dugaan money politic oleh Pihak Terkait ini sama
seperti penyalahgunaan tandon air covid-19, penyalahgunaan tagline
“Bergerak”, dan penyalahgunaan bansos covid-19 yaitu apabila terjadi
pelanggaran pada pasal 73 ayat (1) terkait laporan atas dugaan money politic
, hal ini seharusnya dilaporkan dahulu oleh pihak Bawaslu, dan Pemohon
pun harus membuktinya dengan memenuhi syarat materil sebagaimana
dimaksud pada ayat Pasal 9 ayat (5) UU Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2020
yang meliputi:
20

a. Waktu dan tempat kejadian dugaan pelanggaran;


b. Uraian kejadian dugaan pelanggaran; dan
b. Bukti.
Pemohon harus bisa menjelaskan secara detail dan rinci , waktu dan
tempat kejadian terjadinya money politic, uraian kejadinya seperti apa, dan
bukti yang kuat berupa uang atau materi yang di
Dan setelah itu laporan tersebut akan ditindaklanjuti oleh KPU yang
berwenang karena keterlibatan Termohon baru timbul apabila ada
rekomendasi pelanggaran administrasi pemilihan dari Bawaslu Kalimantan
Selatan.

5. Kehadiran Pemilih 100% di24 TPS diKecamatan Binuang, Kabupaten


Tapin.
Laporan pelanggaran kelima, yaitu Pemohon melaporkan terdapat
banyak jumlah pemilih yang tidak sah pada puluhan TPS di Kecamatan
Binuang Kabupaten Tapin. Dalam pemilihan berlangsung Pemilih
menitipkan proses pencoblosan kepada pihak lain di TPS 1 Desa Banua
Padang Hilir Kecamatan Bungur, Kabupaten Tapin, yang dihadiri saksi
Pasangan Calon Nomor Urut 1 dan saksi Pasangan Calon Nomor Urut 2 .
TPS dengan kehadiran 100% tersebut, terdapat data-data orang yang
sudah meninggal, orang yang pindah ke luar kota, bahkan orang-orang yang
mengaku tidak menggunakan hak suaranya di sana yang jumlahnya lebih
dari 2 (dua) orang. Artinya, telah terdapat 2 (dua) orang atau lebih yang
secara tidak sah, yang memberikan hak suaranya pada TPS dengan
kehadiran 100% tersebut.

Jika benar terbukti terdapat banyak jumlah pemilih yang tidak sah
diKecamatan Binuang, Kabupaten Tapin maka pemungutan suara di TPS
tersebut dapat diulang. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 112 ayat (2)
huruf e UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pilkada yaitu:
“(2) Pemunugutan suara di TPS dapat diulang jika dari hasil penelitian
dan pemeriksaan Panwas Kecamatan terbukti terdapat 1 (satu)
atau lebih keadaan sebagai berikut :
e. Lebih dari seorang Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih,
mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS”79.

Termohon memberi sanggahan, bahwa dalil Pemohon mengenai adanya


Pemilih yang menitipkan proses pencoblosan kepada pihak lain adalah
benar terjadi di TPS 1 Desa Banua Padang Hilir Kecamatan Bungur,
Kabupaten Tapin, yang dihadiri saksi Pasangan Calon Nomor Urut 1 dan
saksi Pasangan Calon Nomor Urut 2.
Termohon juga menerima rekomendasi Bawaslu tertanggal 21 Desember
2020, bahwa terdapat Pemilih yang telah meninggal dunia pada TPS 1
Kelurahan Binuang sebanyak 1 (satu) orang dan TPS 2 Kelurahan Binuang
sebanyak 2 (dua) orang. Rekomendasi tersebut berupa Pelanggaran Kode
Etik kepada KPPS pada TPS 1 dan 2 Kelurahan Binuang dan telah selesai
21

ditindaklanjuti oleh KPU Kabupaten Tapin pada tanggal 9 Januari 2021.


Terjadinya 2 hal tersebut terkait penitipan suara kepada pemilih dan data-
data orang yang sudah meninggal tetap dipakai, merupakan suatu
Pelanggaran Kode Etik oleh KPPS, karena telah melanggar Pasal 11 huruf c
Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPPU Nomor 13 tahun 2012 Nomor
12 tahun 2012 dan Nomor 1 tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggaraan
Pemilihan Umum yang berbunyi “melakukan tindakan dalam rangka
penyelenggaraan Pemilu, menaati prosedur yang ditetapkan dalam
peraturan perundang-undangan”80 hal tersebut dilanggar oleh KPPS yang
nantinya akan menjadi wewenang KPU untuk menindaklanjuti.
Pihak terkait membantah atas dalil permohonan Pemohon , bahwa
Bahwa terkait dengan dalil Pemohon adanya pemilih yang menitipkan
proses pencoblosan kepada pihak lain, dan pemilih yang sudah meninggal
dunia yang berkaitan dengan kehadiran DPT 100 persen adalah tidak
berdasar dan harus dikesampingkan. Padahal sudah sangat jelas Pemohon
membuktikan bahwa kejadian tersebut terjadi di TPS 1 Desa Banua Padang
Hilir Kecamatan Bungur, Kabupaten Tapin dan TPS 1 Kelurahan Binuang.
Termohon pun sudah menindaklanjuti Permohonan Pemohon tersebut.
Jika disimpulkan, TPS Kecamatan Binuang, Kabupaten Tapin bisa
dilakukan pemungutan suara ulang sesuai dengan Pasal 112 ayat (2) huruf e
UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada yaitu:
“(2) Pemunugutan suara di TPS dapat diulang jika dari hasil penelitian
dan pemeriksaan Panwas Kecamatan terbukti terdapat 1 (satu)
atau lebih keadaan sebagai berikut:
d. Lebih dari seorang Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih,
mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS”.
6. Adanya Pembukaan Kotak Surat Oleh PPK di Kecamatan Banjarmasin.
Laporan pelanggaran keenam, ketika selesai Rapat Pleno Kecamatan
Banjarmasin Selatan, diketahui PPK Banjarmasin Selatan melakukan
pembukaan kotak suara yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
Hal ini bisa dilakukannya pemungutan suara ulang sesuai dengan Pasal
112 ayat (2) huruf a UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada yaitu: “
Pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan perhitungan
suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan”
Termohon, dalam hal ini KPU Kota Banjarmasin telah menindaklanjuti
Pelanggaran tersebut sebagai pelanggaran administratif sesuai dengan
Rekomendasi dari Bawaslu Kota Banjarmasin.

78 Peraturan Badan Pengawas Pemilu, Op.Cit., Pasal 9 ayat (5).

79 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Pasal 112 ayat (2).
80 Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPPU Nomor 13 Tahun 2012 Nomor 12 Tahun 2012 Dan Nomor 1 Tahun 2012
Tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pasal 11 Huruf e
22

7. Adanya Pembukaan Kotak Surat Oleh PPK di Kecamatan Banjarmasin.


Laporan pelanggaran keenam, ketika selesai Rapat Pleno Kecamatan
Banjarmasin Selatan, diketahui PPK Banjarmasin Selatan melakukan
pembukaan kotak suara yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan.
Hal ini bisa dilakukannya pemungutan suara ulang sesuai dengan Pasal
112 ayat (2) huruf a UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pilkada yaitu: “
Pembukaan kotak suara dan/atau berkas pemungutan dan perhitungan
suara tidak dilakukan menurut tata cara yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan”
Termohon, dalam hal ini KPU Kota Banjarmasin telah menindaklanjuti
Pelanggaran tersebut sebagai pelanggaran administratif sesuai dengan
Rekomendasi dari Bawaslu Kota Banjarmasin.
Pihak Terkait menanggapi bahwa kejadian tersebut telah diproses oleh
Bawaslu Kota Banjarmasin atas laporan Muhammad Isrof Parhani (Pelapor)
dengan pihak terlapornya adalah Fauzi, S.Pd. (Ketua PPK Banjarmasin
Selatan). atas laporan tersebut Bawaslu Kota Banjarmasin berkesimpulan
bahwa kejadian tersebut harus dilakukannya pemungutan suara ulang.

8. Adanya Penggelembungan Suara Di Kabupaten Banjar.


Laporan terakhir, Bahwa Pemohon mendalilkan telah terjadi
penggelembungan suara dengan modus Pemilih di luar DPT (DPPh dan
DPTb) yang tersebar di 6 Kecamatan di Kabupaten Banjar sehingga
menyebabkan kerugian bagi Pemohon dan menguntungkan Pihak Terkait.
Termohon membantah atas apa yang dituduhkan oleh Pemohon bahwa
selama proses pemungutan dan penghitungan suara serta rekapitulasi hasil
penghitungan perolehan suara, tidak terdapat keberatan saksi di TPS
dan/atau rekomendasi/tanggapan dari Panwas TPS, Panwaslu
Desa/Kelurahan, Panwaslu Kecamatan, Bawaslu Kabupaten, dan Bawaslu
Provinsi Kalimantan Selatan. Tetapi dalam hal ini Mahkamah Konstitusi
telah mencermati dengan saksama terhadap rangkaian fakta hukum yang
terungkap bahwa benar terjadi di beberapa TPS banyak Pemilih di luar DPT
yang hadir ke TPS dan menggunakan surat suara cadangan melebihi
ketentuan 2,5 % dari jumlah DPT. Selain itu, fakta hukum lain juga
membuktikan adanya surat pernyataan bertanggal 16 Februari 2021 dari
Komisioner KPU Kabupaten Banjar yang bernama Abdul Muthalib yang
menyatakan telah terjadi penambahan suara untuk Pihak Terkait sebanyak
5000 suara dan pengurangan suara untuk Pemohon yang dilakukan oleh
jajaran Termohon dengan cara melakukan penggantian surat suara
sebanyak 20 kotak suara di 5 kecamatan di Kabupaten Banjar yakni
Kecamatan Sambung
23

Makmur, , Kecamatan Mataraman, Kecamatan Astambul, Kecamatan


Martapura, Kecamatan Martapura Timur, dan Kecamatan Aluh-Aluh. [vide
bukti P-252]
Jika di kaitkan dengan Pasal 112 ayat (2) huruf d dan e UU Nomor 1
tahun 2014 tentang Pilkada hal ini bisa dilakukannya pemungutan suara
ulang, yaitu:
“(2) Pemunugutan suara di TPS dapat diulang jika dari hasil penelitian
dan pemeriksaan Panwas Kecamatan terbukti terdapat 1 (satu)
atau lebih keadaan sebagai berikut:
d. Lebih dari seorang Pemilih menggunakan hak pilih lebih dari
satu kali, pada TPS yang sama atau TPS yang berbeda; dan/atau
e. Lebih dari seorang Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih,
mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS”.

Karena terbukti telah terjadi penambahan suara untuk Pihak Terkait


sebanyak 5000 suara dan pengurangan suara untuk Pemohon yang
dilakukan oleh jajaran Termohon dengan cara melakukan penggantian surat
suara sebanyak 20 kotak suara. Maka dari itu Pemungutan Suara Ulang harus
di lakukan di 5 kecamatan Kabupaten Banjar yakni Kecamatan Sambung
Makmur, Kecamatan Mataraman, Kecamatan Astambul, Kecamatan
Martapura, Kecamatan Martapura Timur dan Kecamatan Aluh-Aluh.

E. Kesimpulan
Berdsarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Bahwa yang menjadi pokok permasalahan Perselisihan Hasil Pemilu
Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan berdasarkan gugatan
Pemohon ke Mahkamah Konstitusi adalah terdapat ada 7 (tujuh) laporan
pelanggaran yaitu :
a. Penyalahgunaan program tandon air covid-19 untuk kampanye
b. Penyalahgunaan tagline “Bergerak” pada program-program Pemerintah
Provinsi Kalimantan Selatan yang kemudian menjadi tagline kampanye
Pihak Terkait.
c. Penyalahgunaan bantuan sosial covid-19 untukkampanye Pihak Terkait.
d. Adanya politik uang yang dilakukan dengan strategi tandem dengan
Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Banjar.
e. Kehadiran Pemilih 100% di24 TPS diKecamatan Binuang, Kabupaten
Tapin.
f. Adanya pembukaan kotak surat oleh PPK di Kecamatan Banjarmasin
Selatan, Kota Banjarmasin.
g. Adanya penggelembungan suara di Kabupaten Banjar.
Berdasarkan gugatan tersebut setelah melalui proses peradilan di
Mahkamah Kontitusi keluar putusan Nomor 124/PHP.GUB- XIX/2021 yang
isinya adalah Pemohon menggugat terkait hasil perhitungan suara yang
telah ditetapkan oleh KPU dalam Pemilihan calon Gubernur dan Wakil
24

Gubernur Kalimantan Selatan. Tujuan gugatan tersebut adalah untuk


membuktikan adanya kecurangan
pemilukada yang dilakukan
Beberapa gugatan pelanggaran yang dilakukan oleh Pihak Terkait
tersebut harus dilaporkan terlebih dahulu kepada pihak Bawaslu agar bisa
ditindaklanjuti oleh Termohon/KPU. Karena keterlibatan Termohon baru
timbul apabila ada rekomendasi pelanggaran administrasi pemilihan dari
Bawaslu Kalimantan Selatan.

B. Saran
Bawaslu perlu meningkatkan efektivitas pengawasan dalam pelaksanaan
pemilukada sehingga tidak terjadi penyalahgunaan saat pemilu oleh Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan

Anda mungkin juga menyukai