Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pemilihan umum merupakan salah satu proses untuk memperjuangkan

kepeantingan politik dalam bentuk proses seleksi terhadap terpilihnya wakil rakyat dan

pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi. Pemilihan umum juga merupakan

cara terbaik dan bermartabat bagi rakyat untuk secara langsung berpartisipasi dalam

memilih wakil rakyat dan pemimpin, dimana partisipasi tersebut adalah bentuk

demokrasi dari suatu negara republik. Demokrasi adalah suatu sistem pemerintahan

dimana kekuasaaan terletak pada mayoritas rakyat dan pelaksanaanya dilakukan

melalui wakil-wakil yang terpilih. Kekuasaan ini juga dilaksanakan dalam konteks

jaminan atas hak-hak minoritas. Didalam demokrasi, setiap warga negara punya andil

dalam menentukan hukum.1 Maksud andil disini adalah masing-masing warga negara

berkedudukan sama dihadapan hukum dalam rangka terlaksananya jaminan demokrasi

oleh negara. Pemilihan umum yang selanjutnya disebut pemilu adalah sarana

kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan

Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil dalam Negara. Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan

Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Setelah

adanya amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

1
Wahyudi Kumorotomo, 2009, Etika Administrasi Negara, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 66.
Lembaga Pemilihan Umum dibentuk dengan dikeluarkannya ketentuan

mengenai lembaga penyelenggara pemilu yang diatur dalam Pasal 22E Ayat (5)

yang menyatakan bahwa “pemilu diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan

umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.” Ketentuan ini dimaksudkan

untuk memberikan landasan hukum yang lebih kuat bagi penyelenggara pemilu

dalam upaya mewujudkan pemilihan umum sebagai salah satu wahana

pelaksanaan kedaulatan rakyat.2 Pada umumnya, dalam penyelenggaraan

pemilihan umum tidak terlepas dari adanya konflik yang berujung pada

sengketa pemilihan umum. Di Indonesia, terdapat lembaga yudikatif yang

berwenang untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Lembaga yang dimaksud

adalah Mahkamah Konstitusi.

Mahkamah Konstitusi dibentuk pada tahun 2003 karena adanya

kebutuhan menjawab berbagai persoalan hukum dan ketatanegaraan

sebelumnya. Untuk mengatasi berbagai persoalan, Mahkamah Konstitusi diberi

mandat oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

pada Pasal 24 C untuk melaksanakan tiga kewenangan konstitusional, yaitu

mengadili tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk

menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran

partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi tersebut

pada dasarnya merupakan pengejawantahan prinsip checks and balances, yang

2
Ni‟matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 221.
bermakna bahwa setiaplembaga negara memiliki kedudukan yang setara,

sehingga terdapat pengawasan dan keseimbangan dalam penyelenggaraan

Negara. Berkaitan dengan kewenangannya untuk menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, Mahkamah Konstitusi dilandasi oleh Pasal

24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

kemudian diatur kembali dalam produk turunannya, yakni Pasal 10 Ayat (1) dan

Ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi. Teknis pelaksanaan selanjutnya diatur dalam Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 06 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara Dalam

Perkara Pengujian Undang-Undang. Permohonan pengujian undang-undang

sendiri, dapat digolongkan dalam dua jenis, yaitu pertama, pengujian terhadap

isi materi perundang-undangan atau norma hukum biasa disebut dengan

pengujian materiil, dan kedua, pengujian terhadap prosedur pembentukan

produk perundang-undangan, biasa disebut pengujian formil. Menurut Maruar

Siahaan efektifitas checks and balances dapat dilihat dari dilaksanakan atau

tidaknya bunyi putusan Mahkamah Konstitusi olehpembuat undang-undang.

Kepatuhan dalam implementasi putusan Mahkamah Konstitusi itu dapat pula

menjadi ukuran apakah Undang-Undang Dasar 1945 yang menjadi hukum

tertinggi dalam negara sungguh-sungguh menjadi hukum yang hidup.3

3
Maruarar Siahaan, 2010, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Konstitusi Press, hlm.52.
Pada bulan Agustus 2023 Mahkamah Konstitusi menggunakan

kewenangannya untuk melakukan pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:

65/PUU-XXI/2023 perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 memiliki akibat hukum terkait pemilihan umum yang akan

diselenggarakan pada tanggal 14 Februari 2023. Putusan tersebut memiliki 2 inti,

diantaranya:

1. Menyatakan Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182 dan

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) sepanjang

frasa ”Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat

digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas

undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah,

dan tempat pendidikan” bertentangan dengan Undang- Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat;

2. Menyatakan Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182 dan Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan Undang-


Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai

“mengecualikan fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang

mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa

atribut kampanye pemilu”, sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan

Umum selengkapnya berbunyi, “menggunakan fasilitas pemerintah, tempat

ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan

tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat

dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu”.

Berdasarkan latar belakang yang telah terpaparkan memiliki implikasi

terhadap pelaksanaan proses pemilihan umum pada tahun 2024. Kebijakan dan

Politik mengemukakan pendapatnya mengenai implementasi atau pelaksanaan

adalah suatu proses untuk melaksanakan kebijakan menjadi tindakan kebijakan

dari politik ke dalam administrasi. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :

65/PUU-XXI/2023 tersebut mengikat terhadap Komisi Pemilihan Umum di

setiap kabupaten di seluruh Indonesia.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 65/PUU-XXI/2023

terhadap proses pelaksanaan pemilihan umum?

2. Apa saja dampak yang dapat disebabkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :

65/PUU-XXI/2023?
C. Tujuan

1. Untuk mengetahui pengaruh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor : 65/PUU-

XXI/2023 terhadap proses pelaksanaan pemilihan umum

2. Untuk mengetahui dampak yang dapat disebabkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor : 65/PUU-XXI/2023
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengaruh Putusan MK Nomor: 65/PUU-XXI/2023

Kampanye menjelang pemilu sudahlah sangat sering dilakukan oleh berbagai

partai politik. Namun ada aturan-aturan yang harus di taati saat melakukan kampanye,

salah satu aturannya adalah tidak di perbolehkannya melakukan kampanye

menggunakan fasilitas pendidikan seperti yang tertuang pada Pasal 280 ayat 1 huruf h

UU pemilu. Metode yang digunakan pada penilitian ini yaitu yuridis normative

dengan melakukan studi kepustakaan.Data yang di gunakan yaitu data sekunder

merupakan data-data yang sudah ada sebelumnya.Hasil penelitian menunjukkan

bahwa dasar hukum kampanye yang dilakukan di Universitas bersandar pada pasal

280 ayat 1 huruf h UU pemilu yang isinya melarang melakukan kampanye dengan

menggunakan fasilitas pemerintah, fasilitas pendidikan dan tempat ibadah. Berangkat

dari peraturan mengenai PEMILU UU NO. 07 Tahun 2017 Pasal 280 (1) Huruf h.

“Pelaksana, Peserta Dan Tim Kampanye PEMILU Dilarang Menggunakan Fasilitas

Pemerintah, Tempat Ibadah, Dan Tempat Pendidikan”.

Ruang fasilitas pendidikan melingkupi Universitas, Institut, Sekolah Tinggi,

Politeknik, dan sekolah berjenjang lainnya. Lingkungan sekolah seharusnya menjadi

tempat siswa/mahasiswa dapat belajar dan berkembang tanpa adanya pengaruh politik

yang meresahkan. Keputusan MK yang mengizinkan kampanye politik di sekolah

membuka pintu bagi terganggunya suasana belajar yang seharusnya bebas dari

polarisasi politik. Sekolah seharusnya menjadi wilayah netral, siswa/mahasiswa dapat

mengeksplorasi berbagai gagasan dan pandangan tanpa tekanan dari kampanye


politik. Dengan membawa politik langsung dalam lingkungan sekolah, berisiko

mengabaikan ruang berharga ini untuk pengembangan pemikiran mandiri dan

pemaparan pada keragaman pandangan. Pendidikan yang berkualitas memerlukan

ruang yang aman bagi siswa/mahasiswa untuk belajar, berdiskusi, dan

mengembangkan pemikiran independen. Risiko siswa yang memiliki pandangan

berbeda, merasa terpinggirkan, atau bahkan diintimidasi dapat meningkat.

Kemungkinan terbesar yang muncul dari keputusan ini adalah perpecahan. Ketika

siswa dihadapkan kepada pandangan politik yang beragam, tanpa arahan yang baik

tentang bagaimana berdiskusi dengan baik dan hormat, lingkungan sekolah berisiko

berubah menjadi medan perang tempat pandangan saling bentrok dan konflik muncul.

Kampanye politik di sekolah berpotensi mengganggu proses belajar-mengajar.

Kehadiran materi politik yang intens dapat mengalihkan perhatian siswa dari

pelajaran inti dan kurikulum yang seharusnya menjadi fokus utama. Seharusnya tidak

ada ruang bagi distraksi politik di dalam kelas karena ini bisa merugikan pendidikan

dan pengembangan akademik siswa/mahasiswa. Pendekatan pendidikan politik yang

seharusnya diambil adalah menyajikan berbagai pandangan secara obyektif, tanpa

memberikan preferensi tertentu.

Fasilitas pemerintahan banyak paradigm yang menyatakan kurang efektif

apabila dijadikan sebagai tempat kampanye politik. Pemikiran ini muncul berangkat

dari tidak netralitasnya aparatur Negara jika kampanye dilakukan pada fasilitas

pemerintahan bias jadi ini akan menjadi jembatan kepentingan politik sehingga bias

menimbulkan perpecahan yang akan menimbulkan konflik. Fasilitas pemerintahan


juga sebagai layanan public untuk kebutuhan masyarakat dengan adanya pembolehan

berkampanye maka berpotensi mengganggu ketertiban dan kenyaman khalayak ramai.

Hal ini memicu norma & penjelasan norma bertentangan perilakunya, penjelasan

mengandung norma baru dari tubuh pasal sehingga menimbulkan ketidakpastian

hukum dan akan menjadi potensi konflik secara sosiologis. Sudut pandang pembuatan

peraturan berdasarkan teknik penyusunan peraturan perundang-undangan tidak sesuai

antara teori dan implementasi secara tekstual. Sudut pandang psikososial akan

membuat asas adil dalam PEMILU sulit untuk diwujudkan karena latar belakang

pendidikan, agama, serta netralitas pejabat pemerintahan terhadap masing-masing

peserta PEMILU.

Dilihat dari kacamata yang berbeda dengan mengacu pada UUD 1945 Pasal

22 E Ayat (1) : Pemilihan Umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali. Pasal 28 D Ayat (1) : Setiap orang

berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta

perlakuan yang sama dihadapan hukum. Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945)

mengamanatkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat.” Kebebasan berpendapat di Indonesia sudah merupakan

sebuah hak yang dilindungi oleh konstitusi. Berangkat dari jaminan perseorangan ini

paradigma yang seharusnya muncul ialah jaminan bagi setiap orang termasuk calon

peserta PEMILU untuk bisa menggunakan hak nya dimuka umum guna

menyampaikan gagasan yang akan ia jalankan ketika terpilih nantinya. Namun

kebebasan tersebut tidak terlepas dari pengecualian sehingga tidak ada yang dirugikan
ataupun mengganggu jaminan hukum terhadap individual, dengan tertuang dari sudut

pandang frasa-frasa. Dalam kaitan ini, Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU

7/2017 sepanjang frasa “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan

dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas

undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan

tempat pendidikan” telah menimbulkan kondisi pertentangan dengan materi muatan

atau norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Misalnya, apabila dipelajari

secara cermat frasa “dapat digunakan jika” dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf

h UU 7/2017, secara leksikal frasa dimaksud mengandung pengertian pembolehan

atas otoritas atau hak untuk melakukan sesuatu secara terbatas, padahal batas atau

syarat tersebut telah ditentukan sebagai sebuah larangan. Oleh karena itu, apabila

diletakkan dalam pemahaman materi pokoknya. Dalam konteks materi muatan suatu

peraturan perundang-undangan, antara norma larangan dengan pengecualian

sebenarnya mengandung maksud mengesampingkan norma pokoknya karena adanya

sebuah klausa atau pernyataan yang mengaitkan pelaksanaan suatu norma dengan

terjadinya suatu peristiwa ataukondisi tertentu pada waktu atau batas waktu tertentu di

luar peristiwa atau kondisi pokok yang dikehendaki dalam norma larangan. Kedua

kondisi tersebut sebenarnya adalah seimbang dan masing-masing seharusnya berdiri

sendiri sebagai sebuah materi muatan dari norma pokok, bukan merupakan esensi

penjelasan suatu norma.

Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum di atas, perihal

perumusan norma pengecualian tersebut seharusnya diletakkan sebagai bagian norma

batang tubuh UU 7/2017 karena merupakan bagian dari pengecualianatas larangan


kampanye sebagaimana diatur dalam Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017.

Mahkamah menyadari, dalam konteks kampanye pemilu, fasilitas pemerintah atau

tempat pendidikan masih mungkin untuk digunakan. Namun, karena kedua tempat

tersebut dilarang sehingga Mahkamah perlu memasukkan sebagian dari pengecualian

sebagaimana termaktub dalam Penjelasan Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 ke

dalam norma pokok Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017. Pemuatan ke dalam norma

pokok tersebut didasarkan pada ketentuan UU 12/2011, di mana penjelasan tidak

boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma, terlebih lagi jika penjelasan

tersebut bertentangan dengan norma pokok. Oleh karena itu, menurut Mahkamah,

penting untuk memasukkan sebagian dari esensi penjelasan tersebut menjadi bagian

dari pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sehingga

pelaksana, peserta, dan tim kampanye pemilu dapat menggunakan fasilitas pemerintah

dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat

dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye. Penekanan yang lebih jelas dari berbagai

pertimbangan bisa dikutip bahwa esensi penjelasan tersebut menjadi bagian dari

pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sehingga pelaksana,

peserta, dan tim kampanye pemiludapat menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat

pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan

hadir tanpa atribut kampanye. Semarak demokrasi yang menjadi pesta besar

berbangsa dan bernegara juga menjadi esensi yang baik dalam bingkai perguruan

pendidikan maupun pemerintahan dengan pengecualian tidak ada hak-hak yang

dilanggar dan memperoleh perizinan secara legal dari pihak-pihak terkait.


Pada Putusan MK Nomor: 65/PUU-XXI/2023 Menggunakan fasilitas

pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas Pemerintah

dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat

dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu. Tempat ibadah dilarang untuk

berkampanye karena memiliki maksa & nilai spiritual yang tinggi bagi setiap umat

beragama dan dikhawatirkan memicu emosi dan kontroversi yang luas. Fasilitas

pemerintah dan tempat pendidikan diperbolehkan karena tempat tersebut merupakan

salah satu ruang dialogis yang nyata untuk melahirkan ide-ide dan gagasan

pembangunan berbasis konsep pemikiran yang realistis karena berangkat dari

persoalan yang faktual.

B. Dampak Dan Potensi Pelanggaran Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :

65/PUU-XXI/2023

1. Dampak Negatif dari Putusan MK Nomor : 65/PUU-XXI/2023

a) Mengancam Independensi Lembaga Pendidikan

b) Kesempatan yang tidak sama untuk peserta pemilu melaksanakan kampanye

di lembaga pendidikan

c) Mengancam independensi lembaga pemerintah

d) Kesempatan yang tidak sama untuk peserta pemilu melaksanakan kampanye di

fasilitas pemerintah
2. Dampak Positif dari Putusan MK Nomor : 65/PUU-XXI/2023

a) Terwujudnya jaminan konstitusi dengan kepastian hukum untuk setiap hak

individu

b) Fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan ruang dialogis yang nyata untuk

melahirkan ide-ide dan gagasan pembangunan berbasis konsep pemikiran yang

realistis karena berangkat dari persoalan yang faktual.

c) Dapat mengembangkan kecerdasan bagi generasi muda untuk memiliki

potensi dalam berpartisipasi dalam politik untuk memilih pemimpin yang

berkualitas

Potensi Pelanggaran Kampanye di Fasilitas Pemerintah Dan Tempat Pendidikan

a) Mempersoalkan dasar negara pancasila, UUD 1945, bentuk kesatuan NKRI

b) Menghina seseorang, agama, suku, ras, golongan, calon dan/atau peserta

PEMILU yang lain

c) Menghasut dan mengadu domba perseorangan dan masyarakat

d) Menjanjikan dan memberikan uang atau materi lainnya kepada peserta kampanye

PEMILU

e) Mengikutsertakan hakim dan semua badan peradilan di bawah Mahkamah Agung

dan Mahkamah Konstitusi, ASN, POLRI, TNI, KADES, Perangkat Desa, anggota

BPD, WNI yang tidak mempunyai hak pilih

f) Dan lain-lain sesuai ketentuan Perundang-Undangan


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Demokrasi yang menjadi pesta besar berbangsa dan bernegara juga menjadi

esensi yang baik dalam bingkai perguruan pendidikan maupun pemerintahan dengan

pengecualian tidak ada hak-hak yang dilanggar dan memperoleh perizinan secara

legal dari pihak-pihak terkait. esensi penjelasan tersebut menjadi bagian dari

pengecualian atas norma Pasal 280 ayat (1) huruf h UU 7/2017 sehingga pelaksana,

peserta, dan tim kampanye pemiludapat menggunakan fasilitas pemerintah dan tempat

pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan

hadir tanpa atribut kampanye.

B. Saran

Pelaksaan tahapan dalam pemilihan umum, tidak akan terlepas dari implikasi

kebijakan yang ada. Setiap warga Negara memiliki jaminan kepastian hokum, kita

selaku warga Negara harus peka terhadap kebijakan yang ada dengan memiliki pola

piker yang kritis untuk kemajuan berbangsa dan bernegara.

Anda mungkin juga menyukai