A. Latar Belakang
Pemilihan Umum yang bisa disebut juga dengan “Political Market”
merupakan pasar politik tempat individu atau masyarakat berinteraksi
untuk melakukan kontrak sosial (perjanjian masyarakat) antara peserta
pemilihan umum (partai politik) dengan pemilih (rakyat) yang memiliki
hak pilih setelah terlebih dahulu melakukan aktifitas politik.1
Pemilihan umum merupakan sebuah sarana bagi rakyat untuk
berpartisipasi dalam menentukan arah penyelenggaraan pemerintahan.
Pelaksanaan pemilu disepakati untuk dilakukan langsung oleh rakyat,
berdasarkan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 hasil amandemen berbunyi
“Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut UUD“.
konsekuensi dari Pasal 1 ayat (2) ini adalah bahwa MPR sudah tidak lagi
memiliki kedudukan yang eksklusif sebagai satu-satunya instansi pelaku
pelaksana kedaulatan rakyat.
Pelaksanaan kedaulatan rakyat adalah rakyat itu sendiri yang
dilakukan sesuai dengan ketentuan UUD. Dengan demikian, antara
kedaulatan rakyat dengan hukum ditempatkan sejajar dan berdampingan
sehingga menegaskan dianutnya prinsip “constitutional democracy” yang
pada pokoknya tidak lain adalah negara hukum yang demokratis. Maka
untuk menjamin Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan
secara demokratis sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 ayat (4) UUD
NRI Tahun 1945 maka kedaulatan rakyat serta demokrasi dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat wajib dihormati sebagai syarat utama
pelaksanaan pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Sehingga
pelaksanaan demokrasi konstitusional dapat terselenggara sesuai dengan
prinsip demokrasi yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. 2
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang
No 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang
berbunyi:
“Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana
pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung,
umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.”3
1 Janedjri M. Gaffar, Politik Hukum Pemilu, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012), h.56.
2 Silalahi Wilma, Demokrasi, Pilkada, dan Penyelesaian Perselisihan Hasil Pilkada di Mahkamah Konstitusi (Depok:
Rajawalin Pers, 2020), h.9.
3Undang-Undang No 15 Tahun 2011 Tentang Penyelengara Pemilu Pasal 1 ayat (1).
3
7 Hamdan Zoelva, Problematika Penyelesaian Sengketa Hasil Pemilukada Oleh Mahkamah Konstitusi, Jurnal Konstitusi,
Volume 10, Nomor 3, September 2013
5
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka dapat dibuat rumusah
masalah sebagai berikut:
1. Apa yang menjadi pokok perselisihan pemilukada Kalimantan Selatan secara
yuridis berdasarkan putusan nomor 124/PHP.GUB- XIX/2021?
C. Kerangka Konsepsional
Kerangka konsepsional adalah suatu hubungan atau kaitan antara konsep
satu terhadap konsep yang lainya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka
konsep ini gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang
lebar tentang suatu topik yang akan dibahas, maka diperlukan definisi
operasional mengenai istilah-istilah berikut:
1. Pemilu
Pemilihan Umum, selanjutnya disebut Pemilu, adalah sarana pelaksanaan
kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila
dan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.15
14 Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Buku Pedoman Penulisan Tugas Akhir Mahasiswa, (Jakarta: Universitas
Trisakti, 2015), h. 9.
6
2. Pemilukada
Pemilu Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah Pemilu untuk memilih
kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.16
3. Gubernur
Gubernur adalah penyelenggara pemerintahan daerah provinsi berkedudukan
sebagai kepala daerah provinsi dan wakil pemerintah pusat di daerah dan
bertanggung jawab kepada presiden.
4. Wakil gubernur
Wakil Gubernur adalah jabatan politik pasangan dari Gubernur yang berada di
wilayah otonomi provinsi dan merupakan wakil dari pemerintah pusat.
5. Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang selanjutnya disebut
Pemilihan adalah pelaksanaan kedaulatan rakyat di Provinsi dan
Kabupaten/Kota untuk memilih Gubernur, Bupati, dan Walikota secara
langsung dan demokratis.17
6. Calon Gubernur adalah peserta pemilihan yang diusulkan oleh partai politik,
gabungan partai politik, atau perseorangan yang mendaftar atau didaftarkan
di Komisi Pemilihan Umum Provinsi.18
7. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 19
8. Mahkamah Konstitusi adalah salah satu Lembaga tinggi negara pelaku
kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang
diberikan kewenangan untuk megadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusaanya bersifat final dan mengikat untuk menguji Undang- Undang
Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara kewenangannya
diberika oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai
politik,dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.20
9. Komisi Pemilihan Umum yang selanjutnya disingkat KPU adalah lembaga
penyelenggara pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri
yang bertugas melaksanakan pemilihan umum.21
10. Badan Pengawas Pemilihan Umum yang selanjutnya disebut Bawaslu adalah
lembaga penyelenggara pemilihan umum yang bertugas mengawasi
penyelenggaraan pemilihan umum di seluruh wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia. 22
15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pasal 1 Angka 1.
16 Ibid, Pasal 1 angka 2.
17 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, Dan Walikota Menjadi Undang-Undang, Pasal 1
angka 1.
18 Ibid, Pasal 1 angka 3
7
11. Sengketa (perselisihan) hasil pemilu adalah perselisihan antara KPU dan serta
Pemilu mengenai penetapan perolehan suara hasil Pemilu secara nasional.
Dalam hal terjadi sengketa hasil pemilu, maka lembaga yang berwenang
menyelesaikannya adalah Mahkamah Konstitusi (MK).
12. Penyelenggaraan Pemilu adalah pelaksanaan tahapan Pemilu yang
dilaksanakan oleh penyelenggara Pemilu.
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
A. Pokok Perselisihan Pemilukada Kalimantan Selatan secara Yuridis
Berdasarkan Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 124/ PHP.GUB-
XIX/202.
Pemilihan kepala daerah merupakan salah satu bentuk nyata perwujudan
demokrasi dalam pemerintahan di daerah. Namun demikian, implementasi di
lapangan masih sering menunjukkan adanya fenomena yang merusak citra
pemilihan kepala daerah itu sendiri seperti money politics, ketidaknetralan
aparatur dan penyelenggara, kecurangan berupa pelanggaran kampanye dan
penggelembungan suara, serta penyampaian pesan-pesan politik yang
bernuansa sektarian yang berujung pada retaknya bingkai harmonisasi
kehidupan masyarakat. Ketidaksiapan dan ketidakdewasaan para kandidat dan
pendukungnya untuk mensyukuri kemenangan dan menerima kekalahan yang
sering diwujudkan dalam bentuk aksi-aksi yang menghalalkan segala cara, telah
memicu konflik dan anarkisme massa di berbagai daerah.70
Penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menurut A.
Hafidz Anshary, terdapat cukup banyak masalah yang sering kali memengaruhi
proses penyelenggaraan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota tersebut.
Masalah-masalah tersebut antara lain: pertama, masalah regulasi. Ada beberapa
Pasal didalam UU yang tidak mudah dilaksankan. Disamping itu, ada pula Pasal-
Pasal yang tidak sinkron antara UU yang satu dengan UU yang lain. Misal,
masalah sumber pemutakhiran data pemilih. UU 32/2004 jo. UU 12/2008
berbeda dengan UU 22/2007.
Kedua, masalah anggaran. Anggaran pemilukada yang bersumber dari APBD
banyak menimbulkan masalah dan sangat memengaruhi proses pelaksanaan
pemilukada di beberapa daerah, bahkan jadwal tahapan terpaksa harus berubah
karena problem ini. Masalah yang umum terjadi terkait dengan anggaran ini
antara lain: keterlambatan persetujuan, jumlah yang tidak sesuai dengan
kebutuhan, dan kesulitan pencairan dengan berbagai alasan.
tahapan terpaksa harus berubah karena problem ini. Masalah yang umum
terjadi terkait dengan anggaran ini antara lain: keterlambatan persetujuan,
jumlah yang tidak sesuai dengan kebutuhan, dan kesulitan pencairan dengan
berbagai alasan.
Ketiga, masalah partai politik. Problem yang terjadi antara lain adalah
kepengurusan partai yang lebih dari satu, pemecatan pengurus daerah,
pengusulan calon yang lebih dari satu, perbedaan pasangan calon yang diusung
antara pengurus parpol di daerah dengan pengurus pusatnya, pergantian
pasangan calon yang diusung di detik- detik terakhir masa pendaftaran atau di
penghujung masa penyerahan perbaikan kelas.
Keempat, masalah persyaratan calon. Problem yang ditemukan antara lain
adalah ijazah yang tidak benar atau palsu, pemeriksaan kesehatan yang
dipersoalkan, dukungan ganda untuk calon perseorangan, dan dukungan fiktif.
Kelima, masalah integritas penyelenggara pemilu. Masalah yang dilaporkan
antara lain adalah penyelenggara yang tidak netral, penyelenggara yang tidak
profesional, dan penyelenggara yang terlibat dalam konflik kepentingan.
Keenam, masalah putusan peradilan yang berbeda atau melewati tahapan.
Misal, perbedaan antara putusan PTUN dengan MK, putusan Pengadilan Negeri
atau PTUN sesudah semua proses tahapan pemilukada berakhir dan calon
terpilih sudah dilantik. Tidak hanya penyelenggaraan pemilukada saja yang
terdapat cukup banyak masalah, perselisihan hasil pemilukada pun masih
sering terjadi yaitu perselisihan antara pasangan calon kepala daerah dan wakil
kepala daerah terhadap KPU Provinsi dan atau/ KPU Kabupaten/Kota dan
peserta pemilihan mengenai penetapan perolehan suara hasil pemilihan. 71
Perselisihan hasil dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah tidak dapat
dihindarkan, walaupun regulasi yang mengatur mulai dari pendaftaran hingga
pemungutan hasil secara nasional oleh KPU. Umumnya Perselisihan hasil
pemilihan kepala daerah disebabkan oleh faktor-faktor:
1. Peserta pemilihan kepala daerah memperoleh kewenangan dengan tidak
sehat, sehingga menghasilkan pemimpin yang mempunyai political greed,
pemimpin yang tidak bertanggung jawab, lebih mengutamakan kepentingan
pribadi, kelompok, atau partai di atas kepentingan masyarakat;
2. Moral pragmatisme yang dimiliki oleh penyelenggara pemilihan kepala
daerah, peserta pemilihan kepala daerah, aparataur dan masyarakat;
3. Politisasi birokarsi, melibatkan ASN, mempergunakan kekuasaan atau
jabatannya sebagai peserta pemilihan kepala daerah;
4. Radikalisme dan anarkisme
5. Mental tidak siap kalah, sehingga berusaha mencari jalan penyelesaian;
6. Calon petahana (incumbent) menyalahgunakan kekuasaan, intimidasi
terhadap pendukung pesaingnya, melakukan mutase jabatan terhadap ASN
yang tidak mendukung.
71 Ibid., h. 100
10
72 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Pasal 71 ayat (3).
11
Jika fakta hukum tersebut benar terjadi maka sudah seharusnya Petahana
(Paslon 1) mendapatkan sanksi pembatalan (diskualifikasi) sebagai Paslon
Pilgub Kalsel 2020, seperti yang ditegaskan pada pasal 71 ayat (5) yaitu: “(5)
Dalam hal Gubernur atau Wakil Gubernur Bupati atau Wakil Bupati, dan
Walikota atau Wakil Walikota selaku petahana melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), petahana tersebut
dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi atau
Kabupaten/Kota.
Dalam dalil Pemohon tersebut Termohon memberi sanggahan bahwa
Termohon belum pernah menerima laporan atau rekomendasi dari Bawaslu
Provinsi Kalimantan Selatan terkait dengan tuduhan penyalahgunaan
penyediaan tandon air. Seharusnya kalau benar Pihak Terkait melakukan
penyalahgunaan program tandon air Covid-19, Pemohon seharusnya
mengajukan permasalahan tersebut ke Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan
dan meminta agar Bawaslu Provinsi Kalimantan Selatan menerapkan
penanganan laporan berdasarkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan
Umum Nomor 8 Tahun 2020. Apabila laporan Pemohon memenuhi syarat
formil dan materiil, seperti yang ditegaskan pada pada pasal 9 ayat (4) dan
(5) Perbawaslu Nomor 8 Tahun 2020 yaitu:
(4) “Syarat formil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi:
a. Identitas pelapor;
b. Nama dan alamat/domisili terlapor;
c. Waktu penyampaian pelaporan tidak melebihi ketentuan paling
lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak diketahuinya dan/atau
ditemukannya dugaan pelanggaran; dan
d. Kesesuaian tanda tangan dalam formulir Laporan dengan kartu
identitas.
(5) Syarat materil sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf meliputi:
a. Waktu dan tempat kejadian dugaan pelanggaran;
b. Uraian kejadian dugaan pelanggaran; dan
c. Bukti.73”
laporan tersebut tidak memenuhi syarat formil dan materiil, maka Pemohon
sebaiknya melengkapi persyaratan pengajuan laporan dan tidak berusaha
untuk menyalahkan pihak lain. Akan tetapi sebaliknya apabila persyaratan
pengajuan laporan sudah lengkap dan tidak dilanjuti oleh Bawaslu maka
patut diduga adanya pelanggaran kode etik oleh Bawaslu Kalimantan
Selatan. Maka dari itu Termohon tidak bisa dilibatkan karena keterlibatan
Termohon baru timbul apabila ada rekomendasi pelanggaran administrasi
pemilihan dari Bawaslu Kalimantan Selatan berdasarkan mekanisme
Peraturan Badan Pemilihan Umum Nomor 8 Tahun 2020 Tentang
Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati
dan Wakil Bupati serta Wali Kota dan Wakil Wali kota.
Pihak Terkait menguatkan sanggahan Termohon kalau pemberian
tandon air tersebut bukan berasal dari dana APBD Provinsi Kalimantan
Selatan sebagaimana yang dituduhkan oleh Pemohon, melainkan CSR dari
perusahaan-perusahaan yang beroperasi dan berproduksi di wilayah
Kalimantan Selatan, sebagaimana laporan tersebut disampaikan oleh PT.
Wahana Baratama Mining dalam Surat No. 3255/KTT/WBM/III/2020
tertanggal 28 Maret 2020 tentang Pemberitahuan Penyampaian Tindak
Lanjut Pelaksanaan Aksi Tanggap Darurat Penanganan Covid-19. Pada
tanggal 8 Januari 2021.
Setelah dilakukan berbagai proses verifikasi dan klarifikasi serta kajian-
kajian mendalam, Bawaslu RI telah memutuskan bahwa Laporan Pemohon
dengan nomor register 025/Reg/LP/PG/RI/ 00.00/I/2021, tidak dapat
ditindaklanjuti, dengan alasan pelanggaran Terlapor (Pihak Terkait) tidak
terbukti. Maka dari itu sesuai dengan ketentuan Pasal 71 ayat (3) UU
10/2016 tentang Pilkada yang berbunyi “ (3) Gubernur atau Wakil
Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota
dilarang menggunakan kewenangan, program dan kegiatan yang
menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah
sendiri maupun di daerah lain dalam waktu 6 (enam) bulan sebelum tanggal
penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon
terpilih” adalah tidak terbukti.
Jika disimpulkan apabila terjadi pelanggaran pada pasal 71 ayat (3)
terkait laporan atas dugaan penyalahgunaan tandon air covid-19, hal ini
seharusnya dilaporkan dahulu oleh pihak bawaslu, lalu Pemohon harus
memenuhi syarat formil materil, sesuai yang di
73 Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penanganan Pelanggaran Pemilihan Gubernur dan
Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota, Pasal 9 ayat (4) dan (5).
13
tegaskan dalam pasal pasal 9 ayat (4) dan (5) Perbawaslu Nomor 8 Tahun
2020 dan setelah itu laporan tersebut akan ditindaklanjuti oleh KPU yang
berwenang karena keterlibatan Termohon baru timbul apabila ada
rekomendasi pelanggaran administrasi pemilihan dari Bawaslu Kalimantan.
Bahwa memang nyatanya laporan tandon air ini tidak dilaporkan ke
Bawaslu oleh Pemohon terkait dugaan penyalahgunaan tandon air covid-19
dengan menggunakan dana APBD, dan Setelah dilakukan berbagai proses
verifikasi dan klarifikasi serta kajian-kajian mendalam Permohonan
Pemohon tidak dapat ditindaklanjuti karena permohonannya tidak
berdasar/tidak terbukti.
Jika fakta hukum mengenai praktik money politic tersebut benar terbukti
dan terjadi maka Petahana (Paslon 1) dapat dikenakan sanksi administrasi
sesuai yang ditegaskan pada Pasal 73 ayat (2) yaitu:
Jika benar terbukti terdapat banyak jumlah pemilih yang tidak sah
diKecamatan Binuang, Kabupaten Tapin maka pemungutan suara di TPS
tersebut dapat diulang. Sebagaimana ditegaskan pada Pasal 112 ayat (2)
huruf e UU Nomor 1 tahun 2014 tentang Pilkada yaitu:
“(2) Pemunugutan suara di TPS dapat diulang jika dari hasil penelitian
dan pemeriksaan Panwas Kecamatan terbukti terdapat 1 (satu)
atau lebih keadaan sebagai berikut :
e. Lebih dari seorang Pemilih yang tidak terdaftar sebagai Pemilih,
mendapat kesempatan memberikan suara pada TPS”79.
79 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Pasal 112 ayat (2).
80 Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPPU Nomor 13 Tahun 2012 Nomor 12 Tahun 2012 Dan Nomor 1 Tahun 2012
Tentang Kode Etik Penyelenggaraan Pemilihan Umum, Pasal 11 Huruf e
22
E. Kesimpulan
Berdsarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka
dapat ditarik beberapa kesimpulan yaitu:
1. Bahwa yang menjadi pokok permasalahan Perselisihan Hasil Pemilu
Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan berdasarkan gugatan
Pemohon ke Mahkamah Konstitusi adalah terdapat ada 7 (tujuh) laporan
pelanggaran yaitu :
a. Penyalahgunaan program tandon air covid-19 untuk kampanye
b. Penyalahgunaan tagline “Bergerak” pada program-program Pemerintah
Provinsi Kalimantan Selatan yang kemudian menjadi tagline kampanye
Pihak Terkait.
c. Penyalahgunaan bantuan sosial covid-19 untukkampanye Pihak Terkait.
d. Adanya politik uang yang dilakukan dengan strategi tandem dengan
Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Banjar.
e. Kehadiran Pemilih 100% di24 TPS diKecamatan Binuang, Kabupaten
Tapin.
f. Adanya pembukaan kotak surat oleh PPK di Kecamatan Banjarmasin
Selatan, Kota Banjarmasin.
g. Adanya penggelembungan suara di Kabupaten Banjar.
Berdasarkan gugatan tersebut setelah melalui proses peradilan di
Mahkamah Kontitusi keluar putusan Nomor 124/PHP.GUB- XIX/2021 yang
isinya adalah Pemohon menggugat terkait hasil perhitungan suara yang
telah ditetapkan oleh KPU dalam Pemilihan calon Gubernur dan Wakil
24
B. Saran
Bawaslu perlu meningkatkan efektivitas pengawasan dalam pelaksanaan
pemilukada sehingga tidak terjadi penyalahgunaan saat pemilu oleh Calon
Gubernur dan Wakil Gubernur Kalimantan Selatan